Share

BAB 3

last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-28 10:05:28

“Memangnya apa yang tidak bisa kamu miliki, Amanda?”

“Kamu ….”

Galih dan Amanda sontak tertawa bersamaan setelah sekian detik terdiam. Mereka berteman cukup dekat dulu. Galih bahkan bisa dekat dengan Jelita juga atas bantuan Amanda. Dia bisa berteman baik dengan Amanda yang pendiam dan sedikit pemalu hingga membuat Jelita mulai merasa tertarik dengan kepribadian lelaki itu.

“Kenapa tidak main ke rumah, Manda? Komunikasi kita benar-benar terputus sejak kamu menikah dan pindah keluar kota.” Galih kembali bertanya. Lelaki itu menggeleng pelan saat beradu pandang dengan Arul yang mengedipkan sebelah mata kepadanya karena tampak sangat akrab dengan Amanda.

“Aku tidak mau merepotkan orang lain, Galih. Aku … trauma menerima penolakan. Jangankan teman, bahkan keluarga suamiku pun enggan memberi bantuan. Sementara keluargaku juga kamu tahu sendiri keadaannya bagaimana. Jadi ya begitulah. Aku memilih berjuang sendiri karena kalau tidak begitu, siapa yang akan membiayai pengobatan anakku?”

Galih menghela napas prihatin. Dia bisa mengerti kenapa akhirnya Amanda terjebak disini. “Hubungi aku nanti. Barangkali ada lowongan pekerjaan, nanti aku informasikan. Ya walau tidak akan sebesar dan semudah disini, tapi setidaknya ya ….” Lelaki itu mengedikkan bahu saat melihat Amanda mengulas senyum padanya.

Dia menghela napas panjang saat Amanda meraih segelas amer di meja. Wanita itu dengan santai menikmati minuman di tangannya. Galih tidak pernah menyangka Amanda yang dia kenal sepuluh tahun lalu bisa berubah sangat jauh seperti ini. Enam bulan bekerja di tempat ini benar-benar melunturkan citra diri Amanda yang dia kenal sebagai gadis pendiam dan pemalu saat kuliah dulu.

Jam dua dini hari, Galih akhirnya sampai di rumah. Lelaki itu menghela napas panjang saat keluar dari mobil. Untuk pertama kali sepanjang sepuluh tahun pernikahannya dengan Jelita, dia pulang selarut ini. Galih menautkan alis saat akan membuka pintu rumah. Dari luar, dia bisa melihat kalau lampu ruang tamu masih menyala. Hatinya mendadak seperti ada yang meremas saat melihat Jelita tertidur di sofa bersama dua anak mereka, menanti kepulangannya.

“Ney?” Galih mengelus kening istrinya pelan, berusaha membangunkan. “Honey? Ayo pindah ke kamar.” Dia tersenyum saat istrinya membuka mata. Lelaki itu sigap menggendong anak mereka dan memindahkannya ke kamar. Setelahnya, dia membersihkan badan dan berganti pakaian.

“Kamu dari mana, Bee? Kenapa tidak berkabar sama sekali.” Jelita yang duduk di bibir ranjang menghampiri Galih yang sedang mengenakan piyama. Sejak sore tadi, dia benar-benar khawatir. Biasanya, kalau lembur Galih selalu mengabari. Namun, hari ini ponsel lelaki itu tidak aktif. Saat dia coba menghubungi rekan kerja suaminya, tidak ada yang membalas pesan darinya sama sekali.

“Maaf membuat khawatir.” Galih mencium kening istrinya. Dia lalu mengajak wanita itu merebahkan diri di kasur. “Tadi siang aku ada kunjungan untuk koordinasi dengan tim di lapangan. Setelah itu, lanjut dengan meeting dan ada rancangan desain yang harus segera diselesaikan. Jadi, aku lembur mendadak dan fokus pada pekerjaan agar cepat selesai sampai tidak menyadari kalau ponselku mati.”

