“Apa maumu?” Mentari memberanikan diri bertanya.“Mengantarmu pulang.” “Siapa kau?”Tidak menjawab, pria itu lantas mendorong Mentari untuk melangkah. Tangannya turun ke pinggang Mentari dan melingkar dengan posesif. Mempertimbangkan berbagai risiko yang akan didapat, Mentari memilih untuk mengikuti arahan pria itu tanpa berteriak. Mereka berjalan keluar dari kelab seperti sepasang kekasih. Sampai tiba di depan sedan berlogo kuda jingkrak di pelataran parkir khusus, pria itu baru melepaskan tangannya dari pinggang Mentari. Dengan sopan pria itu membukakan pintu mobilnya untuk Mentari. “Silakan.” Pria itu mempersilakan Mentari masuk.“Tidak,” tegas Mentari, “aku membawa mobil sendiri.”“Biarkan saja mobilmu di sini. Nanti orangku akan mengantarkannya ke rumahmu.”“Aku tidak pergi dengan orang asing. Maaf, aku harus pergi.” Mentari berbalik, tapi pria itu berhasil mencekal tangannya. Mentari berbalik lagi dan menatap pria itu dengan tatapan geram. “Dengar, … siapa pun namamu. Kau tida
Wajah Lucian tampak tak berekspresi, datar. Ia tidak terpengaruh oleh ketidakramahan dan ucapan Rakhan. “Apa maksudmu, Nak?” tanyanya.“Kenapa Anda begitu terobsesi untuk menjadikanku menantu?” “Terobsesi?” Lucian tertawa selama beberapa saat setelah mendengar pertanyaan Rakhan. “Pilihan kata yang lucu. Tapi, memang benar aku ingin sekali menjadikanmu menantu.”“Kenapa harus aku? Ada perjanjian apa antara Anda dengan Ayah?”“Tidak ada,” tegas Lucian, “aku hanya ingin kau yang menjadi suami Mentari. Bukan yang lain.”“Alasannya?”“Karena hanya kau yang bisa menjaga Mentari.”“Kalau begitu, Anda tidak butuh menantu, tapi seorang bodyguard.”“Betul sekali. Aku butuh seseorang yang bisa menjaga Mentari dan kau satu-satunya orang yang bisa melakukan itu.”Rakhan menyatukan alis. Matanya yang menyipit mengekspresikan rasa heran dan terkejutnya. “Kenapa Anda yakin sekali kalau aku bisa menjaga putri Anda. Aku bahkan tidak pernah tahu dan mengenal Mentari sebelum aku dan dia menikah, begitup
“Mau ke mana?” Rakhan bertanya dengan suara sedikit berat dan ditahan. “Keluar.”“Ini kamarmu. Atau, kau mau kita ke kamarku?”Mentari terperanjat. Ia spontan menatap Rakhan. Tiba-tiba saja ia butuh minum karena tenggorokannya terasa mengering. Aroma citrus yang kemudian melintasi cuping hidungnya menciptakan denyut pusing. Rakhan mulai membuat Mentari kehilangan konsentrasi. Pria itu handal membuat dirinya mabuk kepayang walau hanya dengan tatapan.“Aku tidak mau berada di sini kalau kau tidak keluar.” Mentari berlagak tidak terpengaruh oleh keberadaan Rakhan.Rakhan menjalin jemarinya ke jemari Mentari dan menggenggamnya erat. “Aku mau keluar ....” Rakhan terdiam sejenak, lalu melanjutkan lagi ucapannya dengan nada tegas. “Di dalammu.”“Apa?!” Kerutan terbentuk di antara Alis Mentari. Ia berusaha memahami ucapan Rakhan dan ... Mentari menunduk sambil memijat dahinya. “Kau sungguh mesum.”Tanpa Mentari sadari satu tangan Rakhan sudah melingkar ke pinggang dan merayap di punggungnya.
