Clara melangkah ke kantin, baru beberapa langkah masuk, matanya menatap sosok itu duduk bersama beberapa sejawat di sebuah meja. Matanya menatap Clara, Clara pun sama menatap mata itu lantas masuk ke dalam tanpa berkata-kata. Memang begini kamuflase mereka, ketika di rumah sakit, mereka sama sekali tidak berinteraksi. Beradu pandang pun hanya sebentar, lalu fokus pada kegiatan masing-masing tanpa saling bertegur sapa.
Tidak heran sampai sekarang tidak ada satu pun orang yang tahu bangkai apa yang mereka sembunyikan selama ini. Tidak dengan dokter Indira sekalipun.
“Boleh gabung di sini?” tanya Clara ramah pada beberapa anak koas, lebih tepatnya koas perempuan karena sosok itu meskipun terlihat cuek, selalu mengamati gerak-gerik Clara dengan detail.
“Oh iya boleh, Dokter.” Mereka kompak tersenyum, beberapa menggeser duduknya, memberi tempat untuk residen anestesi itu duduk di bangku kantin.
“Kok sendirian, Dok?” tanya salah seorang mereka yang langsung dibalas senyum begitu manis oleh Clara.
“Lho, siapa bilang saya sendirian? Nih saya lagi sama kalian, kan?”
Mereka kompak tertawa, begitu juga Clara. Salah satu hal yang membuat Clara banyak disukai sejawat adalah sikap ramah dan tidak pilih-pilih circle. Entah mau cleaning servis atau security rumah sakit sekalipun kalau dia baik dan ramah serta tidak neko-neko, Clara akan welcome dan ramah juga pada mereka.
Clara tampak sabar meladeni bebebrapa pertanyaan dari mahasiswi koas itu selama menunggu pesanan makan siangnya, terkadang tawa mereka lepas, membuat meja mereka terdengar paling ramai. Sudut mata Clara menatap netra itu, netra yang Clara tahu sejak tadi mengawasinya. Dan saat yang sama senyum simpul itu tergambar, senyum yang membuat Clara mengangguk pelan dan mengalihkan pandangannya dari sosok itu sesegera mungkin.
Mereka harus menjaga baik-baik rahasia mereka, rahasia yang begitu krusial dan bisa memporak-porandakan hidup mereka seketika. Entah sampai kapan rahasia ini bisa aman tidak terendus, Clara sendiri tidak tahu, yang jelas ia hanya ingin menjalani dulu semuanya seperti ini. Ya ... seperti ini.
***
“Ra!”
Clara yang tengah melangkah ke IGD itu sontak menoleh, mendapati Adrian setengah berlari menghampiri dirinya. Membuat Clara menghela nafas panjang. Ia sendiri heran sekaligus kasihan pada chief residen bedah itu. Clara tidak pernah mengubrisnya, selalu menolak semua ajakan dan perhatian yang Adrian tujukan pada Clara, namun dia tidak pernah menyerah mendekati dan mencoba meraih perhatian dari Clara.
“Ya, Dok?” Clara menyipitkan matanya, lanjut melangkah dengan Adrian yang melangkah di sisinya itu. Harapan Clara, Arga tidak melihat mereka saat ini. Bisa dipastikan sepulang dinas nanti laki-laki itu pasti akan mengamuk, dasar overprotektif.
“Saya ada dua tiket nih, nanti nonton yuk!”
Ah! Sebuah kondisi yang membingungkan. Clara benci kondisi seperti ini. Dimana dia tidak punya pilihan untuk memilih. Mau menolak, dia benar-benar sungkan dan kasihan pada sosok itu, kalau menerima ajakan itu sama saja dia menabuh genderang perang dan mencari masalah dengan Arga.
Lantas Clara harus bagaimana?
“Nggak bisa ya?” sambung Adrian ketika Clara hanya diam membisu di tempatnya.
Clara tergagap, ah ... menatap wajah dan sorot mata penuh harap itu membuat Clara benar-benar iba dan tidak enak hati. Tapi ia tahu dan kenal betul dengan Arga, tentang bagaimana dia nanti akan mengamuk ketika tahu Clara menerima ajakan chief Residen itu pergi bersama.
“Ah ... sebenarnya sih aku belum tahu nanti bisa atau nggak, Dok.” Jawab Clara berbohong, padahal dia belum tahu resiko mana yang hendak dia pilih.
