Hari-hari setelah perubahan sifat Bima terasa semakin berat dan nyata. Arsya berusaha keras menahan semua luka seorang diri, tapi lama-kelamaan beban itu terlalu berat untuk ia pikul. Rasa kecewa, cemas, curiga, dan takut bercampur menjadi satu. Senyuman Reysa selalu menjadi alasan ia bertahan, namun ketika malam datang dan rumah terasa dingin, air matanya selalu tumpah tanpa mampu ia tahan.
Selama ini Arsya tidak pernah menceritakan masalah rumah tangganya kepada siapa pun. Ia ingin menjaga harga diri Bima, juga keluarganya sendiri. Baginya, membuka aib rumah tangga sama saja seperti melukai diri sendiri. Namun semakin lama, batinnya seperti dicekik. Ia butuh seseorang untuk berbagi. Namun, tak mungkin ia bercerita hal ini pada putrinya. Namun kemudian, terlintaslah sebuah nama di pikirannya yaitu, Resa. ------------------------------------------------------------------------- Resa meruapakan sahabat Arsya sejak SMA. Mereka berdua tumbuh bersama, melewati masa-masa remaja penuh rahasia dan tawa. Saat Arsya menikah dengan Bima, Resa adalah salah satu orang yang paling bahagia. Ia bahkan ikut menyiapkan pesta kecil mereka, membantu Arsya memilih gaun, dan berdiri di sisinya saat ijab kabul. Maka wajar jika Arsya merasa Resa adalah tempat paling aman untuk berbagi keluh kesah. Meskipun awalnya memang Arsya sedikit ragu untuk curhat pada Resa, namun tekanan yang ia terima terasa semakin berat, selain itu rasa percanyanya pada Resa sangat besar. Hingga suatu sore, saat Bima pulang larut lagi-lagi tanpa kabar. Ia berusaha menelpon Bima namun pria itu tidak menjawabnya, meskipun nomornya aktif. Hal itu membuat Arsya yang tidak tau arahpun memutuskan untuk menelpon Resa. Suaranya bergetar, hampir pecah oleh tangis. “Resa… aku nggak kuat. Aku… aku nggak ngerti kenapa Bima berubah begini.” Di ujung telepon, Resa terdengar panik sekaligus penuh perhatian. “Sya, sabar ya. Coba ceritain pelan-pelan ke aku. Aku dengerin kok. Aku ada buat kamu.” Kata-kata itu bagai pelukan hangat baginya. Arsya pun menangis di telepon, membongkar semua yang ia pendam, tentang bagaiaman sifat Bima yang semakin dingin, kebohongan-kebohongan kecil yang ia temukan, dan rasa takut kehilangan keluarganya. Resa tidak menghakimi keduanya. Ia justru menenangkan. “Bima mungkin lagi stres kerja, Sya. Jangan langsung mikir yang buruk-buruk dulu. Kamu harus sabar, ya? Jangan bikin masalah tambah besar.” Arsya mengangguk di ujung telpon, meski hatinya masih berkecamuk. Namun kehadiran Resa benar-benar meringankan. Setidaknya, ia tidak lagi merasa sendirian saat ini. Beberapa hari setelah percakapan itu, Resa mulai sering datang ke rumah Arsya. Alasannya sederhana, ia ingin menemani Arsya agar tidak merasa kesepian. “Kalau kamu ada temen curhat, kan nggak kepikiran yang aneh-aneh,” kata Resa sambil tersenyum hangat sore itu. Arsya bahagia mendengarnya. Ia merasa diberkati karena punya sahabat sebaik Resa. Mereka sering memasak bersama, menemani Reysa bermain, atau sekadar menonton film sambil mengobrol. Kehadiran Resa membuat rumah yang dingin terasa lebih hangat. Reysa pun cepat akrab dengan Resa. Melihat itu, membuat Arsya sering memanggil Resa untuk bermain Bersama Reysa. Arsya semakin merasa lega—ia yakin Resa benar-benar tulus. Namun di balik keramahan itu, ada sesuatu yang tidak disadari Arsya. Tatapan Resa sesekali menyapu ruangan dengan cara berbeda, terutama ketika Bima berada di rumah. ------------------------------------------------------------------------- Awalnya, Arsya tidak menyadari apapun. Ia juga perlahan mulai merasa lebih membaik, karena kehadiran Resa. Resa yang selalu tampak