"Morning!" Clara hampir berteriak ketika tangan kekar itu melingkar di pinggangnya, memeluknya dengan begitu erat.
Clara tersenyum, mencubit lengan Morgan karena dia tahu di ruangan itu tidak hanya mereka berdua yang ada di sana, Mbok Sam pun ada, nampak menahan senyum sambil fokus memotong sayuran.
"Lepas!" bisik Clara setengah tersenyum ketika tangan itu malah semakin erat memeluk tubuhnya.
"Kenapa sih?" Morgan malah menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Clara, membuat tubuh Clara meremang seketika.
"Ada Mbok Sam!" kembali Clara melotot, menatap Morgan yang nampak acuh dan tidak bergerak sedikitpun dari posisinya.
Morgan meraih pisau yang ada di tangan Clara, meletakkan benda itu di meja dan menarik Clara pergi dari dapur.
"Eh ... kemana? Aku mau bantuin Mbok Sam!" Clara mencoba mempertahankan diri, tentu dia tidak enak dengan wanita paruh baya yang bekerja di rumah Morgan. Kerja Mbok Sam jadi bertambah semen
“Kenapa ingin jadi pediatric?”Jimmy mengurungkan niatnya menyuapkan nasi itu. Ditatapnya Indira dengan saksama. Ah ... bahkan cara dia makan dan mengunyah makanan begitu mirip dengan Kirana. Apakah dia reinkarnasi dari Kirana? Tapi apakah betul reinkarnasi itu ada? Atau malah dia ini kembaran Kirana?“Sejak dulu, pertama kali koas di stase anak, saya sudah jatuh cinta dengan ilmu kesehatan anak, Dok.” Jawab Jimmy jujur apa adanya. Memang itu alasan dia masuk PPDS anak.Indira mengangguk, membuat Jimmy akhirnya bisa fokus pada nasi uduk yang ada di hadapannya. Apakah Indira memang seperti ini? Seperti ini dalam artian dia selalu ramah dan welcome kepada semua orang seperti saat ini dia memperlakukan Jimmy. Ataukah ... Ah! Jimmy membuang perasaan itu jauh-jauh. Kenapa dia bisa jadi GR begini?“Istri dokter juga?”Hampir saja Jimmy tersedak nasi yang memenuhi mulutnya, ia bergegas meraih botol air mineral dan meneg
Indira masih melamun dengan bayangan residen itu di kepalanya, ketika mendadak pintu ruang prakteknya terbuka dan sang suami muncul dari pintu itu.Wajah Arga nampak masam, melangkah tanpa banyak bicara lalu menjatuhkan diri di depan meja Indira. Indira mengubah posisi duduk santainya jadi serius, menatap lelaki itu dengan kening berkerut."Kau tidak coba mengagalkan spermaku membuahimu, kan, In?" Tanya Arga tanpa basa-basi."Apa maksudmu?" Indira terkejut, bukan apa-apa, hanya saja yang Arga tuduhkan itu ada benarnya! Diam-diam ketika sudah di rumah sakit, ia menenggak pil kontrasepsi darurat agar pergumulan terpaksa yang terjadi semalam tidak menghasilkan apapun meskipun Arga berkali-kali menumpahkan spermanya di dalam."Sudah cek ke obsgyn? Atau setidaknya pakai testpack?" Nampak Arga menyelidik, membuat Indira menghela napas panjang."Belum, kenapa?" Tanya Indira mencoba santai."Kenapa katamu?" Suara
"Temani saya nanti malam! Bisa?"Jantung Jimmy seperti hendak lompat dari tempatnya, dia tidak salah dengar, bukan? Apa yang Indira tadi katakan? Dia ingin Jimmy menemaninya nanti malam? Menemani yang seperti apa? Pikiran Jimmy sudah kemana-mana, dia hendak memperjelas apa maksud Indira, namun lidahnya mendadak kelu. Tidak ada suara yang keluar meskipun Jimmy sudah mati-matian mencoba bersuara."Saya tunggu di La Bella Resto, Jim. Jam tujuh tepat!" Indira lantas bangkit, menyunggingkan senyum manisnya lalu melangkah dengan begitu anggun meninggalkan Jimmy yang masih tertegun di tempatnya duduk.Sedetik dua detik otak Jimmy masih membeku, tidak bisa berpikir apapun. Tidak bisa mengirimkan sinyal perintah apapun ke organ tubuhnya!Hingga kemudian Jimmy lantas bisa berpikir dengan jernih ketika ia berhasil menguasai dirinya, ketika dia berhasil mengenyahkan pikiran-pikiran kotor itu dari dalam otaknya."Astaga! Kenapa pikiranku sampai sana
