Home / Romansa / Jejak Takdir Almira / Bab 2 Kedatangan Almira ke Kota

Share

Bab 2 Kedatangan Almira ke Kota

Author: Almira Ryanza
last update Last Updated: 2025-08-23 12:38:57

Pagi ini Almira terbangun lebih cepat dari biasanya. Matanya nampak sembab akibat menangis semalam, tubuhnya terasa pegal karena tidur di atas tikar tipis yang dingin. Ia menatap cahaya yang masuk lewat celah-celah dinding, sambil menarik napas panjang.

Hari itu seharusnya ia pergi mencari pekerjaan, membantu siapa saja yang membutuhkan tenaga, lalu pulang dengan upah seadanya. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda.

Semalam, sebelum ia tertidur, pikirannya terus terbayang akan kata-kata seorang tetangga, Bu Rini, yang beberapa hari lalu menyinggung soal lowongan kerja di kota.

“Kalau kamu mau, Mir, ada sepupu ibu yang kerja di kota. Katanya kantornya butuh tenaga admin. Memang kecil gajinya, tapi cukup kalau hanya sekedar buat makan. Daripada di sini kerjaanmu nggak jelas…” Begitu kata Bu Rini saat Almira membantunya menjemur pakaian di halaman.

Almira tidak menanggapi saat itu. Ia hanya tersenyum hambar. Tapi kata-kata itu menancap di kepalanya, terus bergaung hingga ia sulit tidur. Apalagi ketika mengingat sikap ayahnya dan suara tawanya semalam, membuat dadanya semakin sesak.

“Pergi ke kota…” gumamnya pelan. Ada keraguan sekaligus takut. Ia belum pernah benar-benar keluar dari desanya. paling jauh hanya ke pasar kabupaten yg ada di daerahnya. Itupun dulu saat masih kecil. Sedangkan kota besar Itu dunia yang sama sekali berbeda.

Almira kemudian bangkit dan membasuh wajah dengan air di kendi. Airnya dingin merasuk tulang, namun menyegarkan.

Di dapur, ia menghangatkan nasi yang ia masak semalam. Perutnya memang sangat lapar, tapi lebih dari itu, ia butuh tenaga untuk memutuskan sesuatu yang lebih besar.

Almira menatap pintu depan yang tertutup. Ayahnya belum pulang sejak semalam. Hatinya campur aduk. Ada rasa lega karena tidak harus menghadapi amarahnya pagi ini, tapi juga ada rasa takut_takut jika ayahnya pulang dalam keadaan mabuk dan memaksanya memberikan uang lagi.

Sedangkan di luar, sinar matahari mulai naik. Suara anak-anak kecil yang berlarian ke sekolah membuat Almira termenung. Ia rindu memakai seragam putih abu-abu, menenteng buku, bercanda dengan teman-temannya. Namun nasib berkata lain; sejak ibunya tiada, sekolahpun harus ia tinggalkan.

Pagi itu, ia memberanikan diri mendatangi rumah Bu Rini. Perempuan itu tengah menyapu halaman, rambutnya digelung sederhana, wajahnya ramah seperti biasa.

“Bu…” Almira memanggil ragu. “Masih adakah, lowongan kerja yang Ibu bilang kemarin?”

Bu Rini menoleh, matanya berbinar. “Oh, ada, Mir! Malah bagus kalau kamu mau. Ibu bisa hubungi sepupu ibu yang kerja di sana. Tapi apa kamu sudah yakin? Karena hidup di kota itu tidak gampang…”

Almira menelan ludah. “Aku… aku ingin coba, Bu. Kalau di sini… aku nggak tahu harus gimana lagi.”

Bu Rini menatapnya iba, lalu mengangguk mantap. “Baiklah kalau kamu sudah yakin. Nanti sore kamu datang lagi kesini, ya. Ibu pinjami HP agar kamu bicara langsung sama sepupu ibu. Kalau cocok, minggu depan kamu bisa berangkat.”

