Hari itu, Hari Minggu, saatnya Almira libur. Ia duduk di kamar kos dengan segelas air putih, menatap keluar jendela, melihat langit kota yang kelabu. Tiba-tiba, ia merasakan rindu yang menyesakkan. Rindu akan desa, rindu aroma sawah, rindu suara ibu.
"Bu, aku sudah bekerja di kota. Rasanya sulit, tapi aku tidak mau menyerah. Aku ingin suatu saat punya kehidupan lebih baik. Tolong jaga aku dari jauh, ya, Bu…" Air matanya jatuh tapi cepat-cepat dihapusnya. Keesokan hari, saat Almira sedang mengetik, kepalanya tiba-tiba berdenyut hebat. Layar komputer berputar di matanya. Ia buru-buru memegang meja agar tidak jatuh. “Mir, kamu kenapa?” tanya Lestari cepat. Almira menggeleng, tersenyum memaksa. “Tidak apa-apa, Mbak… hanya pusing sebentar.” Namun wajahnya pucat pasi. Tapi ia tetap menyelesaikan pekerjaan, meski huruf di layar tampak kabur. Ketika pulang, langkahnya goyah. Sampai di kamar kos, ia langsung terbaring, tubuhnya menggigil meski udara malam terasa gerah. Dalam keheningan itu, ia berbisik lemah, “Bu… aku takut. Jangan biarkan aku sendirian.” Keesokan harinya, Almira kembali berangkat ke kantor. menjalani rutinitas seperti biasanya. Suasana kantor saat menjelang siang tampak semakin riuh. Ratna baru saja menerima telepon dari atasannya dan tampak kesal. Sayangnya, kekesalan itu ia limpahkan pada Almira. “Almira! Kenapa laporan stock ini belum selesai juga?” serunya dengan nada tinggi, membuat semua kepala menoleh. Almira terperanjat, buru-buru bangkit. “M-maaf, Mbak… saya masih mengurutkan datanya. Tadi sempat ada yang kurang saya fahami di bagian—” “Alasan! Kalau begini terus, bagaimana kantor ini bisa jalan?!” potong Ratna kasar. Almira menunduk, wajahnya memanas. Ia ingin menjelaskan, tapi suaranya tercekat. Suasana menjadi hening sejenak. Beberapa karyawan hanya saling pandang, tak ada yang berani ikut campur. Lestari akhirnya bersuara, suaranya tenang tapi tegas. “Ratna, dia baru belajar. Kalau ditekan terus, mana bisa cepat. Biar aku yang dampingi.” Ratna mendengus, lalu berbalik sambil melempar berkas di meja. “Terserah.” Almira menggigit bibirnya, menahan air mata. Namun Lestari meraih tangannya. “Jangan diambil hati. Anggap saja ujian. Kamu bisa, Mir.” Kata-kata itu membuat Almira sedikit lega. Ia kembali duduk, berusaha fokus, meski hatinya masih perih. "Hari ini dimarahi lagi… rasanya malu sekali. Semua orang melihat. Tapi aku harus tahan. Aku tidak boleh terlihat lemah. Bu, apakah aku bisa bertahan di sini?." Air matanya hampir jatuh, tubuhnya sedikit bergetar, tapi ia berusaha menahannya. Kondisi Almira, semakin hari, semakin parah. Rasa pusing semakin sering menyerangnya. Dan sore itu, saat merapikan berkas, pandangannya tiba-tiba menghitam. Ia nyaris jatuh, untung Lestari segera sigap menopangnya. “Mir! Kamu pucat sekali. Kamu harus periksa ke dokter.” Almira buru-buru menggeleng, memaksakan senyum. “Tidak apa-apa, Mbak.” Padahal perutnya saat ini kosong, ia belum makan karena ia terlalu hemat. Gajinya belum turun, sementara uang sisa dari desa hanya tinggal beberapa lembar. Saat pulang, tubuhnya menggigil. Setibanya di kosan, ia langsung meringkuk di kasur, menatap foto ibunya dengan mata basah. “Bu… aku benar-benar takut. Tapi aku janji, aku tidak akan menyerah. Aku ingin bertahan di kota ini, apa pun yang terjadi.” Pagi itu, Almira kembali bekerja. Ia berjalan pelan, langkahnya berat. Kepalanya sejak bangun tidur terus berdenyut. namun ia tetap memaksakan diri. Ia tak ingin absen apalagi ia karyawan baru. Sesampainya di kantor, suasana tampak sudah riuh. Ratna berdiri di dekat meja arsip dengan wajah kesal. “Almira! Cepat sini, bantu bawa berkas ini ke ruang rapat. Jangan bengong!” Almira mengangguk, meraih tumpukan map yang cukup berat. Tangannya bergetar saat mengangkat. Baru beberapa langkah, pandangannya kabur. Ia hampir saja terjatuh jika tidak cepat menahan diri pada dinding. “Mir, kamu yakin nggak apa-apa?” tanya Lestari cemas, menghampiri. Almira tersenyum dipaksakan. “I-iya, Mbak… aku bisa.” Ia melanjutkan berjalan, meski keringat dingin membasahi