“Oh begitu, kabari saja ya. Aku tunggu.” Senyum Adrian merekah, membuat senyum kikuk itu ikut tergambar di wajah Clara. “Aku duluan, Ra. Sudah ditunggu di OK.”
“Baik Dok, silahkan.”
Fiuh ... hati Clara benar-benar lega, ia mempercepat langkahnya menuju IGD, baru beberapa langkah ia melangkahkan kaki, ponselnya berdering. Dan Clara sudah bisa menebak siapa yang meneleponnya itu. Pasti Arga!
Clara merogoh saku snelli-nya, dan mendesis pelan ketika benar nomor laki-laki itu yang terpampang di layar iPhone miliknya.
“Halo, ada ap-.”
“Ra, jangan kira aku nggak tahu ya? Aku mengawasimu. Awas saja sampai kau terima ajakan nonton itu, aku tidak akan tinggal diam.”
Benar kan? Clara mengdesah pelan, masih melanjutkan langkahnya sambil menatap kesekeliling, takut kalau sosok yang paling dia hindari di rumah sakit ini muncul. Siapa lagi kalau bukan dokter Indira dan profesor Dicky. Clara benar-benar tidak mau bertemu dengan dua orang dokter itu.
“Iya aku paham, Ga.” Jawab Clara pasrah, memang dia mau jawab apalagi? Membantah? Beradu argumen? Sungguh itu sangat melelahkan sekali!
“Aku tunggu di apartemen!”
TUT
Clara menghela nafas panjang, memasukkan kembali ponsel itu dan lanjut melangkah. Baru beberapa langkah, tiba-tiba langkah Clara terhenti. Sosok yang tadi begitu dia takuti tampak melangkah keluar dari IGD, melenggang begitu santai dan percaya diri dengan snelli lengan panjangnnya yang tampak begitu putih bersih.
Hati Clara mencelos, wanita itu harus tersiksa dengan begitu luar biasa karena Clara sudah merebut kebahagiaan pernikahan wanita itu. Clara merebut dan memiliki seorang diri suami dari sosok dokter yang ramah dan terkenal supel pada siapa saja.
“Siang, Dokter.” Sapa Clara dengan penuh hormat sambil menundukkan wajah. Semua orang tentu tahu siapa dokter itu, anak pemilik rumah sakit.
“Siang, mau kemana?” jawab sosok itu dengan senyum merekah, sebuah senyum yang makin membuat hati Clara mencelos pedih.
“Stand by di IGD, Dokter.”
Indira tersenyum begitu manis, kepalanya mengangguk, “Semangat ya untuk hari ini.” Dia menepuk lembut bahu Clara, “Saya duluan.”
“Baik, terima kasih Dokter.”
Clara menatap nanar punggung Indira yang melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Matanya memanas, dadanya sesak. Punya dosa apa Clara sampai tega melukai hati perempuan itu? Dia baik, ramah dan hangat kepada semua orang. Lantas apa salah Indira?
Ah ... jangan lupa, Indira yang memulai semua ini! Dia yang lebih dulu merebut Arga dari sisi Clara. Arga milik Clara, dan dia mengambil Arga dari sisi Clara.
Clara menghela nafas panjang, melanjutkan langkahnya menuju ke IGD. Entah bagaimana reaksi perempuan itu kalau tahu wanita yang disapanya dengan begitu ramah dan hangat itu adalah perempuan yang selama ini menyita hati dan perhatian sang suami. Hingga sosok suaminya itu sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya kepada Indira. Bahwa perempuan yang tadi ditepuk lembut bahunya itu adalah perempuan yang selama ini menjadi penuntas gairah seksual sang suami.
“Entah apa hukumanku nanti, aku sampai tidak bisa membayangkan semuanya!” desis Clara lirih pada dirinya sendiri.
Karma apa yang akan Clara terima nanti? Apa yang akan Indira lakukan kalau tahu ternyata Clara adalah simpanan dari suaminya?
***
‘Ingat, jangan kemana-mana! Kutunggu di apartemen!’
Clara yang hendak masuk ke dalam mobilnya sontak membuang nafas kasar. Pria satu itu memang sangat overprotective terhadap dirinya. Terlebih tadi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Adrian berusaha membawanya untuk nonton film.
