Share

BAB 7

Clara melangkah ke kantin, baru beberapa langkah masuk, matanya menatap sosok itu duduk bersama beberapa sejawat di sebuah meja. Matanya menatap Clara, Clara pun sama menatap mata itu lantas masuk ke dalam tanpa berkata-kata. Memang begini kamuflase mereka, ketika di rumah sakit, mereka sama sekali tidak berinteraksi. Beradu pandang pun hanya sebentar, lalu fokus pada kegiatan masing-masing tanpa saling bertegur sapa.

Tidak heran sampai sekarang tidak ada satu pun orang yang tahu bangkai apa yang mereka sembunyikan selama ini. Tidak dengan dokter Indira sekalipun.

“Boleh gabung di sini?” tanya Clara ramah pada beberapa anak koas, lebih tepatnya koas perempuan karena sosok itu meskipun terlihat cuek, selalu mengamati gerak-gerik Clara dengan detail.

“Oh iya boleh, Dokter.” Mereka kompak tersenyum, beberapa menggeser duduknya, memberi tempat untuk residen anestesi itu duduk di bangku kantin.

“Kok sendirian, Dok?” tanya salah seorang mereka yang langsung dibalas senyum begitu manis oleh Clara.

“Lho, siapa bilang saya sendirian? Nih saya lagi sama kalian, kan?”

Mereka kompak tertawa, begitu juga Clara. Salah satu hal yang membuat Clara banyak disukai sejawat adalah sikap ramah dan tidak pilih-pilih circle. Entah mau cleaning servis atau security rumah sakit sekalipun kalau dia baik dan ramah serta tidak neko-neko, Clara akan welcome dan ramah juga pada mereka.

Clara tampak sabar meladeni bebebrapa pertanyaan dari mahasiswi koas itu selama menunggu pesanan makan siangnya, terkadang tawa mereka lepas, membuat meja mereka terdengar paling ramai. Sudut mata Clara menatap netra itu, netra yang Clara tahu sejak tadi mengawasinya. Dan saat yang sama senyum simpul itu tergambar, senyum yang membuat Clara mengangguk pelan dan mengalihkan pandangannya dari sosok itu sesegera mungkin.

Mereka harus menjaga baik-baik rahasia mereka, rahasia yang begitu krusial dan bisa memporak-porandakan hidup mereka seketika. Entah sampai kapan rahasia ini bisa aman tidak terendus, Clara sendiri tidak tahu, yang jelas ia hanya ingin menjalani dulu semuanya seperti ini. Ya ... seperti ini.

***

“Ra!”

Clara yang tengah melangkah ke IGD itu sontak menoleh, mendapati Adrian setengah berlari menghampiri dirinya. Membuat Clara menghela nafas panjang. Ia sendiri heran sekaligus kasihan pada chief residen bedah itu. Clara tidak pernah mengubrisnya, selalu menolak semua ajakan dan perhatian yang Adrian tujukan pada Clara, namun dia tidak pernah menyerah mendekati dan mencoba meraih perhatian dari Clara.

“Ya, Dok?” Clara menyipitkan matanya, lanjut melangkah dengan Adrian yang melangkah di sisinya itu. Harapan Clara, Arga tidak melihat mereka saat ini. Bisa dipastikan sepulang dinas nanti laki-laki itu pasti akan mengamuk, dasar overprotektif.

“Saya ada dua tiket nih, nanti nonton yuk!”

Ah! Sebuah kondisi yang membingungkan. Clara benci kondisi seperti ini. Dimana dia tidak punya pilihan untuk memilih. Mau menolak, dia benar-benar sungkan dan kasihan pada sosok itu, kalau menerima ajakan itu sama saja dia menabuh genderang perang dan mencari masalah dengan Arga.

Lantas Clara harus bagaimana?

“Nggak bisa ya?” sambung Adrian ketika Clara hanya diam membisu di tempatnya.

Clara tergagap, ah ... menatap wajah dan sorot mata penuh harap itu membuat Clara benar-benar iba dan tidak enak hati. Tapi ia tahu dan kenal betul dengan Arga, tentang bagaimana dia nanti akan mengamuk ketika tahu Clara menerima ajakan chief Residen itu pergi bersama.