Hati Almira berdebar kencang. Antara takut dan lega. Ia mengangguk pelan, berterima kasih, lalu pulang dengan langkah gontai.

Keputusan itu cukup besar, untuk gadis seusianya. Tapi ia tahu, jika tetap bertahan di desa, hidupnya hanya akan terus seperti ini.

Malamnya, ayahnya pulang dalam keadaan terhuyung. Bau arak menyengat lebih dari biasanya. Almira baru saja selesai mencuci piring ketika suara pintu dibanting keras.

“Mir! beri ayah uang?” suaranya parau.

Almira menegang. Tangannya masih basah, jantungnya berdegup cepat. “Aku… aku nggak kerja hari ini, Yah…”

“Ngak kerja!” Harun melangkah terhuyung, menatap Almira dengan mata merah." bener-bener anak ngak berguna!"

Almira menggigit bibir. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk. Ia ingin berteriak bahwa ia lelah, ingin menangis bahwa ia sudah berusaha sekuat tenaga. Tapi lidahnya kelu. Yang keluar hanya bisikan kecil. “Aku mau ke kota, Yah. Cari kerja di sana…”

Ucapan itu spontan, tapi juga jujur. Harun terdiam sejenak, lalu tertawa keras. “Hahaha! Kamu? Ke kota? Dasar mimpi! Orang kayak kamu paling-paling cuma jadi babu orang. Jangan harap bisa sukses!”

Almira menunduk. Tawa ayahnya membakar telinga, tapi ia sudah meneguhkan niatnya.

Malam itu, di tengah suara tawa yang menyakitkan, ia berjanji pada dirinya sendiri: ia akan pergi. Apa pun yang terjadi.

Hari-hari berikutnya terasa begitu cepat. Bu Rini menepati janjinya, menghubungi sepupunya yang bekerja di sebuah perusahaan distributor di kota. “Tenaga admin, Mir. Nggak berat, cuma input data, bikin laporan sederhana. Gajinya memang tidak besar, tapi ada tempat kos murah di dekat kantornya,” jelas Bu Rini sambil menatap Almira penuh harapan.

Almira mengangguk. Hatinya sedikit lega—ini bukan pekerjaan kasar, setidaknya tidak seperti di sawah.

Menjelang keberangkatan, Almira menyiapkan barang seadanya. Sebuah tas punggung lusuh berisi dua potong baju, selembar selimut tipis, dan foto ibunya yang sudah mulai pudar. Tidak banyak yang bisa dibawa, tapi itu sudah cukup.

Hari keberangkatanpun tiba. Pagi itu, langit terlihat mendung. Almira berdiri di depan rumahnya, menatap pintu yang tertutup. Ayahnya masih tertidur setelah semalaman mabuk. Ia ingin pamit, tapi kata-kata itu tidak keluar. Bagaimana mungkin ia berpamitan pada seseorang yang bahkan tidak peduli?

Dengan mata berkaca-kaca, ia hanya berbisik pada dirinya sendiri. “Maaf, Yah. Aku harus pergi…”

Ia berjalan menyusuri jalan setapak, melewati sawah yang dulu pernah digarap oleh ayahnya. Angin pagi menerpa wajahnya, membawa aroma tanah basah. Langkah kakinya terasa berat, tapi sekaligus membebaskan. Seolah rantai yang selama ini mengikatnya berlahan mulai terlepas.

Bus kecil jurusan kota sudah menunggu di pinggir jalan utama. Almira naik dengan hati berdebar. Kursinya keras, jendelanya berdebu, tapi baginya, ini adalah pintu menuju dunia baru.

Sepanjang perjalanan, matanya terus memandang ke luar. Pohon-pohon bambu berganti menjadi hamparan sawah, lalu berubah menjadi gedung-gedung tinggi saat bus semakin mendekati kota. Perasaannya campur aduk: takut, cemas, tapi juga ada secercah harapan.

