Waktu seakan membeku di dalam kamar kos yang pengap itu. Satu-satunya yang bergerak adalah kertas di tangan Alina yang bergetar hebat, seolah dialiri listrik dari setiap huruf yang tertera di atasnya. PROPOSAL PERNIKAHAN KONTRAK. Dua kata itu terasa begitu absurd, begitu tidak nyata, hingga Alina nyaris tertawa histeris.
Tawanya tidak keluar. Yang ada hanyalah rasa dingin yang merayap dari telapak kakinya, naik ke tulang punggung, dan mencengkeram lehernya. Ia mengangkat pandangannya dari map berwarna krem itu, menatap lurus ke mata Rendra, asisten pribadi Damian Adhitama, yang masih berdiri dengan sabar di ambang pintunya yang reyot. "Ini... lelucon?" Suara Alina keluar lebih seperti desisan serak daripada pertanyaan. "Ini semacam penghinaan baru yang diciptakan bos Anda untuk bersenang-senang?" Rendra mempertahankan ekspresi datarnya yang sempurna. Tidak ada cemoohan di matanya, hanya profesionalisme yang dingin. "Tuan Damian Adhitama tidak punya waktu untuk lelucon, Nona Larasati. Tawaran ini seratus persen serius." Alina membanting map itu ke atas meja kayu kecil di sebelahnya. Cek senilai lima ratus juta rupiah itu melompat sedikit. "Serius? Dia pikir dia siapa? Tuhan? Dia pikir setelah menghancurkan hidupku, dia bisa datang dan membeliku seolah aku barang obralan di pasar?" Amarah yang tadinya terkunci kini mulai mendidih, meluap dalam setiap suku katanya. "Dengan segala hormat, Nona. Tuan Damian tidak melihat ini sebagai transaksi pembelian," jawab Rendra dengan tenang, seolah sedang membahas laporan cuaca. "Ini adalah sebuah kemitraan bisnis dengan syarat dan keuntungan yang jelas bagi kedua belah pihak. Anda mendapatkan stabilitas finansial. Beliau mendapatkan seorang istri untuk jangka waktu tertentu demi memenuhi tujuan perusahaan dan keluarga." "Keluarga?" Alina mendengus sinis, sebuah nada yang hanya ia sendiri yang mengerti kedalamannya. "Saya tidak dalam posisi untuk mendiskusikan urusan pribadi beliau," balas Rendra, mengelak dengan sopan. "Tugas saya hanya menyampaikan proposal ini. Detail lebih lanjut akan dijelaskan langsung oleh Tuan Damian jika Anda setuju untuk bertemu." Alina menyipitkan matanya, mencoba mencari celah dalam topeng profesional pria di hadapannya. "Kenapa saya? Jakarta ini penuh dengan jutaan wanita. Kenapa harus saya, seorang petugas kebersihan?" Ia sengaja menekankan statusnya, ingin melihat reaksi pria itu. Rendra terdiam sejenak, seolah memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Tuan Damian kebetulan melihat Anda pagi ini saat interaksi singkat di depan lobi. Beliau memiliki kriteria yang sangat spesifik. Beliau membutuhkan seseorang yang tidak berasal dari lingkaran sosialnya. Seseorang yang tidak memiliki agenda tersembunyi terkait bisnis atau perebutan kekuasaan internal." Rendra berhenti sejenak, tatapannya menajam tanpa emosi. "Beliau menginginkan seseorang yang akan melihat ini murni sebagai sebuah kesepakatan. Seseorang yang mandiri dan tidak memiliki ikatan rumit yang bisa menjadi beban. Menurut data kepegawaian Anda, Anda memenuhi kriteria tersebut. Anda adalah... kandidat yang paling tidak rumit." Rahang Alina mengeras. Paling tidak rumit. Ironi dari kata-kata itu menusuknya begitu dalam. Jadi, di mata Damian Adhitama, ia adalah pilihan teraman. Seorang gadis yatim piatu yang miskin, tanpa koneksi, tanpa