Bagi Mentari, sikap Rakhan malam itu tidak berbeda dengan sikap Rakhan di awal pernikahan mereka. Sempat lumer dan sedikit memberikan perhatian, ternyata semua itu hanya Rakhan lakukan untuk bisa mengetahui situasi dan memanfaatkan keluguannya. Semalaman kepala Mentari dipenuhi oleh prasangka dan keraguan. Meskipun akhirnya ia bisa tidur pulas, tetapi bayangan peristiwa manis bersama Rakhan yang dipahitkan tetap menggerogoti jiwanya.Terik matahari menyengat kota dan seluruh penduduknya di awal Agustus. Ucapan Lucian mengenai kekhawatiran Mentari akan laporan Edo kepada pihak polisi terbukti benar. Baik Mentari maupun Rakhan tidak satu pun dari mereka yang menerima surat panggilan dari pihak berwenang tersebut. Mentari tidak merasa senang, apalagi tenang. Ia merasa ada sesuatu yang sedang bergerak, merangkak, merancang sesuatu, dan bersembunyi dari pandangannya dan semua orang. Mentari hanya bisa menebak-nebak. Di sisi lain, Mentari harus rela kebebasannya terkekang lantaran setelah
“Dari mana kau?” Pertanyaan bernada dingin terlontar dari bibir Rakhan ketika Mentari baru saja memasuki ruang keluarga. Pria itu tampak sedang duduk di sofa berbentuk setengah lingkaran sambil menyilangkan kaki dan bersedekap. Tatapannya menjelajah wajah Mentari sampai ia menemukan sembap di mata wanita itu. “Apa kau menangisi dia lagi?” tanya Rakhan lagi dan tidak memberikan kesempatan pada Mentari untuk menjawab pertanyaan pertamanya.“Bukan urusanmu.” Mentari tidak memedulikan interogasi Rakhan. Wanita itu bergegas meninggalkan ruangan dan berjalan cepat menuju tangga.Pengabaian Mentari berhasil memancing rasa kesal Rakhan untuk menyeruak. Pria itu bangkit dari duduknya, lalu mengejar Mentari dengan langkah yang cepat. Rakhan mencekal tangan Mentari sebelum ia menaiki anak tangga sekaligus menghentikan langkahnya. “Aku sedang bicara dengan kau, Tari.” Rakhan berbicara dengan suara yang sengaja ditekan dan terdengar sedikit berat.Nada bicara Rakhan yang memberi kesan mengintimid
“Apa?!” Mata Rakhan menyipit sementara air mukanya mendadak tampak mengeras. Dalam hitungan detik, keterkejutan sukses melenyapkan arogansi yang menjadi ciri khasnya. “Ayah tidak bercanda, ‘kan?”Handoko menggeleng. “Ayah tidak sedang bercanda, Rakhan. Mungkin sudah saatnya kau tahu bahwa sebenarnya Lucian Sagara adalah ayah kandungmu.”“Kenapa Ayah baru menceritakan semua ini padaku sekarang?”Handoko mengembus napas. Pundaknya melorot seiring rasa sesal yang mulai tergambar di wajahnya. Pria tua itu menatap Rakhan dengan seksama. “Ayah sudah mengkhianati Lucian dengan menceritakan semua ini kepada engkau, Nak. Namun, Ayah tidak tahan kau terus menghina ayah kandungmu sendiri.”“Mengkhianati bagaimana?” irama penuh kuriositas terlontar dari pertanyaan Rakhan. Raut wajah pria itu tampak tegang lantaran tidak sabar mendengar jawaban Handoko.“Lucian tidak ingin kau tahu bahwa dia adalah ayah kandungmu. Dia ingin kau hidup jauh dari dunianya agar kau tetap aman dan tidak terbebani denga
Rakhan bangkit dari duduknya. Ia meninggalkan memo agar minumannya dan Drew dimasukkan ke dalam tagihannya sebagai member eksklusif Club bar tersebut. Di tengah langkahnya berjalan cepat ke pelataran parkir, Rakhan memberitahu Drew bahwa dirinya meninggalkan bar dan akan mencari Mentari melalui pesan singkat.“Sialan! Kenapa nggak diangkat sih HP-nya?” kesal Rakhan sembari melajukan mobilnya keluar dari pelataran parkir bar. Dari balik kemudi, Rakhan berusaha keras membagi konsentrasi terhadap keramaian jalan di gelap malam dan juga ponsel. Rakhan tidak berhenti berfokus pada salah satunya. Ia terus berusaha menghubungi ponsel Mentari dan juga si pengawal. Di saat yang sama kewaspadaannya akan padatnya lalu lintas pun terus ia lakukan. Sialnya, baik Mentari maupun si pengawal tetap tidak mengangkat panggilan telepon darinya. Perasaan Rakhan semakin kalut, bagaimanapun ia tidak bisa membiarkan hal buruk terjadi pada Mentari. Selain dari itu, hasrat ingin menjaga Mentari yang Rakhan ra
“Aku peduli kepadamu dan tidak bermaksud mengekang,” tukas Rakhan. Rasa bersalah mengalir deras di dalam dirinya. Ia sukses mengacau lagi. Dua kali dalam sehari ia telah memulai perang mulut dengan Mentari. “Aku capek,” keluh Mentari sembari menangis. Tubuh dan tangannya mulai gemetar menahan rasa pedih yang kembali menyelimuti.Melihat reaksi Mentari, Rakhan meraih mangkuk asinan buah dari tangan wanita itu, lalu meletakkannya di atas bangku kayu. Ia kemudian memeluk Mentari. “Aku tahu apa yang kau rasakan. Aku melakukan semua ini karena aku sungguh-sungguh peduli kepadamu. Aku tidak ingin kau mengalami hal buruk yang mungkin saja bisa terjadi.”“Jika semua ini hanya alasanmu, tolong jangan bilang kau sungguh peduli. Selama ini tidak ada yang pernah benar-benar peduli dan sayang kepadaku, bahkan papaku pun tidak. Hanya Arya yang sungguh-sungguh peduli dan mencintaiku, tapi sekarang dia sudah pergi. Dia pergi, mungkin meninggal, dan akulah pembunuhnya.” Mentari terisak-isak dalam dek