แชร์

Sang Pewaris Yang Terlupakan
Sang Pewaris Yang Terlupakan
ผู้แต่ง: Ethan Zachary

Pertemuan Tak Terduga

ผู้เขียน: Ethan Zachary
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-15 17:59:01

Udara Jakarta yang lembap menyambut Alina saat ia melangkah keluar dari pintu samping gedung. Langit masih gelap, namun di ufuk timur sudah tampak semburat jingga tipis. Shift-nya sebagai petugas kebersihan baru saja usai, meninggalkan aroma lemon dan amonia yang tajam melekat di pakaiannya seperti parfum permanen.

Tiba-tiba, deru mesin beberapa mobil mewah memecah keheningan fajar. Tiga sedan hitam mengilap berhenti tepat di depan lobi utama Menara Adhitama. Pintu mobil tengah terbuka, dan seorang pria melangkah keluar.

Jantung Alina serasa berhenti berdetak.

Ia pernah melihat wajah itu ribuan kali di majalah bisnis dan berita televisi. Wajah yang terpahat sempurna dengan rahang tegas, hidung mancung, dan sepasang mata elang yang dingin. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, dan setelan mahalnya terlihat tanpa cela bahkan di waktu subuh seperti ini.

Damian Adhitama.

Putra mahkota keluarga Adhitama, yang sekarang duduk di singgasana yang dibangun di atas puing-puing kebahagiaan Alina.

Damian berjalan dengan langkah lebar dan penuh kuasa, diikuti oleh dua pengawal berbadan tegap. Ia tidak melirik ke sekelilingnya, dunianya hanya lurus ke depan. Namun, saat ia melewati Alina yang berdiri mematung di trotoar, sebuah berkas terlepas dari map yang ia pegang. Selembar kertas melayang turun dan mendarat tepat di dekat sepatu usang Alina.

Tanpa berpikir, naluri Alina bergerak. Ia membungkuk dan memungut kertas itu. Untuk sepersekian detik, dunia terasa melambat. Saat ia menegakkan tubuh untuk menyerahkannya, mata mereka bertemu.

Mata Damian sedingin es di kutub utara. Ada kilat keterkejutan sesaat melihat seorang wanita pembersih di sana pada jam sepagi ini, namun kilat itu segera padam, digantikan oleh ketidakpedulian yang mutlak. Baginya, Alina hanyalah bagian dari perabotan, tidak lebih penting dari tiang lampu di sebelahnya.

Alina menelan ludah, tangannya yang memegang kertas sedikit gemetar. Ini dia. Iblis itu sendiri. Berdiri kurang dari satu meter darinya. Ada sejuta umpatan yang ingin ia lontarkan, sejuta tuduhan yang ingin ia teriakkan. Namun yang keluar dari bibirnya hanyalah kebisuan. Mulutnya terkunci oleh kebencian yang terlalu dalam untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Damian mengambil kertas itu dari tangan Alina tanpa mengucapkan terima kasih. Jari mereka tidak bersentuhan, tapi Alina bisa merasakan aura dingin yang menguar dari pria itu. Ia kemudian berbalik dan melanjutkan langkahnya masuk ke dalam lobi, menghilang di balik pintu kaca otomatis. Seolah-olah interaksi barusan tidak pernah terjadi.

Alina masih berdiri di sana, napasnya memburu. Rasa benci yang membara memberinya energi baru. Pertemuan tak terduga itu mengoyak luka lama hingga kembali menganga.

Ironis. Gedung ini adalah Menara Adhitama. Markas besar korporasi yang telah merenggut segalanya darinya. Dua tahun terakhir, Alina Larasati, seorang gadis kurus berbalut seragam biru pudar, telah menjadi hantu tak terlihat yang muncul setelah semua orang penting pulang. Ia sengaja memilih pekerjaan ini, memilih untuk berada di jantung kekuasaan musuhnya, membiarkan kebenciannya terus menyala.

Setiap malam, tangannya yang ramping namun kapalan mendorong mesin pemoles di atas lantai marmer Italia yang sama, tempat ia pernah berjalan dengan anggun lima tahun lalu. Saat itu, ia mengenakan gaun sutra rancangan desainer ternama, menghadiri gala dinner sebagai putri tunggal Hendra Larasati. Sekarang, ia berlutut di atasnya, menggosok noda yang ditinggalkan entah oleh siapa.

