Waktu adalah pencatat yang jujur, tapi memori sering kali memutarbalikkan kenyataan. Saat hidup tak lagi berpihak, kenangan lama terasa seperti mimpi manis yang diputar ulang untuk menyiksa. Malam itu, di kamar milik Yasa, Arsya terjebak dalam putaran masa lalu. Hanya ada dirinya, lampu tidur remang, dan setumpuk kenangan yang datang tanpa diundang.
Itu terjadi lima tahun yang lalu. Saat usianya 22 tahun dan hidup masih penuh semangat meski kantong selalu pas-pasan. Arsya baru saja lulus dari jurusan Ilmu Komunikasi di sebuah universitas negeri di Jakarta. Ia belum sempat mengejar karier impiannya karena harus menafkahi dirinya sendiri, kedua orang tuanya telah tiada. Ia mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai kasir di sebuah kafe kecil bernama Cafélune, tempat anak-anak muda sering nongkrong sambil menatap layar laptop mereka. Di sanalah ia pertama kali bertemu Bima Pradipta. Pria itu datang pada malam hujan, mengenakan jas hitam yang kuyup, dan ekspresi lelah seolah membawa beban dunia. Ia memesan secangkir americano tanpa gula dan duduk di pojok ruangan, menatap hujan melalui kaca besar. Arsya hanya memperhatikannya diam-diam. Ada sesuatu pada sosok pria itu dingin, tapi menarik perhatian. Tampak kuat, namun menyimpan kesepian. Sejak malam itu, Bima datang hampir setiap hari. Ia mulai memesan kopi dari Arsya langsung, menyapanya dengan senyum tipis, kadang berbasa-basi soal cuaca atau tanya buku apa yang sedang dibaca. Mereka mulai bercakap. Arsya, yang semula menjaga jarak, perlahan luluh dengan kerendahan hati pria itu. "Kamu asli sini?" tanya Arsya mengawali percakapan dengan Bima, untuk pertama kalinya ia berani bertanya selain menanyakan menu cafe. “Aku pindah ke Jakarta dari Bandung. Cari suasana baru… dan alasan untuk mulai dari awal,” ujar Bima menjelaskan. “Kamu lari dari sesuatu?” tanya Arsya hati-hati. “Bisa jadi. Tapi lebih tepatnya… mencari sesuatu yang belum kutemukan,” jawabnya sambil tersenyum penuh arti. Dari sanalah ia mengetahui bahwa Bima bukanlah sosok yang dingin, pria itu ramah dan humble. Perlahan tapi pasti hubungan mereka tumbuh, berawal dari teman sampai pacaran dan pada akhirnya keduanya menjalin hubungan yang lebih serius Bima memutuskan untuk melamar Arsya. “Aku tahu ini cepat. Tapi aku bukan remaja yang main-main. Aku ingin kamu jadi bagian dari hidupku. Selamanya.” Arsya kaget, ragu, namun juga tersentuh. Ia belum pernah dicintai dengan tenang seperti ini. Tidak dengan janji manis, tapi dengan tindakan nyata. Apalagi Bima terlihat seperti pria dewasa yang dapat diandalka. Mereka akhirnya memutuskan untuk menikah sederhana di kantor KUA. Tidak ada pesta, hanya doa dan air mata haru. Resa hadir sebagai saksi sekaligus sahabat terbaik Arsya. Menggantikan kedua orang tuanya yang telah tiada. Awal pernikahan mereka indah. Bima membawa Arsya tinggal di rumah kecil sederhana di kawasan pinggiran kota. Ia bekerja di perusahaan arsitektur yang sedang berkembang, sementara Arsya menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Mereka tidak kaya, tapi cukup. Mereka tidak mewah, tapi bahagia. Bima selalu pulang tepat waktu. Mereka makan malam bersama, menonton film di laptop, dan tidur sambil berbagi cerita hari itu. Bima suka mencium kening Arsya sebelum tidur, kebiasaan yang membuat hati Arsya selalu merasa aman. “Kalau nanti kita punya anak,” kata Bima suatu malam, “aku pengen dia punya