kekuatan. Seseorang yang seharusnya bersyukur dan mudah dikendalikan. Mereka tidak tahu siapa dirinya. Mereka tidak tahu nama 'Larasati' yang ia bawa. Mereka memilihnya justru karena mereka buta terhadap bahaya yang sebenarnya. Penghinaan ini terasa lebih dalam, namun sekaligus membangkitkan sesuatu yang lain: sebuah peluang yang sempurna. "Saya akan memberikan Anda waktu dua puluh empat jam untuk mempertimbangkan," lanjut Rendra, seolah bisa membaca badai di dalam diri Alina. Ia meletakkan sebuah kartu nama di atas map. "Jika Anda memutuskan untuk menerima undangan pertemuan ini, hubungi nomor saya. Jika tidak, kami akan menganggap tawaran ini ditolak dan tidak akan mengganggu Anda lagi." Tanpa menunggu jawaban, Rendra mengangguk singkat, berbalik, dan pergi. Langkah kakinya yang mantap menjauh, meninggalkan Alina sendirian dalam keheningan yang memekakkan, ditemani oleh proposal dari pria yang menganggapnya pion yang aman. Setelah pintu ditutup, Alina bersandar di dinding, kakinya terasa lemas. Ia berjalan seperti zombi ke arah meja dan menatap dua benda itu. Cek dan proposal. Racun dan penawarnya, disajikan oleh musuh yang tidak menyadari siapa yang sedang ia undang ke dalam hidupnya. Pikirannya berkecamuk. Suara harga dirinya menjerit. ‘Tolak! Jangan pernah biarkan seorang Adhitama berpikir bahwa seorang Larasati bisa dibeli!’ Namun, suara lain, suara yang lebih dingin dan penuh perhitungan, mulai berbisik. ‘Bodoh. Ini bukan penyerahan diri. Ini adalah infiltrasi.’ Alina berhenti mondar-mandir. Ia menatap bayangannya di cermin kecil yang retak di dinding. ‘Selama ini rencanamu kabur,’ bisik suara itu lagi. ‘Apa yang bisa dilakukan seorang gadis miskin melawan korporasi raksasa? Sekarang, musuhmu sendiri yang membukakan gerbangnya karena kebodohannya. Dia memilihmu karena dia pikir kau tidak berbahaya. Dia memberimu akses ke kehidupannya, rahasianya, kelemahannya. Ini bukan jebakan untukmu, Alina. Inilah jebakan yang kau pasang untuknya.’ Napas Alina menjadi lebih cepat. Perspektif itu mengubah segalanya. Ini bukan lagi tentang harga diri, tetapi tentang strategi perang. Menjadi Nyonya Adhitama di atas kertas adalah kamuflase yang sempurna, diberikan oleh targetnya sendiri. Matanya tertumbuk pada surat pengusiran dari Bu Ratmi. Cek lima ratus juta itu adalah amunisi. Kemerdekaan dari kemiskinan yang membelenggunya, memberinya ruang untuk fokus pada satu tujuan: balas dendam. Ia akan menjual namanya untuk membeli keadilan bagi keluarganya. Keputusan itu terbentuk dengan tekad yang dingin dan sekeras baja. Ia meraih kartu nama Rendra. Jari-jarinya gemetar sesaat sebelum menekan nomor itu, bukan karena takut, tetapi karena adrenalin. Saat panggilannya dijawab, suara Alina yang keluar terdengar tenang dan mantap. "Saya Alina Larasati. Saya terima undangan pertemuan itu." Satu jam kemudian, sebuah kotak diantar ke pintu kosnya. Di dalamnya, sebuah gaun A-line sederhana berwarna biru malam, sepasang sepatu hak rendah, dan sebuah tas tangan. Pesannya jelas: Damian ingin bertemu dengan wanita yang akan ia perkenalkan sebagai istrinya, bukan si petugas kebersihan. Ini adalah kostum pertama dalam sandiwara besar mereka. Pukul setengah tujuh malam, Alina berdiri di depan cerminnya yang retak. Gaun itu pas di tubuhnya. Riasan tipis menutupi jejak kelelahannya. Gadis