Share

Topeng Sempurna Seorang Calon Istri

Author: Ethan Zachary
last update Huling Na-update: 2025-06-15 23:39:27

Perjalanan menggunakan taksi menuju Hotel Mahameru terasa seperti melintasi dua dunia yang berbeda. Alina menatap ke luar jendela, matanya menyapu gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang menusuk angkasa, bermandikan cahaya neon yang gemerlap. Pemandangan yang sama yang ia lihat dari lobi Menara Adhitama dengan tatapan penuh kebencian, namun kini perspektifnya berbeda. Malam ini, ia bukan lagi hantu pembersih yang tak terlihat. Ia adalah seorang tamu yang diundang ke puncak salah satu menara itu, sebuah langkah pertama dalam misi infiltrasinya. Ia merapikan gaun biru malam yang terasa asing namun nyaman di kulitnya, menarik napas dalam-dalam, dan memasang topeng pertamanya: topeng ketenangan.

Hotel Mahameru menjulang seperti sebuah monolit kaca dan baja yang megah, sebuah simbol kekayaan yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya. Seorang petugas membukakan pintu taksi untuknya dengan sigap, memberinya salam hormat yang sudah lama tidak ia terima. Alina membalasnya dengan anggukan kecil yang sopan, sebuah gestur yang ia latih di depan cermin retaknya. Ia melangkah keluar dengan gerakan yang diatur agar tampak anggun namun sedikit canggung, seolah tidak terbiasa dengan kemewahan seperti ini. Aktingnya harus sempurna sejak detik pertama.

Ia berjalan melintasi lobi yang luas, di bawah lampu kristal raksasa yang membiaskan cahaya menjadi ribuan pelangi kecil. Aroma bunga lili dan teh putih yang samar menyambutnya aroma yang familier dari kehidupan masa lalunya. Dulu, aroma ini berarti rumah. Kini, aroma ini adalah medan perang. Ia tidak merasa kagum atau terintimidasi. Sebaliknya, ia merasakan gelombang tekad yang dingin. Ia bukan gadis desa yang tersesat di kota besar; ia adalah seorang putri yang menyamar untuk merebut kembali kerajaannya yang telah dirampok.

Lift pribadi menuju penthouse suite melesat naik tanpa suara, membawanya semakin tinggi, menjauh dari hiruk pikuk jalanan di bawah. Setiap lantainya terasa seperti satu langkah menjauhi identitas lamanya sebagai petugas kebersihan. Saat pintu lift terbuka di lantai teratas, Rendra sudah menunggunya dengan ekspresi yang sama datarnya seperti pagi tadi.

"Selamat malam, Nona Larasati. Tuan Adhitama sudah menunggu Anda," katanya, lalu mempersilakan Alina masuk dengan gestur formal.

Alina melangkah ke dalam sebuah ruangan yang luasnya mungkin melebihi seluruh lantai bawah gedung kosnya. Dindingnya nyaris seluruhnya terbuat dari kaca, menyajikan pemandangan 180 derajat kota Jakarta yang terhampar seperti permadani permata di bawah kaki mereka. Perabotannya minimalis namun jelas berharga fantastis—sofa kulit berwarna gading, meja kopi dari marmer hitam pekat, dan sebuah lukisan abstrak raksasa yang mendominasi satu dinding. Tidak ada foto, tidak ada pernak-pernik pribadi. Ruangan ini terasa seperti markas seorang jenderal, bukan sebuah rumah. Dingin, berkuasa, dan impersonal. Sangat cocok dengan pemiliknya.

Dan di sana, di depan jendela terbesar, berdiri sang jenderal.

Damian Adhitama membelakanginya, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana kain berwarna arang. Ia tidak mengenakan jas, hanya kemeja putih dari bahan terbaik yang lengannya digulung hingga ke siku, memperlihatkan jam tangan mewah dan lengan yang kokoh. Ia menatap ke bawah, ke kerlip lampu kota, seolah sedang mengamati papan catur raksasa miliknya.

Alina berhenti beberapa langkah di belakangnya, menunggu dengan sabar. Jantungnya berdebar kencang, sebuah genderang perang yang hanya bisa ia dengar sendiri. Ia memaksa dirinya untuk rileks. 'Kau bukan di sini untuk menantang,' bisiknya dalam hati. 'Kau di sini untuk diterima. Tunjukkan padanya apa yang ingin ia lihat: seorang gadis miskin yang terpesona oleh kekayaan dan sedikit takut oleh kekuasaannya.'

