“Bicara disini saja, Pak. Tidak perlu buka room lagi.” Galih menggeleng, menanggapi ucapan Raka barusan. Dia langsung menunjuk sofa panjang dan mengajak Amanda duduk di posisi paling pojok. Berduaan dengan lawan jenis di ruangan tertutup jelas bukan ide yang bagus bagi Galih. Apalagi, Amanda berpakaian sangat seksi. Biasanya, dia melihat wanita berpakaian seperti ini dari jarak yang sangat dekat saat dia dan Jelita akan melakukan ritual malam.
“Kamu nggak dingin?” Galih membuka percakapan. Dia bisa merasakan kekakuan di antara mereka. Sekian tahun tidak bertemu, lalu berjumpa di tempat ini dan dalam keadaan seperti ini jelas tidak pernah terbayangkan sebelumnya. “Pakai jaketku.” Galih melepaskan jaket kulit yang dia kenakan dan meminta Amanda memakainya. Sejujurnya, dia tidak nyaman melihat wanita itu mengenakan pakaian seperti itu. “Kerja di perusahaan yang sama dengan Om Raka ya? Sering main-main ke tempat begini?” Amanda mengulas senyum setelah mengenakan jaket. Aroma minyak wangi yang dikenakan Galih menempel di jaket hingga membuat Amanda mengulas senyum lebih lebar. Mahal. Dia jelas tahu kalau minyak wangi yang dikenakan Galih adalah merk ternama. “First time.” Galih melirik ke arah rekannya yang lain. Mereka mulai bernyanyi dan berjoget hingga dia dan Amanda harus sedikit berteriak saat berbicara. Amanda bahkan sesekali mendekat ke arah telinganya hingga menimbulkan debar tak biasa. “Kenapa bisa begini, Manda? Maksudku … kamu ….” Galih kehabisan kata. Dia menatap wanita di hadapannya dengan perasaan bingung, heran dan entah apalagi. “Suamiku meninggal satu tahun yang lalu. Mau tidak mau, aku harus mencari pekerjaan untuk membiayai kehidupanku dan anakku. Jangan bicara tentang pekerjaan lain, aku sudah mencoba. Namun, aku butuh uang cepat karena sudah enam bulanan ini anakku harus rutin menjalani cuci darah setiap bulan.” Amanda menjelaskan dengan cepat. Sejujurnya, dia malu sekali berada dalam keadaan seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi? Sepeninggal suaminya, Amanda kehilangan arah. Dia yang selama ini hanya tahu menerima uang saja mulai memutar otak agar bisa mendapatkan pemasukan. Namun, usia yang tidak lagi muda dan tidak ada pengalaman bekerja membuat dia kesulitan mendapatkan pekerjaan. Dia akhirnya mencoba berjualan, mulai dari berjualan online hingga menjajakan makanan matang dia jalani. Namun, tidak ada yang bertahan lebih dari sebulan. Tabungan terus berkurang untuk keperluan sehari-hari dan modal berjualan. Hingga enam bulan yang lalu, pukulan telak kembali menghantam kehidupan Amanda. Anaknya yang duduk di kelas satu SD divonis mengalami gagal ginjal akut hingga harus rutin cuci darah. Dalam kekalutan, dia akhirnya mengiyakan ajakan seorang teman untuk menjadi pemandu karaoke di tempat ini. “Lama kita tidak berjumpa, Manda. Sepuluh tahun.” Galih menghela napas panjang. Dia bisa melihat mata wanita di hadapannya berkaca-kaca saat menceritakan tentang keadaannya. “Turut berduka cinta atas meninggalnya suamimu. Kalau butuh bantuan, aku dan Jelita selalu ada untukmu.” Tangis Amanda pecah mendengar ucapan Galih hingga memancing rasa penasaran yang lain. Namun, hanya sesaat karena detik berikutnya mereka sudah bergoyang kembali, membiarkan Galih dan Amanda di pojok sofa sana. “Apa kabar Jelita?” “Baik.” Galih menghela napas panjang. Dia melirik ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan angka sembilan. Lelaki itu berdecak pelan. Pasti saat ini Jelita sedang bertanya-tanya kemana dia hingga belum juga pulang dan tidak berkabar sama sekali. Dia lalu mengalihkan pandangan ke arah Amanda yang masih berusaha menenangkan diri. Mungkin, ini alasan Tuhan membawanya ke tempat ini malam ini. “Jelita beruntung memiliki suami seperti kamu.” “Aku juga beruntung memiliki Jelita sebagai istriku.” “Ya, sejak dulu, kisah cinta kalian memang membuat iri banyak orang. Namun, apa benar begitu?” Galih menautkan alis mendengar pertanyaan Amanda. Lelaki itu tersenyum tipis melihat kedipan mata Amanda yang seperti mengatakan banyak hal. Wanita itu jelas tahu banyak bagaimana Jelita. Keduanya bersahabat saat kuliah. Bahkan, Galih bisa dekat dengan Jelita juga awalnya karena bantuan Amanda. “Memangnya apa yang membuatmu berpikiran kalau itu tidak benar?” Galih menyandarkan tubuh ke sofa. Dia memperhatikan Amanda yang mengikutinya bersandar juga. Sepuluh tahun tidak bertemu, banyak sekali perubahan wanita