Pagi itu udara terasa lebih pengap dari biasanya. Langit masih diliputi kabut tipis. Almira menarik napas panjang di depan cermin kecil yang tergantung di dinding kosnya. Rambutnya ia sisir seadanya, lalu ia merapikan pakaiannya_ kemeja polos berwarna biru muda dan rok hitam yang sudah mulai memudar, meski tampak sederhana, bagi Almira itu adalah pakaian terbaik yang ia punya.
Ia menatap wajahnya sendiri. Ada lingkar samar di bawah mata, akibat semalam hampir tidak bisa tidur. Suara kendaraan yang nyaris tak pernah berhenti membuatnya gelisah. Belum lagi, rasa sepi yang mencekik begitu lampu kamar dipadamkan. Di desa, suara jangkrik dan angin malam masih bisa membuatnya terlelap. Tapi di kota, semuanya terasa asing. “Harus kuat, Mir…” bisiknya lirih, sebelum meraih tas lusuh yang menjadi satu-satunya barang berharganya yang ia bawa dari rumah. Hari ini, suasana kantor tampak lebih sibuk dibanding kemarin. Kardus-kardus berisi dokumen menumpuk di pojok ruangan, beberapa karyawan tampak mondar-mandir dengan wajah serius. Almira berdiri kaku di dekat mejanya, menunggu instruksi. “Almira, ini berkas harus diurutkan sesuai tanggal. Jangan sampai ada yang tertukar, ya.” Ratna, karyawan senior yang kemarin sudah sempat melayangkan komentar sinis, menaruh setumpuk map di depan Almira. Suaranya terdengar dingin, nyaris menyuruh ketimbang meminta. “I-iya, Mbak,” jawab Almira cepat. Tangannya segera bergerak, merapikan berkas satu per satu. Ia membaca angka dengan hati-hati, takut ada yang terlewat. Namun setelah beberapa menit, matanya mulai lelah. Angka-angka tanggal terlihat menari, membuatnya bingung. “Lambat sekali,” gumam Ratna, cukup keras untuk didengar. Beberapa karyawan melirik. Wajah Almira memanas, tapi ia menunduk dalam-dalam, pura-pura tidak mendengar. Untungnya, Lestari yang duduk di meja sebelahnya tersenyum menenangkan. “Santai saja, Mir. Kalau bingung, tanyakan saja padaku. Nanti juga terbiasa.” Almira mengangguk pelan. Kata-kata itu sedikit membuatnya terhibur. Siang hari, tugasnya berganti: memasukkan data ke komputer. Tangannya masih terlihat kaku. Rasa panik kadang muncul jika ia salah menekan tombol. Apalagi saat melihat layar penuh warna merah menunjukkan ada kesalahan, jantungnya akan berdegup kencang, ia takut jika dimarahi. Namun Bagas, staf muda yang duduk dua meja di belakangnya, mendekat sambil tersenyum ramah. “Coba begini, Mir. Jangan buru-buru, biar jarinya terbiasa dulu.” Ia mencontohkan mengetik pelan, huruf demi huruf. Almira mengangguk penuh rasa syukur. “Makasih, Mas…” Sore itu, meski hasil pekerjaannya belum sempurna, Almira berhasil menyelesaikan laporan pertamanya. Ia menatap kertas yang penuh dengan coretan koreksi, tapi tetap saja ada rasa bangga. “Aku bisa…” bisiknya lirih. Malamnya, Almira pulang dengan langkah gontai. Bahunya pegal, kepalanya pusing. Tubuhnya terasa ringan seakan melayang, padahal ia hanya duduk mengetik seharian. Sesampainya di kos, ia menjatuhkan diri ke kasur tipis yang bunyinya berdecit. Di meja kayu kecil, foto ibunya menatapnya dengan senyum teduh. Almira meraih foto itu, menahannya di dada. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Bu, hari ini berat sekali… Mereka bilang aku lambat. Aku takut dianggap bodoh. Tapi aku berusaha, sungguh aku berusaha,” ucapnya lirih. Ia menutup mata, seakan berharap suara ibunya menjawab dari kejauhan. Kamar terasa sunyi, hanya suara kendaraan di luar yang kadang menemani. Hatinya mencelos. Ia rindu suara ibunya saat menenangkannya, rindu hangatnya pelukan. Tapi itu hanya sekedar kenangan. Perutnya berbunyi. Sejak pagi ia hanya makan sebungkus nasi kucing yang dibelinya di pinggir jalan. Uang yang ia bawa dari desa hampir habis, dan gaji baru akan ia terima akhir bulan. Dengan berat hati, ia membuka bungkusan mi instan. Hanya itu yang menjadi menu makan