Akhirnya, setelah terasa seperti satu keabadian, Damian berbalik. Matanya yang setajam obsidian itu memindai Alina dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ini bukan tatapan curiga, melainkan sebuah evaluasi yang dingin dan kalkulatif, seperti seorang kolektor yang menilai sebuah barang seni. Ada kilasan kepuasan yang sangat tipis di matanya saat melihat transformasi Alina. Ia jelas mengharapkan gadis kumuh, dan gaun yang ia kirimkan telah mengubah gadis itu menjadi sosok yang pantas berada di ruangannya. Baginya, ini adalah bukti pertama bahwa investasinya berhasil.

"Duduk," kata Damian, suaranya dalam dan berwibawa. Kali ini nadanya bukan perintah, melainkan sebuah arahan yang mengharapkan kepatuhan.

Alina mengikuti arahannya, memilih duduk di tepi sofa kulit yang terasa dingin. Ia sengaja tidak bersandar, menjaga postur tubuhnya tetap tegak namun sedikit kaku, memproyeksikan kegugupan.

"Saya lihat Anda menerima 'paket' dari saya," kata Damian, berjalan mendekat dan berdiri di hadapannya, menjulang tinggi. "Anda terlihat lebih... pantas."

Setiap kata adalah hinaan yang dibalut pujian. Alina menahan amarahnya. Ia menunduk sejenak, menatap tangannya yang ia tautkan di pangkuan, sebelum mengangkat wajahnya kembali. Ia memastikan matanya menunjukkan campuran rasa terima kasih dan gentar. "Terima kasih, Tuan Adhitama. Ini... sangat indah."

Sebuah senyum yang nyaris tak terlihat menyentuh bibir Damian. Ia puas. Kandidatnya penurut. "Rendra bilang Anda adalah kandidat yang paling tidak rumit. Yatim piatu, tidak punya koneksi, dan sangat membutuhkan uang. Kombinasi yang ideal untuk sebuah kesepakatan bisnis yang bersih."

Lagi-lagi, sebuah tamparan verbal. Alina merasakan darahnya mendidih. Namun, di wajahnya, ia membiarkan ekspresi terluka yang sekilas muncul. Ia menggigit bibir bawahnya pelan, sebuah akting penderitaan yang ia harap terlihat meyakinkan. "Saya mengerti posisi saya, Tuan," jawabnya dengan suara pelan, nyaris bergetar. "Saya hanya ingin memastikan... apa sebenarnya yang Anda inginkan dari saya?"

Damian tampak semakin yakin. Gadis ini persis seperti yang ia harapkan: pasrah dan langsung ke inti karena didesak oleh kebutuhan. "Saya suka efisiensi," katanya. Ia mengambil sebuah tablet dari atas meja, menampilkannya di hadapan Alina. Itu adalah draf kontrak yang tebal.

"Saya butuh seorang istri. Bukan untuk cinta, bukan untuk menemani saya hingga tua. Saya butuh istri di atas kertas selama tepat satu tahun," jelasnya, nadanya datar seperti seorang pengacara. "Tugas Anda adalah memerankan Nyonya Adhitama dengan sempurna. Menghadiri acara bisnis, makan malam keluarga, dan tersenyum di sisi saya. Anda akan tinggal di rumah saya, menggunakan nama saya, tapi kita akan menjalani hidup terpisah. Tidak ada sentuhan, tidak ada perasaan, tidak ada campur tangan urusan pribadi."

"Mengapa?" tanya Alina, suaranya tetap pelan.

"Kakek saya, pendiri Adhitama Corp, adalah seorang tradisionalis. Ia tidak akan menyerahkan kendali penuh atas beberapa aset keluarga paling vital sampai saya menikah dan menunjukkan citra yang stabil. Ada juga kesepakatan investor dari Timur Tengah yang terancam batal karena rumor tentang gaya hidup saya. Pernikahan ini adalah solusi bisnis."

Alasannya terdengar logis, namun Alina tahu itu hanyalah permukaan. Tapi ia tidak akan mendesak. Seorang gadis putus asa tidak akan banyak bertanya.

"Dan... kompensasinya?" tanyanya, seolah itulah satu-satunya hal yang ada di pikirannya.

"Lima ratus juta yang sudah Anda lihat adalah uang muka. Tunjangan bulanan seratus juta rupiah untuk biaya hidup dan penampilan. Dan di akhir kontrak satu tahun, jika Anda berhasil tanpa skandal dan menandatangani perjanjian kerahasiaan seumur hidup, Anda akan menerima pembayaran final sebesar sepuluh miliar rupiah."

