Share

Chapter 04

Brak

Ceklek ... ceklek

Pintu coklat yang nampak gagah itu dibanting dengan kerasnya usai seorang pria bermahkota keluar dari sana. Tangan kekarnya segera mengunci pintu itu.

"Dasar anak tidak tau diuntung!" umpat Vernon menggeram pelan.

Sang kaisar lantas berdiam sejenak memejamkan mata di lorong gelap. Kemudian helaan napas terdengar berhembus perlahan.

"Aku tau kau di sana. Keluar!!"

Vernon tiba-tiba berteriak ke area gelap yang berada jauh di belakangnya. Indera perasanya terlampau tajam hingga ia mampu menyadari kehadiran seseorang yang bersembunyi di balik kegelapan.

Tak lama kemudian terdengar sepatu yang bergesekan dengan lantai. Langkah itu terdengar berat terkesan ragu untuk melangkah.

Kaisar itu berbalik menantang sosok yang berada di balik kegelapan. Matanya menyorot tajam dan terkesan bersiap mencincang siapa saja yang tersorot pandangannya.

"Bukankah aku sudah memintamu untuk pergi dari sini, Reya? Apa kau memang berniat melanggar perintahku untuk tinggal bersama anak kesayanganmu di sini?"

Meskipun pencahayaan remang-remang, Vernon tahu betul perawakan sosok yang baru saja muncul adalah permaisurinya.

"Apa yang kau lakukan terhadap Adrian? Kau tidak menyakitinya kan?"

Bukannya mencemaskan apa yang baru saja suaminya ucapkan, Audreya justru mempertanyakan keadaan sang pangeran.

"APA SEKARANG KAU JUGA BERANI MEMBANTAHKU?!" bentak Vernon marah.

Permaisuri nampak tersentak, apalagi ketika tangan besar sang kaisar menyeret tubuhnya menjauh dari peraduan sang pangeran membuatnya kontan memberontak.

"Tunggu... kumohon lepaskan!" seru Audreya memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman suaminya pada lengan kecilnya.

Pandangan Vernon terlihat menyorot jauh ke depan tak menghiraukan isterinya yang terus memberontak. Bahkan ketika sang permaisuri merintih kesakitan akibat kencangnya cengkeraman yang ia layangkan, sang kaisar tak memberi kelonggaran sedikitpun.

"Sebenarnya ada apa denganmu ini?!! HEY! Mengapa kau begitu membencinya? Apa kau lupa jika dia adalah anak dari seseorang yang kau—"

"CUKUP! JIKA KAU BERANI MELANJUTKAN PERKATAAN ITU, AKU TAK AKAN SEGAN MEROBEK MULUTMU!" sentak Vernon menghempaskan tangan Audreya kasar. Bahkan saking kuatnya ia menyentak, tubuh ramping Audreya hampir limbung membentur tembok.

Audreya terdiam seribu bahasa, bentakan suaminya membuatnya takut setengah mati. Ia tertunduk menyesali perbuatannya yang membuat Vernon marah.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengungkitnya," cicit Audreya dengan suara bergetar menahan tangis.

"Argh! Sudahlah aku muak di tempat ini," sergah Vernon melengang pergi meninggalkan Audreya yang hanya bisa menghela napas berat.

***

"Sial! Apakah dia hanya diam saja ketika diinjak seperti ini? Apakah dia benar-benar sudah kehilangan akal?" teriak Adrian frustasi.

Adrian terduduk di ranjang empuknya. Ia manatap langit-langit kamar yang nampak kosong. Tatapannya berotasi liar.

Tes.

Satu tetes air terjatuh dari pelupuk matanya.

"Argh! Mengapa aku harus seemosional ini?"

Nampaknya perlakuan yang baru saja ia terima membuatnya teringat kehidupannya dahulu. Bagaimana sosok yang harusnya memberi pengarahan justru mengguncang mentalnya hingga tak berbentuk. Sosok yang seharusnya dijadikan figure seorang pria justru menjatuhkan harga dirinya. Tak dapat dipungkiri sosok ayah yang ia miliki justru membuatnya buntu untuk melangkah.

"OH SHIT!!"

Tok ... tok ....

Adrian bergegas mengusap pipinya yang basah. Ia kembali memasang wajah datar dan tatapan tajam.

"Pangeran? Bolehkah aku masuk? Aku diutus Yang Mulia Permaisuri untuk mengantarkan obat dan makanan."

"Ya, masuk."

Usai Adrian mempersilakan si pengetuk untuk masuk, terdengar kunci pintu diputar dan kemudian terbuka. Ia sempat melirik sejenak sosok yang berada di ambang pintu sebelum kemudian menengadahkan kepalanya kembali.