Clara hendak membalas pesan itu, namun belum sempat dia mengetikkan balasan, sosok itu sudah lebih dulu meneleponnya, membuat mata Clara membelalak menahan kesal.
“Ini aku sudah mau balik, Ga!” ujarnya hampir saja berteriak kesal, lama-lama Clara benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan kekasih gelapnya itu, kalau saja nasib karier dan pendidikan Clara tidak berada dalam genggaman Arga, rasanya Clara ingin melarikan diri sejauh-jauhnya.
“Bagus, cepat pulang. Aku menunggumu, Sayang.”
Tut
Sambungan terputus, Clara sontak menendang-nendang pintu mobilnya, hati Clara teramat kesal dan dongkol. Ia lantas masuk ke dalam mobil, memakai seat belt-nya dan mulai menghidupkan mesin mobil yang merupakan pemberian dari Arga.
“Sampai kapan sih kamu bakalan jadi simpanan suami orang, Ra? Sampai kapan?” maki Clara pada dirinya sendiri, ia memukul-mukul setirnya dengan gusar.
Kenapa dia harus tidak seberdaya ini melawan Arga? Dulu sebelum Arga membiayai sekolah spesialisnya, posisinya di rumah sakit yang dia pertaruhkan. Di mana Arga selalu mengancam akan mendepak Clara dari posisi dokter definitif di rumah sakit tempat dia bekerja dulu, sekarang Clara terjebak oleh biaya sekolah spesialisnya yang tidak bisa dibilang murah!
“Harusnya dulu kamu berani ambil resiko, Ra.” kembali Clara memaki dirinya sendiri.
Tetapi kalau benar dulu dia tetap pergi dan tidak peduli dengan ancaman Arga, ia pasti akan kesulitan mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Koneksi Arga sekeluarga cukup banyak dan Arga mengancam akan melakukan apapun untuk membuat Clara bertahan di sisinya dan sialnya itu semua berhasil!
“Mikir, Ra! Mikir!” Clara menginjak rem, ia distop oleh lampu merah yang ada di perempatan jalan.
Sejenak Clara menghirup udara banyak-banyak, memejamkan mata guna mengurai kepenatan dan pusing kepala yang mendera dirinya. Dia sudah berada di angka tiga puluh dan Arga terus membelenggunya tanpa memberikan Clara kepastian untuk kedepannya.
Clara menoleh di samping mobilnya dan sepeda motor berhenti. Di mana tampak pasangan yang mengendarai sepeda motor itu membawa bayi mereka turut serta. Senyum di bibir Clara melengkung sempurna, dengan mata berkaca-kaca karena dalam hatinya ia sudah begitu ingin berada dalam tahap itu.
Punya suami, anak dan keluarga kecil mereka. Tapi sekali lagi, Arga menjeratnya dengan begitu luar biasa, tidak memberi Clara pilihan dan sekali lagi tidak memberi Clara kepastian. Laki-laki itu hanya datang menidurinya, melampiaskan semua birahi itu pada Clara, memberinya uang, menceramahi dirinya panjang lebar bahwa tidak boleh ada laki-laki yang mendekati Clara, tanpa memberi jawaban mengenai kelanjutan hubungan mereka mau dibawa kemana.
Clara menyeka air matanya, seketika lampu berubah hijau, membuat Clara lantas menginjak pedal gas mobilnya dan melanjutkan perjalanan.
“Kapan saat itu tiba, Tuhan? Kapan Clara bebas dari semua ini? Clara lelah.”
Clara tengah merintih mengenai takdirnya, sementara di unit apartemen itu, laki-laki berpostur tinggi dan tegap yang masi memakai setelan scrub miliknya itu tampak duduk begitu santai sambil menyesap wine.
Tidak sekali dua kali Arga memergoki residen itu mendekati miliknya. Kalau yang dia dekati Indira, tentu Arga tidak keberatan, tapi yang laki-laki itu dekati adalah Clara! Tentu Arga tidak akan tinggal diam begitu saja.
“Kau berani main-main denganku, dokter Adrian?”
Rasanya Arga ingin menyeret laki-laki itu untuk kemudian menghajarnya. Tapi itu sama saja cari masalah dan bisa-bisa malah membongkar semua perselingkuhan yang selama dua tahun ini sukses dia sembunyikan dari semua orang!