tulus, penuh perhatian padanya, Reysa dan— juga Bima. Pada awalnya, Arsya merasa hal itu sangat normal sampai tiba ia merasa beberapa hal kecil lama-lama terasa aneh. Suatu kali, Arsya sedang menyiapkan teh di dapur, sementara Resa dan Bima ada di ruang tamu. Dari kejauhan, ia mendengar tawa keduanya. Tawa yang terdengar sedikit… terlalu akrab. Saat ia keluar membawa teh, Resa buru-buru menunduk, sementara Bima sibuk dengan ponselnya. Melihat itu, Arsya berpura-pura tidak memikirkannya, ia kemudian tersenyum pada keduanya dan meletakkan teh di meja.. Hatinya mengernyit, tapi ia mengusir pikiran buruk itu. Masa iya sahabatku sendiri…? Lain waktu, Arsya melihat Resa menepuk bahu Bima sambil bercanda. Sentuhan itu singkat, namun cukup membuat Arsya terdiam. Bima terlihat tidak terganggu, bahkan membalas dengan senyum samar. Sekali lagi, Arsya menolak berpikir negatif. Ia percaya penuh pada sahabat dan suaminya. Hingga suatu malam, semua rahasia itu akhirnya terbuka. Bima bilang ia harus lembur. Arsya percaya, seperti biasa. Namun malam itu, ia tiba-tiba merasa resah. Rasa cemas mendorongnya untuk keluar mencari udara segar. Ia pun mengendarai motor bututnya tanpa arah jelas, hingga akhirnya melewati sebuah kafe yang cukup jauh dari rumah mereka. Di situlah ia melihatnya—pemandangan yang merobek hatinya. Bima duduk di dalam kafe, bukan dengan rekan kerja, melainkan dengan Resa. Mereka duduk berhadapan, tampak begitu dekat. Tawa Resa terdengar jelas, sementara tangan Bima tanpa ragu meraih tangan sahabatnya itu di atas meja, lalu menarik dan menciumnya. Dunia Arsya runtuh seketika. Jantungnya berdegup kencang, napasnya tercekat. Ia tidak bisa mempercayai apa yang dilihat matanya. Sahabat yang selama ini ia percaya, yang ia anggap saudara sendiri, kini duduk dengan suaminya, berbagi tawa yang dulu hanya milik mereka berdua. Air mata Arsya jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia ingin masuk dan mengamuk, namun tubuhnya terlalu lemas. Ia hanya bisa berdiri terpaku di luar kaca, menyaksikan pengkhianatan itu dengan hati remuk. Malam itu, Arsya pulang dengan tubuh gemetar. Hingga tengah malam ia masih tidak bisa tidur, matanya sesekali melirik ke ponsel yang berada di genggaman tangannya. Belum ada pesan dari suaminya, hal itu membuat Arsya semakin merasa ketakutan, air matanya terus menetes tanpa bisa di cegah. Ia menangis dalam diam, di sebelahnya Reysa tertidur lelap. Saat itu akhirnya ia paham kemana suaminya yang sering pulang larut malam, bahkan tak pulang. Tok tok tok… Suara ketukan pintu rumahnya membuat Arsya berjalan ke ruang depan untuk membukakan pintu. Resa muncul dari balik pintu, seperti tidak terjadi apa-apa. Senyum manisnya sama seperti biasa. Masuk ke dalam rumahnya. “Sya, aku bawain makanan. Kamu pasti belum sarapan, kan?” Resa berkata sambil menaruh kantong berisi roti di meja. Arsya menatapnya lama, air mata menetes tanpa sadar. Resa sedikit terkejut. “Eh, kenapa? Kamu kenapa, Sya?” Suara Arsya bergetar, penuh luka. “Kenapa, Res? Kenapa kamu tega?” Wajah Resa seketika pucat. Tangannya yang memegang kantong roti bergetar. “A… apa maksud kamu?” Ia masih berusaha menutupinya. Arsya menghela napas panjang, suaranya pecah. “Aku lihat kamu sama Bima tadi malam. Di kafe. Kalian ketawa… pegangan tangan… dan…” Kata-kata itu terputus oleh tangis. Arsya tak sanggup untuk melanjutkannya. Resa terdiam, tidak bisa menjawab. Tatapannya yang sebelumnya gugup, perlahan berganti menjadi dingin. Ia tersenyum sinis. “Sya… awalnya aku nggak bermaksud nyakitin kamu. Tapi kamu harus ngerti… Bima butuh seseorang yang bisa ngerti dia. Kamu