pelipisnya. Namun siangnya, saat mengetik laporan, jemari Almira terasa kaku. Ia salah menekan tombol berkali-kali. Huruf di layar komputer tampak berlipat ganda. Ia mengucek matanya, tapi pandangan tetap buram. “Mir, kamu kenapa? Dari tadi kelihatan pucat sekali,” tanya Bagas yang duduk di dekatnya. “Tidak apa-apa, Mas… hanya pusing sedikit,” jawabnya lirih. Namun detik berikutnya, pandangannya gelap. Ia limbung dan hampir jatuh dari kursi. Bagas spontan menahan bahunya. “Astaga! Lestari! Cepat sini, Almira pingsan!” Ruangan sontak riuh. Beberapa karyawan berkerumun. Lestari bergegas mendekat, panik. “Bawa ke ruang istirahat! Cepat!” Almira samar-samar mendengar suara-suara itu, sebelum akhirnya kesadarannya hilang. Ketika ia membuka mata, ia sudah terbaring di sofa ruang istirahat kantor. Lestari duduk di sampingnya, wajahnya cemas. “Mir, kamu kayaknya harus ke dokter. Kamu nggak bisa terus begini,” ujar Lestari. Almira menggeleng pelan. “Jangan, Mbak… aku hanya kecapekan. Nanti juga sembuh.” “Tapi kamu pingsan Mir! Beberapa hari ini, aku perhatiin wajah kamu pucat. Itu bukan hal biasa. Bagaimana kalau kamu pingsan lagi?” suara Lestari meninggi, antara marah dan khawatir. Air mata Almira mengalir tanpa ia sadari. “Aku tidak punya uang, Mbak… Kalau ke dokter, aku takut biayanya mahal. Aku… gak sanggup membayarnya.” Lestari terdiam, hatinya terenyuh. Ia menggenggam tangan Almira. “Mir, dengar. Kesehatanmu lebih penting dari apa pun. Kalau kamu sakit parah, bagaimana bisa bekerja? Aku bisa bantu, jangan khawatir soal biaya dulu.” Almira tetap menggeleng keras, matanya memohon. “Tidak mba. Aku akan baik-baik saja. Aku janji.” Lestari hanya bisa menghela napas, merasa serba salah. Sepulang kerja, tubuh Almira semakin lemah. Perutnya mual, Tubuhnya menggigil, padahal udara begitu panas. Langkahnya tiba-tiba goyah. Di tengah perjalanan, ia tiba-tiba terhuyung dan jatuh. Almira mencoba bangkit kembali, ia berusaha melanjutkan perjalanan, Tapi Pandangannya berkunang. Ia hanya mendengar samar suara orang berkata, “Bantu saya, beri saya jalan, saya akan membawanya ke rumah sakit!” sebelum matanya terpejam lagi.Jam istirahat siang tiba. Almira menghela napas panjang setelah menyelesaikan satu tumpukan berkas. Perutnya sudah mulai protes, tapi kepalanya terasa lebih berat karena pekerjaan yang menunggu tak ada habisnya. Ia bangkit dari kursi, merapikan bajunya sebentar, lalu melangkah keluar kantor dengan langkah pelan. Udara luar sedikit lebih lega dibanding ruang kerja yang penuh tekanan. Almira berniat langsung menuju kantin, tapi langkahnya terhenti begitu melihat seseorang berdiri di dekat pagar kantor. Sosok itu tidak asing—kemeja rapi, map di tangan, senyum yang begitu dikenalnya. “Alvaro?” Pria itu menoleh, matanya berbinar kecil. “Tepat sekali. Aku memang menunggumu.” Almira mengerutkan dahi, sedikit canggung. “Menungguku?” Alvaro melangkah mendekat, suaranya tenang. “Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan siang. Ada tempat yang ingin aku tunjukkan. Tempatnya sederhana, tapi aku yakin kamu akan suka.” Almira terdiam, ragu. Ia menoleh sebentar ke arah kantor, tak
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Almira. Suasana sepi, hanya terdengar detak jarum jam. Almira duduk di tepi tempat tidur, menatap cermin di depannya. Hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit bergetar, meski ia berusaha menepisnya. Ia menepuk pipinya perlahan, mencoba menenangkan diri sebelum berangkat ke kantor. Almira menuju kantor dengan langkah ringan, meski pundaknya terasa berat menanggung beban pekerjaan yang belum selesai. Sesampainya di kantor, ia disambut oleh tumpukan dokumen, senyum tipis rekan kerjanya, dan beberapa komentar sarkastik yang membuatnya menahan napas. “Eh, Mir! Sudah sehat ya? Jangan-jangan kemarin sakit karena terlalu banyak dipikirin,” seloroh salah satu rekan, sambil menatapnya penuh sindiran. Almira hanya tersenyum tipis, menunduk, dan tetap fokus dengan pekerjaannya. Ia tidak punya energi untuk menjawab lebih jauh. Setiap lembar berkas terasa seperti beban, tapi ia berusaha menguatkan diri. Seperti hari