malamnya. Setelah makan, ia duduk termenung. Cahaya lampu jalan masuk lewat jendela, menyorot wajah lelahnya. Ia merasa sendirian di dunia yang terlalu besar. Hari-hari berikutnya berjalan dengan rutinitas yang sama. Pagi ia ke kantor dengan berjalan kaki, siang bergelut dengan angka, sore pulang dengan tubuh letih. Perlahan, Almira mulai bisa mengikuti ritme kerja. Ia tidak lagi gemetar saat mengetik, meski sesekali masih salah. Beberapa karyawan mulai menyapanya, meski tetap ada yang memandang rendah. Ratna, misalnya, selalu menemukan celah untuk mengomentari. “Kalau begini terus, bisa kacau semua laporan. Kamu harusnya belajar lebih cepat.” Almira hanya menunduk. Kata-kata itu seperti belati, tapi ia menahannya. Ia sudah terbiasa dengan bentakan ayahnya di rumah—ia belajar bahwa diam adalah jalan paling aman. Untungnya, Lestari tidak pernah berhenti mendukung, begitu juga Bagas. Kadang Lestari membawakan sarapan untuk Almira, atau menyemangatinya. Dan Bagas juga sesekali membantunyq, memberikan senyum ramah yang membuat Almira merasa tidak sendirian disana. Namun tubuh Almira mulai menunjukkan tanda-tanda lelah yang tidak biasa. Ia sering merasa pusing, kadang pandangan berkunang-kunang. Saat berjalan pulang, ia merasa langkahnya berat. Suatu malam, ia hampir pingsan di jalan. Untung seorang pedagang gorengan yang biasa ia lewati memegangi lengannya. “Dik, kamu pucat sekali. Istirahat dulu, jangan dipaksakan.” Almira tersenyum lemah. “Tidak apa-apa, Pak. Saya hanya kecapekan.” Tapi di dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang salah. Badannya sering panas dingin, tapi ia menolak mengakuinya. “Aku tidak boleh sakit… Aku harus bekerja,” pikirnya.Jam istirahat siang tiba. Almira menghela napas panjang setelah menyelesaikan satu tumpukan berkas. Perutnya sudah mulai protes, tapi kepalanya terasa lebih berat karena pekerjaan yang menunggu tak ada habisnya. Ia bangkit dari kursi, merapikan bajunya sebentar, lalu melangkah keluar kantor dengan langkah pelan. Udara luar sedikit lebih lega dibanding ruang kerja yang penuh tekanan. Almira berniat langsung menuju kantin, tapi langkahnya terhenti begitu melihat seseorang berdiri di dekat pagar kantor. Sosok itu tidak asing—kemeja rapi, map di tangan, senyum yang begitu dikenalnya. “Alvaro?” Pria itu menoleh, matanya berbinar kecil. “Tepat sekali. Aku memang menunggumu.” Almira mengerutkan dahi, sedikit canggung. “Menungguku?” Alvaro melangkah mendekat, suaranya tenang. “Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan siang. Ada tempat yang ingin aku tunjukkan. Tempatnya sederhana, tapi aku yakin kamu akan suka.” Almira terdiam, ragu. Ia menoleh sebentar ke arah kantor, tak
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Almira. Suasana sepi, hanya terdengar detak jarum jam. Almira duduk di tepi tempat tidur, menatap cermin di depannya. Hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit bergetar, meski ia berusaha menepisnya. Ia menepuk pipinya perlahan, mencoba menenangkan diri sebelum berangkat ke kantor. Almira menuju kantor dengan langkah ringan, meski pundaknya terasa berat menanggung beban pekerjaan yang belum selesai. Sesampainya di kantor, ia disambut oleh tumpukan dokumen, senyum tipis rekan kerjanya, dan beberapa komentar sarkastik yang membuatnya menahan napas. “Eh, Mir! Sudah sehat ya? Jangan-jangan kemarin sakit karena terlalu banyak dipikirin,” seloroh salah satu rekan, sambil menatapnya penuh sindiran. Almira hanya tersenyum tipis, menunduk, dan tetap fokus dengan pekerjaannya. Ia tidak punya energi untuk menjawab lebih jauh. Setiap lembar berkas terasa seperti beban, tapi ia berusaha menguatkan diri. Seperti hari