Jelita mengangguk mengerti. Pekerjaan suaminya sebagai seorang arsitektur di sebuah firma arsitektur ternama memang kadang sangat sibuk sekali. Galih sering berkolaborasi dengan insinyur, kontraktor, dan desainer interior untuk mewujudkan visi yang telah disepakati. Suaminya juga seringkali mengunjungi lokasi proyek untuk mengawasi perkembangan konstruksi dan berinteraksi langsung dengan tim lapangan seperti yang dikatakannya tadi.

Galih juga aktif menghadiri seminar dan pameran arsitektur untuk terus memperbarui pengetahuannya tentang tren terbaru dalam dunia arsitektur. Itulah sebabnya, Jelita tidak banyak tanya lagi mendengar penjelasan suaminya. Dia ikut memejamkan mata saat melihat Galih sudah terlelap di sampingnya.

Jam enam pagi, Galih mengulas senyum saat keluar dari kamar mandi. Aroma masakan Jelita menguar, membangkitkan rasa lapar. Dia masuk ke dapur dan memeluk istrinya dari belakang. “Selamat pagi, Ney. Masak apa? Aromanya enak sekali.”

“Nasi goreng.” Jelita tertawa saat Galih menggesekkan pipinya yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. “Sana, ih! Nanti Bella lihat dia ngambek loh.” Jelita tertawa melihat Galih yang langsung menoleh ke arah lantai dua, kamar anak mereka. Anak pertama mereka yang duduk di kelas dua SD itu memang dekat sekali dengan Galih. Bella bahkan tidak suka melihat Papa dan mamanya berdekatan karena dia yang harus selalu ada di samping papanya.

Galih bersenandung pelan saat kembali ke kamar. Dia lalu membangunkan Zaky, anaknya yang bulan depan genap berusia tiga tahun. Seperti biasa, pagi hari dia bertugas memandikan dan merapikan Zaky. Sementara Jelita membuatkan sarapan dan menyiapkan bekal untuk Bella di sekolah. Setelah itu, Galih membantu menyapu dan merapikan mainan anaknya yang tercecer di setiap sudut rumah.

“Papa kemana tadi malam kok nggak berkabar? Mama rungsing sekali nungguin Papa pulang sampai jadi kayak setrikaan. Bolak balik bolak balik nggak berhenti.” Bella bertanya saat mereka sudah sarapan bersama. Gadis kecil berusia delapan tahun itu menggeleng-gelengkan kepalanya hingga rambutnya yang dikuncir dua bergerak kesana kemari.

“Papa lembur dan sibuk sekali sampai tidak sadar kalau ponsel mati.” Galih mengulas senyum pada Bella. Dia melirik ke arah Jelita yang sedang menyuapi Zaky. Sebersit rasa bersalah muncul di hatinya karena sudah berkata tidak jujur pada istrinya.

“Papa nggak bawa jaket?” Jelita memperhatikan Galih yang mengenakan kemeja navy dengan dasi warna senada yang bermotif garis-garis. Dia dan Galih memang saling memanggil Mama dan Papa saat di hadapan anak mereka. Kalau berdua, baru ada panggilan sayang di antara mereka.

“Biar aku ambilkan sekalian.” Jelita yang akan mengambil botol minum Zaky di kamar langsung bergerak cepat. Dia meraih jaket yang dipakai oleh suaminya tadi malam. Saat akan keluar kamar, Jelita menautkan alis. Dia mencium jaket yang ada di tangannya karena ada aroma asing yang tidak pernah dia kenali sebelumnya. Aroma manis dan feminim, khas parfume wanita.

