FAZER LOGINLaras sedang sibuk berkutat didapur, ia ingin memasak makanan untuk makan malamnya dan juga Sofian.
Tidak banyak makanan yang ia masak, ia hanya memasak seadanya karena ia belum berbelanja kebutuhan dapur. Laras hanya memasak sayur sop dan juga ayam goreng, karena hanya itu saja yang ada didalam kulkas yang sudah disediakan oleh kedua orang tua Sofian. Setelah makanan matang, Laras segera menyajikannya dimeja makan. Hatinya ragu untuk mengajak suaminya makan malam, tapi ia merasa tidak enak kalau harus makan sendiri tanpa mengajak sang suami. Akhirnya ia memutuskan untuk memanggil Sofian, dan mengajaknya makan bersama. Laras berjalan kekamar suaminya, dengan hati yang sedikit was-was, tangannya mengetuk pintu kamar yang dihuni oleh suaminya tersebut. "Tok... Tok... Tok..." "Tok... Tok... Tok... " Laras mengetuk pintu berulang kali, namun tidak ada tanda-tanda pintu kamar itu akan dibuka dari dalam. Laras memanggil sang suami dengan suara pelan, namun bisa terdengar sampai kedalam kamar. "Maas... Ayo kita makan dulu! Aku sudah memasakkan makanan untuk makan malam! Mas pasti lapar kan? Karena dari tadi siang aku lihat Mas belum makan?" ucap Laras sambil terus mengetuk pintu kamar Sofian. Sedangkan si empunya kamar hanya berdecak kesal, Sofian sama sekali tidak perduli dengan Laras yang terus memanggil-manggilnya dari luar. Malah ia memasukkan handset kedalam telinganya, agar ia tidak mendengar suara Laras yang memanggil namanya. Laras yang berada diluar kamarpun merasa bosan, karena sudah berulang kali ia mengetuk pintu, tapi pintu kamar suaminya tidak kunjung dibuka. Akhirnya ia memutuskan untuk makan sendiri saja, apalagi dirinya sudah menahan lapar sejak tadi. Laras kembali kemeja makan, ia mulai menarik sebuah kursi untuk didudukinya, setelah itu ia pun menyendokkan nasi dan lauk kedalam piring. Tanpa menunggu lama Laras pun makan sendiri dalam keheningan. Setiap makanan yang ia suapkan kedalam mulutnya terasa hambar, bukan karena makanan yang ia masak itu kurang garam, tapi semua itu karena fikiran Laras sibuk memikirkan rumah tangganya yang akan seperti apa kedepannya. Bayangannya dengan rumah tangga bahagia seperti yang ia harapkan sebelumnya sirna sudah, karena sikap sang suami yang tidak menerima kehadirannya. Saat Laras sibuk dengan fikirannya sendiri, tiba-tiba saja Sofian berjalan melewati meja makan, dimana Laras sedang melamun sambil memegang sendok ditangannya. Laki-laki itu terus berjalan kearah kompor, dan mengambil sebuah teko kecil yang sudah tersedia didapur tempat dirinya sedang berada sekarang. Sofian mengisi teko tersebut dengan air, lalu ia meletakkannya diatas kompor, kemudian laki-laki itu menyalakan kompor untuk memasak air yang ada didalam teko. Menyadari suaminya ingin melakukan sesuatu, Laras pun menghampiri suaminya yang sibuk memasukkan gula dan kopi kedalam sebuah cangkir. "Mas! Biar aku saja yang membuatkan kopinya!" ujar Laras lembut. Sofian sama sekali tidak menggubris perkataan istrinya, bahkan laki-laki itu sama sekali tidak mau menatap kearah Laras yang berdiri disampingnya. Laras mencoba meraih sendok yang ada ditangan Sofian, tapi malah tatapan tajam yang diberikan oleh laki-laki itu terhadapnya. "Kamu tidak perlu mengurusi hidupku! Aku bisa melakukan apapun sendiri tanpa bantuan darimu!" jawab Sofian ketus. Tangan