Ini adalah malam terakhir. Setelah ini, aku tak tahu masih bisa bertemu dengan Jasmin lagi atau tidak. Kami berciuman dengan liar, saling melepas hasrat yang membara. Aku membalas ciumannya dengan penuh gairah, seolah semua kekacauan yang ada di hatiku bisa hilang dengan satu sentuhan. Toh, semua ini, dia yang memulainya. Aku hanya mengikutinya.Rupanya, dia tadi tak benar-benar mabuk. Mungkin sedikit mabuk, tapi masih sadar dan seharusnya dia bisa berjalan dengan tegap. Nyatanya, di kamar ini, setelah pintu terkunci, dan setelah kami berciuman dengan begitu liarnya, kami saling menatap. Matanya masih merupakan mata orang sadar. Dan dia bisa melepaskan bajunya dengan benar, tanpa sempoyongan.Aku memerhatikan semua itu; bagaimana cara dia melepaskan bajunya dengan sensual dengan niat menggodaku. Yang tersisa masih pakaian dalam. Dia mengenakan pakaian dalam g-string seksi. Cukup minimalis dan membuat darahku terpompa sampai ke kepala.Haruskah aku melakukan hal ini? Aku ragu sebetulny
Hari sudah semakin sore. Langit perlahan berubah menjadi jingga, memudar menjadi merah muda dan ungu. Kabut tipis mulai turun, menyelimuti puncak bukit. Pemandangan itu sangat indah, namun tidak bisa menenangkan hatiku. Aku berjalan kembali ke vila, pikiranku berkecamuk dengan tawaran Ibu Claudia.Aku kembali ke kamarku, membuka pintu, dan meletakkan koperku di samping ranjang. Aku memandangi ranjang itu. Tempat tidur ini menjadi saksi bisu atas sebuah kejadian yang pelik; Insiden hantu yang membuat aku menjadi memiliki sebuah hubungan dengan Jasmin.Aku segera masuk ke kamar mandi. Air hangat terasa seperti surga. Aku membiarkan air membasahi tubuhku, berharap semua kekacauan dalam diriku bisa luruh. Aku mencoba untuk fokus pada satu hal: pekerjaanku. Aku harus mengambil kesempatan ini. Ini adalah impianku.Setelah mandi, aku memakai kemeja berwarna maroon dan celana bahan berwarna hitam. Aku menatap diriku di cermin. Wajahku terlihat lelah, tapi mataku terlihat lebih bersemangat. Ak
Situasi di antara kami terasa mencekik. Aku hanya khawatir satu hal yang terus berputar di kepalaku; bagaimana jika Ibu Claudia ini hanya sedang mengujiku? Ujian loyalitas? Atau mungkin ujian moral yang jika gagal akan membuatku kehilangan pekerjaan? Pikiran-pikiran negatif itu bergelayut seperti kabut tebal di otakku.Maka aku pun mencoba bersikap profesional, meski keringat dingin mulai membasahi kerah kaosku. Aku meluruskan punggung, berusaha menampilkan ekspresi senetral meskipun dalam hati badai sedang mengamuk. Situasi ini benar-benar sulit bagiku; seperti berjalan di atas tali yang tipis di atas jurang yang dalam. Tak boleh salah pilih kata, tak boleh salah gerak, bahkan tak boleh salah napas."Voucher ini... gimana sih bu? Saya kok belum paham ya?" Suaraku terdengar sedikit bergetar meski aku berusaha menstabilkannya. "Kita sama-sama dapat ruangan di hotel itu gitu? Berarti kan nggak harus di hari yang sama ya? Atau harus?" Aku merasakan kerongkonganku mengering. Pertanyaan-pe
Aku menghela napas panjang, memandang cakrawala yang mulai berubah warna. "Kehidupanku bersama Dinda, istriku..." aku memulai, suaraku terdengar ragu. "Kami sudah bersama selama tiga tahun. Pernikahan yang…" aku terdiam sejenak, "… ada dinamika di sela-sela kebahagiaan yang kami bangun bersama… "Kata-kata itu terasa pahit di lidah. Aku melanjutkan dengan cerita-cerita manis yang sudah aku hafal di luar kepala; cerita yang selalu aku sampaikan kepada rekan kerja, atasan, bahkan keluarga. Tentang bagaimana kami saling mendukung, tentang rencana memiliki anak, dan lain-lain.Yang aku sembunyikan adalah pengkhianatan Dinda. Aku harus mempertahankan citra ini. Tak boleh tampak retak. Pak Hartono waktu itu membicarakan promosi. Dia mengatakan bahwa kestabilan keluarga mencerminkan kestabilan kerja seseorang dan ini akan menjadi bahan pertimbangan pengangkatanku.Ibu Claudia mengangguk-angguk mendengar ceritaku, sesekali tersenyum hangat. Matanya yang teduh membuatku merasa bersalah karena
Kami mulai berpetualang. Selama kami mencari kotak itu, aku merasa canggung dan tegang. Ibu Claudia berjalan di sampingku, sesekali matanya menyapu sekeliling, mencari kotak yang disembunyikan.Kami mencari di sekitar vila. Kami melihat beberapa kelompok lain menemukan kotak mereka. Aku merasa sedikit putus asa. Mungkin kami tidak akan mendapatkannya. Tapi Ibu Claudia tidak menyerah. Dia tetap bersemangat. Demi hadiah. Astaga. Padahal dia sudah kaya raya. Tapi yang aku lihat kemudian di sini, dia mengerjakan sesuatu, meski demi hal kecil, dengan penuh semangat.Aku pun tertular semangatnya dan terus mencari."Sepertinya, kita harus mencari di luar," katanya. "Kotak yang disembunyikan di sini mungkin sudah didapatkan yang lain."Aku mengangguk. Kami berjalan keluar, menuju perkebunan teh yang terbentang luas. Udaranya terasa sejuk dan segar. Bau tanah basah dan teh yang menenangkan memenuhi indraku. Kami terus berjalan, menyusuri jalan setapak yang menanjak. Matahari menuju sore terasa
Darahku kembali mendidih menyaksikan foto yang muncul di layar ponselku. Mataku tak bisa lepas, seolah ada magnet yang menahannya. Dari belakang memang, tapi aku sangat yakin wanita itu adalah istriku, dan lelaki itu adalah Pak Rendra. Gestur mereka tidak sederhana. Tak ada, dalam konteks profesionalisme, atau konteks apapun, seorang atasan menggandeng lengan sekretarisnya menuju lobi hotel. Tanganku mengepal, ponsel di genggamanku terasa dingin.Aku sudah melihat foto yang lebih menyebalkan waktu itu. Tapi kali ini, rasa kesal itu tetap ada. Aku mencoba berpikir tidak peduli. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku sudah melakukan "pembalasan" semalam. Tapi nyatanya, rasa sakit itu tetap menusuk. Ya, beginilah. Mungkin ceritanya akan berbeda jika Dinda tidak menyembunyikan hal ini. Apa yang kami perbincangkan, semua itu mengarah seolah Dinda adalah istri yang setia dan tak mau disentuh lelaki lain. Dia malah marah saat aku memancingnya soal fantasiku waktu itu, kan?Lamunanku selesa