LOGINTiga hari telah berlalu sejak kejadian malam itu, malam ketika hujan menjadi saksi pertemuan takdir antara Arsya dan pria yang menariknya dari tepi kehancuran. Kini, ia duduk di tepi ranjang rumah sakit, jari-jarinya meremas selimut putih yang ia kenakan, sementara tatapannya kosong menembus jendela di sebelahnya.
Langit masih kelabu. Seolah enggan memberikan sedikit sinar pada dunia yang telah lama kehilangan cahayanya. Arsya ingin percaya bahwa ia telah kembali hidup, tapi rasanya tubuh ini hanya wadah kosong, terisi oleh napas yang dipaksa tetap ada. Pintu kamar terbuka pelan. Yasa masuk bersama seorang pria lain, membawa paper bag berisi roti dan susu. Ia masih sama seperti hari pertama tenang, tidak memaksa bicara, tapi selalu hadir. Tanpa pertanyaan yang menyakitkan. "Apakah anda sudah lebih baik?" tanya pria yang di sebelah Yasa, menaruh roti di meja kecil samping tempat tidur. Arsya tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, seperti enggan terlibat dalam apapun. Ia ingin segera pergi dari sini, dari orang ini, dari semuanya. “Aku sudah bicara dengan dokter. Kau bisa pulang hari ini,” kali ini Yasa yang mengatakannya, sambil menatapnya. “Tapi sebelum itu... kita perlu bicara.” Arsya langsung menegang. Ia tahu waktunya tiba. Orang ini pasti ingin tahu alasannya hampir bunuh diri. Mungkin akan menasehati atau lebih buruk—melaporkannya ke pihak berwajib. "Aku tidak akan kembali ke sana," ujar Arsya sebelum Yasa sempat berbicara lebih jauh. "Aku akan pergi ke tempat lain... tempat siapa pun tak bisa mencariku." “Ke mana? Kau bahkan tidak punya tempat tinggal sekarang,” Yasa berkata datar, kejujuran yang sedikit menyakitkan Arsya. "Dan yang lebih penting… kau belum membayar biaya rumah sakit ini," Lanjut Yasa Arsya menunduk. Benar. Ia bahkan tidak tahu berapa besar utang yang ditanggung pria itu. Ia ingat samar-samar alat medis, infus, dan perawatan intensif yang ia terima. “Aku... aku akan cari cara. Aku akan bekerja. Aku akan bayar,” ucapnya terbata karena gugup. Yasa menarik kursi dan duduk di depannya. “Kau bisa mulai sekarang. Ada satu pekerjaan. Entah kau akan menerimanya atau tidak tapi ku rasa kau harus menerimannya." Arsya mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?” Yasa menghela napas, lalu menjelaskan dengan suara datar tapi langsung. “Aku kekurangan orang untuk bekerja diruamahku, seseorang untuk membantu—membersihkan rumah, merapikan dokumen atau memasak. Tidak berat. Gaji kecil, tapi cukup. Aku juga akan potong sedikit demi sedikit untuk melunasi tagihan rumah sakitmu.” Pria disebelah Yasa meliriknya sekilas, terlihat sedikit terkejut dengan pernyataan Yasa. Di lain sisi Arsya terdiam. Tawaran itu terdengar seperti peringatan tersembunyi. Tapi ia tahu, ia tidak punya pilihan. Semua orang telah membalikkan punggung padanya. Ia bahkan tidak bisa kembali ke rumah yang dulunya ia sebut rumah karena rumah itu kini milik Bima dan Resa “Aku bukan pembantu…” gumam Arsya pelan. “Aku tahu,” jawab Yasa datar. “Tapi ini satu-satunya cara agar kau bisa hidup tanpa harus berhutang lebih banyak. Atau… kau lebih suka kembali ke jembatan itu?” Pertanyaan itu menusuk. Arsya mengangkat kepala, menatap mata pria itu. Terdengar seperti sindiran, tidak ada ancaman. Hanya… kenyataan yang pahit. “Berapa lama?” “Sebulan. Kalau kau tidak betah, setelah utang rumah sakitmu lunas, kau bebas pergi.” Hening beberapa saat. Arsya menimbang, tapi sebenarnya jawabannya sudah jelas sejak tadi. Ia tidak bisa bertahan sendiri. Tidak saat ini. “Baik. Tapi jangan pernah mengasihaniku,” katanya akhirnya. Yasa tersenyum tipis. “Aku tidak pernah mengasihanimu, Arsya. Aku hanya… tidak membiarkanmu mati.” jelasnya lagi. Sore itu, untuk pertama kalinya sejak Reysa pergi, Arsya meninggalkan rumah sakit bukan dengan langkah gontai, tapi dengan kaki yang mencoba bertahan. Ia dibawa ke rumah Yasa, yang terletak di kawasan perkotaan, jauh dari