Laras yang hendak mengambil sendok dari tangan Sofian, kembali ditarik karena Laras merasa tidak enak dengan ucapan laki-laki itu. "Maaf Mas! Aku hanya ingin menjalankan kewajibanku sebagai istri!" ucap Laras. Sofian semakin melebarkan bola matanya, menatap pada wanita yang saat ini berdiri dihadapannya itu. "Hubungan kita berdua hanya status, jadi kamu tidak perlu memperlakukan aku seperti suami pada umumnya! Karena meskipun kamu berusaha untuk menjadi istri yang terbaik, tapi itu semua tidak akan berlaku bagiku! Karena aku sama sekali tidak akan menganggapmu istri, sampai kapanpun!" ujar Sofian lagi. "Aku memang bukan istri yang kamu harapkan, Mas! Tapi pernikahan kita sah secara agama, dan aku berhak mengurusmu dan memperlakukan dirimu seperti suami pada umumnya. Karena jika aku melalaikan kewajibanku, maka aku akan sangat berdosa!" jawab Laras sambil menatap kearah Sofian. Sofian mendelik mendengarkan jawaban istrinya itu. "Waaw... Sepertinya kamu itu mengerti banyak tentang agama? Tapi sayangnya! Semua itu tidak akan berlaku untuk pernikahan kita! Kalau pun kamu berharap seperti itu, mungkin itu hanya ada didalam hayalanmu saja, atau mungkin kamu itu sedang bermimpi disiang bolong!" ledek Sofian, menatap remeh pada Laras. Sedangkan wanita itu hanya tersenyum kecut, menanggapi perkataan suaminya tersebut. "Kamu boleh melakukan apapun dirumah ini sesuka hatimu! Tapi kamu tidak perlu bersikap seolah-olah kamu itu berhak atas diriku, karena bagiku kamu itu bukanlah siapa-siapa dirumah ini! Ingat itu?" Sofian menambah ucapannya, membuat Laras hanya diam saja. Sofian segera menuangkan air yang sudah mendidih kedalam cangkir yang sudah diisi dengan kopi dan gula, lalu diaduknya sebentar. Setelah itu, ia berlalu dari hadapan Laras sambil membawa secangkir kopi yang baru saja ia buat sendiri. Sementara Laras, hanya terpaku menatap kepergiannya. Wanita itu menghembuskan nafasnya perlahan, kemudian ia melanjutkan menyantap makanannya walaupun sudah tidak lagi berselera. Namun ia tetap berusaha menghabiskan makanan yang ada didalam piringnya, supaya tidak mubazir. Setelah itu, ia masuk kekamarnya sendiri, lalu membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba saja ia teringat dengan almarhum kedua orang tuanya, dan juga neneknya dikampung. Air mata Laras menetes perlahan membasahi pipinya yang putih mulus, karena rasa rindu terhadap keluarganya itu. "Ya Allah! Kenapa hidupku seperti ini? Aku sama sekali tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari Ibuku semenjak kecil, dan setelah itu engkau mengambil ayahku yang begitu tulus mencintaiku! Tapi sekarang, aku juga harus meninggalkan nenekku karena takdir sudah membawaku kemari, ya Allah! Tapi apakah hidupku akan semakin buruk disini, atau sebaliknya? Mungkinkah engkau mempunyai rencana yang lain? Aku pasrah Ya Allah, dengan takdir yang telah engkau gariskan untukku!" ucap Laras dalam hatinya. Laras meraih bantal guling yang ada disampingnya, dipeluknya bantal guling tersebut seraya memejamkan matanya yang mulai terasa mengantuk, tidak lama kemudian ia pun tertidur dengan air mata yang masih membasahi pipinya. Keesokan paginya, Laras melihat lantai keramik rumah itu tampak sedikit kotor, dan dia pun berinisiatif untuk mengepel lantai tersebut. Laras mengambil sebuah ember dan mengisinya dengar air, tidak