Share

Jebakan Cinta Pertama untuk Kesayangan Bos
Jebakan Cinta Pertama untuk Kesayangan Bos
Penulis: JasAlice

1. Bayar dengan Bercinta

Stiletto merah muda dari perempuan cantik itu menggema di koridor lantai lima. Ia terus berlari setelah keluar lift untuk menghadiri rapat yang secara mendadak jadwalnya terbentuk.

Kening Agnes sudah bercucuran peluh dengan jantung yang bergemuruh cepat saat kehadirannya sangat terlambat, lebih dari dua puluh lima menit.

Jadwal rapat masuk di grup pukul lima pagi, sedangkan ia masih berada di hotel yang tidak jauh dari Bandar Udara Internasional Ngurah Rai.

Keputusan Agnes menghabiskan akhir pekan ke Jakarta tidaklah tepat. Kali ini, ia harus berurusan dengan masalah besar, terkait etos kerja dan kredibilitas yang dirinya bangun enam bulan lalu sejak bekerja di sini.

“Maaf, Pak. Saya datang terlambat.”

Agnes menunduk.

Napas perempuan itu tersengal setelah sampai di ambang pintu. Tapi ia tidak bisa menampik, jika dirinya tengah mengumpat karena rasa malu mendapatkan atensi penuh tertuju pada dirinya.

Agnes sempat kaget dengan jumlah karyawan lebih dari sepuluh, berbeda dari apa yang dibayangkan Agnes. Kesialannya berkali lipat dan pasti akan dicap buruk oleh beberapa kepala divisi. Banyak pasang mata menatap Agnes beragam, tapi tidak sedikit yang memperlihatkan tatapan sinis.

Begitupula tatapan dingin dari pria blasteran Jepang – Indonesia, telah menunggu presentasi Agnes dimulai sejak awal.

“Anda tahu pukul berapa rapat ini dimulai, Ibu Agnes Zefanya?”

Suara dingin itu menggetarkan tubuh Agnes. Gemuruh jantung perempuan yang pagi ini mengurai rambut panjangnya tertegun, tidak sanggup mendongak dan menatap sorot penuh intimidasi pria yang duduk di kursi kebesarannya.

“Ma-af, P-pak,” cicit Agnes memberanikan diri menatap perlahan manik hitam di seberang sana.

Keadaan ruangan menjadi tegang, tapi berbeda dengan sang direktur utama yang masih duduk dengan menaruh kedua tangan di atas meja. Ia menautkan jemari tangan, menujukan sorot mata pada Agnes yang masih gugup di pintu ruang rapat.

“Saya ... saya hanya menggunakan waktu akhir pekan untuk berangkat ke Jakarta.”

“Sedang membela diri?” Agnes menggeleng cepat tanpa menatap sang dirut.

Perempuan itu bersiap untuk memberikan penjelasan, kejujuran yang siapa tahu akan menyelamatkan Agnes.

Namun, ucapan telak bernada dingin itu menjadi pukulan kuat yang berakhir perih pada relung hati Agnes.

“Ibu Fiani, sudah saya katakan untuk tidak memberi peluang pada seorang wanita yang memiliki anak, kan? Apalagi dia seorang janda yang bercerai dengan suaminya.”

“Jadi, ini bisa menjadi alasan dia sesuka hati meninggalkan resort. Seharusnya dia bisa berkomitmen untuk tinggal sementara waktu di sini, lalu bisa pergi ke mana pun dia mau dengan waktu libur yang panjang.”

“Maaf, Pak Gerald,” balas Fiani, menunduk minta maaf dengan penuh sesal.

Perempuan berstatus sebagai HRD itu tidak berani melihat sorot tajam dan penuh kebencian mengenai rapat yang gagal pagi ini. “Saya akan bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan Ibu Agnes.”