Ternyata sosok yang baru saja masuk adalah Rhiannon dengan nampan dikedua tangannya. Ia nampak tergesa begitu menatap keadaan sang pangeran yang berantakan.

"Apa kau baik baik saja?" tanya Rhiannon cemas begitu sampai di depan Adrian.

Ia meletakkan nampan berisi makanan beserta beberapa obat pada nakas samping tempat tidur.

Adrian tak lantas menjawab, ia menghela napas kemudian menurunkan pandangannya menatap lurus ke depan mengangguk malas.

Rhiannon mengambil sebuah kain yang telah dibalur tumbukan dedaunan herbal. "Bolehkah kuobati sekarang?"

Adrian berdeham pelan terkesan dingin dan tak peduli. Ia lantas mengulurkan lengan kanannya hingga memperlihatkan luka menganga yang masih mengeluarkan darah.

Rhiannon meringis ngeri. "Apa kau tidak merasakan sakit? Lukanya lumayan dalam kau tau."

Adrian tak merespon. Ia masih setia dalam diamnya menatap kosong ruangan pribadinya itu.

Merasa diabaikan, Rhiannon menghela napas pelan mencoba meredam kekesalan yang menggebu dalam dada.

"Kau tau, aku sempat tidak percaya mendengar bahwa kau menyakiti dirimu sendiri. Adrian Louise yang kukenal dulu hanyalah sosok cengeng dan tidak dapat diandalkan. Tentu saja aku terkejut apalagi ketika aku tak sengaja mendengar Yang Mulia Kaisar murka dan nampak frustrasi akibat perlawanan darimu. Menurutku hal ini mustahil dilakukan oleh seorang Adrian Louise yang penakut," kata Rhiannon diakhiri dengan kekehan ringan.

Dari interaksi yang Rhiannon perlihatkan, nampaknya mereka memang sudah akrab sedari dulu. Rhiannon tahu banyak mengenai kepribadian sang pangeran.

"Sepertinya seiring berjalannya waktu kau sudah mulai berubah ya, Louise?"

Adrian menoleh menatap Rhiannon yang tengah tersenyum kearahnya. "Jika kau hanya ingin mengoceh, lebih baik kuobati sendiri saja," ujar Adrian dengan nada datar.

Rhiannon mendadak kaku mendapatkan tatapan dan perkataan tajam. Tanpa ba bi bu lagi, Rhiannon melanjutkan kegiatan mengobati lengan Adrian dengan telaten.

'Aku tak mengerti saat di luaran sana beredar rumor tak baik mengenai sosok Pangeran Adrian yang bertingkah kekanak-kanakan dan selalu berbuat ulah, kini mengapa yang ada di depanku ini jauh berbeda dari yang dirumorkan? Menurutku sosok pangeran sekarang lebih berwibawa dan tangguh walaupun terkesan lebih dingin dan kurang peduli, namun ia berubah jauh lebih baik dari Pangeran Adrian 10 tahun lalu. Lantas berawal dari mana dan kenapa bisa rumor jahat tentang Pangeran Adrian yang tak berdasar itu dapat bertebaran ke seluruh penjuru Bavelach?'

Rhiannon menghela napas tanpa sadar. Tatapannya masih terfokus kepada luka yang ada di lengan Adrian, namun isi pikirannya telah melalang buana tidak pada tempatnya.

'Sungguh sebenarnya aku senang melihat perubahan besar ini. Akhirnya ia bisa lebih berani melawan penindasan, namun mengapa aku justru merasa asing akan sosoknya? Apalagi tatapan mata dingin dan tajam itu sangat jauh diluar karakter Louise yang kukenal.'

"Hemmm, sudah selesai?"

Pertanyaan itu membuat Rhiannon tersentak dari lamunnya. Ia bahkan tak menyadari ternyata sudah membalut luka pada lengan sang pangeran dengan rapih.

"Oh–ah iya sudah, Pangeran. Kuharap kau lekas sembuh," sahut Rhiannon melirik Adrian takut-takut.

Lama mereka saling terdiam hingga suara bariton itu kembali terdengar.

"Apa kau tau ibundaku sekarang ada di mana?"

Rhiannon mengernyitkan keningnya bingung. "Yang Mulia Permaisuri atau Selir Agung?"

Jawaban Rhiannon membuat Adrian kembali terdiam.

"Keduanya?"

Rhiannon menampilkan ekspresi berpikir.

"Aku kurang tahu pastinya, tapi sepertinya mereka sedang merajut dan minum teh bersama bangsawan lainnya di taman istana."

"Antarkan aku ke sana," titah Pangeran Adrian tiba-tiba bangkit dari ranjang hendak pergi dari peraduannya.

