Share

Bab 5 Tekanan

Author: Almira Ryanza
last update Last Updated: 2025-08-28 16:28:14

Hari itu, Hari Minggu, saatnya Almira libur. Ia duduk di kamar kos dengan segelas air putih, menatap keluar jendela, melihat langit kota yang kelabu. Tiba-tiba, ia merasakan rindu yang menyesakkan. Rindu akan desa, rindu aroma sawah, rindu suara ibu.

"Bu, aku sudah bekerja di kota. Rasanya sulit, tapi aku tidak mau menyerah. Aku ingin suatu saat punya kehidupan lebih baik. Tolong jaga aku dari jauh, ya, Bu…"

Air matanya jatuh tapi cepat-cepat dihapusnya.

Keesokan hari, saat Almira sedang mengetik, kepalanya tiba-tiba berdenyut hebat. Layar komputer berputar di matanya. Ia buru-buru memegang meja agar tidak jatuh.

“Mir, kamu kenapa?” tanya Lestari cepat.

Almira menggeleng, tersenyum memaksa. “Tidak apa-apa, Mbak… hanya pusing sebentar.”

Namun wajahnya pucat pasi. Tapi ia tetap menyelesaikan pekerjaan, meski huruf di layar tampak kabur.

Ketika pulang, langkahnya goyah. Sampai di kamar kos, ia langsung terbaring, tubuhnya menggigil meski udara malam terasa gerah.

Dalam keheningan itu, ia berbisik lemah, “Bu… aku takut. Jangan biarkan aku sendirian.”

Keesokan harinya, Almira kembali berangkat ke kantor. menjalani rutinitas seperti biasanya. Suasana kantor saat menjelang siang tampak semakin riuh. Ratna baru saja menerima telepon dari atasannya dan tampak kesal. Sayangnya, kekesalan itu ia limpahkan pada Almira.

“Almira! Kenapa laporan stock ini belum selesai juga?” serunya dengan nada tinggi, membuat semua kepala menoleh.

Almira terperanjat, buru-buru bangkit. “M-maaf, Mbak… saya masih mengurutkan datanya. Tadi sempat ada yang kurang saya fahami di bagian—”

“Alasan! Kalau begini terus, bagaimana kantor ini bisa jalan?!” potong Ratna kasar.

Almira menunduk, wajahnya memanas. Ia ingin menjelaskan, tapi suaranya tercekat.

Suasana menjadi hening sejenak. Beberapa karyawan hanya saling pandang, tak ada yang berani ikut campur.

Lestari akhirnya bersuara, suaranya tenang tapi tegas. “Ratna, dia baru belajar. Kalau ditekan terus, mana bisa cepat. Biar aku yang dampingi.”

Ratna mendengus, lalu berbalik sambil melempar berkas di meja. “Terserah.”

Almira menggigit bibirnya, menahan air mata. Namun Lestari meraih tangannya. “Jangan diambil hati. Anggap saja ujian. Kamu bisa, Mir.”

Kata-kata itu membuat Almira sedikit lega. Ia kembali duduk, berusaha fokus, meski hatinya masih perih.

"Hari ini dimarahi lagi… rasanya malu sekali. Semua orang melihat. Tapi aku harus tahan. Aku tidak boleh terlihat lemah. Bu, apakah aku bisa bertahan di sini?."

Air matanya hampir jatuh, tubuhnya sedikit bergetar, tapi ia berusaha menahannya.

Kondisi Almira, semakin hari, semakin parah. Rasa pusing semakin sering menyerangnya. Dan sore itu, saat merapikan berkas, pandangannya tiba-tiba menghitam. Ia nyaris jatuh, untung Lestari segera sigap menopangnya.

“Mir! Kamu pucat sekali. Kamu harus periksa ke dokter.”

Almira buru-buru menggeleng, memaksakan senyum. “Tidak apa-apa, Mbak.”