“Suruh dia datang ke ruangan saya sekarang juga,” sahut pria tinggi bertubuh atletis itu, beranjak meninggalkan ruangan tanpa mengakhiri rapat.

Kedua lutut Agnes lemas saat Gerald hanya melewati dirinya tanpa menatap dirinya. Ia menahan bulir air mata yang menggenang di pelupuk, terasa begitu sakit ucapan dari Direktur Utama tersebut.

“Bu, Anda dipanggil Pak Gerald ke ruangannya sekarang.”

Fiani menyadarkan rasa sakit yang dirasakan Agnes. Perempuan itu menatap kepala HRD yang masih bisa menghargainya. Setidaknya, meskipun ia bekerja sebagai General Manager di sini. Tidak ada kalimat baik yang Agnes terima, kecuali cacian dan bisik kecil mengenai rapat yang hancur hari ini.

**

Agnes menghapus sudut matanya sebelum membuka ruang kerja Gerald.

Ucapan Gerald terus saja terngiang di pikiran Agnes, menghancurkan harga diri juga memberikan tatapan lebih buruk untuk kali pertama ia berada di resort.

Ruangan dirut mencekam ketika tidak ada suara yang menginterupis ataupun sambutan dari tatapan hangat Gerald.

Perempuan itu duduk, lalu meminta maaf dan mengesampingkan perih hatinya. Kalimat itu benar-benar menghancurkan Agnes. “Setahu saya tidak ada jadwal rapat hari ini, Pak,” ungkapnya mengawali pembicaraan saat pria yang masih memiliki darah Jepang itu hanya diam.

“Itu sebabnya saya pulang ke Jakarta, lalu menginap sementara waktu di hotel dekat bandara setelah tiba di Bali. Karena pesawat saya baru landing jam sebelas malam. Saya juga belum bisa pergi saat itu agar sampai ke mari.”

Ini alasan lain karena jarak resort Gerald cukup strategis bagi wisatawan lokal maupun mancanegara dengan segala aspek yang mereka pikirkan sangat layak menjadi tempat singgah. Bahkan, resort ini terletak di pesisir pantai indah dan memiliki view cantik.

Tapi bagi mereka yang ingin singgah. Membutuhkan waktu lebih dari satu setengah jam dari pusat kota, dan hanya selisih tipis dari jarak antar bandara untuk tiba di sini.

“Apa penjelasan kamu bisa saya terima?”

Agnes menelan saliva susah payah.

Pria berparas tampan dengan sorot tajam itu menatap lurus Agnes. Merasa ditatap penuh intimidasi, Agnes kembali tertunduk, menautkan kedua jemari tangan di atas pangkuan.

“Hari ini kamu berurusan dengan saya dua kali.”

Brak!

Satu berkas ditaruh kuat di atas meja kerja tersebut. Perempuan itu tertegun saat kedua telapak tangan pria itu menumpu di sisi berkas dan menatap Agnes tegas dari balik manik hitam. Kepala Gerald sedikit dimiringkan lalu berucap sinis, “Bisa kamu pahami mengenai judul berkas ini?”

Jemari itu terketuk di atas berkas.

Tiba-tiba, jantung Agnes berdegup kuat, melihat dan membolak balik lembar pekerjaannya berakhir tidak benar.

Ia menggeleng samar. “Ta-pi, Pak ... saya yakin, penyelenggaraan pesta tersebut sudah sesuai, termasuk satu hari sebelumnya saya check langsung ke lapangan,” balasnya.

“Satu hari sebelum penyelenggaraan pesta meriah, lalu kamu menjadi penanggung jawab yang tidak kompeten.”

“Apa bukti di dalam ini belum cukup? Kamu meninggalkan acara tanpa bertanggungjawab sampai pesta itu selesai! Anak buah yang kamu andalkan dan beberapa kesalahan teknis lain, membuat nama baik resort ini tercoreng!”

Agnes menunduk dalam.

Kedua tangannya gemetar memegang ujung berkas.

