Beranda / Romansa / Jejak Takdir Almira / Bab 1 Keinginan Almira

Share

Jejak Takdir Almira
Jejak Takdir Almira
Penulis: Almira Ryanza

Bab 1 Keinginan Almira

Penulis: Almira Ryanza
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-22 08:43:52

Hari mulai beranjak sore saat Almira pulang dari sawah, membantu Pak Rudi_tetangganya memanen padi. Langkahnya terlihat gontai, dan bajunya basah oleh keringat. Upah yang ia terima tak seberapa tapi cukup untuk bertahan hidup.

Begitu sampai, terdengar suara batuk ayahnya dari dalam, serta bau alkohol yang sangat menyengat. Almira meraih gagang pintu dan membukanya berlahan. Namun sebelum pintu terbuka sepenuhnya, suara teriakan ayahnya menyambutnya.

“Kamu baru pulang? Mana uangnya, Mir!” Suara ayahnya_ Harun, menggema.

Almira menelan ludah. Napasnya terasa berat, tubuhnya meremang.

“I-iya, Yah. Sebentar…” ucapnya lirih. Tangannya terlihat gemetar saat mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku bajunya. Lalu, ia meletakkannya di meja reyot di hadapan ayahnya. “Hanya dapat segini yah, sama sedikit beras….”

Harun mendengus kasar. Matanya tampak merah, rambut kusut, dan bau arak menusuk tajam.

"Cuma segini?” suaranya meninggi, penuh amarah. “Kamu kerja seharian cuma dapat begini? Dasar tidak becus! ngak berguna!”

Almira menunduk. Kata-kata itu menancap di dadanya. Ia membuka mulut, berusaha menjelaskan.

“Yah, jangan diambil semua. Di rumah nggak ada apa-apa. semuannya habis, kita_” dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya, suaranya melemah, tertelan oleh rasa takut.

Ayahnya tidak menggubris. Dengan kasar ia meraih uang itu lalu menyumpalnya ke saku celananya. Tanpa menoleh, ia meraih botol arak yang ada di meja, meneguknya hingga terdengar bunyi gluk-gluk yang membuat Almira meringis ngeri. Kemudian bangkit. Dengan Langkah terhuyung, menendang kursi dihadapannya hingga menimbulkan suara keras yang memekak telinga.

“Kamu urus saja makanmu sendiri, jangan ikut campur urusan ayah!” bentaknya dan melangkah keluar dengan menutup pintu kayu dengan keras. Braaak!

Pintu terguncang, hampir copot dari engselnya. Kemudian, terdengar suara sandal ayahnya, menjauh.

Almira hanya berdiri kaku. Jantungnya berdegup keras, matanya panas. Ia memandang pintu dapur. Jemari kecilnya meremas ujung bajunya, menahan perasaan yang tak lagi bisa diungkapkan.

Berlahan, Almira berjalan ke dapur. Membawa sedikit beras pemberian tetangga tadi, lalu menuangkannya ke dalam wadah kaleng kosong yang berada disudut dapur.

“Besok… aku harus cari lagi,” bisiknya lirih, matanya basah.

Almira mengambil panci yang terlihat penyok, lalu menuang sedikit, kemudian menyalakan tungku.

Api menyala redup, membuat asap tipis mengepul dan memenuhi dapur. Ia duduk di depan tungku, menatap api yang berkerlap-kerlip, dengan tatapan kosong.

Malam kian beranjak turun. Suara jangkrik mulai terdengar dari luar. Almira mematikan api, meletakkan panci dengan nasi seadanya di atas meja, lalu melangkah ke kamarnya.

Kamarnya sangat kecil berdinding papan, dengan tikar tipis sebagai alas tidur. Disalah satu sudut terlihat atapnya bocor membuat udara dingin mudah masuk. Almira merebahkan tubuhnya, sambil menatap langit-langit kamar. Air matanya akhirnya pecah.

Hening malam menjadi saksi, hanya isakannya yang terdengar pelan.

“Andai Ibu masih ada… mungkin aku nggak akan sendirian begini,” gumamnya.

Dulu, keadaannya tidak seperti ini. Waktu ibunya masih hidup, meski hidup sederhana, rumah ini terasa hangat.

Mereka punya sepetak sawah di belakang rumah. Ayahnya, meski keras, tapi bertanggung jawab. Ayahnya rajin ke sawah, sementara Ibunya, berjualan keliling membawa jajanan buatan tangan sendiri.

Hari-harinya terasa sangat bahagia. Setiap hari ibunya selalu bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk mereka. Walau hanya masakan sederhana—kadang nasi dengan sayur bening bayam atau tempe goreng— namun terasa nikmat.

“Mir, belajar yang rajin, ya,” begitu pesan ibunya setiap kali ia akan berangkat sekolah sambil mengelus rambutnya.

