Bab 4

Alih-alih menekan tombol jeda, dia justru menekan tombol lain pada remotku. Sebuah pola getaran baru yang jauh lebih gila.

Mana mungkin aku sanggup menahannya? Tubuhku seketika menggeliat karena rangsangan yang hebat. Namun, dia justru mengimpitku lebih erat, bahkan tidak membiarkanku bergerak sedikit pun.

Secara otomatis, aku ingin mendesah dengan keras. Namun, karena takut ketahuan orang lain, aku hanya bisa mengatupkan bibir rapat-rapat.

Dia menunduk, mendekatkan wajahnya ke telingaku. Lalu dengan napas yang panas, dia membisikkan kata, "Kalau nggak mau ketahuan, buka kakimu ...."

Suara rendahnya seolah menyihirku. Aku gemetar karena gairah, dan perlahan-lahan mulai membuka kedua kaki jenjangku yang mulus.

"Benar-benar nggak bisa ... ini mau jatuh keluar."

"Kumohon, jangan diteruskan. Hentikan sekarang ...."

Aku terkulai lemas di dadanya yang bidang, memohon dengan suara rendah. Namun, karena tubuhku yang gemetar hebat, permohonan itu justru terdengar seperti godaan yang manja.

Saat ini, aku tak ubahnya seperti seekor kelinci putih kecil yang berada di dalam cengkeraman serigala besar. Perlawananku sia-sia, nasibku sepenuhnya berada di tangannya.

Namun, dia tidak memedulikanku. Telapak tangannya yang hangat masih terus meremas sepasang gundukan dadaku.

Aku bisa mendengar detak jantungnya yang kuat kian bertambah cepat. Getarannya membuat kepalaku pening!

Lambat laun, aku kehilangan kemampuan untuk berpikir. Seluruh tubuhku terasa lunglai dan mati rasa. Aku hanya bisa merasakan sensasi gila yang terus berdenyut di bawah sana.

Aku benar-benar sudah mencapai batasku .....

Aku hampir tidak kuat lagi menjepit benda itu. Secara tidak sadar, aku ingin merapatkan kembali kakiku.

Namun, entah sejak kapan, kaki pria di depanku sudah menyelinap di antara kedua kakiku. Seluruh tubuhnya menekan berat ke arahku hingga aku tidak bisa berkutik.

"Apa sebenarnya maumu?"

"Kumohon, bantu aku mematikannya ... aku sudah nggak kuat menjepitnya!"

Rangsangan itu datang seperti gelombang pasang yang menderu. Gelombang demi gelombang menelan akal sehatku hingga tak bersisa.

Aku hanya mengandalkan naluri untuk merapatkan kaki, berusaha keras agar si "kecil merah jambu" yang nakal itu tidak merosot keluar.

"Sudah nggak tahan lagi?"

"Kalau mau aku membantumu, buka kancing mantelmu dengan tanganmu sendiri. Tenang saja, aku nggak akan membiarkan orang lain melihatnya."

Dia menempel erat pada tubuhku dan mengajukan syarat yang sangat tidak masuk akal.

Aku mendongak, hanya bisa melihat tatapan matanya yang penuh dominasi dan jakunnya yang naik-turun.

Sisa akal sehatku memperingatkan bahwa aku tidak boleh mengekspos diriku sepenuhnya di depan pria asing ini. Namun di dalam hati, ada secercah harapan yang tersembunyi.

Aku sudah hampir kehilangan kendali karena gairah yang meluap!

"Kamu keterlaluan sekali ...."

Protesku hanya keluar dalam bentuk gumaman mesra. Meski hatiku enggan, tetapi tanganku justru bergerak patuh membuka satu per satu kancing mantelku.

Pada saat itu, wajahku memerah karena malu yang luar biasa. Tubuhku gemetar penuh antusias saat menikmati tatapannya yang terpaku padaku.

"Kamu benar-benar nggak memakai apa-apa, ya."

Tatapannya berubah terkejut dan deru napasnya pun semakin berat.

Astaga.

Aku bahkan tidak berani membayangkan betapa erotisnya posisiku saat ini.

Aku pun mulai berfantasi secara liar. Bagaimana jika orang-orang di sekitar tiba-tiba menoleh? Mereka pasti akan menemukan semua rahasia terlarangku.

Sensasi melakukannya di depan umum seperti ini, jauh melampaui dugaanku. Kenikmatan yang kurasakan mencapai puncaknya pada saat ini!

"Ah! Cepat hentikan, ini mau merosot keluar ...."

Aku mengerang halus, hampir menangis.

Saat aku menunduk, aku melihat jari-jarinya sedang bergerak menuju celah di antara kedua kakiku...