Padahal perutnya saat ini kosong, ia belum makan karena ia terlalu hemat. Gajinya belum turun, sementara uang sisa dari desa hanya tinggal beberapa lembar.

Saat pulang, tubuhnya menggigil. Setibanya di kosan, ia langsung meringkuk di kasur, menatap foto ibunya dengan mata basah.

“Bu… aku benar-benar takut. Tapi aku janji, aku tidak akan menyerah. Aku ingin bertahan di kota ini, apa pun yang terjadi.”

Pagi itu, Almira kembali bekerja. Ia berjalan pelan, langkahnya berat. Kepalanya sejak bangun tidur terus berdenyut. namun ia tetap memaksakan diri. Ia tak ingin absen apalagi ia karyawan baru.

Sesampainya di kantor, suasana tampak sudah riuh. Ratna berdiri di dekat meja arsip dengan wajah kesal. “Almira! Cepat sini, bantu bawa berkas ini ke ruang rapat. Jangan bengong!”

Almira mengangguk, meraih tumpukan map yang cukup berat. Tangannya bergetar saat mengangkat. Baru beberapa langkah, pandangannya kabur. Ia hampir saja terjatuh jika tidak cepat menahan diri pada dinding.

“Mir, kamu yakin nggak apa-apa?” tanya Lestari cemas, menghampiri.

Almira tersenyum dipaksakan. “I-iya, Mbak… aku bisa.” Ia melanjutkan berjalan, meski keringat dingin membasahi pelipisnya.

Namun siangnya, saat mengetik laporan, jemari Almira terasa kaku. Ia salah menekan tombol berkali-kali. Huruf di layar komputer tampak berlipat ganda. Ia mengucek matanya, tapi pandangan tetap buram.

“Mir, kamu kenapa? Dari tadi kelihatan pucat sekali,” tanya Bagas yang duduk di dekatnya.

“Tidak apa-apa, Mas… hanya pusing sedikit,” jawabnya lirih.

Namun detik berikutnya, pandangannya gelap. Ia limbung dan hampir jatuh dari kursi. Bagas spontan menahan bahunya. “Astaga! Lestari! Cepat sini, Almira pingsan!”

Ruangan sontak riuh. Beberapa karyawan berkerumun. Lestari bergegas mendekat, panik. “Bawa ke ruang istirahat! Cepat!”

Almira samar-samar mendengar suara-suara itu, sebelum akhirnya kesadarannya hilang.

Ketika ia membuka mata, ia sudah terbaring di sofa ruang istirahat kantor. Lestari duduk di sampingnya, wajahnya cemas.

“Mir, kamu kayaknya harus ke dokter. Kamu nggak bisa terus begini,” ujar Lestari.

Almira menggeleng pelan. “Jangan, Mbak… aku hanya kecapekan. Nanti juga sembuh.”

“Tapi kamu pingsan Mir! Beberapa hari ini, aku perhatiin wajah kamu pucat. Itu bukan hal biasa. Bagaimana kalau kamu pingsan lagi?” suara Lestari meninggi, antara marah dan khawatir.

Air mata Almira mengalir tanpa ia sadari. “Aku tidak punya uang, Mbak… Kalau ke dokter, aku takut biayanya mahal. Aku… gak sanggup membayarnya.”

Lestari terdiam, hatinya terenyuh. Ia menggenggam tangan Almira. “Mir, dengar. Kesehatanmu lebih penting dari apa pun. Kalau kamu sakit parah, bagaimana bisa bekerja? Aku bisa bantu, jangan khawatir soal biaya dulu.”

Almira tetap menggeleng keras, matanya memohon. “Tidak mba. Aku akan baik-baik saja. Aku janji.”

Lestari hanya bisa menghela napas, merasa serba salah.

Sepulang kerja, tubuh Almira semakin lemah. Perutnya mual, Tubuhnya menggigil, padahal udara begitu panas. Langkahnya tiba-tiba goyah. Di tengah perjalanan, ia tiba-tiba terhuyung dan jatuh.

