Kesunyian menyeling beberapa lamanya. Kesunyian ini dipecahkan oleh suara Eyang Begawan Tapa Pamungkas kembali. ”Hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di sini, Jejaka!” ”Eyang..., ” terkejut Jejaka mendengar kata-kata eyangnya yang tiada disangkanya itu. ”Kau terkejut? Tak perlu terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu bertemu selalu ada waktu perpisahan. Waktu datang dan waktu pergi! Aku telah selesai dengan kewajibanku memberikan segala macam ilmu kepada kau dan kau sudah selesai dengan kewajiban kau yaitu menuntut dan mempelajari ilmu itu dari-ku... ” ”Segala apa yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian, Jejaka! Dua bagian yang berlainan satu sama lain tapi yang menjadi pasangan-pasangannya... ” Jejaka kerenyitkan kening tak mengerti. ”Misalnya Eyang?” tanyanya. ”Misalnya..., ada laki-laki ada perempuan. Bukankah itu dua bagian yang berlainan? Tapi merupakan pasangan?!” ”Betul Eyang... ” ”Misal lain... ada langit... ada bumi. Ada lautan ada daratan. Ad
“Jejaka Emas eyang?” kata Jejaka dengan sedikit keras hingga mengejutkan sang eyang. “Jejaka Emas?” ulang Begawan Tapa Pamungkas dengan bingung. Tapi sesaat kemudian wajah Begawan Tapa Pamungkas sudah tersenyum lebar. “Benar! Jejaka Emas. Itu nama yang sangat pantas untukmu Jejaka!” “Jejaka Emas” ulang Jejaka lagi, tapi tak lama kemudian bibirnyapun menyunggingkan senyum lebar. ”Bagus eyang, yah. Jejaka Emas saja” sambung Jejaka. “Yah! Jejaka Emas” sambut sang eyang ikut gembira dan tertawa kecil. “Oh ya, jangan lupa untuk mengunjungi guru dari ayahmu, Ki Ageng Buana” “Guru ayah?” “Benar, guru ayahmu. Julukannya Pendekar Kilat Buana. Kau bisa belajar banyak jurus darinya untuk bekalmu di dunia persilatan” “Dimana saya bisa menemuinya eyang?” “Gunung Batu” ”Baik Eyang... Oh ya, apa kita masih bisa bertemu lagi Eyang?” tanya Jejaka. ”Selama langit masih biru, selama hutan masih hijau, selama air sungai masih mengalir ke laut, kita pasti bertemu lagi Jejaka Emas...!” -o0o- Seo
WAJAH bulan di kaki langit bagaikan berselimut duka. Awan-awan kelabu di sekitarnya membuat bulan malas tersenyum. Tak ada kegairahan terpancar pada wajah sang Dewi Malam. Sementara angin yang berhembus semilir seolah tak berdaya mengusir awan kelabu di angkasa raya. Cahaya bulan yang demikian temaram seolah tak mampu menerangi sebuah dataran luas berumput di luar Hutan Situ Waras. Di pinggiran dataran, sebuah pohon randu tua tumbuh rindang dengan daun-daunnya yang berjuntaian berdiri kokoh. Batangnya yang sebesar dua lingkaran tangan manusia dewasa telah keropos di sana-sini termakan usia. Sebagian akarnya yang berwarna kuning bertonjolan keluar. Di sebuah celah pada batang pohon randu yang kerowok samar-samar terlihat sesosok tubuh terbungkus pakaian putih-putih tengah khusuk bertapa. Sungguh aneh. Dalam ruangan di dalam pohon yang luasnya tak lebih dari setengah tombak didiami satu sosok yang tak lain seorang lelaki tua yang umurnya sulit ditaksir. Pintu masuknya pun sempit sekali
Sebuah suara gaib yang entah dari mana datangnya, menelusup ke telinga Dewa Abadi. Begitu gaung suara gaib itu sirna, batang pohon randu itu pun makin bergetar hebat. Bumi berguncang laksana ada gempa. Tubuh Dewa Abadi sendiri pun tergetar-getar hebat. Parasnya yang tirus menegang. Kedua bibirnya berkemik-kemik seperti ada sesuatu yang diucapkan dari alam bawah sadarnya. "Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau melarang caraku dalam mencari kematian. Aku sudah bosan hidup. Aku sudah ingin bersanding dengan Pendamping Setia ku? Mengapa kau larang aku?" "Bukankah itu keinginanmu dulu untuk hidup abadi, sehingga kau dengan berani merampas kitab sukma abadi itu dari Raja Kala Coro, hal yang seharusnya tidak pernah kau lakukan. Adalah orang pengecut bila meminta keinginan di luar kehendak-Nya. Tapi, baiklah. Berhubung kau bersikeras untuk menemui jalan kematian, aku terpaksa akan memberimu cara." Kembali suara gaib itu bergema ke segenap penjuru alam pikiran Dewa Abadi. Tubuh Dewa Abadi pun ke