“Jika belum siap bekerja di sini, lebih baik kamu resign. Saya masih berharap ada yang bisa menggantikan posisi kamu sebagai GM, berstatus lajang dan sangat patuh dengan tanggung jawabnya.”

“Tidak seperti kamu yang langsung mengambil kesempatan kembali ke Jakarta, lalu meninggalkan pesta dan berakhir datang terlambat pagi ini.”

Gerald tersenyum miring, menatap Agnes dengan tatapan tajam. “Seharusnya saya tahu, jika rumah tangga kamu hancur. Sudah dipastikan untuk urusan pekerjaan pun tidak becus kamu selesaikan.”

Sayatan perih kembali dirasakan Agnes berkali lipat. Ia terkesiap, merasakan air mata luruh tanpa bisa ditahan. Perempuan itu dengan cepat menghapusnya, tapi tidak bisa menyembuhkan sakit hati oleh ucapan Gerald yang semakin keterlaluan.

“Mungkin rumah tangga yang hancur dan pekerjaan yang berantakan. Sebuah Sebab akibat yang kamu lakukan pada saya di masa lalu.”

“Perselingkuhan yang membawa keburukan untuk kamu di masa depan.”

Perempuan itu membeku. Dadanya bergemuruh cepat ketika Gerald mengucapkan hal tersebut.

Agnes mendongak, menatap tidak percaya dengan perasaan terluka. “Kamu sedang mengungkit masa lalu? Mengaitkan permasalahan kita dengan pekerjaan?”

“Apa kamu begitu benci sama aku, Ge? Sampai urusan pekerjaan kamu campuradukkan dengan masalah kita dulu?”

Gerald tersenyum miring melihat langsung satu bulir air mata itu jatuh tepat di hadapannya. Ia sadar, sebuah tangis kesedihan yang dibuat sebaik mungkin dari Agnes.

Agnes menarik napas dalam, lalu mengembuskannya dengan berdiri di depan Gerald. Pria itu menegakkan tubuh dan memberikan tatapan menantang.

Jemari tangan itu menghapus kasar air matanya. “Tadinya aku masih berusaha diam, membiarkan kamu mempermalukanku depan jajaran di ruang rapat.”

“Statusku sebagai GM, tapi aku nggak pernah dihargai kamu sedikitpun. Bahkan, setelah pertemuan kita minggu lalu untuk kali pertama ... kamu benar-benar melukai perasaanku.”

“Karena aku nggak suka kamu berada di sini,” desis Gerald menatap tajam Agnes.

Agnes mendengkus mengejek. Ia membuang pandangan sesaat ketika sorot itu penuh kebencian.

Tidak ada lagi tatapan memuja dan penuh cinta yang selalu diberikan Gerald padanya. “Dan kamu telah merusak reputasi resort ini.”

Perempuan itu mengangguk pelan, lalu meraih berkas dan memperlihatkan tepat di depan wajah Gerald. “Kamu mempermasalahkan berkas ini juga, kan? Baik. Aku selesaikan dalam tiga hari kedepan untuk evaluasi lebih lanjut dan aku jamin ... kesalahan bukan ada di timku.”

“Silakan.”

“Tapi sampai semua kesalahan benar ada di tim kamu. Kamu harus kembali berurusan denganku.”

Sorot manik perempuan itu membalas tegas tatapan dingin Gerald. Ia mengangguk tegas, berusaha untuk memanfaatkan kesempatan sekali lagi.

Ia yang merupakan bawahan, harus menahan seluruh rasa egois agar tidak balas meledakkan emosi pada Gerald. Agnes memilih mengalah. Tiga hari,” tekannya dan berlalu, bergegas menuju pintu ruang kerja Gerald.

“Ya. Tiga hari adalah kesempatan yang harus kamu manfaatkan.”

“Jika gagal. Kamu harus memuaskanku semalam penuh.”

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status