Pagi itu, Liang Feng tidak bisa tidur nyenyak. Gulungan kuno yang kini ada di tangannya terus berputar dalam pikirannya. Setiap huruf yang tercatat di sana, seperti berbisik memanggilnya, membawa serta jejak takdir yang lebih besar dari yang bisa ia pahami. Dunia yang selama ini ia kenal terasa berbeda—lebih luas, lebih membebani. Namun, di sisi lain, ada sebuah panggilan yang tidak bisa ia hindari, seperti angin yang membawa aroma laut dari kejauhan.
Mei Lian, yang sudah menunggu di luar gua, tampak tenang, seolah tidak terpengaruh oleh perubahan besar yang baru saja terjadi. Wajahnya yang lembut tidak menunjukkan kekhawatiran, sebaliknya, ada ketegasan dalam langkahnya yang melangkah mantap menuju Liang Feng. "Jadi, kamu sudah memutuskan?" tanya Mei Lian, suaranya penuh dengan pertanyaan yang lebih dalam daripada sekadar keingintahuan biasa. Liang Feng mengangguk perlahan, meskipun hatinya ragu. "Aku merasa seperti aku telah masuk ke dalam pusaran yang lebih besar daripada yang aku inginkan." Mei Lian menatapnya dengan tatapan yang tajam, seolah membaca setiap pergolakan dalam jiwa Liang Feng. "Kita semua berada di dalam pusaran itu, hanya saja beberapa orang lebih cepat mengetahuinya daripada yang lain. Tapi tidak ada pilihan selain maju." "Tapi apa yang harus aku lakukan dengan kekuatan ini?" Liang Feng bertanya, merasa bingung. "Aku tidak mencari konflik. Aku hanya ingin hidup dengan damai." "Apa yang kamu inginkan dan apa yang dunia inginkan sering kali berbeda," jawab Mei Lian, suaranya penuh dengan pengalaman. "Kekuatan yang kamu temukan itu lebih dari sekadar pedang atau jurus. Itu adalah kunci. Kunci untuk membuka sesuatu yang lebih besar dari yang kamu bisa bayangkan." Liang Feng merasakan berat di dadanya. Ia memandang gulungan itu dengan tatapan yang lebih dalam, seperti berusaha memahami setiap maknanya. "Apakah kamu tahu siapa yang mencari gulungan ini?" tanya Liang Feng, merasa semakin bingung dengan keadaan yang menyelimutinya. Mei Lian mengangguk pelan. "Ada banyak pihak yang menginginkannya. Namun, ada satu yang lebih berbahaya daripada yang lainnya." Liang Feng menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut. Mei Lian menghela napas, seolah mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Bayangan Langit," katanya pelan. "Sekte yang menguasai ilmu gelap. Mereka yang menginginkan gulungan ini bukan hanya untuk kekuatan, tetapi untuk menguasai dunia." "Bayangan Langit?" Liang Feng menatap Mei Lian dengan ekspresi cemas. "Mereka akan mengejar kita?" Mei Lian mengangguk. "Mereka sudah mengejar kita. Kamu tidak bisa menghindar, Liang Feng. Pilihanmu hanya satu—bertahan atau menyerah." Pikiran Liang Feng berputar. Apakah ia harus mempertahankan gulungan itu? Apakah ia bisa hidup dengan damai setelah mengetahui kekuatan yang dimilikinya? Namun, lebih dari itu, ia sadar bahwa dengan gulungan itu, ia mungkin bisa mengubah dunia, meskipun dengan harga yang sangat tinggi. "Sekarang, kamu harus memutuskan," lanjut Mei Lian, menatapnya dengan tatapan yang penuh harapan. "Apakah kamu akan menyimpan gulungan itu untuk dirimu sendiri, atau akan kamu gunakan untuk sesuatu yang lebih besar?" Liang Feng terdiam, berpikir panjang. Bayangan Langit bukanlah musuh yang bisa dianggap remeh. Mereka bukan hanya sekumpulan pendekar biasa—mereka adalah bayangan yang bergerak di balik layar, memanipulasi takdir dunia ini. Jika mereka benar-benar mendapatkan kekuatan yang tersembunyi dalam gulungan itu, dunia yang damai ini akan hancur. Namun, Liang Feng merasa berat. Ia tidak pernah ingin menjadi pahlawan. Tidak ada yang ingin menjadi pemimpin dalam perang besar. Tetapi, satu hal yang ia tahu pasti adalah bahwa ia tidak bisa membiarkan dunia ini jatuh ke dalam kegelapan. "Aku... aku akan memulai perjalanan ini," kata Liang Feng akhirnya, suaranya mantap, meskipun hatinya penuh ketidakpastian. "Tapi aku tak akan berjalan sendirian." Mei Lian tersenyum, senyum yang penuh pemahaman dan sedikit kelegaan. "Itulah yang aku harapkan. Dunia ini terlalu besar untuk dihadapi