“Selamat datang di kota,” gumamnya lirih, ketika bus berhenti di terminal besar yang ramai. Orang-orang terlihat berlalu-lalang, suara klakson bersahut-sahutan, aroma asap kendaraan menusuk hidung. Semua terasa asing, tapi juga memikat.

Almira merapatkan tasnya di dada. “Aku bisa… aku pasti bisa,” bisiknya, mencoba meyakinkan diri.

Di kepalanya, kata-kata ibunya terus bergema “Mir, belajar yang rajin, ya. Jangan pernah menyerah.”

Dan di sanalah langkah baru Almira dimulai. Sebuah jejak kecil di jalan kota, yang kelak akan mempertemukannya dengan takdir besar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Takdir Almira   Bab 11 Handphone

    Jam istirahat siang tiba. Almira menghela napas panjang setelah menyelesaikan satu tumpukan berkas. Perutnya sudah mulai protes, tapi kepalanya terasa lebih berat karena pekerjaan yang menunggu tak ada habisnya. Ia bangkit dari kursi, merapikan bajunya sebentar, lalu melangkah keluar kantor dengan langkah pelan. Udara luar sedikit lebih lega dibanding ruang kerja yang penuh tekanan. Almira berniat langsung menuju kantin, tapi langkahnya terhenti begitu melihat seseorang berdiri di dekat pagar kantor. Sosok itu tidak asing—kemeja rapi, map di tangan, senyum yang begitu dikenalnya. “Alvaro?” Pria itu menoleh, matanya berbinar kecil. “Tepat sekali. Aku memang menunggumu.” Almira mengerutkan dahi, sedikit canggung. “Menungguku?” Alvaro melangkah mendekat, suaranya tenang. “Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan siang. Ada tempat yang ingin aku tunjukkan. Tempatnya sederhana, tapi aku yakin kamu akan suka.” Almira terdiam, ragu. Ia menoleh sebentar ke arah kantor, tak

  • Jejak Takdir Almira   Bab 10 Jejak

    Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Almira. Suasana sepi, hanya terdengar detak jarum jam. Almira duduk di tepi tempat tidur, menatap cermin di depannya. Hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit bergetar, meski ia berusaha menepisnya. Ia menepuk pipinya perlahan, mencoba menenangkan diri sebelum berangkat ke kantor. Almira menuju kantor dengan langkah ringan, meski pundaknya terasa berat menanggung beban pekerjaan yang belum selesai. Sesampainya di kantor, ia disambut oleh tumpukan dokumen, senyum tipis rekan kerjanya, dan beberapa komentar sarkastik yang membuatnya menahan napas. “Eh, Mir! Sudah sehat ya? Jangan-jangan kemarin sakit karena terlalu banyak dipikirin,” seloroh salah satu rekan, sambil menatapnya penuh sindiran. Almira hanya tersenyum tipis, menunduk, dan tetap fokus dengan pekerjaannya. Ia tidak punya energi untuk menjawab lebih jauh. Setiap lembar berkas terasa seperti beban, tapi ia berusaha menguatkan diri. Seperti hari

  • Jejak Takdir Almira   Bab 9 Kedatangan Alvaro

    Keesokan harinya, Almira kembali menjalani rutinitas seperti semula. Almira duduk di meja kerjanya dengan setumpuk berkas yang siap di input. Meski tubuhnya sudah jauh lebih baik, kejadian pingsan beberapa waktu lalu mengingatkannya untuk tidak memaksakan diri lagi. Setelah seharian bekerja, Almira akhirnya pulang. Langkahnya pelan, bahunya terasa berat menahan segala beban. Sesampainya di kosan, ia langsung disambut oleh Lestari yang duduk di kursi depan kamar kosnya dengan tangan bersedekap. “Mir, sini sebentar,” ucapnya, nada suaranya penuh selidik. Almira menaruh tasnya, lalu duduk di sebelah Lestari. “Kenapa, Mba?” tanyanya lemah. Lestari menatapnya tajam, seakan sedang menginterogasi. “Kemarin itu siapa yang nganterin kamu? Mba sempet lihat walau samar kayaknya laki-laki. Hayoo ngaku siapa? Sepertinya dia bukan orang biasa.” Almira berusaha tenang, padahal hatinya sedikit berdegup lebih cepat. “Oh itu, cuma orang yang kebetulan bantu aku waktu pingsan kemarin,” jelasny