“Ah ... sebenarnya sih aku belum tahu nanti bisa atau nggak, Dok.” Jawab Clara berbohong, padahal dia belum tahu resiko mana yang hendak dia pilih.

“Oh begitu, kabari saja ya. Aku tunggu.” Senyum Adrian merekah, membuat senyum kikuk itu ikut tergambar di wajah Clara. “Aku duluan, Ra. Sudah ditunggu di OK.”

“Baik Dok, silahkan.”

Fiuh ... hati Clara benar-benar lega, ia mempercepat langkahnya menuju IGD, baru beberapa langkah ia melangkahkan kaki, ponselnya berdering. Dan Clara sudah bisa menebak siapa yang meneleponnya itu. Pasti Arga!

Clara merogoh saku snelli-nya, dan mendesis pelan ketika benar nomor laki-laki itu yang terpampang di layar iPhone miliknya.

“Halo, ada ap-.”

“Ra, jangan kira aku nggak tahu ya? Aku mengawasimu. Awas saja sampai kau terima ajakan nonton itu, aku tidak akan tinggal diam.”

Benar kan? Clara mengdesah pelan, masih melanjutkan langkahnya sambil menatap kesekeliling, takut kalau sosok yang paling dia hindari di rumah sakit ini muncul. Siapa lagi kalau bukan dokter Indira dan profesor Dicky. Clara benar-benar tidak mau bertemu dengan dua orang dokter itu.

“Iya aku paham, Ga.” Jawab Clara pasrah, memang dia mau jawab apalagi? Membantah? Beradu argumen? Sungguh itu sangat melelahkan sekali!

“Aku tunggu di apartemen!”

TUT

Clara menghela nafas panjang, memasukkan kembali ponsel itu dan lanjut melangkah. Baru beberapa langkah, tiba-tiba langkah Clara terhenti. Sosok yang tadi begitu dia takuti tampak melangkah keluar dari IGD, melenggang begitu santai dan percaya diri dengan snelli lengan panjangnnya yang tampak begitu putih bersih.

Hati Clara mencelos, wanita itu harus tersiksa dengan begitu luar biasa karena Clara sudah merebut kebahagiaan pernikahan wanita itu. Clara merebut dan memiliki seorang diri suami dari sosok dokter yang ramah dan terkenal supel pada siapa saja.

“Siang, Dokter.” Sapa Clara dengan penuh hormat sambil menundukkan wajah. Semua orang tentu tahu siapa dokter itu, anak pemilik rumah sakit.

“Siang, mau kemana?” jawab sosok itu dengan senyum merekah, sebuah senyum yang makin membuat hati Clara mencelos pedih.

Stand by di IGD, Dokter.”

Indira tersenyum begitu manis, kepalanya mengangguk, “Semangat ya untuk hari ini.” Dia menepuk lembut bahu Clara, “Saya duluan.”

“Baik, terima kasih Dokter.”

Clara menatap nanar punggung Indira yang melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Matanya memanas, dadanya sesak. Punya dosa apa Clara sampai tega melukai hati perempuan itu? Dia baik, ramah dan hangat kepada semua orang. Lantas apa salah Indira?

Ah ... jangan lupa, Indira yang memulai semua ini! Dia yang lebih dulu merebut Arga dari sisi Clara. Arga milik Clara, dan dia mengambil Arga dari sisi Clara.

Clara menghela nafas panjang, melanjutkan langkahnya menuju ke IGD. Entah bagaimana reaksi perempuan itu kalau tahu wanita yang disapanya dengan begitu ramah dan hangat itu adalah perempuan yang selama ini menyita hati dan perhatian sang suami. Hingga sosok suaminya itu sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya kepada Indira. Bahwa perempuan yang tadi ditepuk lembut bahunya itu adalah perempuan yang selama ini menjadi penuntas gairah seksual sang suami.

“Entah apa hukumanku nanti, aku sampai tidak bisa membayangkan semuanya!” desis Clara lirih pada dirinya sendiri.

Karma apa yang akan Clara terima nanti? Apa yang akan Indira lakukan kalau tahu ternyata Clara adalah simpanan dari suaminya?

***

‘Ingat, jangan kemana-mana! Kutunggu di apartemen!’

