“Ma?” Arifin masuk ke kamar setelah mengirimkan data dari Amanda ke tim legalnya untuk mengurus pembuatan perusahaan baru. “Papa akan sibuk bolak balik Bali sebentar lagi. Rencana mau bikin usaha disana sepertinya jadi. Papa minta kerjasamanya kalau ada awak media yang datang untuk mengorek keterangan dari Mama.” Arifin memperhatikan Pratiwi yang memejamkan mata, menikmati pijatan dari ART mereka.“Sepanjang usia pernikahan kita, itulah yang kulakukan selama ini. Tidak perlu basa-basi, aku hanya butuh angka pasti sekian persen bagianku nanti.” Pratiwi melirik ke arah Arifin yang mengangguk setuju dan meninggalkan kamar. Begitulah, mereka menjalani rumah tangga dengan prinsip untung dan rugi. Pratiwi tutup mata dengan kegilaan Arifin diluar sana karena dia punya cara sendiri untuk menyenangkan dirinya yang sudah mati rasa pada cinta.Saat Arifin berjalan keluar dan pintu kamar tertutup, pesan dari Amanda masuk. Wanita itu tertawa hingga membuat ART yang sedang memijat tubuhnya keherana
“Bella, Zaky, ayo pulang, Nak. Om Langit juga mau pulang itu.” Jelita memberi kode pada Zaky dan Bella hingga kedua anaknya bergegas masuk ke dalam mobil, menyusul Papa mereka. “Mari, Langit, Mbak Arsila.” Jelita mengangguk sopan sebelum akhirnya membalikkan badan. Wanita itu meremas jemari setelah di dalam mobil. Wajah dan tatapan mata Arsila tadi membuat dia tidak nyaman. Wanita itu tidak seramah dulu, seperti saat mereka pertama kali berjumpa.“Tante tadi itu temannya Om Langit ya, Ma? Wangi bangeeeet.” Bella yang duduk di depan menoleh ke belakang. Dia menjawil hidung Zaky yang merebahkan kepalanya ke pangkuan Jelita. “Putih, tinggi, cantik deh. Cuma agak jutek ya? Tadi pas Bella mau salim, dia kayak ogah-ogahan. Cuma ujung tangan saja yang kena.” Bella mengangguk saat Jelita memberi kode agar dia kembali menghadap ke depan.Disini, Galih memperhatikan wajah Jelita dari kaca spion dalam. Lelaki itu bisa melihat perubahan raut wajah Jelita setelah bertemu dengan Langit lagi. Dia me
“Mama, kapan kami dapat Papa baru?”Pertanyaan Bella membungkam tawa Galih yang sejak tadi bercanda dengan Zaky. Sementara Jelita yang sedang menikmati nasi goreng spesial langsung terbatuk-batuk, tersedak makanannya. Wanita itu menepuk-nepuk dadanya dan meraih minuman dengan cepat. Setelahnya, dia menghela napas panjang dan berdehem pelan. Jelita melirik ke arah Galih yang terdiam sambil menatap Bella.“Kok tiba-tiba bertanya begitu, Bella?” Jelita mengelus rambut anaknya yang dikepang dua. Dia tidak mengerti kenapa Bella bertanya tepat di depan Galih. Padahal, sejak tadi mereka senang-senang saja. Dia yang masih menyimpan kesal pada Galih berusaha menekan perasaannya agar kedua anak mereka bisa menikmati waktu kebersamaan ini. Kedua anaknya memang minta dia ikut pergi tadi karena ingin main-main bersama seperti dulu.“Karena istri Papa yang bertanya.” Bella mengedikkan bahu. Dia menunjukan ponselnya pada Jelita. Gadis kecil itu melirik ke arah Galih yang tampak penasaran dengan pons
Pratiwi melemparkan selimut pada Amanda agar bisa menutupi tubuhnya. “Cintaku habis saat memergoki dia pertama kali di villa milik kami. Dibalik citranya sebagai lelaki yang sukses dalam karir dan sukses juga memiliki keluarga yang harmonis, Arifin gagal menjadi pemimpin dalam rumah tangga kami.”Pratiwi menghela napas panjang mengingat kilas balik perjalanan rumah tangganya. “Kenapa aku bertahan? Bisa saja aku membuka semuanya dan menggugat cerai. Alasannya, karena aku tidak mau melakukannya.” Pratiwi tersenyum penuh arti. “Aku ingin tetap berada di sampingnya sampai aku bisa memastikan dia mendapatkan balasan yang setimpal atas pengkhianatan yang dia lakukan.”Amanda bergidik mendengar ucapan Pratiwi. Walau wanita itu bicara dengan intonasi suara tenang dan tidak menunjukkan emosi sama sekali, tapi mampu membuat bulu kuduk Amanda meremang. Sebagai wanita, dia seperti bisa merasakan sakit hati yang teramat sangat hingga akhirnya tidak terasa karena terbiasa.“Aku bisa saja membiarkan
“Ting!”Suara pintu lift tertutup membawa kesadaran Amanda kembali. Wanita itu menahan napas saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Dia mengumpat dalam hati, kenapa tadi tidak langsung masuk ke dalam lift sehingga tidak terjebak masalah disini. Amanda menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri seolah tidak ada apa-apa. Dia bersandar di dinding, menunggu pintu lift terbuka kembali.“Bisa bicara sebentar, Mbak?” Wanita muda yang mengenakan piyama merah muda dengan motif bunga sakura berdiri di hadapan Amanda sambil melipat kedua tangan di dada. “Ada hubungan apa dengan lelaki bernama Arifin sehingga Mbak terlihat keluar dari kamar Papa kami dengan kondisi seperti … ini ….” Gadis berusia dua puluhan itu memindai penampilan Amanda dari atas hingga ke bawah. Dia tertawa meremehkan melihat Amanda merapatkan cardigan yang dia kenakan.“Aku tidak kenal Arifin.”“Ah, yang benar? Mau saya kenalkan? Papa pasti suka modelan ani-ani macam begini, ya nggak, Mbak Dilla?” Gadis lain yang
Jelita menautkan alis melihat senyum penuh arti di wajah Langit. Wanita itu akhirnya diam kembali karena mengerti arah pembicaraan lelaki itu. Bimbang memenuhi hati. Mendadak, dia merasa tidak rela andai Langit kembali bersama Arsila. Namun, dia juga belum siap untuk kembali berumah tangga. Bukan hanya karena Zaky dan Bella, tapi juga dia masih meragukan apakah nantinya Langit tidak akan berubah setelah sekian lama karena dulunya, Galih juga adalah pasangan yang sangat baik baginya.Jum’at malam, Amanda bangun dari tempat tidur secara perlahan. Wanita itu melirik layar ponselnya yang menyala. Dia meraihnya dan mengangguk melihat waktu menunjukkan waktu jam dua dini hari, sesuai dengan jam yang dia dan Arifin sepakati. Wanita itu mengenakan cardigan dengan cepat. Setelah memastikan Galih terlelap, dia menyelinap keluar dari kamar.“307.” Amanda memperhatikan nomor kamar. Wanita itu mengetuk pintu pelan saat menemukannya. Dia menghela napas lega setelah melihat wajah Arifin muncul saat