Share

Chapter 03

//TW⚠️// Bab ini mengandung perilaku menyakiti diri sendiri

****

"Ini gila! Bagaimana bisa?!"

Sudah lima belas menit lamanya pemuda berpakaian kerajaan itu mengayunkan tungkainya ke sana kemari sambil sesekali memperhatikan penampilan di cermin yang ia lewati. Ia masih berusaha menerima kondisi tubuhnya yang terasa asing, namun tetap saja ia masih merasa terkejut dan terheran.

"Tunggu... "

Ia memaku berdiri di depan cermin mematut seorang pangeran yang tampak menawan.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Apa aku kembali ke kehidupanku dimasa lampau? Renkarnasi? Emmm tidak-tidak... ini terasa mustahil, tapi yang ada di depanku ini membuatku tak bisa mengelak fakta itu. ARGHHH apa aku ini sudah gila?" gumamnya menggeram kesal.

Kembali ia berjalan kesana-kemari memikirkan hal logis apa yang bisa menjelaskan fenomena yang ia hadapi sekarang.

Pluk....

Jari telunjuk dan jempolnya beradu.

"Mungkin aku sedang bermimpi?" pikirnya sumringah.

Sejurus kemudian sang pangeran mencubit beberapa bagian tubuhnya dan ia meringis kesakitan. Ia lantas berjalan menuju pecahan cermin yang masih berserakan di samping ranjang. Tangannya terulur mengambil cermin dengan ujung runcing.

"Baiklah mungkin dengan ini aku bisa terbangun. Semoga," mohonnya dengan sangat.

Ia lantas mengarahkan ujung runcing pecahan cermin pada pergelangan tangannya. Tanpa ragu sedikitpun ia mulai membentuk empat garis panjang melintang pada lengannya.

Srettt

Srettt

Cairan merah kental sontak merembes keluar. Begitu banyak dan begitu mengerikan. Lengan seputih susu itu berubah berlumuran cairan merah.

Seiring goresan langen yang semakin banyak, ia pun mulai kembali meringis kesakitan. Namun nyatanya hal itu tak menghentikan perbuatan tercela itu.

"Arghhh! Kenapa aku masih bisa merasakan sakit?!"

Pangeran itu terus saja menggoreskan ujung runcing itu hingga membuat lengannya dipenuhi pola abstrak. Ia masih merasa tak puas menyadari dirinya yang terus saja merintih kesakitan. Bahkan kini cairan berbau anyir itu semakin menyeruak mengucur dari lengannya.

"SIAL, KENAPA INI TIDAK BEKERJA!!!"

Brakkk...

Pintu peraduan terbuka lebar begitu sebuah energi besar mendobrak pintu kayu tersebut.

"Ya Tuhan! APA YANG TERJADI?!!"

Seorang wanita dewasa dengan gaun bangsawan terbelalak mendapati sosok pemuda dalam kondisi yang memprihatinkan. Ia lantas berlari kencang menuju sang pangeran yang masih membeku ditempat.

"Apa yang kamu lakukan?! Astaga, kebodohan apa yang sekarang kau lakukan?!" pekiknya terkejut mendapati banyak darah yang bercecer di lantai berbahan marmer itu.

"Aku hanya me—"

"PENGAWAL, CEPAT PANGGILKAN TABIB!!" teriak wanita itu penuh kepanikan.

Obsidian hijau zamrud itu menyorot khawatir, ia bergerak panik memeriksa tiap inci lengan yang terluka parah.

Sang pangeran terdiam sejenak menatap orang di depannya.

"Ini jelas-jelas mimpi. Aku harus bangun sekarang juga!!" seru Adrian tiba-tiba kembali menancapkan pecahan cermin yang masih ada di tangannya.

"HEY HENTIKAN!!!"

Audreya menahan kedua tangan anaknya dengan sekuat tenaga.

Namun sang pangeran terkesan tak memedulikan sosok wanita di depannya yang bahkan sudah berteriak penuh kecemasan.

"Kumohon hentikan, Nak," pinta Audreya dengan suara parau. Cucuran air mata mulai berjatuhan dari pelupuk zamrudnya.

Di sisi lain sorot mata adrian nampak kelam, ia sudah kepalang kalap untuk melukai dirinya. Ambisi semunya membuatnya mengambil tindakan berbahaya dan tak masuk akal.

"INI BUKAN TEMPATKU, KUMOHON AKU HANYA INGIN KEMBALI KE TEMPAT ASALKU!!" bentak Adrian masih memberontak untuk kembali berusaha 'menyadarkan' dirinya.

Plak

Adrian membeku usai sebuah tamparan keras mendarat pada pipinya.

"CUKUP!!"