Arga melempar gelas dalam genggamannya sampai hancur berkeping-keping. Ia benar-benar marah dan benci dengan semua kenyataan hidupnya ini. Lebih benci lagi kenyataan bahwa dia tidak bisa menghajar laki-laki yang sudah mendekati Clara, ini sungguh sangat menyiksa!
“Kali ini masih aku maafkan, Adrian. Tapi tiba nanti saat kesabaranku habis, maka jangan sebut namaku, aku akan lakukan apapun untuk mempertahankan milikku!”
Arga memijit pelipisnya dengan sedikit keras, satu-satunya hal yang paling dia takuti selain perselingkuhannya terbongkar adalah kehilangan sosok itu. Siapa lagi kalau bukan Clara? Gadis yang selama ini dia pertahankan dengan menghalalkan segala cara.
Arga melakukan apapun agar Clara tetap bertahan di sisinya, mulai dari memperkosa gadis itu, mengancam posisinya di rumah sakit sampai membiayai semua keperluan pendidikan dan hidup gadis itu. Semua itu Arga lakukan semata-mata agar Clara tidak pergi meninggalkan dia.
Sampai saat ini semua usaha dan cara yang Arga lakukan masih berhasil membuat Clara bertahan, tapi entah besok-besok apakah semuanya akan tetap seperti ini atau tidak.
“Aku tahu semua yang aku lakukan ini salah, Ra. Tapi aku lakukan ini semua demi kita! Aku terlalu mencintai kamu! Dan keadaan yang memaksaku melakukan semua ini,” racau Arga yang mulai terbawa pengaruh wine yang dia tenggak.
Arga tahu betul hal yang diinginkan Clara begitu sederhana sebenarnya. Dinikahi secara resmi dan sah di mata hukum dan agama, tapi untuk sekarang Arga belum bisa melakukan itu semua. Ia sendiri masih terjebak dalam pernikahan semunya bersama Indira yang entah kapan akan berakhir.
Wanita itu belum mau melepaskan Arga, tidak peduli Arga terang-terangan melakukan perselingkuhan di hadapan Indira, dia sama sekali tidak peduli dan kekeu bertahan mempertahankan pernikahan mereka.
Arga kembali menenggak wine itu, kini langsung dari botolnya. Pikirannya kalut dan kacau dan dia perlu minuman-minuman ini untuk sekedar melepaskan penat dalam otaknya. Sementara Arga bercumbu dengan minuman itu, Clara masih berjibaku di jalanan sore ini tampak begitu padat.
Jujur ia malah sedikit terbantu dengan kemacetan ini, jadi dia tidak perlu sesegera mungkin sampai di apartemennya. Ia sedikit malas bertemu Arga. Paling Arga hanya menginginkan nikmat tubuhnya saja, bukan? Sudah bisa Clara tebak!
Clara menyandarkan tubuhnya, menekan gas perlahan-lahan ketika antrian mobil di depannya maju beberapa meter, kemudian berhenti lagi karena lampu di simpang lima yang ada di depan itu terkenal sangat lama sekali.
Langit mulai gelap, membuat Clara terlempar pada bayangan-bayangan indah masa depan yang pernah dia miliki ketika muda dulu. Tidak pernah terlintas dalam pikiran Clara muda bahwa dia akan menjadi simpanan suami orang. Menjadi duri dalam rumah tangga wanita lain, tidak pernah terlintas sedikitpun!
Clara kembali menginjak pedal gasnya, mencoba memburu lampu hijau yang tinggal hitungan detik itu. Berusaha meloloskan diri dari lampu merah yang kembali akan menahannya lebih lama. Namun sayang, Clara salah perhitungan, tepat ketika mobilnya sudah sampai di tengah-tengah persimpangan, mobil dari arah lain melaju. Dia merasakan sebuah benturan pada mobilnya dan sedetik kemudian dia tidak lagi bisa melihat apa-apa.
Tiin ... tiin ... tin ...
