LOGINDi kediaman jenderal Shang. “Nyonya Shen! Selamat!” Baru sampai halaman depan kediaman, kepala Xun sudah menyambut dengan tubuh setengah membungkuk, kedua tangannya menyatu ke depan. Langkah Shen Liu Zi terhenti, tetapi dia tak sedikit pun membuka mulut. Posisi kepala Xun belum berubah. Tampaknya juga tidak akan menegakkan punggung kalau tidak diperintah. Dan tampaknya juga tak merasa pegal terus membungkuk, dengan tangan menyatu ke depan seperti itu. Shen Liu Zi menghela napas hati-hati. Lebih tepatnya hati-hati pada wanita tua di hadapannya, karena wanita itu selalu tidak sesederhana yang dilihat. “Untuk merayakan kemenangan Nyonya, hamba telah menyiapkan daging cincang pedas manis kesukaan anda, serta beberapa sayur rebus termasuk asparagus kesukaan anda juga,” ucap wanita tua itu rendah penuh hormat selayaknya dia berkata pada sang junjungan, padahal biasanya dia selalu lebih dominan. Shen Liu Zi curiga, jadi hanya mengangguk diikuti jawaban singkat, “Hm, terima kas
Tarikan kekang itu gagal. Kuda jenderal Shang hanya mendengus pendek, kuku depannya menghentak tanah basah, tapi tubuhnya tetap menghadap lurus ke depan. Tepatnya ke arah sungai. “Berbalik,” perintah jenderal Shang rendah, nyaris menggeram. Tak ada hasil. Justru kuda itu mengibas ekornya, seolah tak paham situasi genting yang tengah dihadapi tuannya. Jenderal Shang untuk pertama kalinya merasa panik. Dengan gerakan yang tidak sebersih biasanya, dia meloncat turun. Sepatu botnya terpeleset di lumpur, membuat tubuhnya condong ke depan. Hampir jatuh. Hampir! Dia menjejak kuat, menahan diri, lalu seketika membalikkan badan sepenuhnya. Posisinya kini membelakangi sungai. Jantungnya berdentum keras. Terlalu keras untuk ukuran seorang jenderal Shang yang biasa bertampang tenang, dingin laksana salju. Karena di balik punggungnya itu— Di tengah sungai yang jernih dan dangkal, Shen Liu Zi berdiri dalam keadaan telanjang bulat. Air sungai membelai pinggangnya, mengalir di sepanjang
Pesan udara tampak dari segala sisi. Di balik jendela bulat dan besar, Kaisar bertanya dalam hening—bahaya apa yang mengintai. Lalu, di tempat Shen Liu Zi beserta Yu Li masih tiarap; pura-pura mati, langkah pembunuh berkedok kusir di sana terhenti karena kepalanya menengadah, menatap menyipit pecahan kembang api yang masih mengudara. Sudut bibirnya lantas terangkat. “Terlambat, Jenderal! Istrimu telah terlempar jauh.” Shen Liu Zi mendengar. Deru napasnya tertahan sesaat. Tap! Tap! Langkah pembunuh dilanjut kian jauh, semakin jauh sampai tak lagi terdengar derap kakinya. Begitu yakin jejak pembunuh menghilang, Shen Liu Zi secepatnya beranjak, bahkan langsung melompat dari tumpukan mayat itu diikuti Yu Li. Huek! Huek! Keduanya mual bersamaan. Huek! Huek! Wajah Yu Li merah, matanya berair, rasanya ingin pingsan. “Nyonya! Huek! Rasanya isi perutku memberontak ke luar semua.” Huek! Isi perut Yu Li benar-benar keluar. Huek! Huek! Shen Liu Zi melirik sambil te
Shen Liu Zi menahan napas! Belati itu menyentuh papan penopang lantai kereta secara perlahan. Setiap gesekan kecil terasa berisik di telinganya sendiri. Dia mengatur sudut pisau, menekan dengan kekuatan yang cukup untuk memotong, tapi tidak cukup dalam untuk memekikkan suara kayu patah. Kereta terus melaju. Derap kuku kuda tak cepat, juga tak lambat, seirama dengan denyut jantung mereka berdua. Setiap hentakan roda di jalan berbatu membuat papan bergetar halus, memaksa Shen Liu Zi berhenti sesaat, menunggu irama kembali stabil. Di luar, angin membawa bau tanah basah serta samar-samar aroma busuk dari tumpukan mayat yang tadi dilihat Yu Li. Itu berarti— Jurang tidak jauh lagi! Shen Liu Zi melirik Yu Li sekilas. Gadis itu masih bercerita, suaranya berusaha terdengar santai meski ujung-ujung katanya bergetar tipis. “Lalu dia tersenyum, Nyonya. Senyum yang, yang tidak dibuat-buat.” “Stabil,” bisik Shen Liu Zi tanpa menoleh. Yu Li menelan ludah, lalu melanjutkan ceritanya deng
Waktu bergulir. Dalam kereta menuju kediaman jenderal Shang, tawa Shen Liu Zi akhirnya pecah tak tertahankan. Ha ha ha Yu Li turut terkekeh, tapi tidak seheboh Shen Liu Zi. Ketika tawa Shen Liu Zi perlahan meredam, dia pun berkata, “Bagus kamu mencari informasi tentang mereka lebih dulu.” “Lebih tepatnya bukan mencari, tapi memastikan,” sambung Yu Li, “lagi pula ketakutan Nyonya Feng Xi pada babi bukan hal baru. Kabar ini telah meluas di sekeliling lingkungannya. Kalau soal Nyonya Lu Xian, dia pernah tertangkap beberapa mata menjerit-jerit saat secara tak sengaja menginjak tai ayam. Pelayannya sampai harus membawa air satu ember untuk membersihkan, dan ternyata itu tidak cukup.” Tawa Shen Liu Zi kembali pecah. “Ha ha ha, konyol! Hanya tai ayam tapi butuh air satu sumur.” Kali ini Yu Li tertawa lebih keras, karena dia pun membayangkan bagaimana repotnya pelayan Lu Xian kala itu. “Hukuman yang Nyonya berikan pada mereka sudah sangat bagus!” Yu Li mengacungkan jempol bersemangat.
'JANGAN LIBATKAN AKU!' Kata-kata pejabat Gong terus terngiang di telinga istrinya; Lu Xian. Mendorong wanita itu kembali bersujud, bersujud lagi, bahkan seolah-olah sengaja menjatuhkan keningnya dengan keras sampai jejak merah tertinggal di sana, dan tak lupa—satu kalimat terus terucap. “Suami hamba tidak bersalah, Yang Mulia. Semua murni kejahatan hamba!” Kaisar tak menanggapi Lu Xian dulu. Pria itu mengalihkan pandangannya ke pejabat Feng, yang ketika disadari oleh pejabat itu, pun langsung membuatnya duduk bersimpuh. “Hamba bersumpah, Yang Mulia.” Pejabat Feng mengangkat tiga jari, menunjukkan kesungguhan. “Selain Nyonya Feng Xi yang membawa bendera palsu, hamba tidak tahu apapun lagi.” Kaisar tidak buta. Dia tidak menemukan satu pun celah kebohongan di wajah pejabat Feng, walau pria itu bukan salah satu kubu jenderal Shang. Kaisar berkata, “Kalau begitu silahkan buat istrimu menjelaskan siapa dalang di balik kemunculan para pembunuh, yang sengaja ingin melenyapkan ny