Obsidian zamrud yang biasanya memancarkan keteduhan, kini berubah merah menyorot penuh amarah kepada sosok yang sangat ia sayangi. Perasaan tak bisa dibohongi, meskipun amarah masih mengumpul pada dirinya, terbentuk sungai kecil pada pipi menawan sang permaisuri kala menyadari tindakan yang baru saja ia lakukan.

"Apa kamu sudah tidak waras, Adrian!! Apa kau benar-benar bodoh seperti yang mereka katakan?!!"

"Di istana ini semua orang memang membencimu, mengabaikanmu bahkan ada yang terang-terangan ingin mengusirmu. Apa sekarang kau juga ikut membenci dirimu sendiri? Bunda sudah berjuang keras membesarkan dan menjagamu, lantas sekarang siapa yang akan menjaga ragamu? HAH?!" sentak Audreya memarahi habis-habisan sosok Adrian yang masih termagu.

Adrian tertohok mendengar kalimat kemarahan yang Audreya ucapkan. Jantungnya mendadak berhenti berdegup begitu mendengar pertanyaan yang terlontar.

Audreya mencengkeram erat kedua bahu anaknya.

"Bunda paham tidak mudah bertahan hidup di sekitar orang yang membencimu, harga diri yang terinjak-injak ketika tidak ada orang yang menghargai dan menghormati status pangeranmu. Tapi kamu perlu ingat, Nak, dari sekian banyak orang, masih ada segelintir orang yang mengakui dan membutuhkan atensimu. Kamu di sini masih punya bunda, Nak, kamu tidak sendiri," lirih Audreya membisikkan kata demi kata dengan penuh kelembutan.

Tubuh Adrian melemas, tatapannya mendadak sayu kemudian tertunduk dalam. Tercetak jelas ada beban besar yang kini tertumpuk di kepala pemuda itu.

Menyadari mendapat kesempatan berharga, Adreya segera merebut pecahan cermin yang masih digenggam sang pangeran dan segera membuangnya jauh-jauh.

Lama Adrian terdiam dalam posisinya, sedangkan Audreya bergerak merobek bagian gaunnya untuk digunakan mengusap darah yang masih mengalir pada lengan sang putera.

"Kau adalah Yang Mulia Permaisuri Audreya ya?" pertanyaan konyol itu terlontar tiba-tiba dari mulut Adrian.

Wanita dewasa itu mengalihkan perhatiannya menatap sang pangeran masih dengan pandangan sedih bercampur cemas.

"Iya ini aku ibundamu, Nak."

Audreya memutar posisi tubuh Adrian untuk menghadap ke arahnya. "Cukup sampai di sini tindakan bodoh ini kau lakukan. Berjanjilah jangan menyakiti dirimu lagi ya?" mohon Audreya sembari tersenyum sendu.

Tubuh pemuda itu tertariknya memasuki dekapan hangat Permaisuri Audreya. Adrian menurut, ia tak memberontak tak juga membalas. Nampaknya ia masih mencerna kejadian yang baru saja menimpanya.

Tak lama kemudian terdengar isakan samar dari sosok yang memelukknya. Dapat dipastikan permaisuri tengah berusaha meredam suara tangisnya yang semakin kuat.

Permaisuri Audreya masih setia mengusap lembut surai coklat milik Adrian kemudian mengecupnya.

Kedua tangan penuh luka goresan itu terangkat hendak membalas pelukan hangat Permaisuri Audreya, namun segera tertahan oleh sebuah suara yang berasal dari arah pintu.

"AUDREYA! LEPASKAN ANAK ITU!"

Titah tak terbantah itu membuat anak dan ibu itu membeku kaku. Pria paruh baya dengan penuh wibawa melangkah masuk dan bergegas menarik wanita yang tengah mendekap anaknya penuh kasih sayang.

"Yang Mulia Kaisar?" kejut sang permaisuri menyadari suaminya kini telah ada di sampingnya. Tak bisa disembunyikan raut khawatir bercampur takut dari obsidian zamrud itu.

"Sudah kukatakan, Reya, jaga batasan dengan anak itu," geramnya begitu tubuh wanita itu dipaksa menjauh dari Adrian yang berubah menatap datar.

Wanita bergaun peach yang kini sudah dipenuhi noda kemerahan itu tiba-tiba menggenggam kedua tangan suaminya. "Mohon ampun, Yang Mulia, izinkan saya merawat Adrian kali ini saja. Saya mohon," mohonnya menatap sang suami penuh harap.

Dari arah belakang sang kaisar, muncul sosok pemuda sebaya dengan sang pangeran.

"Ibunda jangan termakan drama yang sedang Adrian mainkan. Dia hanya ingin mencari perhatian untuk merebut tahtaku."