Sebuah kilas balik melintas tanpa diundang. Pesta ulang tahun ayahnya. Taman belakang mansion mereka yang megah. Ayahnya tertawa lepas, seorang raja di industri properti. "Ingat, Alina," bisik ayahnya di sela-sela musik, "dunia bisnis ini hutan belantara. Jangan pernah membelakangi seekor serigala, bahkan jika ia tersenyum padamu."

Serigala itu adalah Karta Adhitama, ayah Damian, yang menyeringai sambil mengangkat gelas sampanye di pesta itu.

Hanya dalam enam bulan setelah pesta itu, neraka datang. Tuduhan penggelapan dana yang direkayasa, saham Larasati Group anjlok, diikuti pengambilalihan paksa oleh Adhitama Corp. Puncaknya, ayahnya ditemukan tewas di ruang kerjanya. Polisi menyebutnya bunuh diri. Alina tahu itu pembunuhan. Ibunya menyusul setahun kemudian karena patah hati. Aset mereka disita, dan Alina, sang putri, terlempar ke jalanan.

Dendam adalah api yang membuatnya tetap hidup. Ia tidak akan membiarkan api itu padam. Tidak sampai nama Adhitama hancur berkeping-keping. Dan setelah pertemuan pagi ini, Alina merasa lebih dari sekadar perabotan. Dia adalah bom waktu. Dan suatu hari nanti, dia akan meledak tepat di wajah Damian Adhitama.

Perjalanan pulang ke kamar kosnya yang sempit di gang becek terasa lebih menyesakkan dari biasanya. Bau comberan dan sampah menyambutnya. Pintu kamarnya yang terbuat dari triplek tipis ditempeli secarik kertas.

‘ALINA! UANG SEWA 3 BULAN BELUM DIBAYAR! LUNASI MINGGU INI ATAU ANGKAT KAKI!’

Tulisan tangan Bu Ratmi, pemilik kos, yang penuh amarah. Alina meremas kertas itu. Gajinya hanya cukup untuk makan. Keputusasaan mulai merayapinya, mengancam akan memadamkan api dendam yang selama ini ia pelihara.

Ia membuka pintu dan melemparkan dirinya ke atas kasur tipis yang terasa keras. Ia menatap langit-langit yang penuh sarang laba-laba. Jadi beginilah akhirnya? Setelah semua rencana besar, ia akan berakhir sebagai gelandangan?

Air mata panas mulai menggenang. Ia tidak menangis saat ayah dan ibunya meninggal, ia mengubah semua kesedihannya menjadi amarah. Tapi malam ini, setelah bertemu langsung dengan sumber penderitaannya dan dihadapkan pada kenyataan pahit hidupnya, pertahanannya goyah.

Saat itulah, suara mobil berhenti di depan gang sempitnya terdengar ganjil. Penasaran, ia mengintip dari celah jendela.

Sebuah sedan hitam yang berbeda dari milik Damian, namun sama-sama mewah. Seorang pria berpenampilan necis dengan setelan abu-abu keluar dari mobil, tampak canggung berjalan di gang becek itu.

Jantung Alina berdebar kencang. Pria itu berhenti tepat di depan pintu kamarnya dan mengetuk tiga kali.

Dengan ragu, Alina membuka pintu.

"Selamat pagi. Apakah saya berbicara dengan Nona Alina Larasati?" tanya pria itu dengan nada formal.

"I-iya, saya sendiri," jawab Alina, suaranya serak.

Pria itu tersenyum tipis. "Perkenalkan, saya Rendra, asisten pribadi Tuan Damian Adhitama."

Dunia Alina seakan berputar. Damian Adhitama? Mengapa asistennya mencarinya sampai ke tempat kumuh ini? Apakah karena insiden tadi pagi?

"Ada perlu apa?" tanya Alina, berusaha terdengar lebih berani dari yang ia rasakan.

Rendra tidak menjawab. Ia justru menyodorkan sebuah map tebal berwarna krem. "Tuan Damian Adhitama ingin bertemu dengan Anda. Ini menyangkut sebuah proposal yang akan mengubah hidup Anda."