senyuman kayak kamu.” Arsya memejamkan mata, menyandarkan kepala ke bahu suaminya. “Dan aku pengen dia punya ketenangan kayak kamu,” ucap Arsya tulus. Kehidupan mereka terus berlanjut sampai saat Arsya hamil, Bima begitu perhatian. Ia belajar soal kehamilan, membelikan makanan bergizi, bahkan ikut ke kelas persiapan kelahiran. Waktu Reysa lahir, Bima menangis—untuk pertama kalinya dalam hidup Arsya, ia melihat pria itu benar-benar rapuh. “Aku janji, aku akan jadi ayah yang baik. Untuk kamu… dan Reysa,” bisiknya sambil menggenggam tangan mungil bayi mereka. Janji itu terasa tulus. Terlalu tulus, hingga Arsya menuliskannya dalam buku hariannya, mengabadikannya sebagai pengingat bahwa cinta sejati itu nyata. ------------------------------------------------------------------------- Tapi cinta, seperti musim, bisa berubah tanpa tanda. Dan perubahan itu dimulai saat Bima dipromosikan menjadi kepala proyek di kantor barunya. Tahun-tahun berlalu, hingga akhirnya kabar itu datang. Bima dipromosikan menjadi manajer cabang di kantornya. Arsya masih ingat hari itu dengan jelas. Ia bahkan menangis bahagia ketika Bima pulang membawa berita. “Aku manajer sekarang, Sya. Kita nggak perlu pusing soal biaya sekolah Reysa nanti. Hidup kita bakal jauh lebih baik,” ucap Bima sambil memeluknya erat. Arsya benar-benar bangga. Ia melihat suaminya sebagai pahlawan keluarga, lelaki yang berjuang keras demi mereka. Ia bahkan membuatkan makan malam istimewa malam itu, meski hanya sederhana, dengan nasi goreng spesial dan ayam goreng kesukaan Bima. Namun, perlahan, sejak promosi itu, Arsya mulai melihat perbedaan kecil yang semakin hari semakin membesar. Awalnya, perubahan itu tampak biasa. Bima mulai membeli pakaian kerja yang lebih mahal, jam tangan baru, dan parfum berkelas. Arsya tidak keberatan, karena ia tahu suaminya ingin menyesuaikan diri dengan posisinya yang baru. Namun, lama-kelamaan, Bima menjadi lebih sibuk dengan penampilan dibanding kebersamaan di rumah. Jika dulu ia selalu tertawa bersama Reysa saat pulang kerja, kini ia lebih sering langsung masuk kamar untuk mengganti baju atau sibuk dengan ponselnya. Arsya pernah menunggu makan malam bersama Reysa hingga larut malam, namun ketika Bima pulang, ia hanya berkata singkat, “Aku sudah makan di luar. Besok aja ya.” Hati Arsya mencelos, tapi ia mencoba mengerti dan berusaha untuk berpositif thingking, ‘Mungkin memang tuntutan pekerjaan,’ pikirnya. Hari-hari berikutnya, Bima makin sering pulang larut. Ia jarang lagi mengajak Arsya mengobrol panjang. Senyumnya yang dulu hangat kini terasa hambar. Bahkan, Reysa sering kali bertanya polos, “Ma, Papa kok jarang main sama aku sekarang?” Pertanyaan itu selalu menampar hati Arsya. Mendengar itu Arsya selalu berusaha menutupinya dengan senyuman yang dipaksakan. “Papa lagi banyak kerjaan, nanti kalau udah luang bakal main lagi sama Reysa,” Arsya menarik putrinya ke dalam pelukannya berusaha menenangkan putrinya. Meskipun begitu sebenarnya Arsya juga mulai meragukkan kata-katanya itu. Karena ia merasa perubahan Bima makin terasa ketika ia mulai sering berbohong. Ia bilang ada rapat penting, tapi Arsya menemukan struk makan malam dari restoran mahal. Ia bilang ponselnya mati, tapi Arsya melihat pesan masuk yang cepat-cepat ia hapus. Arsya berusaha menutup mata. Ia meyakinkan diri bahwa Bima hanya sibuk, bahwa ia hanya lelah. Namun jauh di lubuk hatinya, Arsya