Tepat ketika sosok berpakaian putih-putih itu mendarat, batang pohon randu itu tumbang dan jatuh berdebam ke tanah. Bumi bergetar hebat. Debu-debu kontan membubung tinggi memenuhi sekitarnya. Sedang Dewa Abadi tampak masih tegak di tempatnya. Sedikit pun juga tidak terpengaruh oleh keadaan di belakangnya. Kepalanya mendongak tinggitinggi menatap angkasa raya dengan kedua bibir bergetar. Bulan purnama di atas sana tetap bermuram durja oleh awan kelabu yang membungkusnya. Berjuta bintang di angkasa pun sepertinya malas tersenyum. "Oh..., Dewata...! Kenapa jalan hidupku demikian buruk? Apa salahku, Dewata? Apa karena aku mempelajari Kitab Sukma Abadi yang membuat aku begini? Tapi, bukankah Kau tahu! Ilmu yang ku peroleh ini hanya untuk membela jalan-Mu, jalan kebenaran? Lantas, kenapa di saat aku ingin menemui-Mu, malah ini yang ku peroleh?" keluh Dewa Abadi dalam hati, seolah-olah ingin menyesali kiprahnya di rimba persilatan. Namun apa yang dikeluhkan Dewa Abadi hanya bergema dalam
Dalam pengembaraannya, beberapa kali Jejaka harus bentrok dengan orang-orang dari golongan hitam, beberapa orang diantaranya adalah para begal yang Jejaka lumpuhkan dengan sangat mudahnya. Jejakapun memperkenalkan namanya sebagai Jejaka Emas. Kini nama Jejaka Emas mulai diperbincangkan oleh banyak orang dan menjadi buah bibir dimana-mana, semakin banyak pendekar-pendekar golongan hitam yang ditundukkan dan orang-orang yang telah banyak di tolong Jejaka, semakin masyur nama Jejaka Emas dikalangan persilatan maupun kalangan masyarakat awam. Banyak dari tokoh-tokoh aliran hitam papan atas yang kini memburu sosok Jejaka Emas, karena keberadaan Jejaka Emas dianggap membahayakan bagi golongan mereka.“Ah...! Bisa modar kalau kepanasan seperti ini. Sebaiknya aku beristirahat barang sejenak. Ah... di depan sana ada sebuah pohon. Kukira cukup untuk beristirahat barang sejenak," cucu Begawan Tapa Pamungkas ini tersenyum senang dengan mata memandang tak berkedip ke arah yang dimaksud.Habis berk
Tanpa sadar Jejaka pun segera mencium tubuhnya sendiri. Namun sama sekali tidak tercium bau bangkai pada tubuhnya. Ia hanya mencium bau kecut, karena hampir dua hari belum mandi. Menyadari ucapan orang tua berpakaian biru itu tidak benar, Jejaka pun lalu tersenyum."Maaf, Orang Tua! Apa tidak salah penciumanmu? Mana mungkin aku yang masih muda, berbau bangkai? Kalau kau mungkin pantas. Umurmu saja sudah berbau tanah? Sebab kau sudah tua peot lagi. Rasa-rasanya untuk membawa tubuh kurusmu saja kau tak sanggup. Jadi wajar saja kalau kaulah yang berbau bangkai, Orang Tua!" balas si pemuda tenang.Orang tua berpakaian biru itu melotot garang. Tampak sekali kalau hatinya gusar mendengar ucapan pemuda di hadapannya."Jadi, kau tidak mempercayai ramalanku, Bocah?" desis si tua ini."Ah...! Bukan begitu. Mana berani sih aku tidak mempercayai ramalanmu. Cuma seperti yang kukatakan tadi, ramalanmu terbalik. Bukannya aku yang bau bangkai. Tapi kau, Orang Tua!" kata Jejaka seraya sunggingkan seny
Wesss! Wesss! Brakkk...!!!Batang pohon di belakang Jejaka tadi kontan tumbang, dan jatuh berdebam ke tanah. Seketika debu-debu membubung tinggi memenuhi tempat itu.Melihat serangan pertamanya dapat dihindari dengan mudah, Peramal Darah pun jadi gusar bukan main. Dan dikawal bentakan nyaring, begitu kakinya menjejak tanah kembali diterjangnya Jejaka. Seketika tubuh tinggi kurusnya telah berubah jadi bayangan biru, terus merangsek Jejaka."Hea...! Hea...!"Peramal Darah berkah-kali mencoba dengan jurus-jurus tipuan. Namun, sayangnya Jejaka selalu saja dapat menghindarinya dengan mudah. Malah kalau si pemuda itu mau, tak jarang banyak kesempatan lowong untuk melancarkan serangan balik. Maka, hal ini pulalah yang membuat kemarahan Peramal Darah makin menggelegak"Setan alas! Jangan dikira kau sudah di atas angin hingga tak mau balas seranganku, Bocah! Bagaimanapun juga, kau harus modar di tangan ku, Bocah! Heaaa...!"Peramal Darah terus menekan pertahanan Jejaka. Tangan kanannya membent