Tangan Alina gemetar saat menerima map itu. Rasanya berat. Ia menatap Rendra dengan penuh curiga, lalu perlahan membukanya.

Di dalamnya, hanya ada dua benda.

Yang pertama adalah selembar cek. Mata Alina membelalak saat melihat deretan angka nol di sana. Lima ratus juta rupiah.

Yang kedua adalah selembar kertas tebal. Di bagian atas tertulis dengan huruf kapital yang tegas:

PROPOSAL PERNIKAHAN KONTRAK

Alina mengangkat kepalanya, menatap Rendra dengan napas tercekat. Keputusasaan, keterkejutan, ketakutan, dan secercah harapan liar yang mengerikan berbaur menjadi satu di dalam dadanya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Sang Pewaris Yang Terlupakan    33. Penjaga Gerbang Terakhir

    Beberapa hari setelah penemuan di brankas bank, mansion Adhitama berubah menjadi sebuah biara yang sunyi, tempat dua orang penghuninya mengabdikan diri pada sebuah teks suci yang kelam: buku catatan hitam Hendra Larasati. Mereka menghabiskan setiap jam yang memungkinkan di dalam ruang aman, dengan teliti mendigitalkan setiap halaman, setiap transaksi, setiap nama yang tertulis dalam tulisan tangan ayah Alina yang rapi.Proses itu adalah sebuah siksaan bagi Alina. Setiap halaman adalah sebuah pengingat akan pengkhianatan yang dialami ayahnya. Namun, di tengah rasa sakit itu, ada sesuatu yang lain tumbuh. Bekerja berdampingan dengan Damian, membedah data yang rumit hingga larut malam, terasa sangat alami. Mereka bergerak sebagai satu kesatuan, pikiran mereka saling melengkapi. Damian dengan visinya yang strategis dan pemahamannya akan struktur kekuasaan, dan Alina dengan intuisinya yang tajam dan kemampuannya untuk melihat pola-pola manusiawi di balik angka-angka dingin."Lihat ini," ka

  • Sang Pewaris Yang Terlupakan    32. Api untuk Masa Depan

    Perjalanan keluar dari brankas bawah tanah Bank Swadaya Djakarta terasa seperti proses kelahiran kembali yang menyakitkan. Mereka turun ke dalam sebagai dua individu yang terikat oleh kontrak dan kecurigaan; mereka naik kembali ke permukaan sebagai dua jiwa yang terikat oleh kebenaran yang menghancurkan dan sebuah tujuan bersama yang baru. Pak Suryo menunggu mereka di lobi yang remang-remang, wajahnya penuh dengan pertanyaan yang tak terucap namun terlalu profesional untuk ditanyakan. Ia hanya menatap tas kulit yang kini dibawa oleh Damian—tas yang berisi bom waktu dalam bentuk buku catatan hitam dan sebuah map penuh hantu—lalu mengangguk dengan hormat. "Semoga kau menemukan apa yang kau cari, Damian. Ibumu adalah wanita yang luar biasa." "Dia lebih dari itu, Pak Suryo," jawab Damian pelan. "Terima kasih atas bantuan Anda." Perjalanan pulang ke mansion diselimuti oleh keheningan yang berbeda. Ini bukan lagi keheningan yang canggung atau tegang, melainkan keheningan yang berat dan

  • Sang Pewaris Yang Terlupakan    31. Retakan di Fondasi Jiwa

    Keheningan di dalam ruang lihat yang dingin dan steril itu lebih memekakkan daripada ledakan mana pun. Waktu seakan berhenti. Di atas meja baja, buku catatan hitam yang telah menjadi tujuan akhir dari perburuan mereka selama ini, kini tergeletak begitu saja, terlupakan. Seluruh energi di ruangan itu tersedot ke dalam sebuah map tipis berwarna krem yang terikat pita merah sebuah arsip dari masa lalu yang kini mengancam untuk meruntuhkan masa kini.Alina hanya bisa menatap nanar saat Damian, dengan jari-jari yang tampak kaku dan asing, membuka map itu. Wajah pria itu adalah sebuah topeng pualam yang kosong, namun matanya yang terpaku pada dokumen-dokumen di dalamnya memancarkan badai emosi yang sunyi: ketidakpercayaan, kebingungan, dan rasa sakit yang mulai merayap.Alina merasa dunianya ikut terbalik. Ayahnya, Hendra Larasati, adalah pilar integritas dalam ingatannya. Ibunya, wanita yang ia puja, adalah satu-satunya cinta dalam hidup ayahnya. Namun, di hadapannya ki