terlalu sibuk sama anakmu, terlalu cemburuan… dia butuh ruang.” Perkataan itu bagaikan pisau yang menancap berkali-kali di dada Arsya. “Anakku? Kamu berani bilang begitu? Bima suamiku, Res… suami yang dulu aku percayain, yang aku bela mati-matian!” Res menunduk, namun tidak ada penyesalan di matanya. Yang ada hanyalah keangkuhan tersembunyi. “Aku cuma… aku cuma jatuh hati, Sya. Aku nggak bisa ngatur perasaan aku.” Arsya menatapnya penuh amarah dan luka. “Kamu sahabatku, Res. Sahabat yang aku percaya! Kamu hancurin rumah tanggaku dengan tanganmu sendiri!” Tubuhnya bergetar, matanya memerah, air matanya terus mengalir bergantian. “PERGI KAMU! PERGI DARI RUMAHKU!” teriaknya marah, menghusir Resa. Mendengar itu membuat Resa, menatap Arsya sinis, ia kembali mengambil kantung plastic yang sebelumnya ia letakkan, lalu keluar dari rumah itu. Setelah hari itu, Resa berhenti datang ke rumah. Bima pun semakin jarang pulang. Arsya terjebak dalam jurang kesepian yang lebih dalam daripada sebelumnya. Ia merasa dunia benar-benar memusuhinya. Orang yang ia cintai berkhianat, sahabat yang ia percaya menusuk dari belakang. Luka itu membekas begitu dalam, menorehkan rasa sakit yang takkan pernah ia lupakan. Dan sejak saat itu, Arsya tahu—hidupnya tidak akan pernah sama lagi.Pagi itu, sinar matahari yang baru saja menyelinap di balik gedung-gedung tinggi Jakarta menembus tirai tipis kamar apartemen Arsya. Alarm kecil di meja nakas berbunyi pelan, cukup untuk membangunkan Arsya yang sudah terbiasa dengan rutinitas rumah besar milik Yasa . Namun, kali ini ada yang berbeda. Tidak ada langkah kaki pembantu rumah yang lalu-lalang, tidak ada suara Bi Narsih yang membangunkannya dengan panggilan lembut jika ia kesiangan, tidak ada hiruk pikuk rumah besar itu. Yang ada hanya kesunyian, aroma apartemen baru, dan secercah semangat yang mulai ia pupuk dalam dirinya.Arsya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari pertama dirinya masuk ke kantor Yasa. Sebuah langkah besar dari seorang wanita yang dulunya hanya berstatus pembantu rumah tangga, menjadi asisten pribadi di perusahaan besar. Perubahan yang terjadi begitu cepat, namun semuanya terasa sangat nyata.Setelah membereskan tempat tidurnya, Arsya melangkah menuju koper yang ia letakkan d
Pagi itu, udara di rumah besar keluarga Yasa terasa berbeda bagi Arsya. Ia berdiri di depan kamarnya, koper kecil sudah rapi di tangannya, dan beberapa tas lain tersusun di lantai. Ada rasa getir yang menggelayut di dadanya. Sejak beberapa minggu terakhir, rumah itu menjadi tempat ia berpijak meskipun penuh dengan pura-pura dan rahasia, tetap saja rumah itu memberikan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.Sebelum ia benar-benar pergi, Arsya menyempatkan diri untuk berpamitan pada orang yang pertama kali menyambutnya di rumah itu, Bi Narsih. Perempuan paruh baya itu sedang membereskan ruang makan ketika Arsya menghampirinya.“Bi…” suara Arsya pelan, tapi cukup membuat wanita itu menoleh.“Oh, Mba Arsya. Ada apa? Mau sarapan dulu sebelum berangkat?” tanya Bi Narsih sambil mengusap tangannya yang sedikit basah karena bekas melap piring.Arsya menggeleng pelan. “Tidak, Bi. Saya cuma… mau pamit.”Dahi Bi Narsih berkerut, terlihat bingung. “Pamit? Memangnya mau ke mana, Mba?”A