pembersih yang lelah telah lenyap. Yang ada adalah hantu dari masa lalunya, seorang wanita dengan keanggunan terpendam dan sorot mata yang berbahaya. Api dendamnya kini menyala terang, fokus, dan mematikan. Ia menyentuh liontin peninggalan ibunya di lehernya, terasa hangat seolah memberi restu. Ini adalah malam di mana ia akan menandatangani perjanjian dengan iblis. Tapi iblis itu tidak tahu, ia sedang berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa yang menyamar. "Mari kita berdansa, Tuan Adhitama," bisiknya pada bayangannya, sebuah senyum tipis yang dingin tersungging di bibirnya. "Lihat saja siapa yang akan memimpin."Perjalanan pulang diselimuti oleh keheningan yang lebih pekat dan lebih berat daripada keheningan mana pun yang pernah Alina rasakan. Kata-kata terakhir Damian tidak ada yang namanya kebetulan yang sempurna menggantung di udara di antara mereka, berputar-putar di benak Alina seperti racun yang bekerja lambat.Kemenangannya terasa hampa, berubah menjadi abu di mulutnya. Ia telah mengerahkan seluruh kecerdasan dan kontrol dirinya untuk menciptakan sebuah fasad yang tanpa cela, hanya untuk menyadari bahwa kesempurnaan itu sendiri adalah sebuah kesalahan fatal. Di mata seorang tiran paranoid seperti Karta Adhitama, kesempurnaan bukanlah sebuah keunggulan, melainkan sebuah anomali yang harus diselidiki. Rasa takut yang dingin, yang berbeda dari keputusasaan yang pernah ia rasakan, mulai merayapinya. Rencananya terlalu berhasil, dan kini ia menjadi target. Ini bukan lagi sekadar permainan sandiwara; ini adalah permainan bertahan hidup di bawah tatapan seorang algojo."Lalu apa yang Anda ing
Perjalanan menuju kediaman utama keluarga Adhitama terasa seperti perjalanan menuju tiang gantungan. Mercedes hitam itu melaju dengan senyap di tengah gemerlap lampu malam Jakarta, namun di dalam kabin, keheningan terasa berat dan menyesakkan. Alina duduk tegak lurus, kedua tangannya terkepal di pangkuannya di balik tas tangan mungilnya. Gaun safirnya terasa seperti baju zirah, namun ia ragu apakah itu cukup tebal untuk melindunginya dari tatapan pria yang telah merenggut segalanya. Di benaknya, ia melatih kembali semua data yang telah ia kumpulkan, mengubah kecemasan menjadi fokus yang tajam.Damian tidak mengatakan sepatah kata pun sejak mereka meninggalkan rumah. Matanya lurus menatap ke depan, rahangnya mengeras. Ia tampak seperti seorang jenderal yang akan memasuki pertempuran yang tidak ia inginkan. Alina bisa merasakan ketegangan yang menguar darinya. Ini bukan sekadar makan malam keluarga; ini adalah sebuah inspeksi. Inspeksi terhadap aset baru Damian, yaitu dirinya.Beberapa
Malam itu, Alina tidak tidur. Ditemani oleh cahaya biru dari layar laptop canggih pemberian Damian, ia terjun ke dalam lautan data yang merupakan jejak digital keluarga Adhitama. Kamar mewah yang seharusnya menjadi tempat istirahat kini telah ia sulap menjadi pusat komando rahasia. Kelelahan fisik tidak ia rasakan; yang ada hanyalah adrenalin dingin yang mempertajam setiap inderanya, sebuah fokus yang lahir dari dendam yang telah ia pupuk selama lima tahun. Ia bekerja dengan metodis, menggunakan alat yang diberikan musuhnya untuk merancang kehancurannya. Ironi itu memberinya kekuatan. Fajar menyingsing di ufuk timur, mewarnai langit Jakarta dengan semburat oranye dan ungu. Alina akhirnya menutup laptopnya beberapa saat sebelum para pelayan memulai aktivitas pagi mereka. Matanya terasa panas dan perih, namun benaknya penuh dengan amunisi baru. Ia telah membersihkan semua jejak aktivitasnya, menghapus cache dan riwayat dengan protokol yang telah ia pelajari, memastikan benteng digital
