“Janji?” Satu kata itu meluncur dengan ironi halus, lebih terdengar seperti ungkapan ketidakyakinan daripada pertanyaan. Jelita meneguk kopi hangat di hadapannya, membiarkan cairan manis itu membasuh gumpalan kekhawatiran yang menempel di tenggorokannya. Entah mengapa, dia merasa tidak nyaman dengan sikap suaminya yang berubah-ubah dengan cepat akhir-akhir ini.Sejak pagi itu, hubungan mereka membaik. Jelita tidak mau memperpanjang masalah karena Galih kembali lagi seperti biasa. Mungkin, dia hanya kelelahan dan sedikit tertekan beberapa hari terakhir hingga akhirnya berpikiran macam-macam. Apalagi, sejak mertuanya pulang tiga hari kemudian, rumah mereka kembali lagi seperti semula.“Bulan depan Rendy nikahan, Bee.” Jelita ikut bergabung bersama Galih dan Bella yang sedang mengerjakan PR di kamarnya. Dia baru saja menidurkan Zaky, lalu memutuskan ikut bergabung kemari. Biasanya, dia akan langsung fokus mengerjakan tulisan untuk mengisi blog atau kebutuhan endorsement yang diminta klie
Galih terdiam mendengar ucapan Jelita yang serupa belati menusuk tepat di jantungnya. Tadi, dia dan Amanda memang duduk sangat berdempetan. Amanda sengaja menempel padanya. Selain karena suara musik yang kencang sehingga mereka harus berdekatan saat ngobrol agar terdengar, pendingin ruangan jelas membuat Amanda mencari kehangatan karena dress yang wanita itu kenakan cukup minim.“Sudahlah, Lita, jangan mencari-cari alasan untuk memperpanjang persoalan.” Galih akhirnya bicara kembali setelah bisa menguasai diri. “Aku tidak mengerti dengan parfume yang selalu kamu bahas itu. Pekerjaanku sehari-hari bertemu dengan orang banyak. Rekan kerja, klien bahkan saat makan siang di kafe aku berpapasan entah dengan siapa. Jadi, berhenti mencari bahan untuk melanjutkan keributan konyol ini.”“Kemarikan ponselmu!” Jelita mengulurkan tangan ke hadapan Galih. Dia menatap Galih tidak berkedip saat lelaki itu menggeleng karena dia tetap tidak bergerak dari posisinya berdiri saat ini. “Kamu mau mandi ‘ka
“Ada pekerjaan yang salah perhitungan sehingga harus revisi mendadak. Maaf, aku sampai tidak sadar kalau ponselku mati sehingga tidak sempat mengabari. Terlalu panik karena klien protes keras dengan rancanganku yang sedikit meleset dengan perhitungan asli.”“Jangan bicara asal, nanti benar-benar kejadian.” Jelita menoleh pada suaminya. Dia menghela napas panjang dan berdiri, mendekat ke arah Galih. Wanita itu mengendus kemeja yang dikenakan oleh lelaki itu. Aroma parfume yang manis, khas parfume wanita tercium samar dari sana. Seperti yang dia duga, aroma khas itu tercium saat Galih pulang terlambat dan tidak berkabar seperti beberapa waktu yang lalu.“Hari minggu kemarin, kamu pergi, mendadak ada pekerjaan. Hari ini, lembur lagi. Sibuk, sampai tidak sempat berkabar.” Jelita menatap wajah suaminya yang sejak tadi selalu menghindari beradu pandang dengan dirinya. “Sudah lah, Ney, aku lelah. Aku butuh istirahat setelah seharian bekerja.” Galih membalikkan badan, berjalan menuju pintu k
“Kamu sedang ada masalah apa di rumah? Kayaknya dari kemarin suntuk banget.” Amanda ikut menyandarkan tubuhnya di sofa setelah memesankan makanan. Dia memperhatikan Galih yang mengusap wajah, seperti berat bercerita. “Tujuanmu kemari buat meringankan pikiran ‘kan? Tidak ada salahnya kalau mau cerita agar lega. Toh sudah jadi pekerjaanku untuk menyenangkan tamu yang datang.”Pertanyaan itu menghantam Galih lebih dari yang ia bayangkan. Jelita. Mendengar nama istrinya disebut kembali seperti memutar balik seluruh emosinya dalam sekejap. Jelita adalah pusat dari segalanya dalam rumah tangga mereka. Dirinya, anak-anak mereka, bahkan rumah tempat mereka tinggal semuanya tergantung bagaimana suasana hati Jelita. Wanita itu selalu bisa menghadirkan kehangatan di keluarga mereka walau sesekali ada percikan yang tercipta.Namun, belakangan, Galih merasa ada jarak di antara mereka. Setiap kali pulang ke rumah, sambutan yang dia terima adalah keluhan yang tiada habisnya. Bagaimana dia akan menem
Lampu neon menyala dengan liar, berganti-ganti warna seperti denyut yang menari di dalam ruang karaoke. Musik menghentak, mengimbangi suara nyanyian Arul dan Farhat yang memenuhi hingga ke sudut-sudut ruangan. Suara bass yang dalam bergetar menyusup di dada mereka, mengiringi ketukan kaki yang mengikuti ritme dengan asyiknya. Di antara kebisingan itu, Galih yang sejak tadi hanya duduk saja di sofa panjang melirik ke arah pintu ruangan mereka yang terbuka. Dia menghela napas panjang melihat Amanda masuk bersama dua orang LC, sesuai dengan pesanan Arul dan Farhat tadi. Segera, keduanya bergabung dengan Arul dan Farhat yang asyik bergoyang di depan layar televisi lebar, menampilkan video lagu yang mereka nyanyikan.“Nggak ikutan?” Amanda menghampiri Galih. Dia mengulas senyum lebar saat lelaki itu menoleh ke arahnya. Lelaki itu terlihat duduk santai di tengah sorotan lampu warna-warni yang menciptakan bayang-bayang pada wajahnya. “Sudah makan? Mau aku pesankan makanan apa?” Amanda kemba
“Lah kalau dicampuradukkan lama-lama akan terjadi keributan karena keduanya merasa sudah saling membantu. Suami merasa sudah membantu membereskan rumah, istri merasa sudah membantu mencari uang. Akhirnya jadi keras kepala dua-duanya. Saat lelah, tidak ada tempat berkeluh kesah karena sama-sama merasa sudah paling banyak membantu yang bukan kewajibannya.” Tiwi menandaskan.Jelita menghela napas panjang mendengar ucapan mertuanya. Dia tahu maksud mertuanya baik, tapi jelas tidak bisa disamakan antara rumah tangga yang satu dengan rumah tangga yang lain. Ini lah yang membuat Jelita tidak nyaman kalau mertuanya datang. Tiwi terlalu berlebihan mencampuri urusan mereka.“Kapan Mama dan Papa pulang? Aku capek sekali ditraining menjadi istri yang baik versi Mama.” Jelita berbisik pelan saat mengantar Galih ke depan. Dia bisa mendengar suaminya menghela napas panjang. Jelita berdecak pelan saat Galih mengulurkan tangan dan mencium keningnya tanpa memberikan jawaban sama sekali.“Mama sama Nene