  • Sang Pewaris Yang Terlupakan    30. Warisan di Dalam Baja

    Perjalanan kembali ke Jakarta keesokan paginya terasa seperti sebuah misi infiltrasi yang sunyi. Langit yang cerah dan pemandangan Puncak yang hijau berlalu di luar jendela mobil, namun di dalam, Alina dan Damian terbungkus dalam atmosfer yang tegang dan penuh fokus. Tidak ada lagi obrolan ringan atau kenangan melankolis. Setiap kilometer yang mereka tempuh terasa seperti satu langkah lebih dekat ke jantung pertarungan. Harapan kini memiliki wujud fisik: sebuah nomor brankas di sebuah bank.Setibanya di mansion, mereka tidak beristirahat. Damian langsung masuk ke ruang kerjanya, menutup pintu, dan melakukan satu panggilan telepon yang paling penting. Alina menunggu di ruang keluarga, mondar-mandir di depan lukisan "Gadis di Tengah Badai", jantungnya berdebar-debar seirama dengan jarum jam di dinding.Setelah sekitar lima belas menit, Damian keluar. Wajahnya tenang, namun matanya berkilat dengan energi seorang predator yang telah mengunci targetnya. "Sudah diatur,"

  • Sang Pewaris Yang Terlupakan    29. Membongkar Sandi Sang Ayah

    Perjalanan kembali dari perpustakaan kecil di Puncak terasa sangat berbeda dari perjalanan berangkat. Jika sebelumnya udara di dalam mobil dipenuhi oleh gema melankolis dari masa lalu, kini udara itu berderak dengan energi antisipasi yang tajam. Mereka tidak lagi mencari kenangan; mereka sedang dalam perburuan aktif. Kode yang tertera di foto ponsel Damian SDB.J07.C11.H28 terasa seperti detak jantung dari misi mereka, sebuah teka-teki yang menuntut untuk dipecahkan.Damian tidak langsung membawa mereka kembali ke Jakarta. Prediktabilitas adalah kemewahan yang tidak mereka miliki, terutama dengan asumsi bahwa Karta mungkin mengawasi pergerakan mereka. Atas perintahnya, Rendra telah memesan sebuah vila privat yang terpencil di kawasan Gadog, sebuah benteng sementara yang mewah dengan keamanan tingkat tinggi. Di sanalah, jauh dari potensi mata-mata di mansion Jakarta, mereka akan mencoba membongkar pesan terakhir Hendra Larasati.Vila itu modern dan terisolasi, dikeli

  • Sang Pewaris Yang Terlupakan    28. Perjalanan ke Harta Karun Terakhir

    Kabar tentang perpustakaan kecil di Puncak mengubah seluruh energi di dalam mansion Adhitama. Keheningan yang berat dan fokus strategis yang dingin kini digantikan oleh sebuah urgensi yang berderak, sebuah antisipasi yang nyaris tak tertahankan. Mereka telah menemukan sebuah titik di peta harta karun ayah Alina."Kita berangkat sekarang," kata Damian pagi itu, bahkan sebelum Alina sempat menanyakan rencananya. Tidak ada keraguan dalam suaranya. Ia tidak akan mengirim Rendra atau timnya. Ini adalah sebuah misi yang terlalu personal, terlalu penting untuk didelegasikan.Mereka meninggalkan rumah bukan dengan Mercedes hitam yang biasa, melainkan dengan sebuah SUV mewah yang tidak terlalu mencolok. Damian sendiri yang mengemudi. Ia telah menanggalkan setelan CEO-nya, menggantinya dengan kemeja polo dan celana kasual. Alina pun melakukan hal yang sama, memilih blus sederhana dan celana panjang. Mereka tidak lagi terlihat seperti Tuan dan Nyonya Adhitama yang akan mengha

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status