Napas Alina tercekat. Kali ini bukan akting. Angka itu benar-benar membuatnya syok. Sepuluh miliar. Sebuah angka yang bisa mengubah segalanya. Itu adalah modal perangnya.

"Sebagai gantinya," lanjut Damian, matanya menyipit, "saya menuntut kepatuhan total. Kesetiaan mutlak pada sandiwara kita. Jika Anda membocorkan satu kata pun, kontrak batal, pembayaran dihentikan, dan saya akan memastikan Anda menyesalinya. Mengerti?"

Ancaman itu diucapkan dengan tenang, membuatnya semakin mengerikan.

Alina menatap draf di tablet itu, lalu kembali menatap Damian. Ini adalah momen krusialnya. Ia harus menunjukkan sedikit tulang punggung, agar tidak terlihat terlalu menyedihkan, namun tidak cukup untuk membuatnya curiga.

"Saya mengerti, Tuan," jawabnya. "Dan... bolehkah saya mengajukan satu syarat?"

Wajah Damian tidak berubah, namun ada jeda sesaat yang menunjukkan bahwa ia sedang menilai. "Syarat apa?"

Alina menelan ludah, memainkan perannya. "Syarat saya... sederhana," katanya dengan suara ragu-ragu. "Saya tahu Anda sudah memeriksa latar belakang saya dari data kepegawaian. Saya hanya meminta Anda untuk tidak menyelidikinya lebih jauh. Masa lalu saya... tidak ada apa-apanya. Hanya kenangan-kenangan sulit yang tidak ingin saya ungkit lagi." Ia berhenti, lalu menambahkan dengan suara lebih pelan, "Jika saya harus menjual masa depan saya selama setahun... izinkan saya menyimpan masa lalu saya yang menyedihkan itu untuk diri saya sendiri."

Permintaan itu dibingkai bukan sebagai sebuah tuntutan, melainkan sebagai sebuah permohonan untuk menjaga secuil harga diri yang tersisa. Itu adalah permintaan yang akan dipandang oleh seorang pria arogan seperti Damian sebagai hal yang sepele dan sentimental.

Dan benar saja, Damian tertawa kecil. Tawa yang dingin dan tanpa humor, penuh dengan rasa superioritas.

"Permintaan yang adil," katanya, seolah sedang menghibur seorang anak kecil. "Saya tidak tertarik dengan cerita sedih seorang petugas kebersihan. Saya hanya peduli pada performa Anda sebagai Nyonya Adhitama. Anggap saja permintaan Anda dikabulkan. Rendra, tambahkan klausul tentang privasi masa lalu Nona Larasati, sebutkan bahwa perusahaan tidak akan melakukan penyelidikan lebih lanjut selama kontrak berjalan."

Rendra, yang sejak tadi berdiri diam di sudut, mengangguk. "Baik, Tuan."

Beberapa saat kemudian, draf final sudah siap. Rendra menyerahkan sebuah pena digital kepada Alina. Tangan Alina terasa dingin, namun ia berhasil menjaganya agar tidak gemetar saat menandatangani namanya. Alina Larasati. Dengan satu goresan, ia telah menjual dirinya. Dengan satu goresan, ia telah secara resmi menjadi mata-mata di jantung pertahanan musuh.

"Selamat datang di keluarga Adhitama, Nyonya Adhitama," kata Damian. Kali ini, ia tidak terdengar posesif, melainkan seperti seorang pemilik perusahaan yang baru saja meresmikan aset barunya. "Mulai besok, Rendra akan menjemput Anda. Hidup Anda yang lama sudah berakhir."

"Baik, Tuan Adhitama," bisik Alina, menundukkan kepalanya sebagai tanda kepatuhan.

Ia bangkit, merasa lega sekaligus ngeri. Misi berhasil. Ia telah lolos dari pemindaian pertama tanpa menimbulkan kecurigaan sedikit pun.

Saat ia berjalan menuju pintu, suara Damian menghentikannya. "Satu hal lagi."

Alina berbalik perlahan, jantungnya kembali berdebar.

Mata Damian tidak lagi menatap wajahnya, tetapi tertuju pada lehernya. Pada liontin emas kecil berbentuk bunga matahari peninggalan ibunya, yang menggantung di balik kerah gaunnya.

Seketika, rasa panik yang dingin menjalari Alina. Namun ia berhasil menekannya.

