Ivy melangkah menuju kamar dengan tubuh lunglai. Ia benar-benar kehabisan tenaga, baik secara fisik maupun mental. Begitu membuka pintu, matanya langsung menangkap sosok Evan yang tengah berbaring di ranjang, sibuk memainkan ponselnya seolah tak terjadi apa pun. Ivy segera mendekat ke ranjang dengan langkah tegap. Setelah berdiri di samping Evan, ia menatap tajam pria itu yang masih acuh dengan kehadirannya. “Aku mau lihat berkas yang baru aja ditandatangani Vania dan Galih!” seru Ivy dengan penuh tekanan. Evan melirik sekilas ke arah Ivy lalu kembali menunduk menatap layar ponselnya. Ivy mengatupkan rahangnya, menahan amarah. “Jadi kamu beneran minta Vania buat nggak boleh ketemu sama aku lagi selamanya?” tanyanya dengan nada sinis. Evan mengangkat kepala, menatap Ivy dengan pandangan datar. “Iya. Kenapa?” balasnya. “Kenapa sih harus ada perjanjian kayak gitu?” Ivy mengerutkan kening, tak habis pikir. Evan mengubah posisinya menjadi duduk lalu menatap Ivy tajam. “Kamu masih ng
Tak ingin terlihat berantakan di depan tamu, Ivy mengambil lipstik dari meja rias dan mengoleskannya perlahan. Ia juga menepuk-nepukkan sedikit bedak ke wajahnya agar tidak tampak pucat.Setelah merasa cukup rapi, ia keluar dari kamar dan menuruni tangga dengan langkah hati-hati. Dari kejauhan, Ivy bisa melihat Evan yang sedang duduk di sofa. Ia juga melihat Vania yang duduk di depannya dengan seorang pria di sampingnya. Kenapa ada Vania juga? Terus pria itu siapa? Tanya Ivy dalam hati. Rasa penasaran mendorongnya mempercepat langkah. Begitu mendekat, Evan melirik ke arahnya dan memberi isyarat halus agar Ivy duduk di sampingnya.Namun saat Ivy tiba di dekat sofa, matanya membelalak.Wajah Evan penuh luka dan memar. Sudut bibirnya sobek dan ada sedikit bengkak di bawah mata kirinya, terlihat seperti bekas luka karena berkelahi. “Muka kamu kenapa?” tanya Ivy sambil menyentuh wajah Evan secara refleks. Ia menatap Evan penuh kecemasan.“Aish,” gerutu Evan pelan, sedikit mengelak karen
Di dalam kamar, Ivy memandangi sebuah buku yang diberikan oleh Eli. Ia merasa enggan untuk membukanya. Namun, saat teringat betapa bersemangat ibu mertuanya mendorongnya untuk pergi bulan madu bersama Evan, Ivy akhirnya memutuskan untuk mempertimbangkannya.Dengan ragu, Ivy mengambil buku bersampul gambar siluet sepasang kekasih yang bergandengan tangan di pantai saat matahari terbenam. Judulnya tertulis dengan huruf emas mengilap: The Honeymoon Guide: Plan the Perfect Romantic Getaway. Membaca judulnya saja sudah membuat kepala Ivy pening.Ivy membuka halaman pertama dan mulai membaca bab satu yang berjudul: Why Your Honeymoon Matters (Mengapa Bulan Madu Itu Penting).“Bulan madu bukan sekadar liburan.Ia adalah jeda dari riuhnya dunia, tempat dua hati yang telah berjanji memilih untuk berhenti sejenak, saling menatap, dan berkata, ‘kita ada di sini, bersama.’Bukan tentang mewahnya hotel atau indahnya pantai, tapi tentang bagaimana dua jiwa menemukan rumah dalam satu pelukan.Karena
Ivy membuka pintu kamar Vania dengan perlahan. Di dalam, terlihat Vania tengah duduk di atas ranjang, menatap kosong ke arah jendela.“Aku boleh masuk?” tanya Ivy lembut dari ambang pintu.“Tentu. Ini kan rumah kamu,” jawab Vania tanpa menoleh.Ivy melangkah masuk, membawa sepiring nasi dan semangkuk sop ayam yang masih mengepul hangat.“Ini dimakan dulu, ya,” ucapnya seraya meletakkan makanan di meja kecil di samping ranjang.Vania menoleh, menatap Ivy dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ivy menangkap tatapan itu dan mengernyit pelan, kebingungan.“Kenapa? Kok kayak mau nangis?” tanyanya pelan.Vania menggigit bibirnya lalu berkata lirih, “Kamu kenapa sih masih baik sama aku? Padahal aku udah jahat banget ke kamu.”Ivy menghela napas pelan. Ia duduk di pinggir ranjang lalu menatap Vania dengan tatapan tenang.“Kamu udah jujur aja aku udah senang, kok. Akhirnya aku nggak penasaran lagi sama semuanya,” kata Ivy.Ucapan itu membuat hati Vania semakin terenyuh. Ia merasa bersalah, tapi
Pagi masih gelap ketika Ivy terbangun dengan perasaan panik. Begitu membuka mata, ia langsung melirik ke samping dan Evan tidak ada di sana. Buru-buru Ivy mengenakan sweater tipis dan sandal rumah lalu berjalan cepat menyusuri lorong rumah. Matanya menyapu setiap sudut, berharap menemukan sosok Evan di ruang tamu atau balkon. Tapi nihil.Ivy kemudian pergi ke dapur untuk menanyakan kepada pelayan, barangkali melihat keberadaan Evan. “Permisi, ada yang liat Mas Evan ngga?” tanya Ivy begitu sampai di dapur.“Tadi saya liat tuan ada di kolam renang nyonya,” jawab salah satu pelayan. “Kolam renang? Oh, makasih ya,” Ivy pun segera berjalan menuju kolam renang. Begitu sampai di dekat kolam, langkah Ivy melambat. Dari kejauhan, ia melihat Evan sedang duduk di kursi rotan, membelakangi kolam. Di depannya tampak seorang pria yang mungkin orang kepercayaannya tengah serius mengobrol dengannya.Ivy berhenti. Ia tidak ingin mengganggu atau ikut campur dalam percakapan mereka.Dengan napas
“Evan, kamu udah lama di situ?” tanya Ivy dengan suara bergetar, matanya membelalak tak percaya.Evan tidak langsung menjawab. Pandangannya tertuju tajam ke arah kamar lalu perlahan ia mengangkat tangan dan menunjuk Vania di atas kasur. “Jadi dia dari tadi di sana?!” suaranya meninggiIvy menunduk pelan, sedikit merasa bersalah. “Iya,” jawabnya lirih.Rahang Evan mengeras. Ia memejamkan mata sejenak lalu mengusap wajahnya kasar. Ia tadi sudah hampir gila karena mengira Vania kabur atau lebih parah, diculik. Namun saat ia mengecek CCTV, tidak ada tanda-tanda seseorang asing yang masuk ke dalam kamar Vania. “Saya mau bicara sama dia,” kata Evan datar. Ia mulai melangkah ke arah kamar.Namun Ivy segera berdiri di hadapannya, menahan tubuh Evan dengan kedua tangan. “Aduh, Evan jangan! Jangan masuk dulu!”Evan terhenti. Matanya menyala penuh emosi. “Kenapa?! Aku harus dengar langsung dari dia!”“Dia masih takut sama kamu dan dia udah cerita semuanya ke aku,” ucap Ivy tegas. “Cerita apa