lupa ia menambahkan cairan pembersih lantai. Kemudian ia membawa ember berisi cairan pembersih itu kedalam rumah dan mulai mengepel lantai semua ruangan yang ada didalam rumah tersebut sampai bersih. Sofian yang baru saja keluar dari kamar, hanya menatap sekilas pada istrinya. Ketika Laras melihat Sofian yang berjalan dilantai keramik yang masih basah, ia pun mencoba mengingatkan suaminya itu. "Hati-hati Mas, jalannya! Lantainya licin karena baru saja dipel!" ucap Sarah yang berdiri dengan jarak dua meter dari Sofian. Laki-laki itu tidak memperdulikan ucapan istrinya, dengan santainya ia berjalan dilantai keramik yang masih terlihat basah tersebut. Tiba-tiba saja... Bersambung...Sofian yang saat ini jatuh terduduk ditanah. Hanya meraba bagian keningnya yang terasa sangat sakit.Tiba-tiba ia merasa kalau telapak tangannya basah, dan pandangannya buram.Laki-laki itu menggelengkan kepalanya berulang kali.Preman yang saat ini menatap kearahnya tertawa senang."Mampus lo! Makanya, jangan coba-coba ikut campur urusan kami, hahaha... "Ujar preman itu sambil tertawa."Siapa suruh lo jadi pahlawan kesiangan?" sambungnya lagi."Eh goblok, ini tengah malam bukan siang! Dasar tolol!" maki salah satu temannya yang berada dibelakang, kemudian temannya itu kembali mengaduh kesakitan."Nggak nyambung! Lo lebih goblok. Memangnya lo pernah dengar, ada yang namanya pahlawan kemalaman?" protes temannya satu lagi."Diam kalian semua! Berisik!" teriak kepala preman. Yang juga tergeletak diantara teman-temannya."Wooii... Lo hajar terus itu laki-laki sialan! Berani-beraninya dia membuat kita babak belur seperti ini! Kenapa lo masih diam aja? Takut lo...?" sambungnya lagi.Preman
Dan tiba-tiba saja...Laras melihat ada beberapa pria yang sedang mengendari motor secara ugal-ugalan.Wanita cantik itu bisa menyimpulkan, kalau laki-laki yang berjumlah lima orang tersebut, sedang berada didalam pengaruh minuman keras.Terlihat dari cara mereka mengendarai motornya dengan tidak seimbang.Tampang mereka pun terlihat seperti preman.Laras merasa sangat takut, sampai-sampai ia memeluk tas kecil miliknya dengan erat.Saat melihat Laras, para preman tersebut hanya menatap kearah wanita itu. Lalu kemudian, mereka melewati Laras begitu saja.Tentu saja hal tersebut membuat Laras menghembuskan nafas lega.Setidaknya, walaupun para preman-preman tadi sempat menatap kearahnya. Namun ternyata, mereka sama sekali tidak berniat mengganggu atau pun berbuat jahat pada wanita itu.Laras kembali berjalan, agar dirinya lekas sampai dirumah Hilda.Namun, baru saja ia berjalan beberapa langkah, raungan sepeda motor terdengar jelas dari arah belakangnya dan terasa memekakkan telinga.Sa
Setelah selesai mengerjakan pekerjaannya. Laras keluar dari restaurant tempat ia bekerja dan menuju ke tempat parkir.Ia berniat menunggu Hilda yang berjanji akan menjemputnya saat dirinya pulang kerja.Namun, setelah dua jam menunggu, tapi sahabatnya itu tidak kunjung datang.Wanita berdagu lancip itu berusaha menghubungi nomor sahabatnya tersebut. Namun ternyata, ponsel Hilda juga sedang tidak aktif."Hilda kemana ya, apa dia ketiduran?"Laras bertanya pada dirinya sendiri.Akhirnya, Laras memutuskan pulang menggunakan taksi.Tapi, karena malam yang mulai larut, Laras juga sangat sulit menemukan taksi yang lewat.Sehingga, dengan perasaan yang was-was, akhirnya ia berjalan pelan menyusuri jalan yang terasa semakin sunyi dan mencekam.Udara malam yang dingin terasa menusuk sampai ke tulang-tulangnya.Laras mengusap-usap kedua lengannya menggunakan telapak tangan untuk mengusir rasa dingin.Gadis itu mulai bingung, bagaimana ia akan sampai kerumah kalau hanya berjalan kaki seperti itu