Jelita mencium bagian dalam jaket. Aroma itu semakin kuat yang artinya bekas dipakai, bukan karena terpapar dari luar. Mendadak, hatinya tidak enak. Ada rasa tidak nyaman yang menelusup perlahan. Jelita sibuk dengan pikirannya yang mempertanyakan kemana suaminya tadi malam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Adfazha
firasat hati istri gk prnh slh yaa kna Galih udh bs bohongin anak istri mulai main hati
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Jejak Dusta di Rumah Kita   BAB 88

    Bella menunduk saat Jelita membelai rambutnya. Mendadak, matanya terasa panas mengingat ucapan papanya tadi siang. Dia tidak bisa menahan tangis saat Jelita meraih bahunya dan membawanya ke dalam pelukan.“Ada apa, Sayang?” Jelita bertanya dengan hati-hati. Dia berusaha mengendalikan diri walau pikirannya sudah kemana-mana. Tidak biasanya anak pertamanya yang mandiri itu menangis seperti ini. “Mau cerita apa sama Mama?” Jelita melepaskan pelukan. Dia membingkai wajah anaknya dan mengusap air mata di wajah Bella.“Mama sama Om Langit pacaran ya?”Jelita menautkan alis mendengar pertanyaan anaknya. Dia memilih diam, menunggu Bella melanjutkan pembicaraan. Wanita itu menduga-duga apa yang terjadi tadi siang saat kedua anaknya dibawa oleh Galih keluar.“Kata Papa, kalau Mama menikah lagi nanti, Mama bakalan sibuk sama Papa baru. Apalagi kalau punya bayi, pasti Bella dan Zaky tidak terurus.” Bella menutup wajah dengan kedua tangan. Ketakutan menguasai hatinya. “Kalau Mama menikah lagi, nan

  • Jejak Dusta di Rumah Kita   BAB 87

    “Pantas saja selama ini kamu selalu meminta aku menggunakan alat kontrasepsi, kamu tidak ada rencana masa depan denganku, Galih. Kamu hanya menjadikan aku persinggahan sementara karena kehilangan Jelita.” Amanda menatap Galih yang kini terlentang di kasur. Mata lelaki itu menatap langit-langit kamar yang memiliki aksen kayu. Amanda meraba lehernya yang masih terasa sakit karena cekikan Galih tadi.“Sekarang saja kamu mengeluh uang bulanan yang kuberikan kurang, Manda, apalagi kalau kita memiliki anak?” Galih mengembuskan napas kencang. Dia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran istrinya. Selama berumah tangga, mereka jarang berbagi pikiran karena kalau sudah membicarakan hal yang penting sering tidak sejalan. “Aku menunda dulu agar fokus tidak terbagi. Aku ingin kita fokus pada pengobatan Dery dan aku tetap memiliki banyak waktu bersama Bella dan Zaky.”Amanda berdiri dan menuju cermin. Dia mengeluh pelan mengetahui dress yang dia kenakan robek di bagian pinggang, mungkin kar

  • Jejak Dusta di Rumah Kita   BAB 86

    “Memangnya kamu berharap apa dari menikahi duda beranak dua, Amanda? Gajiku ya jelas terbagi untuk mereka juga. Walau mereka tinggal dengan mamanya, tapi untuk makan, pakaian dan kebutuhan lainnya itu tetap tanggung jawabku sebagai Papa mereka.” Galih menggeleng mendengar Amanda mengungkit masalah biaya kecantikan. Memangnya dia pengusaha sukses yang uangnya tidak terbatas?“Jelita dulu perasaan bisa perawatan di tempat-tempat mahal, ke kafe dan belanja-belanja dari postingannya. Kok aku nggak bisa? Aku nggak minta harus rutin seperti dia dulu. Ya setidaknya bisa lah dua bulan sekali aku perawatan, sebulan sekali diajak makan keluar pas gajian, kalau ada momen spesial seperti ulang tahun atau apa dapat kado tas atau cincin. Reward, Lih, aku butuh reward. Butek banget aku sepanjang waktu hanya di rumah saja.”“Dulu aku hanya membiayai Jelita dan anak-anakku saja. Sekarang, aku harus membiayai anak-anakku dan juga pengobatan Dery yang tidak murah. Seharusnya, kamu mengerti akan hal itu.