Morgan Alvaro, pengusaha importir mobil mewah itu sontak langsung keluar dari mobilnya begitu mobil yang dia hantam terseret dan menabrak water separator. Emosinya membuncah, bagaimana tidak? Mobil mini berwarna merah itu nekat melaju meskipun lampu sudah berubah merah, yang mana membuat Ferrari 488 Pista-nya ringsek di bagian depan.“Woy, turun lu!” Morgan tidak peduli dengan klakson-klakson yang ditekan efek ia menghentikan Ferrari-nya di tengah jalan, yang ia pedulikan hanyalah menghajar orang yang sudah membuat mobil kesayangannya itu ringsek.Morgan tertegun ketika mendapati seorang wanita yang menjadi sopir mobil itu terkulai tidak sadarkan diri di jok kemudi, hal yang membuat dia lantas panik dan berteriak pada beberapa polisi yang mendekat ke arahnya.“Pak, tolongin itu yang di dalam pingsan, Pak!” Morgan lupa pada amarahnya, fokusnya pada wajah cantik dengan darah segar yang mengucur dari dahinya, Morgan benar-benar pani
Arga turun dari taxi online yang dia pesan, dengan tubuh sempoyongan dia menerjang pintu depan rumah mewah hadiah dari mertuanya. Melesat naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Yang harus dia temui sekarang ini adalah sang isteri.BRAKKPintu kamar itu terhempas, menampakkan Indira yang tengah menyusut air matanya. Wanita itu menoleh, menatap Arga dengan wajah kaku berhias linangan air mata.“Oh ... kau pulang juga rupanya?” tanya Indira sambil tersenyum sinis.Arga kembali membanting pintu, membuat pintu itu tertutup rapat seketika. Dengan sisa-sisa kesadarannya ia melangkah mendekati sang isteri, menatapnya dengan tatapan tajam.“Jangan pernah kau campuri urusanku, In! Bukankah sudah berulang kali aku peringatkan?” ancam Arga sambil melotot tajam.Tawa Indira pecah, ia balas menatap tajam sorot mata sang suami.“Aku sudah cukup muak, Mas!” desis Indira pelan, “Sudah saatnya ak
Clara mengerjapkan matanya perlahan-lahan, rasa pedih itu terasa begitu menusuk di dahi sebelah kirinya. Rasanya begitu pedih. Sorot lampu yang begitu terang sedikit menyakiti matanya, membuat matanya sontak kembali terpejam.“Dok, Dokter bisa dengar saya?”Suara asing itu tertangkap oleh telinga Clara. Darimana orang itu tahu kalau Clara seorang dokter? Ah dia lupa, bukankah identitasnya tertulis di atasan scrub yang dia pakai dinas hari ini?Clara mencoba kembali membuka matanya, kini matanya bisa beradaptasi dengan lampu terang yang begit benderang itu. Pandanganya mulai jelas, ia bisa menangkap sosok bersnelli lengan panjang dengan jilbab biru itu.“Saya di mana? Kok bisa di sini?” Clara benar-benar terkejut, ini IGD rumah sakit! Matanya mulai memandangi satu persatu wajah yang ada di hadapannya. Dokter dengan jilbab biru itu, seorang perawat dan seorang laki-laki yang ...“Dokter masih ingat kejadian sebe
Arga mencoba menetralkan nafasnya, tubuhnya terasa sangat lengket dan panas. Ia terengah dengan Indira yang terisak sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Permainan mereka sudah usai, Arga sudah mendapatkan apa yang dia cari, apa yang dia inginkan malam ini.Ia ingin Clara, namun dia tidak tahu sekarang dimana kekasihnya itu berada. Apakah benar dia tengah menonton film bersama residen bedah itu? Kalau benar, akan Arga patahkan leher laki-laki itu besok pagi.Suara isak tangis Indira terdengar begitu jelas setelah segala macam desahan, erangan dan irama penyatuan mereka lenyap menguar bersama sisa-sisa nikmat yang kini tengah Arga nikmati. Ia menoleh, tersenyum sinis menatap punggung yang membelakangi dirinya itu."Sudahlah, tidak usah menangis. Bukankah ini yang kamu minta tadi? Sudah aku berikan jadi diamlah!" Ejek Arga seraya mengusap keringat yang membasahi wajahnya.Indira menoleh, membalikkan tubuhnya dan menatap suaminya i