"Tunggu pangeran!" seru Rhiannon menahan langkah sang pangeran.

Adrian menoleh cepat dan menatap dingin, hal itu membuat Rhiannon terlihat panik.

"Emm ma—af, Pangeran, sepertinya aku tidak bisa menemanimu."

Salah satu alis sang pangeran terangkat. "Mengapa?"

Rhiannon menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Emm apa kau lupa, Pangeran? Kau tidak diizinkan untuk keluar dari istana ini. Bukankah jika kau ingin menemui Yang Mulia Kaisar di istana utama kau harus dikawal beberapa prajurit kan?"

Mendengar penuturan sang putri, Adrian terlihat membeku. Helaan napas berat mengalun dari mulutnya.

"Seperti itu ya?" gumam Adrian dengan sangat lirih penuh tanda tanya. Tentu saja ia baru menyadari fakta tersebut.

Ia lantas berbalik menjauhi pintu peraduan yang hendak ia buka tadi.

"Ta—tapi, Pangeran, aku dengar kau memiliki jalan rahasia?" celetuk Rhiannon membuat Adrian menoleh.

"Kau tau dari mana?" tanya Adrian dengan mengintimidasi.

Rhiannon gugup menyadari celetukannya membuatnya tersudut.

"A–ku hanya mendapat gosip dari beberapa kenalanku di Deoreva. Maaf karena lancang, ta—tapi kau tenang saja aku berjanji akan merahasiakan ini dari Yang Mulia Kaisar," tanggap Rhiannon kemudian memeragakan dengan tangannya mengunci mulutnya rapat-rapat.

Adrian manggut-manggut kemudian pandangannya menerawang jauh.

"Jadi kau memang memiliki jalan rahasia untuk keluar dari istana ini, Pangeran?" bisik Rhiannon tepat di samping telinganya

Adrian tiba-tiba terbatuk akibat tersedak ludahnya sendiri. Ia nampak gelisah namun dengan cekatan ia segera memperlihatkan bahasa tubuh angkuh.

"Kau harus merahasiakannya," titah Adrian dengan suara yang sengaja ditekan.

"WOW?! Itu sangat menakjubkan?! Bolehkah kapan-kapan kau berbagi rahasia itu denganku?" pekik Rhiannon tertahan. Manik hazel itu berbinar mengetahui rahasia yang selama ini ia sangka ketidakmungkinan ternyata memang benar adanya.

Adrian terdiam sejenak. "Akan kupertimbangkan."

Rhiannon tiba-tiba bersorak senang. Hal itu membuat Adrian menatapnya tajam.

"Oh, maaf aku terlampau senang hehe."

Tok ... tok ....

"Putri, apakah kau di dalam?"

Sebuah panggilan dari balik pintu peraduan membuat kedua orang itu menoleh.

"Sepertinya itu, Prita, pelayan pribadiku. Maafkan aku pangeran tidak bisa berlama-lama menemanimu, aku harus segera bertemu ayahanda."

Adrian tak merespon apa yang baru saja Rhiannon ucapkan. Ia sepertinya masih sibuk berkecambuk dengan pikirannya sendiri.

"Kau harus menghabiskan makananmu. Dan jika malam telah tiba gantilah perban itu dengan perban yang aku letakkan di kotak itu," lanjut Rhiannon menunjuk sebuah kotak yang ada di atas nakas.

Adrian mengangguk samar.

"Aku pergi dulu pengeran. Aku harap kau bisa mempercayakan rahasiamu kepadaku secepatnya," kata Rhiannon menangkupkan kedua tangannya bergestur memohon.

Setelah itu ia berjalan mundur dan hilang dibalik pintu peraduan yang tadinya terkunci.

Adrian bersedekap dada kemudian menyipitkan matanya. "Jalan keluar rahasia? Sepertinya jika aku mampu menemukannya, aku bisa leluasa keluar masuk istana," gumamnya mulai menemui titik terang aktivitas apa yang seharusnya ia lakukan di tempat asing itu.

"Baiklah kalau begitu kurasa sudah waktunya aku berhenti meratapi nasib. Sekarang aku harus mulai mengenal lebih dalam para tokoh di kerajaan ini dan bergegas menyusun rencana mencegah kejadian buruk yang akan menimpaku."

"Sudah cukup! Aku muak hidup dalam kesengsaraan, di sini aku harus mendapatkan kejayaan. Tak akan ada lagi yang bisa mengintimidasi, di sini aku akan menjadi sosok paling ditakuti. Lihat saja... aku akan merubah seekor domba lemah menjadi raja hutan yang takkan bisa kalah."

Tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status