Ialah sang Putra Mahkota sekaligus anak kandung dari Permaisuri Audreya, George Willam Bavelach. Ia memiliki postur tubuh lebih tinggi dari Pangeran Adrian. Berbeda dengan garis wajah Pangeran Adrian yang menawan dan terkesan manis, George memiliki wajah terkesan dingin dan kaku dengan tatapan tajam. Selain itu ia bersurai sedikit panjang dengan warna hitam legam.

“Sayang, kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Dia saudaramu,” tegur Audreya merasa apa yang anak kandungnya ucapkan telah kelewatan.

Tatapan bengis tersorot kepada Pangeran Adrian yang sedari tadi hanya terdiam dengan wajah datar. “Memang benar dia saudaraku, tapi jangan lupa juga dia adalah aib istana,” lanjut George dengan menyeringai remeh.

“GEORGE, BUNDA TIDAK PERNAH MENGAJARKANMU KURANG AJAR SEPERTI ITU!”

Sebuah bentakan keluar dari sosok anggun Audreya. Ia sudah tak tahan mendengar perkataan sarkas yang anaknya lontarkan.

"CUKUP! Bawa Putra Mahkota keluar, Reya, aku akan mengurus anak ini," titah sang kaisar yang tentu saja tak mampu ditentang oleh permaisuri. Ia hanya mampu menatap nanar Adrian yang menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.

"Meskipun aku bukan sosok yang melahirkanmu, tapi rasa sayangku terhadapmu tidak kalah besar dari rasa sayangku terhadap anak kandungku sendiri, Adrian. Jaga dirimu dan obati lukamu," bisik Audreya lantas mengembangkan senyum ketulusan seorang ibu.

Permaisuri Audreya menggandeng tangan Geroge dan membawanya pergi keluar peraduan.

Sebelum pergi, Geroge sempat berjalan melewati sosok Adrian kemudian ia membisikkan sesuatu tepat di telinga sang pangeran.

“Ingat, kau hanyalah seekor domba yang tak akan pernah bisa menjadi sosok singa!”

Usai Permaisuri Audreya dan Pangeran George pergi, sang kaisar menatap dingin salah satu anak kandungnya itu.

Vernon menghela napas berat kemudian melirik Adrian sekilas.

“Sudah kubilang, Ad, jangan membuat ulah jika kau masih ingin bertahan di sini. Cukup diam di tempatmu jika kau tak ingin terusir dari istana."

Adrian tak merespon, ia sedikit menundukkan pandangannya memperhatikan setiap gerak-gerik ayahnya dalam diam.

Tungkai sang kaisar bergerak memutari tubuh adrian seolah tengah menilai.

"Kau tahu, sejujurnya jika kau terbunuh pun aku tak akan peduli. Jadi berhentilah membuat dirimu mencolok, kau hanya akan membuat semua orang diistana ini terganggu akan kehadiranmu.”

Pangeran Adrian tiba-tiba mendongak menatap tepat pada mata elang sang kaisar tanpa rasa takut sedikitpun. Raut wajahnya datar dengan emosi yang tak terbaca. Vernon yang menyadari tatapan tak biasa dari Adrian mengerutkan dahinya heran.

“Ada apa dengan matamu? Berani-beraninya kau menatapku seperti itu?!” gertak Vernon menunjuk kedua mata Adrian marah.

Adrian masih tak berkutik sedikitpun, ia tak mengucapkan sepatah katapun justru ia malah berbalik menatap Vernon semakin menantang.

“Kenapa? Apa aku tidak diperbolehkan menatap ayahku sendiri?”

Suara bariton penuh ketegasan terdengar. Adrian yang sedari tadi terdiam kini mulai bersuara. Yang lebih mengejutkan bukan ucapan permintaan maaf yang terdengar, melainkan sebuah pertanyaan yang mungkin saja dapat membahayakan diri.

“KAU?!”

Adrian bergerak menjauhi sosok Vernon. Ia berjalan mundur lantas berhenti mengambil selembar kain yang kemudian digunakan untuk mengusap lengannya yang terluka. Hal itu tentu saja tak luput dari tatapan tajam sang kaisar.

“Awalnya aku tak mengerti mengapa terbangun di tubuh pangeran lemah dan tertindas ini, tapi sepertinya sekarang aku paham, tujuanku ada di sini adalah untuk meruntuhkan kekaisaran gila ini," ujar Adrian enteng kemudian menoleh kepada Vernon dengan wajah angkuh.

“KURANG AJAR! DARI MANA KEBERANIAN SIALAN ITU KAU DAPATKAN?!!"

TBC

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Abdul malik A
lanjutin kak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status