Clara yang hendak masuk ke dalam mobilnya sontak membuang nafas kasar. Pria satu itu memang sangat overprotective terhadap dirinya. Terlebih tadi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Adrian berusaha membawanya untuk nonton film.

Clara hendak membalas pesan itu, namun belum sempat dia mengetikkan balasan, sosok itu sudah lebih dulu meneleponnya, membuat mata Clara membelalak menahan kesal.

“Ini aku sudah mau balik, Ga!” ujarnya hampir saja berteriak kesal, lama-lama Clara benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan kekasih gelapnya itu, kalau saja nasib karier dan pendidikan Clara tidak berada dalam genggaman Arga, rasanya Clara ingin melarikan diri sejauh-jauhnya.

“Bagus, cepat pulang. Aku menunggumu, Sayang.”

Tut

Sambungan terputus, Clara sontak menendang-nendang pintu mobilnya, hati Clara teramat kesal dan dongkol. Ia lantas masuk ke dalam mobil, memakai seat belt-nya dan mulai menghidupkan mesin mobil yang merupakan pemberian dari Arga.

“Sampai kapan sih kamu bakalan jadi simpanan suami orang, Ra? Sampai kapan?” maki Clara pada dirinya sendiri, ia memukul-mukul setirnya dengan gusar.

Kenapa dia harus tidak seberdaya ini melawan Arga? Dulu sebelum Arga membiayai sekolah spesialisnya, posisinya di rumah sakit yang dia pertaruhkan. Di mana Arga selalu mengancam akan mendepak Clara dari posisi dokter definitif di rumah sakit tempat dia bekerja dulu, sekarang Clara terjebak oleh biaya sekolah spesialisnya yang tidak bisa dibilang murah!

“Harusnya dulu kamu berani ambil resiko, Ra.” kembali Clara memaki dirinya sendiri.

Tetapi kalau benar dulu dia tetap pergi dan tidak peduli dengan ancaman Arga, ia pasti akan kesulitan mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Koneksi Arga sekeluarga cukup banyak dan Arga mengancam akan melakukan apapun untuk membuat Clara bertahan di sisinya dan sialnya itu semua berhasil!

“Mikir, Ra! Mikir!” Clara menginjak rem, ia distop oleh lampu merah yang ada di perempatan jalan.

Sejenak Clara menghirup udara banyak-banyak, memejamkan mata guna mengurai kepenatan dan pusing kepala yang mendera dirinya. Dia sudah berada di angka tiga puluh dan Arga terus membelenggunya tanpa memberikan Clara kepastian untuk kedepannya.

Clara menoleh di samping mobilnya dan sepeda motor berhenti. Di mana tampak pasangan yang mengendarai sepeda motor itu membawa bayi mereka turut serta. Senyum di bibir Clara melengkung sempurna, dengan mata berkaca-kaca karena dalam hatinya ia sudah begitu ingin berada dalam tahap itu.

Punya suami, anak dan keluarga kecil mereka. Tapi sekali lagi, Arga menjeratnya dengan begitu luar biasa, tidak memberi Clara pilihan dan sekali lagi tidak memberi Clara kepastian. Laki-laki itu hanya datang menidurinya, melampiaskan semua birahi itu pada Clara, memberinya uang, menceramahi dirinya panjang lebar bahwa tidak boleh ada laki-laki yang mendekati Clara, tanpa memberi jawaban mengenai kelanjutan hubungan mereka mau dibawa kemana.

Clara menyeka air matanya, seketika lampu berubah hijau, membuat Clara lantas menginjak pedal gas mobilnya dan melanjutkan perjalanan.

“Kapan saat itu tiba, Tuhan? Kapan Clara bebas dari semua ini? Clara lelah.”

Clara tengah merintih mengenai takdirnya, sementara di unit apartemen itu, laki-laki berpostur tinggi dan tegap yang masi memakai setelan scrub miliknya itu tampak duduk begitu santai sambil menyesap wine.

Tidak sekali dua kali Arga memergoki residen itu mendekati miliknya. Kalau yang dia dekati Indira, tentu Arga tidak keberatan, tapi yang laki-laki itu dekati adalah Clara! Tentu Arga tidak akan tinggal diam begitu saja.

“Kau berani main-main denganku, dokter Adrian?”