rumahnya dan Bim—, tidak bahkan pria itu tidak pantas disebut namanya. Mereka sampai di sebuah bangunan minimalis modern dengan taman kecil pada halamannya. Mereka turun dari mobil, Yasa melangkahkan kakinya menuju rumah itu diikuti dirinya dan Deon, pria yang ternyata sekertaris Yasa. Saat membuka pintu mereka di sambut oleh seorang wanita paruh baya. "Selamat datang Tuan," sapa wanita itu sopan. Yasa hanya menganggukan kepalanya. “Mulai besok pagi, kau bisa membantu Bi Narsih membersihkan ruang tamu dan dapur. Lantai dua tidak usah, itu area pribadi," jelas Yasa. "Bi Narsih, tolong bantu jelaskan apa saja yang dapat ia kerjakan." "Baik tuan," Bi Narsih mengangguk mengiyakan. "Sekalian tunjukan kamarnya," tambah Yasa sebelum membalikkan badannya bersama Deon yang mengikutinya. Bi Narsih menunjukkan kamar yang di maksud Yasa "Silahkan neng, neng istirahat dulu," Arsya mengangguk "Makasih bi," ia masuk ke dalam kamar yang lumayan luas bagi Arsya yang sendirian, meletakkan tas plastik kecilnya isi dunia terakhir yang ia miliki di pojok ruangan. Rasanya aneh. Seperti tamu tak diundang di kehidupan seseorang. Tapi ini lebih baik daripada tidur di jalan. Yasa sudah sangat baik membantu dan memberikannya tempat yang layak. Arsya membaringkan dirinya di atas ranjang dengan perlahan, matanya menatap langit-langit yang putih polos. Dadanya sesak, tapi kali ini bukan karena putus asa. Melainkan karena… rasa bersalah. Ia tahu ia masih hidup. Tapi mengapa ia merasa seperti pengkhianat bagi Reysa? “Mama kerja ya, Nak… Tapi bukan lagi demi masa depan kita… Sekarang, mama cuma ingin bisa bertahan, walau tanpa kamu.” Air mata kembali membasahi pipinya. Tapi kali ini, ia menahannya. Karena mulai hari ini, ia bukan hanya korban. Ia adalah seorang ibu yang masih hidup. Dan dalam hidup itu, ia memeiliki utang yang harus ia bayar, membalaskan dendam anaknya.Pagi itu, suasana kantor tampak seperti biasa. Semua berjalan normal, namun di balik aktivitas yang terlihat rutin, tiga wanita yang selama ini menjadi duri bagi Arsya telah menyusun rencana baru. Rencana yang jauh lebih keji dari sebelumnya.Setelah kegagalan mereka kemarin yang malah berakhir dengan kekalahan memalukan, mereka tidak mau lagi sekadar bermain-main. Rasa iri yang sudah membakar mereka semakin menjadi-jadi setelah melihat Arsya kembali bekerja dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan, dari pengamatan mereka, hubungan Arsya dengan Yasa tampak semakin dekat. Yasa mulai lebih sering memanggilnya ke ruangannya, memberinya tugas-tugas penting, bahkan beberapa kali terlihat mengajaknya bicara dengan nada yang tidak pernah mereka dapatkan selama bertahun-tahun bekerja.“Lihat aja tuh,” desis Rita, matanya tak lepas dari meja Arsya. “Dikasih perhatian lebih, disenyumin pula sama Pak Yasa. Padahal kemarin abis gue jambak tuh orang.”“Dan dia balik lagi kayak nggak ada a
Hari itu, suasana kantor terlihat seperti biasa. Aktivitas berjalan norma deru printer, suara langkah terburu-buru pegawai yang berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, dan aroma kopi yang samar menyelimuti lantai tempat Arsya bekerja. Namun, ada satu hal yang masih belum reda, gosip tentang dirinya.Sejak ia membawa bekal buatan sendiri dan memberikannya kepada Yasa, topik itu seperti api kecil yang terus dikipasi agar menyala. Beberapa staf perempuan, terutama yang merasa memiliki kedekatan lama dengan Yasa atau sekadar ingin diakui keberadaannya, semakin panas hatinya. Mereka tidak mengerti bagaimana seorang wanita yang baru beberapa minggu bekerja di sini bisa mendapatkan perhatian khusus dari sang pemilik perusahaan.“Lihat saja tadi pas makan siang,” bisik seorang pegawai di pantry, menahan suara agar tak terlalu jelas terdengar. “Pak Yasa makan bekal dari dia. Gila nggak tuh? Selama gue kerja di sini, nggak pernah ada yang kayak gitu.&rdquo
