Share

Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku
Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku
Penulis: Bemine

Bab 1: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

Bab 1: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

“Ayu, pinjam hapenya lagi, ya?” Ida muncul dengan wajah sumringah saat aku baru saja menurunkan standar motor di parkiran kantor.

Aku menggelengkan kepala mendengarnya. Baru saja tiba, Ida sudah menodongku dengan permintaan yang selalu saja sama sejak sebulan terakhir.

Akhir-akhir ini, Ida sibuk meminjam gawaiku untuk berhubungan dengan pria yang tidak kukenal. Dia mengaku mengenal pria tersebut secara tidak sengaja di sebuah pesta pernikahan saudaranya dan sekarang hubungan mereka mendalam. Ida tidak bisa berpisah dengan pria yang memberinya kehangatan dan rasa nyaman.  

Awalnya, aku dengan tegas menolak menjadi calo dari hubungan gelap itu. Alasannya, Ida adalah wanita bersuami dengan satu anak perempuan yang secantik dirinya. Ida punya semuanya, mobil, perhiasan, bahkan rumah megah yang merupakan pemberian dari suaminya sendiri. Tidak ada alasan untuk berselingkuh menurutku.

“Da, jangan terus-terusan, deh! Enggak baik,” ingatku seraya mengeluarkan benda itu dari dalam tas.

Wajahku murung mendengar permintaannya, bukannya tidak rela dengan pulsa dan kuota, karena Ida selalu mengisi bahkan lebih dari yang bisa kuisi setiap bulan. Tapi, aku merasa berdosa telah menjadi jembatan perselingkuhannya itu.

Terlebih, setelah semua yang dia miliki, Ida masih menginginkan kehadiran pria lain. Demi menutupi hal itu, Ida meminta gawaiku untuk digunakan olehnya setiap hari. Sebab, suaminya yang overprotektif tidak akan membiarkan Ida memakai dua gawai sekaligus.

Sedangkan aku? Suamiku tidak pernah memeriksa, apa lagi bertanya apa yang kulakukan dengan benda pipih itu.

“Ih, pinjem Yu! Aku kangen sama dia,” rengeknya. Ida tidak keberatan merengek bahkan di depan kantor kami sekalipun hanya agar keinginannya itu kupenuhi.

Andai Ida bukan sahabat baik yang kukenal sejak kami masih kecil, bukan juga sahabat baik yang enggan meninggalkanku saat orang tuaku meninggal, maka akan kutegur dan kucampakkan dia. Ulahnya itu, bisa kubayangkan bagaimana patah hatinya sang suami dan istri dari selingkuhannya.

“Janji hanya sebentar, ya?” tegasku sebelum gawai itu berpindah pada Ida.

Ida mengiyakan dengan segera walau aku tahu Ida tidak akan menurut. Dia tidak lagi peduli pada diriku yang terus berusaha mengingatkan agar dia berhati-hati dengan hubungan gelapnya itu.

Melainkan, Ida malah berjalan menuju mobil. Dia membuka pintu samping kemudi mobil WRF merah barunya itu dan mengeluarkan sebuah goodie-bag dari dalam.

“Ini, kadoku dari Malaysia!” umbarnya dengan suara yang sangat riang.

Minggu kemarin, Ida diboyong suaminya ke Malaysia. Dia gembira, namun juga sedih karena harus berpisah sementara dari pria selingkuhan. Tidak mungkin kubiarkan Ida membawa gawaiku bersamanya.

Meski setengah melempar, aku menerima benda itu dari Ida. Harap-harap cemas mendengarnya menyebut kata Malaysia, sebuah negara yang mungkin tidak akan pernah bisa kusentuh seumur hidup, aku mencoba membuka.

Di dalamnya, ada sebuah tas dari brand ternama berawalan C. Aku terperanjat, warna hitam doffnya sangat mewah, tali serta resletingnya berwarna silver yang sangat mengkilap.

“Be-berapa, Da?”

Perempuan itu berpaling manja, dia sedang sibuk berbalas pesan dengan pria selingkuhannya. Sejak pagi, mereka sudah saling bertukar dosa.

Ida yang hari ini memakai blouse putih dan rok biru langitnya itu mengulas sebuah senyum. Dia masih mencoba mengejar isi chat mesra dan menggelikan dari hapeku sebelum bibirnya berujar dengan sangat lembut, “Cuma lima juta, nanti ke Turki aku belikan lagi, ya? Tenang saja!”