Ruang makan itu sama megahnya dan sama dinginnya dengan seluruh bagian rumah ini. Sebuah meja kayu panjang yang dipernis hingga mengilap terbentang di tengah ruangan, mampu menampung puluhan tamu. Namun malam ini, hanya ada dua orang yang duduk di sana, di kedua ujung meja yang berlawanan, dipisahkan oleh jarak yang terasa seperti jurang tak terseberangi. Keheningan menjadi tamu ketiga yang paling dominan.Para pelayan bergerak tanpa suara, menyajikan hidangan pembuka, hidangan utama, dan hidangan penutup dengan efisiensi robotik. Hanya suara denting perak di atas porselen yang memecah keheningan yang canggung. Alina makan dengan perlahan, setiap gigitan terasa hambar di mulutnya. Ia bisa merasakan tatapan Damian padanya dari ujung meja, sebuah pengawasan yang konstan, namun berbeda dari yang ia rasakan di perpustakaan. Ini bukan tatapan yang menyelidik, melainkan tatapan yang mengamati, seolah sedang mempelajari spesimen langka yang baru ia peroleh.Alina mempertahankan personanya: s
Pagi datang menembus celah-celah jendela kamar kos Alina, membawa serta bau debu dan kenyataan yang menusuk. Semalam bukanlah sebuah mimpi surealis. Di atas meja kayunya yang reyot, tergeletak draf kontrak yang telah ia tandatangani. Ponsel tuanya menampilkan notifikasi dari aplikasi perbankan, menunjukkan saldo sebesar lima ratus juta rupiah di rekening darurat yang ia buka beberapa tahun lalu. Angka itu terasa begitu asing, sebuah anomali di tengah kemiskinan yang telah menjadi kulit keduanya selama lima tahun terakhir. Uang darah, pikirnya getir. Uang yang dibeli dengan harga dirinya.Alina tidak membuang waktu. Dengan gerakan yang efisien dan tanpa emosi, ia mulai berkemas. Prosesnya berlangsung singkat dan menyedihkan, sebuah ringkasan tragis dari kehidupannya. Seluruh harta miliknya—beberapa setel pakaian lusuh, seragam kerjanya yang biru pudar, sebuah novel dengan sampul lecek, dan satu-satunya benda berharga, foto kecil berbingkai perak kedua orang tuanya yang tersenyum—muat d
Perjalanan menggunakan taksi menuju Hotel Mahameru terasa seperti melintasi dua dunia yang berbeda. Alina menatap ke luar jendela, matanya menyapu gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang menusuk angkasa, bermandikan cahaya neon yang gemerlap. Pemandangan yang sama yang ia lihat dari lobi Menara Adhitama dengan tatapan penuh kebencian, namun kini perspektifnya berbeda. Malam ini, ia bukan lagi hantu pembersih yang tak terlihat. Ia adalah seorang tamu yang diundang ke puncak salah satu menara itu, sebuah langkah pertama dalam misi infiltrasinya. Ia merapikan gaun biru malam yang terasa asing namun nyaman di kulitnya, menarik napas dalam-dalam, dan memasang topeng pertamanya: topeng ketenangan.Hotel Mahameru menjulang seperti sebuah monolit kaca dan baja yang megah, sebuah simbol kekayaan yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya. Seorang petugas membukakan pintu taksi untuknya dengan sigap, memberinya salam hormat yang sudah lama tidak ia terima. Alina membalasnya dengan angguka