itu. Amanda yang dulu pendiam dan sedikit pemalu, berubah seratus delapan puluh derajat menjadi teman yang menyenangkan saat diajak bicara. Mungkin, tuntutan pekerjaan membuatnya harus bisa menyenangkan pelanggan. “Kalau benar sebahagia itu, kamu tidak akan ada disini malam ini.” Galih tertawa mendengar ucapan Amanda. Dia mengangkat bahu, malas menjelaskan lebih lanjut kenapa dia bisa terjebak disini. Dia mengeluarkan dompet dari kantong celana dan mengambil kartu nama. “Hubungi aku agar silaturahmi terjalin kembali. Ponselku disimpan Pak Raka jadi tidak bisa langsung bertukar nomor. Jelita akan senang bisa bertemu dengan sahabatnya lagi.” Amanda mengangguk dan menyimpan kartu nama itu di dadanya. Dia tertawa melihat Galih tampak jengah. Mau bagaimana lagi? Dia tidak membawa dompet atau apapun saat kemari. Dress yang dia kenakan juga tidak ada kantongnya. “Jelita itu, selalu beruntung sejak dulu. Dia cantik, pintar, disukai banyak orang dan selalu bisa memiliki apapun yang dia mau. Tidak seperti diriku.” Galih menghela napas panjang mendengar ucapan Amanda. Dalam hati, dia membenarkan ucapan wanita itu. Istrinya memang bintang kampus dulu. Wajahnya yang ayu dan sifatnya yang ramah membuat banyak orang menyukainya. Selain pintar dalam bidang akademik, Jelita juga aktif dalam kegiatan organisasi kampus. Paket lengkap. “Memangnya apa yang tidak bisa kamu miliki, Amanda?” “Kamu ….”Bella menunduk saat Jelita membelai rambutnya. Mendadak, matanya terasa panas mengingat ucapan papanya tadi siang. Dia tidak bisa menahan tangis saat Jelita meraih bahunya dan membawanya ke dalam pelukan.“Ada apa, Sayang?” Jelita bertanya dengan hati-hati. Dia berusaha mengendalikan diri walau pikirannya sudah kemana-mana. Tidak biasanya anak pertamanya yang mandiri itu menangis seperti ini. “Mau cerita apa sama Mama?” Jelita melepaskan pelukan. Dia membingkai wajah anaknya dan mengusap air mata di wajah Bella.“Mama sama Om Langit pacaran ya?”Jelita menautkan alis mendengar pertanyaan anaknya. Dia memilih diam, menunggu Bella melanjutkan pembicaraan. Wanita itu menduga-duga apa yang terjadi tadi siang saat kedua anaknya dibawa oleh Galih keluar.“Kata Papa, kalau Mama menikah lagi nanti, Mama bakalan sibuk sama Papa baru. Apalagi kalau punya bayi, pasti Bella dan Zaky tidak terurus.” Bella menutup wajah dengan kedua tangan. Ketakutan menguasai hatinya. “Kalau Mama menikah lagi, nan
“Pantas saja selama ini kamu selalu meminta aku menggunakan alat kontrasepsi, kamu tidak ada rencana masa depan denganku, Galih. Kamu hanya menjadikan aku persinggahan sementara karena kehilangan Jelita.” Amanda menatap Galih yang kini terlentang di kasur. Mata lelaki itu menatap langit-langit kamar yang memiliki aksen kayu. Amanda meraba lehernya yang masih terasa sakit karena cekikan Galih tadi.“Sekarang saja kamu mengeluh uang bulanan yang kuberikan kurang, Manda, apalagi kalau kita memiliki anak?” Galih mengembuskan napas kencang. Dia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran istrinya. Selama berumah tangga, mereka jarang berbagi pikiran karena kalau sudah membicarakan hal yang penting sering tidak sejalan. “Aku menunda dulu agar fokus tidak terbagi. Aku ingin kita fokus pada pengobatan Dery dan aku tetap memiliki banyak waktu bersama Bella dan Zaky.”Amanda berdiri dan menuju cermin. Dia mengeluh pelan mengetahui dress yang dia kenakan robek di bagian pinggang, mungkin kar
“Memangnya kamu berharap apa dari menikahi duda beranak dua, Amanda? Gajiku ya jelas terbagi untuk mereka juga. Walau mereka tinggal dengan mamanya, tapi untuk makan, pakaian dan kebutuhan lainnya itu tetap tanggung jawabku sebagai Papa mereka.” Galih menggeleng mendengar Amanda mengungkit masalah biaya kecantikan. Memangnya dia pengusaha sukses yang uangnya tidak terbatas?“Jelita dulu perasaan bisa perawatan di tempat-tempat mahal, ke kafe dan belanja-belanja dari postingannya. Kok aku nggak bisa? Aku nggak minta harus rutin seperti dia dulu. Ya setidaknya bisa lah dua bulan sekali aku perawatan, sebulan sekali diajak makan keluar pas gajian, kalau ada momen spesial seperti ulang tahun atau apa dapat kado tas atau cincin. Reward, Lih, aku butuh reward. Butek banget aku sepanjang waktu hanya di rumah saja.”“Dulu aku hanya membiayai Jelita dan anak-anakku saja. Sekarang, aku harus membiayai anak-anakku dan juga pengobatan Dery yang tidak murah. Seharusnya, kamu mengerti akan hal itu.