Dan aku hanya mampu terdiam di belakangnya.

--

Sore tepat pukul lima, aku dan Ida keluar bersamaan dari kantor. Ida sudah mengembalikan gawaiku sebelum kami berpisah di parkiran.

Wajahnya semringah sempurna. Katanya, dia sempat VC juga dengan pria itu saat jam istirahat di mobil barunya.

“Besok lagi ya, Yu!” Ida menjerit dari dalam mobilnya.

Aku mengiyakan begitu saja. Kemudian, kulepas beban di pundak dengan mengingat suamiku yang rupawan. Tadi, dia mengirim pesan agar aku menjemputnya di tempat proyek. Ida yang menyampaikan itu semua dan dia menunjukkan isi pesan dari pria bernama ‘Bang Fuad’ itu padaku. Di atas pesan suamiku, ada pesan dari nomor tanpa nama yang biasa berhubungan dengan Ida.

Buru-buru aku memacu motor menuju proyek yang dikerjakan oleh Bang Fuad. Dia belum lama ini bekerja sebagai salah satu staff pengawas di proyek pembangunan mall di Banda Aceh. Memang, Bang Fuad lulusan teknik sipil di kampus yang sama denganku, karena itulah aku tahu benar kemampuannya.

Butuh dua puluh menit lamanya hingga aku tiba di proyek mal tersebut. Bang Fuad sudah menunggu di depan pintu dengan wajah merengut. Sepertinya dia sudah lama berdiri di sana, mengingat seisi proyek hanya tersisa beberapa orang saja.

“Maaf Bang, agak macet,” jelasku seraya turun dari motor dengan tergesa-gesa.

Aku mengikat ujung jilbab ke belakang, lalu memberikan helm bogo itu untuk Bang Fuad. Suamiku bergegas menerima, dia memakai helm, lalu menaiki motor.

“Ya sudah, Yank. Kita beli makan malam saja bagaimana? Abang baru dapat bonus,” ujarnya.

Aku naik ke belakang dengan posisi mengangkang agar bang Fuad tidak kesulitan mengendalikan motor. Motor vario keluaran baru itu menjadi satu-satunya kendaraan kami berdua sejak menikah. Memang milik Bang Fuad, tapi dia merelakannya untuk kugunakan bekerja.

“Boleh, Bang. Sate saja, sama sate kerang di warung depan asrama haji!” pintaku. Alangkah bahagianya diri ini mendengar Bang Fuad semanis ini.

Padahal, dia biasanya dingin dan hanya berbicara ala kadar. Meski demikian, aku bisa menjamin jika Bang Fuad setia.

Jadilah kami berdua mampir di beberapa warung untuk membeli makan siang. Setelahnya, aku pulang ke rumah tipe 32 yang belum lama ini kami kredit di daerah Baet.

Saat aku masuk ke dalam, Bang Fuad seolah mengejar dari belakang. Dia memeluk pinggangku dan mendaratkan cumbuan di tengkuk.

“Yank, malam ini, ya? Abang mau mandi dulu, terus Adek mandi juga,” bujuknya.

Geli, tapi bahagia. Aneh ... dan aku hanya bisa mengiyakan maunya.

Setelah itu, Bang Fuad bergegas ke kamar mandi. Dia melepas rompi kerja dan sepatu safetynya itu.

Aku yang melihat hal itu hanya menggelengkan kepala. Kemudian, mencoba membereskan satu per satu termasuk mengeluarkan gawai Bang Fuad dari saku rompinya agar tidak tercuci.

Sembari berberes, aku juga mengeluarkan gawai dari tas. Kebiasaan baruku semenjak Ida meminjam gawai adalah mengecek notifikasinya, ada beberapa pesan beruntun dari nomor yang dihubungi Ida, tujuh chat baru yang sepertinya tidak sempat dibalas Ida.  

Melihat betapa putus asanya pria itu mencari Ida. Aku memilih untuk membuka pesan tersebut dan menuliskan beberapa kalimat balasan.

[Maaf, ini saya temennya Ida, sekaligus yang punya hape. Besok saya sampaikan ke dia kalau Anda mencari Ida.]

Klik kirim.

Lalu, ting!

Aku terperanjat. Dering sekali dan notifikasi mendadak muncul di layar gawai Bang Fuad yang tergeletak di atas meja. Isi pesannya ... persis sama dengan yang baru aku ketikkan.

“A-apa ini?” lirihku dengan tangan yang bergetar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status