"Liontin itu," kata Damian, nadanya datar dan kritis. "Itu perhiasan murahan. Tidak akan cocok dengan citra Nyonya Adhitama. Mulai besok, semua perhiasan dan aksesori Anda akan disediakan. Pastikan Anda tidak memakainya lagi saat tampil di depan umum."

Bukan kecurigaan. Bukan rasa penasaran. Hanya penghinaan murni. Ia melihat satu-satunya harta paling berharga milik Alina sebagai sampah yang harus disingkirkan.

Rasa sakit yang tajam menusuk hati Alina, namun di saat yang bersamaan, api dendamnya berkobar lebih panas dari sebelumnya. Ia berhasil. Damian sama sekali tidak melihatnya sebagai ancaman. Ia hanya melihat seorang gadis miskin yang perlu dipoles.

Alina menatap lurus ke arah Damian, membiarkan sedikit rasa sakit terlihat di matanya sebuah sentuhan akhir pada penampilannya. "Baik, Tuan Adhitama," jawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melangkah keluar dari penthouse itu, meninggalkan Damian Adhitama sendirian di dalam sangkar emasnya, sepenuhnya yakin bahwa ia telah membuat keputusan bisnis yang cerdas dan tanpa risiko. Ia tidak tahu bahwa ia baru saja menyerahkan kunci kerajaannya kepada Ratu yang menyamar sebagai pion.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jebakan Istri Kontrak : Sang Pewaris Yang Terlupakan    Pelajaran Bertahan Hidup

    Perjalanan pulang diselimuti oleh keheningan yang lebih pekat dan lebih berat daripada keheningan mana pun yang pernah Alina rasakan. Kata-kata terakhir Damian tidak ada yang namanya kebetulan yang sempurna menggantung di udara di antara mereka, berputar-putar di benak Alina seperti racun yang bekerja lambat.Kemenangannya terasa hampa, berubah menjadi abu di mulutnya. Ia telah mengerahkan seluruh kecerdasan dan kontrol dirinya untuk menciptakan sebuah fasad yang tanpa cela, hanya untuk menyadari bahwa kesempurnaan itu sendiri adalah sebuah kesalahan fatal. Di mata seorang tiran paranoid seperti Karta Adhitama, kesempurnaan bukanlah sebuah keunggulan, melainkan sebuah anomali yang harus diselidiki. Rasa takut yang dingin, yang berbeda dari keputusasaan yang pernah ia rasakan, mulai merayapinya. Rencananya terlalu berhasil, dan kini ia menjadi target. Ini bukan lagi sekadar permainan sandiwara; ini adalah permainan bertahan hidup di bawah tatapan seorang algojo."Lalu apa yang Anda ing

  • Jebakan Istri Kontrak : Sang Pewaris Yang Terlupakan    Pertunjukan yang Berbahaya

    Perjalanan menuju kediaman utama keluarga Adhitama terasa seperti perjalanan menuju tiang gantungan. Mercedes hitam itu melaju dengan senyap di tengah gemerlap lampu malam Jakarta, namun di dalam kabin, keheningan terasa berat dan menyesakkan. Alina duduk tegak lurus, kedua tangannya terkepal di pangkuannya di balik tas tangan mungilnya. Gaun safirnya terasa seperti baju zirah, namun ia ragu apakah itu cukup tebal untuk melindunginya dari tatapan pria yang telah merenggut segalanya. Di benaknya, ia melatih kembali semua data yang telah ia kumpulkan, mengubah kecemasan menjadi fokus yang tajam.Damian tidak mengatakan sepatah kata pun sejak mereka meninggalkan rumah. Matanya lurus menatap ke depan, rahangnya mengeras. Ia tampak seperti seorang jenderal yang akan memasuki pertempuran yang tidak ia inginkan. Alina bisa merasakan ketegangan yang menguar darinya. Ini bukan sekadar makan malam keluarga; ini adalah sebuah inspeksi. Inspeksi terhadap aset baru Damian, yaitu dirinya.Beberapa

  • Jebakan Istri Kontrak : Sang Pewaris Yang Terlupakan    Persiapan Menuju Sarang Singa