tahu sesuatu sudah berbeda. Janji manis yang dulu mereka ikrarkan perlahan memudar. Tak hanya itu, perlahan Bima pun mulai menunjukkan sisi angkuh yang dulu tidak pernah ada. Ia yang dulu rendah hati dan suka menolong tetangga, kini lebih sering menghindar. Saat ada tetangga yang menyapa, Bima hanya membalas sekilas atau bahkan berpura-pura tidak mendengar. Di rumah, ia mulai berbicara dengan nada lebih keras, seolah ingin menunjukkan siapa yang paling berkuasa. Kadang ia mengomel hanya karena Arsya lupa menyetrika bajunya, atau karena Reysa berisik bermain ketika ia sedang menelepon. “Kamu nggak bisa lebih rapi sedikit, Sya? Aku ini manajer sekarang. Jangan bikin aku malu!” Kata-kata itu menusuk hati Arsya. Ia menunduk, menahan air mata, tidak ingin memperburuk keadaan di depan anaknya. Ia berusaha menyimpan semuanya sendiri.Pagi itu, sinar matahari yang baru saja menyelinap di balik gedung-gedung tinggi Jakarta menembus tirai tipis kamar apartemen Arsya. Alarm kecil di meja nakas berbunyi pelan, cukup untuk membangunkan Arsya yang sudah terbiasa dengan rutinitas rumah besar milik Yasa . Namun, kali ini ada yang berbeda. Tidak ada langkah kaki pembantu rumah yang lalu-lalang, tidak ada suara Bi Narsih yang membangunkannya dengan panggilan lembut jika ia kesiangan, tidak ada hiruk pikuk rumah besar itu. Yang ada hanya kesunyian, aroma apartemen baru, dan secercah semangat yang mulai ia pupuk dalam dirinya.Arsya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari pertama dirinya masuk ke kantor Yasa. Sebuah langkah besar dari seorang wanita yang dulunya hanya berstatus pembantu rumah tangga, menjadi asisten pribadi di perusahaan besar. Perubahan yang terjadi begitu cepat, namun semuanya terasa sangat nyata.Setelah membereskan tempat tidurnya, Arsya melangkah menuju koper yang ia letakkan d
Pagi itu, udara di rumah besar keluarga Yasa terasa berbeda bagi Arsya. Ia berdiri di depan kamarnya, koper kecil sudah rapi di tangannya, dan beberapa tas lain tersusun di lantai. Ada rasa getir yang menggelayut di dadanya. Sejak beberapa minggu terakhir, rumah itu menjadi tempat ia berpijak meskipun penuh dengan pura-pura dan rahasia, tetap saja rumah itu memberikan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.Sebelum ia benar-benar pergi, Arsya menyempatkan diri untuk berpamitan pada orang yang pertama kali menyambutnya di rumah itu, Bi Narsih. Perempuan paruh baya itu sedang membereskan ruang makan ketika Arsya menghampirinya.“Bi…” suara Arsya pelan, tapi cukup membuat wanita itu menoleh.“Oh, Mba Arsya. Ada apa? Mau sarapan dulu sebelum berangkat?” tanya Bi Narsih sambil mengusap tangannya yang sedikit basah karena bekas melap piring.Arsya menggeleng pelan. “Tidak, Bi. Saya cuma… mau pamit.”Dahi Bi Narsih berkerut, terlihat bingung. “Pamit? Memangnya mau ke mana, Mba?”A
Pagi itu, langit Jakarta tampak sedikit mendung, seolah menandai sebuah keputusan besar yang akan diambil Yasa. Ia duduk di ruang kerjanya yang luas, jari-jarinya mengetuk meja kayu mahal itu dengan ritme pelan. Sudah dua hari sejak pembicaraannya dengan Arsya mengenai ide apartemen yang disarankan oleh Deon. Waktu itu, ia sempat ragu, mempertimbangkan kembali kekhawatiran yang diutarakan gadis itu mengenai jarak yang mungkin mengganggu kelancaran rencana mereka. Namun, dua hari terakhir, gelagat ibunya mulai menunjukkan sesuatu yang tidak menyenangkan. Hal itu membuat Yasa semakin tak tenang juga.Ditambah kemarin ibunya datang dengan alasan makan malam, Yasapun mau tak mau menyuruh Arsya ikut makan malam dengan mereka. Malam itu Herlina mulai bertanya-tanya lebih sering, mulai mengamati gerak-gerik Arsya dengan sorot mata yang penuh selidik. Tidak lagi hanya tersenyum ramah seperti sebelumnya, kini ada tatapan menyipit yang seolah ingin menguliti sandiwara mereka. Yasa tahu betul si