  • Jejak Dusta di Rumah Kita   BAB 85

    “Mama kenal dimana? Sering pergi bareng Mama ya?”“Nggak tahu kenal dimana. Setahu Bella, Om Langit itu ada usaha bareng sama Mama. Ya lumayan sering pergi berdua. Kadang kalau perginya sore atau malam, Bella dan Zaky juga diajak.” Bella menjawab ringan. Dia tertawa saat melihat adiknya tersedak kuah ramen. “Om Langit baik, Pa. Dia sering beliin Zaky mainan sama buku cerita buat Bella. Setiap datang, pasti bawa makanan yang enak-enak. Kakek dan Nenek juga suka sama Om Langit.”Galih menghela napas panjang mendengar cerita putrinya. Sebagai lelaki, dia tahu betul kalau Langit sedang berusaha mengambil hati Jelita dengan mendekati orangtua dan anak-anaknya. Melihat dari pakaian dan mobil Langit tadi, dia bisa menduga kalau lelaki itu sudah cukup mapan. Dari segi usia, dia yakin mereka tidak berjauhan. Galih tampak berpikir sejenak karena aneh saja lelaki mapan dan berusia matang seperti Langit belum memiliki pasangan. “Bella tahu banyak ya tentang Om Langit?”Bella mengangkat bahu sambi

  • Jejak Dusta di Rumah Kita   BAB 84

    “Ya namanya usaha masih merangkak, cara promosinya seperti ini. Ikut mengisi stand-stand kalau ada acara sehingga bisa dikenal masyarakat langsung.” Langit bertepuk tangan saat Zaky berhasil menyelesaikan rancangan kincir dari lego yang disusunnya. “Hebat! Nanti Om belikan mainan kincir biar sama dengan legonya ya.”“Kenapa tidak fokus ke usaha katering saja, Nak Langit?” Asep bertanya setelah sejak tadi hanya menjadi pendengar saja. Mereka kenal cukup baik karena Langit sering datang kesana setiap ada yang perlu dibicarakan dengan Jelita. Lelaki itu tahu kalau Langit ada usaha lain yang sudah kuat selain usaha sabun herbal yang kini sedang dikerjakan bersama Jelita.“Kalau bisa dua, kenapa harus satu, Pak?” Langit terkekeh pelan. “Itu usaha punya orangtua. Saya hanya meneruskan saja. Dulu, kuliah ambil jurusan kimia. Jadi usaha sabun herbal ini untuk menyalurkan hobi. Dari dulu saya itu suka membuat formula produk. Ya karena katering sudah jalan dan manajemennya sudah kuat, saya jadi

  • Jejak Dusta di Rumah Kita   BAB 83

    Suara ketukan di pintu membuat Amanda mengangkat kepala dan meletakkan ponselnya. Dia menatap Galih yang masuk ke rumah dengan wajah sumringah. Wanita itu mengembuskan napas panjang saat mendengar Galih bersiul pelan, seolah hatinya sedang berbunga-bunga dan sangat bahagia. Dia berdiri dan mengikuti Galih ke kamar. “Yang habis makan bareng sama mantan istri, senang banget kayaknya.”Galih menautkan alis mendengar nada suara Amanda yang sedikit berbeda. Lelaki itu menghela napas panjang saat melihat wajah Amanda yang biasanya selalu tersenyum itu terlihat sedikit kusut. “Aku senang karena bisa makan bersama anak-anakku. Selain itu aku juga senang karena hubunganku dengan orangtua Jelita bisa tetap baik-baik saja. Aku dan Jelita juga bisa berinteraksi dengan baik sehingga kedepan tidak akan ada masalah dalam membersamai perkembangan Bella dan Zaky.”Amanda mengembuskan napas kencang mendengar jawaban Galih. Wanita itu tahu Galih memang sempat resah memikirkan hal itu. Galih selalu berce

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status