“Tidak diangkat?”Clara menoleh, tampak laki-laki itu tersenyum simpatik ketika melihat dirinya frustasi dengan ponsel dan panggilan-panggilan yang tadi dia layangkan. Clara hanya balas tersenyum sambil menggeleng perlahan. Tampak senyum laki-laki itu makin lebar, membuat Clara merasa aneh melihat senyum itu. Kenapa begitu manis?“Sudah lupakan dulu, istirahatlah. Nanti kalau dia sudah tidak sibuk pasti dia akan menghubungimu balik.”Ah ... betul juga! Tapi Arga sibuk apa? Sedang apa dia sampai-sampai Clara berkali-kali telepon dan dia abaikan? Kalaupun marah, Arga bukan tipe laki-laki yang ketika marah lantas mendiamkan dan mengabaikan pesan dan panggilan yang Clara layangkan.“Kok sedih? Siapa memangnya yang begitu ingin kamu telepon? Pacar?”Clara tergagap, siapa memangnya? Kalau bilang Arga pacarnya, Arga sendiri sudah punya isteri, kalau mau bilang Arga bukan siapa-siapa, mana ada laki-laki yang bukan siapa-
"Kalau kamu ingin pulang, pulang aja nggak apa-apa kok," ujar Clara pada Morgan yang masih betah duduk di sofa kamar inapnya.Beberapa saat mengobrol bersama laki-laki tiga puluh lima tahun itu membuat Clara lantas cepat akrab dengan pria yang terlibat kecelakaan bersamanya itu. Dan tentu saja bukan tanpa alasan Clara menyuruh Morgan pulang, Arga pasti datang kemari dan dia tentu akan salah paham jika melihat Morgan berada di ruangan ini bersamanya."Tidak! Aku tidak akan pulang sebelum dokter kemari dan menyatakan kamu baik-baik saja, Ra. Kamu tanggung jawabku." tolak Morgan tegas, laki-laki berperawakan tinggi-tegap itu lantas bangun, kembali melangkah menghampiri Clara yang masih terbaring di atas ranjang dengan selang infus.Clara tertegun, netra mereka beradu sesaat. Kalimat itu kenapa terdengar begitu indah di telinga Clara? Sebuah kalimat yang hanya diucapkan oleh laki-laki sejati."Ta-.""Takut pacarmu marah aku ada di sin
Arga sudah tiba di depan pintu ruangan itu. Mendadak ia ragu, tangan yang sudah terulur hendak menyentuh knop sontak ia tarik kembali.Ada apa ini?Kenapa hatinya jadi kacau balau seperti ini? Kenapa perasaan takut itu terus mencengkeram hati Arga? Tidak biasanya Arga seperti ini. Bayangan dia dan Indira bergumul tadi kembali terlintas, marahkah Clara jika tahu Arga barus saja menyentuh sang isteri? Tapi Indira isteri sah Arga dan... ah!Arga menghela nafas sejenak, menghirup udara banyak-banyak lalu menghembuskan perlahan-lahan. Tangannya terulur, kembali menyentuh knop pintu dan menekannya.Pintu terbuka, ruangan itu begitu terang dan wanita yang begitu dia cintai ada di sana.Arga membelalakkan mata mendapati Clara dengan perban membalut pelipisnya, ia setengah berlari menghampiri kekasihnya itu."Sayang... ka-kamu...," Arga sampai tidak bisa berkata-kata, matanya memerah melihat kondisi Clara.&nb
Arga seperti ditampar mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Clara tadi. Dapat dia lihat bahwa Clara masih menitikkan air mata dan sibuk menyeka bulir-bulir bening yang menitik dari matanya. Arga menghela nafas panjang, meraih tangan Clara dan meremasnya lembut."Aku minta maaf, aku egois." desisnya kemudian. "Tapi percayalah, aku cuma cinta kamu, Ra. Aku sama sekali tidak mencintai Indira."Clara menatap Arga dengan senyuman sinis. Apa dia bilang? Arga bilang kalau dia tidak mencintai isterinya? Arga memang sudah mengatakan hal itu berulang kali pada Clara, tetapi untuk kali ini penilaian Clara sudah berbeda."Tidak mencintai tapi bisa juga kamu meniduri dia, Ga?" tanya Clara dengan senyum setengah mengejek. "Ah aku lupa!" Clara melepaskan tangan Arga yang menggenggam tangannya. "Laki-laki kawin nggak pakai hati, kan? Sebuah fakta yang mencengangkan."Arga menundukkan kepalanya, ia merasa begitu berdosa hari ini. Clara tidak pernah mengkhianati dirin