Rasanya Arga ingin menyeret laki-laki itu untuk  kemudian menghajarnya. Tapi itu sama saja cari masalah dan bisa-bisa malah membongkar semua perselingkuhan yang selama dua tahun ini sukses dia sembunyikan dari semua orang!

Arga melempar gelas dalam genggamannya sampai hancur berkeping-keping. Ia benar-benar marah dan benci dengan semua kenyataan hidupnya ini. Lebih benci lagi kenyataan bahwa dia tidak bisa menghajar laki-laki yang sudah mendekati Clara, ini sungguh sangat menyiksa!

“Kali ini masih aku maafkan, Adrian. Tapi tiba nanti saat kesabaranku habis, maka jangan sebut namaku, aku akan lakukan apapun untuk mempertahankan milikku!”

Arga memijit pelipisnya dengan sedikit keras, satu-satunya hal yang paling dia takuti selain perselingkuhannya terbongkar adalah kehilangan sosok itu. Siapa lagi kalau bukan Clara? Gadis yang selama ini dia pertahankan dengan menghalalkan segala cara.

Arga melakukan apapun agar Clara tetap bertahan di sisinya, mulai dari memperkosa gadis itu, mengancam posisinya di rumah sakit sampai membiayai semua keperluan pendidikan dan hidup gadis itu. Semua itu Arga lakukan semata-mata agar Clara tidak pergi meninggalkan dia.

Sampai saat ini semua usaha dan cara yang Arga lakukan masih berhasil membuat Clara bertahan, tapi entah besok-besok apakah semuanya akan tetap seperti ini atau tidak.

“Aku tahu semua yang aku lakukan ini salah, Ra. Tapi aku lakukan ini semua demi kita! Aku terlalu mencintai kamu! Dan keadaan yang memaksaku melakukan semua ini,” racau Arga yang mulai terbawa pengaruh wine yang dia tenggak.

Arga tahu betul hal yang diinginkan Clara begitu sederhana sebenarnya. Dinikahi secara resmi dan sah di mata hukum dan agama, tapi untuk sekarang Arga belum bisa melakukan itu semua. Ia sendiri masih terjebak dalam pernikahan semunya bersama Indira yang entah kapan akan berakhir.

Wanita itu belum mau melepaskan Arga, tidak peduli Arga terang-terangan melakukan perselingkuhan di hadapan Indira, dia sama sekali tidak peduli dan kekeu bertahan mempertahankan pernikahan mereka.

Arga kembali menenggak wine itu, kini langsung dari botolnya. Pikirannya kalut dan kacau dan dia perlu minuman-minuman ini untuk sekedar melepaskan penat dalam otaknya. Sementara Arga bercumbu dengan minuman itu, Clara masih berjibaku di jalanan sore ini tampak begitu padat.

Jujur ia malah sedikit terbantu dengan kemacetan ini, jadi dia tidak perlu sesegera mungkin sampai di apartemennya. Ia sedikit malas bertemu Arga. Paling Arga hanya menginginkan nikmat tubuhnya saja, bukan? Sudah bisa Clara tebak!

Clara menyandarkan tubuhnya, menekan gas perlahan-lahan ketika antrian mobil di depannya maju beberapa meter, kemudian berhenti lagi karena lampu di simpang lima yang ada di depan itu terkenal sangat lama sekali.

Langit mulai gelap, membuat Clara terlempar pada bayangan-bayangan indah masa depan yang pernah dia miliki ketika muda dulu. Tidak pernah terlintas dalam pikiran Clara muda bahwa dia akan menjadi simpanan suami orang. Menjadi duri dalam rumah tangga wanita lain, tidak pernah terlintas sedikitpun!

Clara kembali menginjak pedal gasnya, mencoba memburu lampu hijau yang tinggal hitungan detik itu. Berusaha meloloskan diri dari lampu merah yang kembali akan menahannya lebih lama. Namun sayang, Clara salah perhitungan, tepat ketika mobilnya sudah sampai di tengah-tengah persimpangan, mobil dari arah lain melaju. Dia merasakan sebuah benturan pada mobilnya dan sedetik kemudian dia tidak lagi bisa melihat apa-apa.

Tiin ... tiin ... tin ...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
EdeanN
thor kok crtnya 11 12 sm the blue blood...ambisi ortu yg bikin anak sengsara
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status