    Malam itu, Alina tidak tidur. Ditemani oleh cahaya biru dari layar laptop canggih pemberian Damian, ia terjun ke dalam lautan data yang merupakan jejak digital keluarga Adhitama. Kamar mewah yang seharusnya menjadi tempat istirahat kini telah ia sulap menjadi pusat komando rahasia. Kelelahan fisik tidak ia rasakan; yang ada hanyalah adrenalin dingin yang mempertajam setiap inderanya, sebuah fokus yang lahir dari dendam yang telah ia pupuk selama lima tahun. Ia bekerja dengan metodis, menggunakan alat yang diberikan musuhnya untuk merancang kehancurannya. Ironi itu memberinya kekuatan. Fajar menyingsing di ufuk timur, mewarnai langit Jakarta dengan semburat oranye dan ungu. Alina akhirnya menutup laptopnya beberapa saat sebelum para pelayan memulai aktivitas pagi mereka. Matanya terasa panas dan perih, namun benaknya penuh dengan amunisi baru. Ia telah membersihkan semua jejak aktivitasnya, menghapus cache dan riwayat dengan protokol yang telah ia pelajari, memastikan benteng digital

  • Jebakan Istri Kontrak : Sang Pewaris Yang Terlupakan    Retakan di Dinding Es

    Ruang makan itu sama megahnya dan sama dinginnya dengan seluruh bagian rumah ini. Sebuah meja kayu panjang yang dipernis hingga mengilap terbentang di tengah ruangan, mampu menampung puluhan tamu. Namun malam ini, hanya ada dua orang yang duduk di sana, di kedua ujung meja yang berlawanan, dipisahkan oleh jarak yang terasa seperti jurang tak terseberangi. Keheningan menjadi tamu ketiga yang paling dominan.Para pelayan bergerak tanpa suara, menyajikan hidangan pembuka, hidangan utama, dan hidangan penutup dengan efisiensi robotik. Hanya suara denting perak di atas porselen yang memecah keheningan yang canggung. Alina makan dengan perlahan, setiap gigitan terasa hambar di mulutnya. Ia bisa merasakan tatapan Damian padanya dari ujung meja, sebuah pengawasan yang konstan, namun berbeda dari yang ia rasakan di perpustakaan. Ini bukan tatapan yang menyelidik, melainkan tatapan yang mengamati, seolah sedang mempelajari spesimen langka yang baru ia peroleh.Alina mempertahankan personanya: s

  • Jebakan Istri Kontrak : Sang Pewaris Yang Terlupakan    Ujian Pertama

    Pagi datang menembus celah-celah jendela kamar kos Alina, membawa serta bau debu dan kenyataan yang menusuk. Semalam bukanlah sebuah mimpi surealis. Di atas meja kayunya yang reyot, tergeletak draf kontrak yang telah ia tandatangani. Ponsel tuanya menampilkan notifikasi dari aplikasi perbankan, menunjukkan saldo sebesar lima ratus juta rupiah di rekening darurat yang ia buka beberapa tahun lalu. Angka itu terasa begitu asing, sebuah anomali di tengah kemiskinan yang telah menjadi kulit keduanya selama lima tahun terakhir. Uang darah, pikirnya getir. Uang yang dibeli dengan harga dirinya.Alina tidak membuang waktu. Dengan gerakan yang efisien dan tanpa emosi, ia mulai berkemas. Prosesnya berlangsung singkat dan menyedihkan, sebuah ringkasan tragis dari kehidupannya. Seluruh harta miliknya—beberapa setel pakaian lusuh, seragam kerjanya yang biru pudar, sebuah novel dengan sampul lecek, dan satu-satunya benda berharga, foto kecil berbingkai perak kedua orang tuanya yang tersenyum—muat d

  • Jebakan Istri Kontrak : Sang Pewaris Yang Terlupakan    Topeng Sempurna Seorang Calon Istri

    Perjalanan menggunakan taksi menuju Hotel Mahameru terasa seperti melintasi dua dunia yang berbeda. Alina menatap ke luar jendela, matanya menyapu gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang menusuk angkasa, bermandikan cahaya neon yang gemerlap. Pemandangan yang sama yang ia lihat dari lobi Menara Adhitama dengan tatapan penuh kebencian, namun kini perspektifnya berbeda. Malam ini, ia bukan lagi hantu pembersih yang tak terlihat. Ia adalah seorang tamu yang diundang ke puncak salah satu menara itu, sebuah langkah pertama dalam misi infiltrasinya. Ia merapikan gaun biru malam yang terasa asing namun nyaman di kulitnya, menarik napas dalam-dalam, dan memasang topeng pertamanya: topeng ketenangan.Hotel Mahameru menjulang seperti sebuah monolit kaca dan baja yang megah, sebuah simbol kekayaan yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya. Seorang petugas membukakan pintu taksi untuknya dengan sigap, memberinya salam hormat yang sudah lama tidak ia terima. Alina membalasnya dengan angguka

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status