Pagi itu, jam baru menunjukkan pukul lima lewat sedikit ketika Arsya membuka matanya. Cahaya matahari belum sepenuhnya menyentuh permukaan kota, hanya samar-samar menembus gorden tipis apartemen yang ia tinggali. Suasana masih sunyi. Udara pagi terasa sedikit dingin, membuat kulitnya merinding sejenak saat kakinya menyentuh lantai.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar jantung yang entah kenapa pagi ini terasa sedikit berbeda. Hari ini ia punya rencana kecil. Bukan rencana yang besar seperti balas dendam yang selama ini ia pendam, tetapi langkah sederhana yang mungkin saja bisa membuka jalur yang lebih luas menuju kepercayaan Yasa.Arsya melangkah ke kamar mandi, membiarkan air dingin mengalir di wajahnya. Selesai membersihkan diri, ia berdiri di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang masih basah. Ada sedikit lingkaran gelap di bawah mata akibat begadang beberapa malam lalu, namun itu bukan masalah. Ia tersenyum samar pada bayangannya, lalu melilitkan
Hari-hari terasa berjalan dengan ritme yang berbeda bagi Arsya. Sudah hampir seminggu sejak ia resmi bekerja di perusahaan milik Yasa. Pagi, siang, hingga sore harinya kini dihabiskan di kantor besar itu, sebuah gedung tinggi yang berlapis kaca dengan suasana yang awalnya terasa asing, namun kini perlahan menjadi tempatnya belajar kembali mengenal dunia kerja.Sejak hari pertama ia diperkenalkan sebagai asisten pribadi Yasa di kantor, perhatian banyak mata seolah terus mengawalnya. Dari bisikan samar di balik meja, lirikan penuh rasa ingin tahu di lorong-lorong kantor, hingga tatapan sinis beberapa pegawai wanita yang merasa posisinya terusik. Arsya bisa merasakan semuanya, meski ia tidak menunjukkan reaksi berlebihan.“Katanya dia nggak punya pengalaman kerja di bidang ini sebelumnya, ya?” bisik salah satu karyawan yang melintas di dekat pantry.“Iya, tapi bisa langsung jadi asisten pribadi Pak Yasa. Coba bayangin, orang-orang di sini antri bertahun-tahun buat deket sama beliau,” sahu
Pagi itu, sinar matahari yang baru saja menyelinap di balik gedung-gedung tinggi Jakarta menembus tirai tipis kamar apartemen Arsya. Alarm kecil di meja nakas berbunyi pelan, cukup untuk membangunkan Arsya yang sudah terbiasa dengan rutinitas rumah besar milik Yasa . Namun, kali ini ada yang berbeda. Tidak ada langkah kaki pembantu rumah yang lalu-lalang, tidak ada suara Bi Narsih yang membangunkannya dengan panggilan lembut jika ia kesiangan, tidak ada hiruk pikuk rumah besar itu. Yang ada hanya kesunyian, aroma apartemen baru, dan secercah semangat yang mulai ia pupuk dalam dirinya.Arsya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari pertama dirinya masuk ke kantor Yasa. Sebuah langkah besar dari seorang wanita yang dulunya hanya berstatus pembantu rumah tangga, menjadi asisten pribadi di perusahaan besar. Perubahan yang terjadi begitu cepat, namun semuanya terasa sangat nyata.Setelah membereskan tempat tidurnya, Arsya melangkah menuju koper yang ia letakkan d
Pagi itu, udara di rumah besar keluarga Yasa terasa berbeda bagi Arsya. Ia berdiri di depan kamarnya, koper kecil sudah rapi di tangannya, dan beberapa tas lain tersusun di lantai. Ada rasa getir yang menggelayut di dadanya. Sejak beberapa minggu terakhir, rumah itu menjadi tempat ia berpijak meskipun penuh dengan pura-pura dan rahasia, tetap saja rumah itu memberikan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.Sebelum ia benar-benar pergi, Arsya menyempatkan diri untuk berpamitan pada orang yang pertama kali menyambutnya di rumah itu, Bi Narsih. Perempuan paruh baya itu sedang membereskan ruang makan ketika Arsya menghampirinya.“Bi…” suara Arsya pelan, tapi cukup membuat wanita itu menoleh.“Oh, Mba Arsya. Ada apa? Mau sarapan dulu sebelum berangkat?” tanya Bi Narsih sambil mengusap tangannya yang sedikit basah karena bekas melap piring.Arsya menggeleng pelan. “Tidak, Bi. Saya cuma… mau pamit.”Dahi Bi Narsih berkerut, terlihat bingung. “Pamit? Memangnya mau ke mana, Mba?”A