Pagi itu, langit Jakarta tampak sedikit mendung, seolah menandai sebuah keputusan besar yang akan diambil Yasa. Ia duduk di ruang kerjanya yang luas, jari-jarinya mengetuk meja kayu mahal itu dengan ritme pelan. Sudah dua hari sejak pembicaraannya dengan Arsya mengenai ide apartemen yang disarankan oleh Deon. Waktu itu, ia sempat ragu, mempertimbangkan kembali kekhawatiran yang diutarakan gadis itu mengenai jarak yang mungkin mengganggu kelancaran rencana mereka. Namun, dua hari terakhir, gelagat ibunya mulai menunjukkan sesuatu yang tidak menyenangkan. Hal itu membuat Yasa semakin tak tenang juga.Ditambah kemarin ibunya datang dengan alasan makan malam, Yasapun mau tak mau menyuruh Arsya ikut makan malam dengan mereka. Malam itu Herlina mulai bertanya-tanya lebih sering, mulai mengamati gerak-gerik Arsya dengan sorot mata yang penuh selidik. Tidak lagi hanya tersenyum ramah seperti sebelumnya, kini ada tatapan menyipit yang seolah ingin menguliti sandiwara mereka. Yasa tahu betul si
Langkah-langkah Yasa bergema pelan di koridor rumahnya yang malam itu terasa lebih sepi dari biasanya. Ia baru saja pulang, masih mengenakan jas kerjanya yang rapi namun sedikit kusut akibat hari yang panjang. Pikiran tentang pembicaraannya dengan Deon terus berputar di kepalanya. Malam sebelumnya ia menghabiskan waktu memikirkan cara terbaik untuk menjaga sandiwara ini tetap berjalan. Dan malam ini, ia sudah memutuskan untuk membicarakannya langsung dengan orang yang bersangkutan, yaitu Arsya.Lampu-lampu rumah sudah redup, hanya beberapa sudut yang masih menyala. Langkahnya berhenti di depan ruang kerjanya. Pintu sedikit terbuka, dan dari celahnya ia melihat cahaya lampu meja menyala. Yasa mengerutkan kening.Siapa di dalam?Ia mendorong pintu pelan. Di sana, ia melihat Arsya sedang merapikan beberapa dokumen yang tampaknya tadi digunakan olehnya. Di atas meja, terletak secangkir kopi panas yang asapnya masih mengepul.“Oh, Tuan Yasa,” sapa Arsya segera, berdiri sedikit kikuk saat m
Makan malam itu berjalan jauh lebih mulus dari yang Yasa perkirakan. Meja makan yang biasanya hanya menjadi tempat pertukaran basa-basi dingin, malam itu menjadi saksi percakapan ringan, tawa kecil, dan obrolan yang mengalir lebih hangat. Arsya memainkan perannya dengan sempurna, bahkan sesekali melempar gurauan yang membuat Ibu Herlina tersenyum samar, sebuah pemandangan langka yang selama ini sulit Yasa dapatkan, bahkan dari dirinya sendiri.Usai makan malam, mereka bertiga berbincang sejenak di ruang tamu. Herlina tidak banyak bicara, namun tatapan matanya cukup untuk membuat Yasa paham. Ibunya tidak sepenuhnya percaya, tapi ia memberi mereka kesempatan. Dan bagi Herlina, kesempatan adalah bentuk kepercayaan awal yang sangat berharga.Namun Yasa terlalu mengenal ibunya. Wanita itu tidak pernah benar-benar percaya hanya karena satu malam berjalan baik. Ia pasti akan menimbang, meneliti, menguji, dan jika perlu menggali sampai ke akar.Malam itu setelah pulang
Malam telah larut ketika Yasa duduk di ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu mahoni yang tertata rapi. Lampu meja yang redup memantulkan cahaya hangat, namun pikirannya terasa jauh lebih berisik dari keheningan malam itu. Telepon dari ibunya sore tadi masih terngiang jelas di telinganya nada suara Herlina begitu tegas, tak memberi celah untuk bernegosiasi. Yasa benar-benar di buat sakit kepala oleh ibunya."Kamu berani membawa wanita lain di kencan yang sudah Mami siapkan? Besok kamu ke rumah Ibu, dan bawa dia. Mami mau lihat wanita pilihanmu."Yasa mendesah berat, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia tahu ibunya bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dibujuk. Herlina memiliki ingatan yang tajam, matanya selalu awas, dan setiap gerak-gerik kecil tidak pernah luput dari perhatiannya. Membawa Arsya ke hadapan ibunya sama saja seperti membawa seekor rusa ke kandang singa, bisa saja semua kedok mereka terbongkar dalam sekejap. Harusnya ia juga mem