MasukSetelah Alessandro pulang, suasana rumah terasa tenang. Dari kamar atas, suara ombak terdengar sayup-sayup, seolah memantulkan rasa kosong di hati Vennesa. Ia duduk di tepi ranjang, mengenakan gaun tidur longgar, tangannya mengelus perut yang mulai membulat. Matanya menerawang, jauh, seperti mencari seseorang yang tak tahu di mana keberadaannya. Pintu kamar terbuka perlahan. Vellery masuk membawa segelas susu hangat dan senyum lembut. “Kak, minumlah. Biar nggak pusing,” katanya pelan. Vennesa menoleh dan tersenyum samar. “Terima kasih, Vel.” Vellery duduk di tepi ranjang. Beberapa saat mereka hanya diam, menikmati kehangatan sore yang menyusup dari balik tirai putih. Lalu, dengan nada hati-hati, Vellery membuka bicara. “Kak… Vel cuma mau bilang sesuatu. Jangan marah, ya?” “Bilang saja, Vel.” “Vel lihat sendiri, Alessandro itu tulus. Dia mencintai kakak tanpa syarat. Dia nggak pernah lelah
Setelah dirawat selama empat hari di rumah sakit, akhirnya Vennesa diperbolehkan pulang. Udara pagi terasa segar ketika kursi rodanya didorong perlahan menuju pintu keluar. Cahaya mentari menembus dedaunan, menimbulkan bayangan bergerak di lantai koridor. Vennesa menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang masih terasa berat. Luka fisik mungkin sudah mulai pulih, tapi luka di dalam dirinya masih segar, baru beberapa hari lalu. Sepanjang empat hari itu, tanpa gagal, Alessandro selalu meluangkan waktunya untuk datang menjenguk. Di sela-sela kesibukannya mengurus perusahaannya, lelaki itu selalu menyempatkan diri mengirim pesan singkat — mengingatkan agar Vennesa beristirahat cukup, tidak terlalu banyak berpikir, dan menjaga kandungannya baik-baik. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri,” begitu tulisnya di pagi hari. “Tidurlah lebih awal malam ini, aku akan datang besok pagi.” Pesan-pesan itu terasa hangat, sederhana, namun penuh perhatian. Kadang-kadang Vennesa membac
Suasana di ruang rawat masih sama — tenang, tapi menyimpan keheningan yang berat. Vennesa duduk bersandar di tempat tidur dengan wajah pucat. Matanya masih bengkak, bekas tangis yang belum lama berhenti. Di meja kecil di samping ranjang, segelas air dan beberapa vitamin ibu hamil tersusun rapi. Pintu diketuk pelan. Alessandro melangkah masuk dengan membawa sebungkus roti gandum dan jus buah segar. Senyumnya lembut, suaranya tenang seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. “Selamat pagi, Vennesa,” ucapnya pelan. “Sudah sarapan?” Vennesa menatapnya sekilas. Wajah lelaki itu seperti tidak menyimpan duka, padahal beberapa jam lalu ia mendengar sendiri tangisan perempuan yang dicintainya memanggil nama lelaki lain. “Sudah,” jawab Vennesa singkat. “Bagus. Jangan lupa minum vitaminmu, ya. Dokter bilang tekanan darahmu masih agak rendah,” katanya sambil meletakkan bungkusan roti di meja. Gerak-geriknya hati-hati, seperti takut menyentuh ruang di antara mereka yang masih rapuh. Dari sudut r
Di luar pintu kamar itu, Alessandro berdiri terpaku. Dari celah pintu yang tak tertutup rapat, ia mendengar tangisan Vennesa — pilu, dalam, dan menyayat. Suara itu memantul di lorong sunyi rumah sakit, membuat dadanya sesak. Tangannya yang semula tergantung di sisi tubuh kini mengepal erat, seolah menahan perih yang terlalu berat untuk ditanggung.Hatinya seperti diremas. Seumur hidup, Alessandro tak pernah membayangkan akan jatuh dalam cinta sepahit ini — cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan. Ia lelaki yang selalu yakin, selalu menang. Tapi kali ini, ia kalah. Ia jatuh cinta pada seorang wanita yang hatinya telah dimiliki lelaki lain… lelaki yang kini hilang tanpa jejak.Langkahnya perlahan menjauh dari pintu kamar itu. Ia berjalan tanpa arah, menuruni lorong panjang rumah sakit yang mulai disinari cahaya pagi. Udara pagi yang lembut masuk melalui jendela kaca besar, membawa aroma embun dan wangi samar bunga kamboja dari taman di luar. Alessandro melangkah k
Helaian surat itu bergetar di tangan Vennesa. Air matanya menitik satu persatu, membasahi tinta tulisan tangan Ben yang masih jelas terbaca meski sudah sedikit pudar. Dengan suara bergetar, dia teruskan membaca setiap baris kalimat yang terasa menusuk ke dalam jiwanya. "Vennesa, aku tahu aku telah banyak berdosa padamu. Aku berkhianat kepada cinta kita, dan aku tak akan pernah cukup meminta maaf untuk semua luka yang kuberi. Tapi ketahuilah, sejak malam pertama kita bertemu di Serenova Bar & Lounge, aku tahu hidupku takkan sama lagi. Aku jatuh cinta padamu — bukan karena parasmu yang cantik, tapi karena matamu, karena cara kamu menatap dunia dengan tenang walau hidupmu keras. Sejak malam itu, aku tahu kamu adalah rumah yang tak pernah kumiliki." Vennesa menggigit bibirnya, menahan sesak yang makin menekan dadanya. Ia melanjutkan bacaan, setiap kalimat seperti belati yang menyayat perlahan. "Aku berusaha keras mencari bukti untuk menjatuhk
Malam itu, Vennesa tertidur dalam pelukan adiknya, ditemani suara lembut mesin pemantau detak jantung di kamar rawatan. Alessandro sudah lama pulang setelah memastikan keadaannya stabil. Vellery tidur di sofa kecil di sisi ranjang, masih menggenggam tangan kakaknya sepanjang malam. Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap lembut melalui celah tirai hospital. Udara terasa hangat dan tenang. Vennesa membuka matanya perlahan. Tubuhnya masih lemah, tapi sedikit tenaga sudah kembali. Seorang perawat datang membawa dulang sarapan — bubur oat hangat, susu segar, dan sebotol kecil vitamin untuk ibu hamil. “Silakan, Bu. Doktor pesan agar anda makan semuanya ya, demi kesihatan bayi,” katanya lembut. Vennesa tersenyum nipis dan mengangguk. Setelah selesai makan, dia mengelap bibirnya dengan tisu, lalu matanya terarah pada sebuah map berwarna coklat di atas meja sisi katil. Map itu yang semalam diserahkan oleh Kapten Renz — berisi wasiat