Almira mencoba bangkit kembali, ia berusaha melanjutkan perjalanan, Tapi Pandangannya berkunang. Ia hanya mendengar samar suara orang berkata, “Bantu saya, beri saya jalan, saya akan membawanya ke rumah sakit!” sebelum matanya terpejam lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Takdir Almira   Bab 29 Tamparan

    Malam itu, di kejauhan, sebuah mobil hitam berhenti di tikungan tak jauh dari kosan Almira.Lampu jalan yang temaram hanya sedikit menerangi bodi mobil itu. Di dalamnya, seorang pria duduk diam, memperhatikan setiap gerak-gerik di halaman kecil itu. Matanya tajam, tak berkedip, menatap Alvaro dan Almira dari balik kaca. Dialah Arman, orang suruhan Rania yang ditugaskan untuk mengikuti Alvaro tanpa sepengetahuannya. Sudah berhari-hari ia membuntuti pria itu, mencatat ke mana ia pergi, dengan siapa ia bertemu, bahkan kapan ia pulang. Dan malam ini, ia kembali menjalankan perintah itu. Ia mengeluarkan ponselnya, mengambil beberapa foto, lalu menekan nomor yang sudah sangat ia hafal. “Sudah saya pastikan, Nona,” katanya pelan ketika panggilan tersambung. “Pak Alvaro menemui seorang wanita… di kosan sederhana, di kawasan Rawasari.” Di ujung sana, suara perempuan terdengar datar namun tajam. “ Siapa Wanita itu?” “Namanya Almira, salah satu staf admin dari salah satu perusaha

  • Jejak Takdir Almira   Bab 28 Rencana

    Malam itu, setelah semua staf pulang, kantor terasa sunyi. Hanya suara pendingin ruangan dan langkah Alvaro yang terdengar bergema di lorong. Ia berdiri sejenak di depan jendela besar, menatap lampu-lampu kota yang berkelip. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—penyesalan, rindu, dan kegelisahan yang tak bisa ia abaikan lagi. Akhirnya, ia mengambil jasnya dan melangkah cepat menuju lift. Malam itu, ia hanya ingin menemui satu orang: Almira. Ketika ia tiba di depan kosan sederhana Almira. Ia memarkir mobilnya sedikit agak jauh, tak ingin menarik perhatian. Ia berdiri sejenak di depan pagar kecil itu, menenangkan napas. Lalu mengetuk perlahan. Tak lama, pintu terbuka. Almira muncul dengan pakaian sederhana, wajah lelah sehabis pulang kerja. Matanya terkejut melihat siapa yang berdiri di sana. “Pak Alvaro?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Alvaro hanya menatapnya. Sekian hari ia menahan rindu, tapi kini tatapan gadis itu dingin — tidak seperti dulu. Ada jarak yang

  • Jejak Takdir Almira   Bab 27 Keputusan

    Siang itu, suasana ruang kerja Alvaro terasa sangat menegangkan. Walau pendingin ruangan sudah dihidupkan, namun dia masih merasa gerah. Ada gemuruh yang berkecamuk di dadanya. Ia baru saja menyelesaikan rapat dengan tim manajemen rumah sakit ketika pintu ruangannya diketuk pelan. “Masuk,” ucapnya datar. Clara, asisten pribadinya masuk. Wajahnya terlihat ragu. Ia memegang tablet dengan kedua tangan, matanya menatap layar seolah tak yakin ingin membicarakannya. “Pak… ada hal yang sepertinya harus Bapak lihat.” Alvaro mengangkat kepala perlahan. “Apa?” Clara menelan ludah sebelum menjawab. “Beberapa portal berita… menulis tentang rencana pertunangan Bapak dengan Nona Rania Adiningrat.” Waktu seperti berhenti. Pena di tangan Alvaro jatuh ke meja. “Pertunangan?” suaranya meninggi tanpa sengaja. Clara langsung menunduk. “Iya, Pak. Sudah tersebar sejak pagi. Ada beberapa foto dari acara jamuan semalam. Semua portal besar sudah memuatnya. Bahkan media sosial perusahaan Adi