Keesokan harinya, Almira kembali menjalani rutinitas seperti semula. Almira duduk di meja kerjanya dengan setumpuk berkas yang siap di input. Meski tubuhnya sudah jauh lebih baik, kejadian pingsan beberapa waktu lalu mengingatkannya untuk tidak memaksakan diri lagi. Setelah seharian bekerja, Almira akhirnya pulang. Langkahnya pelan, bahunya terasa berat menahan segala beban. Sesampainya di kosan, ia langsung disambut oleh Lestari yang duduk di kursi depan kamar kosnya dengan tangan bersedekap. “Mir, sini sebentar,” ucapnya, nada suaranya penuh selidik. Almira menaruh tasnya, lalu duduk di sebelah Lestari. “Kenapa, Mba?” tanyanya lemah. Lestari menatapnya tajam, seakan sedang menginterogasi. “Kemarin itu siapa yang nganterin kamu? Mba sempet lihat walau samar kayaknya laki-laki. Hayoo ngaku siapa? Sepertinya dia bukan orang biasa.” Almira berusaha tenang, padahal hatinya sedikit berdegup lebih cepat. “Oh itu, cuma orang yang kebetulan bantu aku waktu pingsan kemarin,” jelasny
Pagi itu sinar matahari menembus jendela kamar rawat, menyinari wajah Almira yang masih pucat. Ia baru saja selesai sarapan bubur yang dibawakan perawat ketika pintu kamar diketuk pelan. Sejenak ia mengira itu perawat, namun ternyata yang datang Alvaro. Dengan jas dokter yang melekat di tubuhnya, ia menenteng sebuah map berisi catatan medis. Wajahnya tampak sedikit lebih lega dibanding beberapa hari terakhir. “Almira,” ucapnya tenang, “hasil pemeriksaanmu cukup baik. Kondisimu stabil, jadi hari ini kamu sudah diperbolehkan pulang.” Almira terdiam sejenak, antara senang dan ragu. Hatinya merasa lega karena bisa pulang, namun di sisi lain, ia khawatir tentang pekerjaan dan beban yang sudah menunggunya. “Benarkah, Dok?” tanyanya memastikan. Alvaro mengangguk mantap. “Ya. Tapi dengan syarat kamu tetap harus istirahat yang cukup. Jangan memaksakan diri bekerja terlalu keras dulu.” Ia sempat menghela napas, lalu menatap Almira lebih dalam. “Dan satu lagi… kenapa masih memanggil
Air mata Almira masih menggantung di sudut mata, membasahi pipinya yang pucat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan, napas masih terasa sesak. Pikiran berputar, menolak percaya bahwa ada seseorang yang mau begitu saja menanggung bebannya—bahkan tanpa mengenalnya. Wajah ayahnya terlintas—samar, ia mengingat bagaimana ayahnya memperlakukannya. sikapnya yang keras, dingin, selalu merampas hasil kerjanya tanpa pernah peduli ia sudah makan atau belum. Ingatan itu membuat matanya semakin panas. Di sini, di ranjang rumah sakit, ia justru diperlakukan lebih manusiawi oleh orang asing yang bahkan baru ditemuinya. Almira menutup wajah dengan telapak tangan, tubuhnya bergetar menahan tangis. Tanpa sadar ia berucap pelan. “saya… tidak terbiasa ditolong dengan cuma-cuma. Saya takut… saya tidak bisa. membalasnya.” Alvaro tetap di kursinya, matanya tidak beranjak dari sosok rapuh di hadapannya. “ Dengar, Kamu tidak perlu berpikir sejauh itu sekarang,” ucapnya akhirnya, suaranya datar
Sore itu, Alvaro dengan jas hitam baru saja keluar dari sebuah kafe mewah di sudut kota. Siang itu, ia baru saja menyelesaikan meeting dengan perwakilan perusahaan pemasok alat-alat medis. Namun begitu menoleh ke arah jalan utama, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di trotoar, tampak seorang wanita limbung, tubuhnya goyah seolah tidak punya tenaga. Dan sekejap kemudian, ia ambruk begitu saja. Dengan langkah lebar, Alvaro segera menghampiri. “Tolong beri jalan,” ucapnya tegas. Suaranya yang dalam membuat orang-orang refleks menyingkir. Kini ia melihat dengan jelas seorang wanita terbaring lemah di aspal, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Napasnya tersengal, bibirnya nyaris tak berwarna. Alvaro berjongkok, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan wanita itu. Wajahnya menegang. “Dia sangat lemah… bisa berbahaya kalau dibiarkan,” gumamnya rendah. Tanpa menunggu bantuan, ia mengangkat tubuh gadis itu. Beberapa orang terperanjat melihatnya menggendong wa