Namun segalanya berubah, ketika penyakit liver merenggut nyawa ibunya. Dunia Almira seakan runtuh_rumah yang begitu damai dan penuh senyuman, sekarang yang ada hanya teriakan, pukulan, bahkan hinaan yang selalu menguras air matanya.

Saat ibunya meninggal, Almira masih SMP. Dan sejak saat itu Ayahnya benar-benar berubah. Ia tidak lagi ke sawah. Hari demi hari, sawah yang dulu terurus akhirnya terbengkalai.

Awalnya, ayahnya hanya menjual sepetak kecil untuk biaya pengobatan ibunya. Almira bisa memahami itu. Tapi setelah ibunya meninggal, ia menjual lagi untuk alasan yang tak jelas. Hingga akhirnya, sawah merekapun habis terjual.

Kini, mereka tidak lagi punya tanah untuk digarap. Uang hasil penjualan sawah dihabiskannya untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Yang tersisa sekarang hanya gubuk kecil yang hampir roboh.

Mengingat itu, air matanya semakin jatuh berderai. Almira menggigit bibirnya sendiri, menahan tangis lebih keras. Matanya menatap jendela kecil yang terbuka, memperlihatkan langit gelap dengan bintang-bintang yang tampak redup.

Udara malam semakin dingin. Namun Almira masih tak beranjak dari tempatnya semula. Dalam kesunyian itu, pikirannya masih melayang jauh.

Dari kejauhan, terdengar suara orang-orang yang sedang tertawa. Mungkin suara ayahnya, bersama kawan-kawannya. Suara itu seolah menusuk telinga Almira, membuat dadanya semakin sesak.

Saat ini usianya Almira baru tujuh belas, tapi beban di pundaknya jauh lebih berat dari gadis seusianya. Disaat teman-teman sebayanya masih bisa sekolah, sementara dirinya harus menjadi tulang punggung bagi ayahnya.

“Seandainya… aku bisa pergi dari sini. Kerja di kota, mungkin aku bisa hidup lebih baik…” suaranya hampir tak terdengar, hanya bisikan yang terbawa angin malam.

Almira menutup kelopak mata perlahan, membiarkan diri hanyut dalam tidur yang berat dan singkat. Hanya kesunyian kamar yang menemaninya, sementara rasa putus asa dan mimpi yang belum berani ia wujudkan tetap bersarang di hatinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jejak Takdir Almira   Bab 11 Handphone

    Jam istirahat siang tiba. Almira menghela napas panjang setelah menyelesaikan satu tumpukan berkas. Perutnya sudah mulai protes, tapi kepalanya terasa lebih berat karena pekerjaan yang menunggu tak ada habisnya. Ia bangkit dari kursi, merapikan bajunya sebentar, lalu melangkah keluar kantor dengan langkah pelan. Udara luar sedikit lebih lega dibanding ruang kerja yang penuh tekanan. Almira berniat langsung menuju kantin, tapi langkahnya terhenti begitu melihat seseorang berdiri di dekat pagar kantor. Sosok itu tidak asing—kemeja rapi, map di tangan, senyum yang begitu dikenalnya. “Alvaro?” Pria itu menoleh, matanya berbinar kecil. “Tepat sekali. Aku memang menunggumu.” Almira mengerutkan dahi, sedikit canggung. “Menungguku?” Alvaro melangkah mendekat, suaranya tenang. “Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan siang. Ada tempat yang ingin aku tunjukkan. Tempatnya sederhana, tapi aku yakin kamu akan suka.” Almira terdiam, ragu. Ia menoleh sebentar ke arah kantor, tak

  • Jejak Takdir Almira   Bab 10 Jejak

    Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Almira. Suasana sepi, hanya terdengar detak jarum jam. Almira duduk di tepi tempat tidur, menatap cermin di depannya. Hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit bergetar, meski ia berusaha menepisnya. Ia menepuk pipinya perlahan, mencoba menenangkan diri sebelum berangkat ke kantor. Almira menuju kantor dengan langkah ringan, meski pundaknya terasa berat menanggung beban pekerjaan yang belum selesai. Sesampainya di kantor, ia disambut oleh tumpukan dokumen, senyum tipis rekan kerjanya, dan beberapa komentar sarkastik yang membuatnya menahan napas. “Eh, Mir! Sudah sehat ya? Jangan-jangan kemarin sakit karena terlalu banyak dipikirin,” seloroh salah satu rekan, sambil menatapnya penuh sindiran. Almira hanya tersenyum tipis, menunduk, dan tetap fokus dengan pekerjaannya. Ia tidak punya energi untuk menjawab lebih jauh. Setiap lembar berkas terasa seperti beban, tapi ia berusaha menguatkan diri. Seperti hari