  • Jejak Takdir Almira   Bab 26 Gosip

    Pagi itu suasana kantor terlihat lebih ramai dari biasanya. Suara obrolan terdengar pelan dari beberapa staf yang ia temui sejak ia melewati pintu utama. Almira baru saja duduk di mejanya, ketika dua rekan kerja dari divisi lain datang menghampiri. “Mir, kamu udah denger belum?” tanya salah satunya dengan nada penuh gosip. Almira menatap sekilas sambil menyalakan komputernya. “Denger apa?”. "Berita tentang keluarga Pradipta Grup.” Tangannya yang hendak membuka laptop terhenti. “Kenapa dengan mereka?” “Katanya… semalam ada jamuan makan malam di rumah mereka. Dan sumber yang datang bilang, itu jamuan buat membicarakan pertunangan anaknya — Alvaro Pradipta — sama Rania Adiningrat.” Kalimat itu seperti palu yang jatuh di tengah dadanya. “Pertunangan?” ia mengulang pelan, berusaha memastikan ia tidak salah dengar. “Iya. Katanya dua keluarga itu udah lama menjalin kerja sama di proyek besar. Jadi, ya… kayaknya mau disatukan lewat pernikahan juga.” Temannya menatap Alm

  • Jejak Takdir Almira   Bab 25 Amarah

    Malam itu, Alvaro mendapat pesan singkat dari ayahnya. "Datanglah ke rumah. Ada jamuan makan malam penting. Tepat pukul delapan." Tak ada penjelasan lebih lanjut, tapi nada pesannya tak memberi ruang untuk bertanya. Alvaro sempat berpikir untuk menolak, namun sesuatu di dalam dirinya tahu — percuma. Ketika ayahnya sudah berbicara, penolakan hanyalah bentuk lain dari perlawanan yang akan berujung panjang. Ia tiba di rumah besar itu sedikit lewat pukul delapan. Lampu-lampu taman menyala lembut, bayangan pepohonan memantul di jendela kaca besar ruang tamu. Aroma masakan mewah tercium samar dari dapur. “Selamat malam, Nak Alvaro,” sapa salah satu pelayan dengan sopan. “Tuan dan Nyonya sudah menunggu di ruang makan.” Alvaro mengangguk singkat. Langkahnya pelan, tapi hatinya seperti diisi kabut. Sejak pertemuan dengan Rania malam sebelumnya, pikirannya tak pernah tenang. Namun begitu memasuki ruang makan, langkahnya spontan terhenti. Di meja makan panjang itu — ayahnya, ibu

  • Jejak Takdir Almira   Bab 24 Goyah

    Sejak pertemuan di kantor itu, pikiran Alvaro tak tenang. Keputusannya untuk menjauh akan menyembuhkan segalanya — menenangkan hati, menenangkan keadaan, melindungi Almira dari bayang-bayang kekuasaan ayahnya yang dingin dan kejam. Namun nyatanya, justru membuat batinnya semakin berantakan. Ia masih bisa mengingat dengan jelas tatapan Almira tadi siang nampak dingin. Seolah-olah mereka hanya sekadar rekan kerja. Padahal dulu, setiap kali ia menatap mata itu, dunia seolah berhenti berputar. Alvaro menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap langit-langit apartemen dengan fikirannya yang tak bisa diam. Ia menghela napas berat, menutup mata. Tapi yang muncul justru wajah Almira, senyumnya, suaranya, cara ia menunduk dengan lembut tapi tegas. Ia bahkan masih bisa merasakan bagaimana udara di ruang itu berubah ketika mereka berdiri dengan jarak hanya beberapa langkah. “Kamu sepertinya sengaja menghindariku, Mir…” gumamnya lirih. Tapi ia tahu jawabannya — karena itu keinginannya send

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status