  • Jejak Takdir Almira   Bab 8. Teguran

    Pagi itu sinar matahari menembus jendela kamar rawat, menyinari wajah Almira yang masih pucat. Ia baru saja selesai sarapan bubur yang dibawakan perawat ketika pintu kamar diketuk pelan. Sejenak ia mengira itu perawat, namun ternyata yang datang Alvaro. Dengan jas dokter yang melekat di tubuhnya, ia menenteng sebuah map berisi catatan medis. Wajahnya tampak sedikit lebih lega dibanding beberapa hari terakhir. “Almira,” ucapnya tenang, “hasil pemeriksaanmu cukup baik. Kondisimu stabil, jadi hari ini kamu sudah diperbolehkan pulang.” Almira terdiam sejenak, antara senang dan ragu. Hatinya merasa lega karena bisa pulang, namun di sisi lain, ia khawatir tentang pekerjaan dan beban yang sudah menunggunya. “Benarkah, Dok?” tanyanya memastikan. Alvaro mengangguk mantap. “Ya. Tapi dengan syarat kamu tetap harus istirahat yang cukup. Jangan memaksakan diri bekerja terlalu keras dulu.” Ia sempat menghela napas, lalu menatap Almira lebih dalam. “Dan satu lagi… kenapa masih memanggil

  • Jejak Takdir Almira   Bab 7 Permohonan Almira

    Air mata Almira masih menggantung di sudut mata, membasahi pipinya yang pucat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan, napas masih terasa sesak. Pikiran berputar, menolak percaya bahwa ada seseorang yang mau begitu saja menanggung bebannya—bahkan tanpa mengenalnya. Wajah ayahnya terlintas—samar, ia mengingat bagaimana ayahnya memperlakukannya. sikapnya yang keras, dingin, selalu merampas hasil kerjanya tanpa pernah peduli ia sudah makan atau belum. Ingatan itu membuat matanya semakin panas. Di sini, di ranjang rumah sakit, ia justru diperlakukan lebih manusiawi oleh orang asing yang bahkan baru ditemuinya. Almira menutup wajah dengan telapak tangan, tubuhnya bergetar menahan tangis. Tanpa sadar ia berucap pelan. “saya… tidak terbiasa ditolong dengan cuma-cuma. Saya takut… saya tidak bisa. membalasnya.” Alvaro tetap di kursinya, matanya tidak beranjak dari sosok rapuh di hadapannya. “ Dengar, Kamu tidak perlu berpikir sejauh itu sekarang,” ucapnya akhirnya, suaranya datar

  • Jejak Takdir Almira   Bab 6 Pertemuan Pertama

    Sore itu, Alvaro dengan jas hitam baru saja keluar dari sebuah kafe mewah di sudut kota. Siang itu, ia baru saja menyelesaikan meeting dengan perwakilan perusahaan pemasok alat-alat medis. Namun begitu menoleh ke arah jalan utama, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di trotoar, tampak seorang wanita limbung, tubuhnya goyah seolah tidak punya tenaga. Dan sekejap kemudian, ia ambruk begitu saja. Dengan langkah lebar, Alvaro segera menghampiri. “Tolong beri jalan,” ucapnya tegas. Suaranya yang dalam membuat orang-orang refleks menyingkir. Kini ia melihat dengan jelas seorang wanita terbaring lemah di aspal, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Napasnya tersengal, bibirnya nyaris tak berwarna. Alvaro berjongkok, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan wanita itu. Wajahnya menegang. “Dia sangat lemah… bisa berbahaya kalau dibiarkan,” gumamnya rendah. Tanpa menunggu bantuan, ia mengangkat tubuh gadis itu. Beberapa orang terperanjat melihatnya menggendong wa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status