seorang diri. Dan kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi jika kamu berjalan sendiri." --- Beberapa hari setelah keputusan Liang Feng untuk menerima takdirnya, ia dan Mei Lian mulai melakukan perjalanan menuju pegunungan yang lebih tinggi. Mereka tahu bahwa Bayangan Langit sedang mengawasi setiap langkah mereka. Kekuatan mereka tidak hanya terbatas pada pedang atau tenaga dalam, tetapi juga pada pengaruh yang tersembunyi dalam bayang-bayang dunia. Liang Feng merasa ada sesuatu yang mengintai mereka dari kejauhan. Setiap langkah yang mereka ambil di sepanjang jalan seolah tertinggal oleh bayang-bayang yang tak tampak—musuh yang tidak hanya berada di luar, tetapi juga di dalam dirinya sendiri. Di malam hari, ketika api unggun menyala, Mei Lian berbicara lagi. "Ada saat-saat ketika seseorang harus memilih—antara menjaga apa yang sudah ada, atau mengorbankannya untuk menciptakan sesuatu yang baru. Pilihan itu akan menguji kekuatan hatimu, Liang Feng." Liang Feng memandang api yang menyala di depan mereka. "Apa yang akan aku lakukan dengan kekuatan ini?" Mei Lian menatap api itu, wajahnya tenggelam dalam cahaya. "Kekuatan yang kamu temui bukan hanya milikmu. Itu adalah kunci, Liang Feng. Kunci untuk membuka masa depan. Tapi ada orang lain yang menginginkan kunci itu." Pikiran Liang Feng kembali pada gulungan itu, dan kata-kata yang tertulis di sana. Kekuatan yang bisa memecah cakrawala. Namun, apakah ia siap menghadapinya? "Jika aku tidak melakukan apa-apa," kata Liang Feng, "apakah itu berarti aku membiarkan dunia ini hancur?" Mei Lian tersenyum tipis. "Terkadang, kita hanya bisa berbuat apa yang menurut kita benar. Takdir tidak pernah memberi kita pilihan mudah." --- Dalam perjalanan yang panjang dan penuh bahaya itu, Liang Feng semakin merasakan perubahan dalam dirinya. Setiap langkah membawanya lebih dekat pada takdir yang tak bisa dihindari, namun juga menuntunnya untuk bertemu dengan orang-orang yang akan mengubah hidupnya selamanya. Ketika langit menjadi lebih gelap, angin mulai berbisik lebih keras, dan Liang Feng tahu bahwa petualangannya baru saja dimulai. BersambungPuncak Gunung Langit kini terhampar dalam kehampaan. Jejak energi yang dulu melingkupi tempat itu perlahan memudar, menyisakan keheningan yang mencekam. Lian Xue berdiri diam, matanya menatap ke arah tempat Liang Feng menghilang. Hatinya terasa kosong, seolah-olah separuh jiwanya ikut lenyap bersama Liang Feng. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya penuh getaran. Bai Wen meletakkan tangan di pundaknya, meskipun ia sendiri tampak tak kalah terguncang. “Liang Feng telah memenuhi takdirnya. Pengorbanannya memastikan dunia ini tetap utuh.” Namun, Lian Xue tidak dapat menerima kenyataan itu begitu saja. “Kalau begitu, apa arti dari semua perjuangan kita jika pada akhirnya dia harus meninggalkan kita?” “Kau salah,” Bai Wen menjawab dengan nada lembut. “Liang Feng tidak pergi untuk selamanya. Dia tetap hidup, dalam kenangan kita, dalam dunia yang ia selamatkan. Dan aku yakin, meskipun tubuhnya telah tiada, semangatnya tetap ada di sekitar kita.” _____Setelah kejatuhan Shen Z
Langit Terbelah adalah tempat di mana realitas dan ilusi saling bertaut, menciptakan pemandangan yang tak lazim. Daratan tempat Liang Feng dan teman-temannya berdiri tampak seperti cermin raksasa yang memantulkan retakan-retakan cahaya dari atas. Tiap langkah mereka menghasilkan gema halus, seperti berjalan di atas permukaan air yang membeku. “Ini... luar biasa,” gumam Mei Lian, matanya terpaku pada retakan di atas mereka. Retakan itu mengeluarkan cahaya putih yang berpendar lembut, seolah-olah menyimpan rahasia semesta. Namun, Lian Xue terlihat lebih waspada. “Tempat ini mungkin indah, tapi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kau merasakannya, kan, Liang Feng?” Liang Feng mengangguk pelan. Ada hawa berat di udara, seperti keheningan sebelum badai. “Ya, aku merasakannya. Seolah-olah sesuatu atau seseorang sedang mengawasi kita.” Saat mereka melangkah lebih jauh, mereka menemukan sebuah monolit besar yang berdiri di tengah dataran cermin. Monolit itu terbuat dari batu