“Mama kenal dimana? Sering pergi bareng Mama ya?”“Nggak tahu kenal dimana. Setahu Bella, Om Langit itu ada usaha bareng sama Mama. Ya lumayan sering pergi berdua. Kadang kalau perginya sore atau malam, Bella dan Zaky juga diajak.” Bella menjawab ringan. Dia tertawa saat melihat adiknya tersedak kuah ramen. “Om Langit baik, Pa. Dia sering beliin Zaky mainan sama buku cerita buat Bella. Setiap datang, pasti bawa makanan yang enak-enak. Kakek dan Nenek juga suka sama Om Langit.”Galih menghela napas panjang mendengar cerita putrinya. Sebagai lelaki, dia tahu betul kalau Langit sedang berusaha mengambil hati Jelita dengan mendekati orangtua dan anak-anaknya. Melihat dari pakaian dan mobil Langit tadi, dia bisa menduga kalau lelaki itu sudah cukup mapan. Dari segi usia, dia yakin mereka tidak berjauhan. Galih tampak berpikir sejenak karena aneh saja lelaki mapan dan berusia matang seperti Langit belum memiliki pasangan. “Bella tahu banyak ya tentang Om Langit?”Bella mengangkat bahu sambi
“Ya namanya usaha masih merangkak, cara promosinya seperti ini. Ikut mengisi stand-stand kalau ada acara sehingga bisa dikenal masyarakat langsung.” Langit bertepuk tangan saat Zaky berhasil menyelesaikan rancangan kincir dari lego yang disusunnya. “Hebat! Nanti Om belikan mainan kincir biar sama dengan legonya ya.”“Kenapa tidak fokus ke usaha katering saja, Nak Langit?” Asep bertanya setelah sejak tadi hanya menjadi pendengar saja. Mereka kenal cukup baik karena Langit sering datang kesana setiap ada yang perlu dibicarakan dengan Jelita. Lelaki itu tahu kalau Langit ada usaha lain yang sudah kuat selain usaha sabun herbal yang kini sedang dikerjakan bersama Jelita.“Kalau bisa dua, kenapa harus satu, Pak?” Langit terkekeh pelan. “Itu usaha punya orangtua. Saya hanya meneruskan saja. Dulu, kuliah ambil jurusan kimia. Jadi usaha sabun herbal ini untuk menyalurkan hobi. Dari dulu saya itu suka membuat formula produk. Ya karena katering sudah jalan dan manajemennya sudah kuat, saya jadi
Suara ketukan di pintu membuat Amanda mengangkat kepala dan meletakkan ponselnya. Dia menatap Galih yang masuk ke rumah dengan wajah sumringah. Wanita itu mengembuskan napas panjang saat mendengar Galih bersiul pelan, seolah hatinya sedang berbunga-bunga dan sangat bahagia. Dia berdiri dan mengikuti Galih ke kamar. “Yang habis makan bareng sama mantan istri, senang banget kayaknya.”Galih menautkan alis mendengar nada suara Amanda yang sedikit berbeda. Lelaki itu menghela napas panjang saat melihat wajah Amanda yang biasanya selalu tersenyum itu terlihat sedikit kusut. “Aku senang karena bisa makan bersama anak-anakku. Selain itu aku juga senang karena hubunganku dengan orangtua Jelita bisa tetap baik-baik saja. Aku dan Jelita juga bisa berinteraksi dengan baik sehingga kedepan tidak akan ada masalah dalam membersamai perkembangan Bella dan Zaky.”Amanda mengembuskan napas kencang mendengar jawaban Galih. Wanita itu tahu Galih memang sempat resah memikirkan hal itu. Galih selalu berce