Langkah-langkah Yasa bergema pelan di koridor rumahnya yang malam itu terasa lebih sepi dari biasanya. Ia baru saja pulang, masih mengenakan jas kerjanya yang rapi namun sedikit kusut akibat hari yang panjang. Pikiran tentang pembicaraannya dengan Deon terus berputar di kepalanya. Malam sebelumnya ia menghabiskan waktu memikirkan cara terbaik untuk menjaga sandiwara ini tetap berjalan. Dan malam ini, ia sudah memutuskan untuk membicarakannya langsung dengan orang yang bersangkutan, yaitu Arsya.Lampu-lampu rumah sudah redup, hanya beberapa sudut yang masih menyala. Langkahnya berhenti di depan ruang kerjanya. Pintu sedikit terbuka, dan dari celahnya ia melihat cahaya lampu meja menyala. Yasa mengerutkan kening.Siapa di dalam?Ia mendorong pintu pelan. Di sana, ia melihat Arsya sedang merapikan beberapa dokumen yang tampaknya tadi digunakan olehnya. Di atas meja, terletak secangkir kopi panas yang asapnya masih mengepul.“Oh, Tuan Yasa,” sapa Arsya segera, berdiri sedikit kikuk saat m
Makan malam itu berjalan jauh lebih mulus dari yang Yasa perkirakan. Meja makan yang biasanya hanya menjadi tempat pertukaran basa-basi dingin, malam itu menjadi saksi percakapan ringan, tawa kecil, dan obrolan yang mengalir lebih hangat. Arsya memainkan perannya dengan sempurna, bahkan sesekali melempar gurauan yang membuat Ibu Herlina tersenyum samar, sebuah pemandangan langka yang selama ini sulit Yasa dapatkan, bahkan dari dirinya sendiri.Usai makan malam, mereka bertiga berbincang sejenak di ruang tamu. Herlina tidak banyak bicara, namun tatapan matanya cukup untuk membuat Yasa paham. Ibunya tidak sepenuhnya percaya, tapi ia memberi mereka kesempatan. Dan bagi Herlina, kesempatan adalah bentuk kepercayaan awal yang sangat berharga.Namun Yasa terlalu mengenal ibunya. Wanita itu tidak pernah benar-benar percaya hanya karena satu malam berjalan baik. Ia pasti akan menimbang, meneliti, menguji, dan jika perlu menggali sampai ke akar.Malam itu setelah pulang
Malam telah larut ketika Yasa duduk di ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu mahoni yang tertata rapi. Lampu meja yang redup memantulkan cahaya hangat, namun pikirannya terasa jauh lebih berisik dari keheningan malam itu. Telepon dari ibunya sore tadi masih terngiang jelas di telinganya nada suara Herlina begitu tegas, tak memberi celah untuk bernegosiasi. Yasa benar-benar di buat sakit kepala oleh ibunya."Kamu berani membawa wanita lain di kencan yang sudah Mami siapkan? Besok kamu ke rumah Ibu, dan bawa dia. Mami mau lihat wanita pilihanmu."Yasa mendesah berat, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia tahu ibunya bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dibujuk. Herlina memiliki ingatan yang tajam, matanya selalu awas, dan setiap gerak-gerik kecil tidak pernah luput dari perhatiannya. Membawa Arsya ke hadapan ibunya sama saja seperti membawa seekor rusa ke kandang singa, bisa saja semua kedok mereka terbongkar dalam sekejap. Harusnya ia juga mem