  • Jejak Takdir Almira   Bab 9 Kedatangan Alvaro

    Keesokan harinya, Almira kembali menjalani rutinitas seperti semula. Almira duduk di meja kerjanya dengan setumpuk berkas yang siap di input. Meski tubuhnya sudah jauh lebih baik, kejadian pingsan beberapa waktu lalu mengingatkannya untuk tidak memaksakan diri lagi. Setelah seharian bekerja, Almira akhirnya pulang. Langkahnya pelan, bahunya terasa berat menahan segala beban. Sesampainya di kosan, ia langsung disambut oleh Lestari yang duduk di kursi depan kamar kosnya dengan tangan bersedekap. “Mir, sini sebentar,” ucapnya, nada suaranya penuh selidik. Almira menaruh tasnya, lalu duduk di sebelah Lestari. “Kenapa, Mba?” tanyanya lemah. Lestari menatapnya tajam, seakan sedang menginterogasi. “Kemarin itu siapa yang nganterin kamu? Mba sempet lihat walau samar kayaknya laki-laki. Hayoo ngaku siapa? Sepertinya dia bukan orang biasa.” Almira berusaha tenang, padahal hatinya sedikit berdegup lebih cepat. “Oh itu, cuma orang yang kebetulan bantu aku waktu pingsan kemarin,” jelasny

  • Jejak Takdir Almira   Bab 8. Teguran

    Pagi itu sinar matahari menembus jendela kamar rawat, menyinari wajah Almira yang masih pucat. Ia baru saja selesai sarapan bubur yang dibawakan perawat ketika pintu kamar diketuk pelan. Sejenak ia mengira itu perawat, namun ternyata yang datang Alvaro. Dengan jas dokter yang melekat di tubuhnya, ia menenteng sebuah map berisi catatan medis. Wajahnya tampak sedikit lebih lega dibanding beberapa hari terakhir. “Almira,” ucapnya tenang, “hasil pemeriksaanmu cukup baik. Kondisimu stabil, jadi hari ini kamu sudah diperbolehkan pulang.” Almira terdiam sejenak, antara senang dan ragu. Hatinya merasa lega karena bisa pulang, namun di sisi lain, ia khawatir tentang pekerjaan dan beban yang sudah menunggunya. “Benarkah, Dok?” tanyanya memastikan. Alvaro mengangguk mantap. “Ya. Tapi dengan syarat kamu tetap harus istirahat yang cukup. Jangan memaksakan diri bekerja terlalu keras dulu.” Ia sempat menghela napas, lalu menatap Almira lebih dalam. “Dan satu lagi… kenapa masih memanggil

  • Jejak Takdir Almira   Bab 7 Permohonan Almira

    Air mata Almira masih menggantung di sudut mata, membasahi pipinya yang pucat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan, napas masih terasa sesak. Pikiran berputar, menolak percaya bahwa ada seseorang yang mau begitu saja menanggung bebannya—bahkan tanpa mengenalnya. Wajah ayahnya terlintas—samar, ia mengingat bagaimana ayahnya memperlakukannya. sikapnya yang keras, dingin, selalu merampas hasil kerjanya tanpa pernah peduli ia sudah makan atau belum. Ingatan itu membuat matanya semakin panas. Di sini, di ranjang rumah sakit, ia justru diperlakukan lebih manusiawi oleh orang asing yang bahkan baru ditemuinya. Almira menutup wajah dengan telapak tangan, tubuhnya bergetar menahan tangis. Tanpa sadar ia berucap pelan. “saya… tidak terbiasa ditolong dengan cuma-cuma. Saya takut… saya tidak bisa. membalasnya.” Alvaro tetap di kursinya, matanya tidak beranjak dari sosok rapuh di hadapannya. “ Dengar, Kamu tidak perlu berpikir sejauh itu sekarang,” ucapnya akhirnya, suaranya datar

  • Jejak Takdir Almira   Bab 6 Pertemuan Pertama

    Sore itu, Alvaro dengan jas hitam baru saja keluar dari sebuah kafe mewah di sudut kota. Siang itu, ia baru saja menyelesaikan meeting dengan perwakilan perusahaan pemasok alat-alat medis. Namun begitu menoleh ke arah jalan utama, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di trotoar, tampak seorang wanita limbung, tubuhnya goyah seolah tidak punya tenaga. Dan sekejap kemudian, ia ambruk begitu saja. Dengan langkah lebar, Alvaro segera menghampiri. “Tolong beri jalan,” ucapnya tegas. Suaranya yang dalam membuat orang-orang refleks menyingkir. Kini ia melihat dengan jelas seorang wanita terbaring lemah di aspal, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Napasnya tersengal, bibirnya nyaris tak berwarna. Alvaro berjongkok, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan wanita itu. Wajahnya menegang. “Dia sangat lemah… bisa berbahaya kalau dibiarkan,” gumamnya rendah. Tanpa menunggu bantuan, ia mengangkat tubuh gadis itu. Beberapa orang terperanjat melihatnya menggendong wa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status