"Keluar kalian berdua dari rumah ini sekarang juga!" ucap Sofian sambil menatap kearah lain.Mendengar hal itu, Yuda dan Celina sangat terkejut."Apa kalian tidak mendengar apa yang aku katakan? Cepat keluar dari rumah ini, dan jangan pernah lagi kalian berani memperlihatkan wajah kalian itu dihadapanku!" ujar Sofian dengan suara lantang."Tapi Sofian...?""Keluaaarrr...!!!"Suara Yuda tertahan kala Sofian membentaknya.Celina berusaha mendekati kekasihnya. Bahkan ia memegangi kedua kaki Sofian sambil meraung."Mas, maafkan aku! Tolong kamu jangan bersikap begini, aku sangat mencintaimu dan aku tidak ingin pergi darimu!" ujar Celina.Perkataan Celina justru membuat Sofian berdecih."Cinta?? Cuiih... Bulshit! Kau masih berani mengaungkan cinta dihadapanku, Celina? Sedangkan diluar sana kau menjajakan tubuhmu pada laki-laki lain! Apa yang kau harapkan? Apakah kau menginginkan uang? Baiklah kalau begitu!" ujar Sofian.Kemudian laki-laki itu berjalan masuk kekamarnya.Dan tidak lama kemud
"Celina!!"Yuda menatap perempuan itu dengan perasaan khawatir."Sedang apa kamu disini?" sambungnya lagi sambil menoleh kiri kanan dan juga menatap kearah pintu masuk.Yuda merasa takut karena bisa saja Sofian masih berada disana, dan melihat saat Celina memeluknya tadi."Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas? Mas Sofian itu kekasihku! Dan tidak lama lagi aku akan menjadi istrinya, jadi bebas dong kalau aku mau datang kerumah ini kapan pun!" jawab Celina datar."Celina, sebaiknya kamu batalkan keinginanmu untuk menikah dengan Sofian!" ujar Yuda Kemudian. Membuat Celina terbelalak."Apa maksudmu, Mas?" jawab Celina lagi. Sambil menatap Yuda dengan perasaan marah.Bisa-bisanya laki-laki itu memintanya membatalkan pernikahannya dengan Sofian. Laki-laki yang selama ini ia idam-idamkan untuk menjadi suaminya."Karena aku tidak ingin Sofian menikah denganmu!" ucap Yuda.Namun hal itu membuat Celina tersenyum miris."Kenapa Mas, apa kamu cemburu? Karena dulu aku menolakmu saat kamu mengajak
Sudah beberapa hari Sofian tidak masuk kantor. Bahkan ia sama sekali tidak mengangkat ponsel saat Burhan menelfonnya.Pria itu benar-benar ingin menyendiri.Diatas meja ruang tengah rumahnya. Terdapat sebuah asbak yang sudah terisi penuh dengan puntung rokok.Entah sudah berapa banyak batang rokok yang telah ia habiskan, untuk meringankan beban fikirannya.Wajahnya yang terlihat lesu, dan rambutnya yang acak-acakan, menambah kesan bahwa laki-laki itu sudah tidak lagi mengurus dirinya.Saat ia sedang sibuk melamun, tiba-tiba saja bel rumahnya berbunyi.Sofian berusaha mengabaikannya. Tapi lama kelamaan bel itu semakin mengganggu ditelinganya. Karena seseorang yang berada diluar rumah menekannya terus menerus.Dengan perasaan malas, Sofian bangun dari tempat duduknya dan berjalan untuk membuka pintu."Ceklek."Sesaat setelah pintu terbuka, Sofian menatap laki-laki yang berdiri didepan pintu rumahnya itu. Seraya tersenyum kearahnya."Hallo, Sofian! Apa kabar lo?" sapa laki-laki yang tern