Kristal biru di atas altar memancarkan sinar lembut yang menerangi puncak menara. Liang Feng berdiri mematung di depannya, merasakan gelombang energi yang seakan berbicara langsung ke dalam jiwanya. "Liang Feng," suara itu terdengar lembut namun penuh kekuatan, seperti bisikan angin di puncak gunung. "Kau telah mencapai tempat yang banyak orang hanya bisa impikan. Namun, ini bukan akhir perjalananmu." Mei Lian dan Lian Xue saling bertukar pandang, mencoba memahami suara misterius itu. "Apa ini? Suara dari segel itu sendiri?" tanya Mei Lian, nada suaranya penuh kehati-hatian. "Segel ini adalah inti dari keseimbangan dunia," jawab Liang Feng, matanya tidak lepas dari kristal yang berkilauan. "Dan aku merasa bahwa segel ini memiliki kehendak sendiri." ___ Kristal itu berkilauan lebih terang, membentuk siluet cahaya yang menyerupai seorang pria tua dengan jubah panjang. "Aku adalah penjaga terakhir dari segel ini," katanya. "Dan kau, Liang Feng, telah dipilih untuk menjaga ke
Gerbang batu yang terbuka perlahan mengeluarkan suara gemuruh yang menggema, seperti sebuah peringatan akan bahaya yang tersembunyi di baliknya. Liang Feng melangkah lebih dulu, diikuti oleh Mei Lian dan Lian Xue. Cahaya aneh yang berasal dari dalam gerbang memancar seperti aurora, namun bukannya memberi rasa damai, cahaya itu justru memunculkan kegelisahan. Saat mereka melangkah masuk, dunia di sekitar mereka berubah. Tanah di bawah kaki mereka bukan lagi lembah hijau yang pernah mereka kenal, melainkan padang pasir luas dengan langit berwarna merah darah. Angin panas berhembus, membawa bisikan samar yang tak bisa dipahami. “Di mana ini?” tanya Mei Lian, memandang ke sekeliling dengan rasa tak percaya. “Langit Terlarang,” jawab Liang Feng dengan suara tegas. “Tempat ini bukan bagian dari dunia kita. Ini adalah dimensi lain, tempat kekuatan segel terakhir disimpan.” “Dan juga tempat bahaya terbesar bersembunyi,” tambah Lian Xue sambil mempererat genggamannya pada tombak. ___
Langit cerah di Kota Hujan Tak Berhenti menjadi awal yang baru bagi Liang Feng dan rombongannya. Namun, saat mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan, seorang utusan tiba dari Lembah Awan Abadi. Ia membawa kabar buruk yang membuat Liang Feng tertegun—lembah itu diserang oleh kekuatan misterius. "Serangan itu datang tanpa peringatan," kata utusan itu dengan napas terengah-engah. "Penduduk desa terluka, dan beberapa menghilang. Mereka yang selamat mengatakan makhluk-makhluk kegelapan menyerang saat malam tiba." Liang Feng mengepalkan tangannya. Pikirannya melayang pada gambaran desa yang damai, kini berada di ambang kehancuran. "Kita harus kembali sekarang," katanya tegas. Mei Lian dan Lian Xue mengangguk. Tanpa membuang waktu, mereka meninggalkan Kota Hujan Tak Berhenti, menunggang kuda dengan kecepatan penuh menuju Lembah Awan Abadi. ____Ketika mereka tiba, lembah itu hampir tidak dapat dikenali. Pepohonan yang dulu hijau dan subur kini layu, diselimuti kabut hitam yang
Setelah meninggalkan Pilar Langit, Liang Feng, Mei Lian, dan Lian Xue memulai perjalanan kembali ke Lembah Awan Abadi. Meskipun segel telah diperkuat, Liang Feng tidak merasa lega sepenuhnya. Di dalam hatinya, ia tahu ancaman Shen Zhou masih mengintai, dan dunia tidak akan tenang untuk waktu yang lama. Langit di atas mereka berubah semakin suram, seolah mencerminkan beban yang dirasakan Liang Feng. Angin berhembus dingin, membawa aroma badai yang akan datang. "Liang Feng," kata Mei Lian tiba-tiba, memecah keheningan. "Apa yang kau alami di dalam Pilar Langit? Kau tampak berbeda sekarang." Liang Feng terdiam sesaat sebelum menjawab. "Aku diberi ujian. Ujian yang mengajarkanku tentang keberanian, pengorbanan, dan penerimaan." Ia menatap jauh ke depan. "Aku tahu sekarang, melindungi dunia ini tidak hanya soal kekuatan pedang, tetapi juga soal menerima bahwa aku tidak bisa menyelamatkan semuanya." Mei Lian menatapnya dengan mata penuh simpati. "Itu beban yang berat, tapi kau tidak