Keesokan harinya, Almira kembali menjalani rutinitas seperti semula. Almira duduk di meja kerjanya dengan setumpuk berkas yang siap di input. Meski tubuhnya sudah jauh lebih baik, kejadian pingsan beberapa waktu lalu mengingatkannya untuk tidak memaksakan diri lagi. Setelah seharian bekerja, Almira akhirnya pulang. Langkahnya pelan, bahunya terasa berat menahan segala beban. Sesampainya di kosan, ia langsung disambut oleh Lestari yang duduk di kursi depan kamar kosnya dengan tangan bersedekap. “Mir, sini sebentar,” ucapnya, nada suaranya penuh selidik. Almira menaruh tasnya, lalu duduk di sebelah Lestari. “Kenapa, Mba?” tanyanya lemah. Lestari menatapnya tajam, seakan sedang menginterogasi. “Kemarin itu siapa yang nganterin kamu? Mba sempet lihat walau samar kayaknya laki-laki. Hayoo ngaku siapa? Sepertinya dia bukan orang biasa.” Almira berusaha tenang, padahal hatinya sedikit berdegup lebih cepat. “Oh itu, cuma orang yang kebetulan bantu aku waktu pingsan kemarin,” jelasny
Pagi itu sinar matahari menembus jendela kamar rawat, menyinari wajah Almira yang masih pucat. Ia baru saja selesai sarapan bubur yang dibawakan perawat ketika pintu kamar diketuk pelan. Sejenak ia mengira itu perawat, namun ternyata yang datang Alvaro. Dengan jas dokter yang melekat di tubuhnya, ia menenteng sebuah map berisi catatan medis. Wajahnya tampak sedikit lebih lega dibanding beberapa hari terakhir. “Almira,” ucapnya tenang, “hasil pemeriksaanmu cukup baik. Kondisimu stabil, jadi hari ini kamu sudah diperbolehkan pulang.” Almira terdiam sejenak, antara senang dan ragu. Hatinya merasa lega karena bisa pulang, namun di sisi lain, ia khawatir tentang pekerjaan dan beban yang sudah menunggunya. “Benarkah, Dok?” tanyanya memastikan. Alvaro mengangguk mantap. “Ya. Tapi dengan syarat kamu tetap harus istirahat yang cukup. Jangan memaksakan diri bekerja terlalu keras dulu.” Ia sempat menghela napas, lalu menatap Almira lebih dalam. “Dan satu lagi… kenapa masih memanggil
Air mata Almira masih menggantung di sudut mata, membasahi pipinya yang pucat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan, napas masih terasa sesak. Pikiran berputar, menolak percaya bahwa ada seseorang yang mau begitu saja menanggung bebannya—bahkan tanpa mengenalnya. Wajah ayahnya terlintas—samar, ia mengingat bagaimana ayahnya memperlakukannya. sikapnya yang keras, dingin, selalu merampas hasil kerjanya tanpa pernah peduli ia sudah makan atau belum. Ingatan itu membuat matanya semakin panas. Di sini, di ranjang rumah sakit, ia justru diperlakukan lebih manusiawi oleh orang asing yang bahkan baru ditemuinya. Almira menutup wajah dengan telapak tangan, tubuhnya bergetar menahan tangis. Tanpa sadar ia berucap pelan. “saya… tidak terbiasa ditolong dengan cuma-cuma. Saya takut… saya tidak bisa. membalasnya.” Alvaro tetap di kursinya, matanya tidak beranjak dari sosok rapuh di hadapannya. “ Dengar, Kamu tidak perlu berpikir sejauh itu sekarang,” ucapnya akhirnya, suaranya datar
Sore itu, Alvaro dengan jas hitam baru saja keluar dari sebuah kafe mewah di sudut kota. Siang itu, ia baru saja menyelesaikan meeting dengan perwakilan perusahaan pemasok alat-alat medis. Namun begitu menoleh ke arah jalan utama, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di trotoar, tampak seorang wanita limbung, tubuhnya goyah seolah tidak punya tenaga. Dan sekejap kemudian, ia ambruk begitu saja. Dengan langkah lebar, Alvaro segera menghampiri. “Tolong beri jalan,” ucapnya tegas. Suaranya yang dalam membuat orang-orang refleks menyingkir. Kini ia melihat dengan jelas seorang wanita terbaring lemah di aspal, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Napasnya tersengal, bibirnya nyaris tak berwarna. Alvaro berjongkok, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan wanita itu. Wajahnya menegang. “Dia sangat lemah… bisa berbahaya kalau dibiarkan,” gumamnya rendah. Tanpa menunggu bantuan, ia mengangkat tubuh gadis itu. Beberapa orang terperanjat melihatnya menggendong wa