Tangan Clara sontak terulur, mencubit hidung Morgan dengan gemas. Namun Morgan tidak terlalu mempermasalahkannya, ia lantas melepaskan pelukan, menarik tangan itu dan menjatuhkan diri di atas sofa.Tubuh itu dia tarik hingga jatuh tepat di pangkuan Morgan. Menarik bahunya hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa centi. Mata mereka beradu dengan senyum yang begitu manis merekah di wajah Morgan. Ia menekan kepala Clara dan meraih bibir itu dengan begitu ganas.Tidak ada percakapan lanjutan yang terjadi, karena baik Clara atau Morgan lebih memilih fokus pada agenda dadakan mereka saat ini. Mata mereka kembali beradu. Tanpa perlu banyak bicara, baik Morgan ataupun Clara sudah paham dan mengerti apa arti masing-masing tatapan mata itu. Perlahan-lahan mulai menikmati detik demi detik mereka dalam ruangan itu. Ruangan yang selama ini begitu kaku, perlahan-lahan melunak oleh desah tertahan keduanya.Ini kali pertama Morgan melakukan kegilaan ini, ka
Jimmy menatap bayangan dirinya di cermin. Dia sudah kembali ke rumah kostnya. Tempat yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah sakit. Tentu Jimmy sudah hitung betul-betul keuntungan jika mencari rumah kost yang jaraknya begitu dekat dengan rumah sakit. Dia akan menghemat waktu perjalanan dan bisa segera meluncur kapanpun jika dibutuhkan. Tinggal satu jam lagi! Sekarang pukul 6 dan Jimmy sudah begitu rapi dengan kemeja dan celana bahan. Bertemu dengan anak pemilik rumah sakit yang juga seniornya, tentu Jimmy harus rapi dan sopan, bukan? Mendadak Jimmy ragu. Sebenarnya apa tujuan Indira hendak bertemu dengannya malam ini? Bukan apa-apa, Jimmy takut terlalu tinggi berekspektasi dan berakhir dengan kekecewaan dan rasa malu. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Jimmy menanggapi ajakan Indira yang terlihat begitu 'lain' tadi? Apa arti dari kata 'Temani saya malam ini?'Temani yang seperti apa? Temani makan malam dan membahas apa-apa yang harus Jimmy lakukan
Feni mengeram, tampak meja makan mereka begitu riuh dan ramai. Semua berkat kedatangan sosok itu, wanita yang sialnya benar-benar luar biasa baik penampilan maupun pembawaannya. Pantas saja Morgan kekeuh hendak menikahi wanita ini, Callista kalah telak rupanya! "Om buka aja nih kartu Morgan, jarang dia serius sampai merengek minta nikah begini. Biasanya cewek cuma buat main-main sama dia!""Ah Papa! Jangan gitu lah, bongkar aib nih!" Morgan sontak mencebik, menatap gemas ke arah Tjandra yang tergelak itu. "Loh daripada dia tahu dari orang lain, lebih baik jujur di awal, kan, Gan?" Tjandra tidak mau disalahkan, intinya Clara harus tahu bahwa lelaki yang hendak menikahinya ini adalah playboy insyaf. Sementara itu Clara hanya mengulum senyum sambil mengangguk pelan, membuat Morgan geleng-geleng kepala karena kelakuan sang pala yang begitu entengnya membuka aib Morgan di depan Clara. Semua nampak begitu gembira, tertawa lepas sambil menik
"Ibu nggak pamit dia mau kemana gitu?" Arga mengintrogasi salah satu asistennya, bagaimana tidak kalau mendadak tanpa pamit sang istri lenyap dari rumah.Mobil Indira masih ada di halaman rumah mereka, yang mana artinya dia pergi tanpa membawa mobil. Lantas dia naik apa? Hendak kemana sampai-sampai mobilnya tidak dibawa? Ini lain dari kebiasaan Indira selama ini."Nggak bilang, Pak. Saya juga nggak berani tanya karena ibu tadi kayak buru-buru banget."Arga mengeram, ia menghirup udara banyak-banyak. Mengusap wajahnya dengan kedua tangan lalu kembali menatap Sari dengan seksama."Pakai baju dinas atau apa?" tentu dugaan Arga sang istri ada cito, pergi ke rumah sakit seperti kebiasaan para petugas medis macam mereka. Tapi kenapa mobilnya tidak dibawa?"Nggak, Pak!" Sari menggeleng, "Ibu dandan cantik banget."Mata Arga sontak terbelalak, ia menatap Sari dengan tatapan tidak percaya. Arga tidak salah dengar, bukan? Dari ekspresi dan
"Lega, kan?" Morgan melirik CLara yang bersandar di jok sebelah, wajah itu lebih santai dari ketika mereka berangkat tadi.Ya ... makan malam bersama hari ini benar-benar sukses! Bahkan Feni, sang mama nampak tidak banyak bicara dan menyunggingkan senyuman manis untuk Clara. Sebuah senyuman yang Morgan yakin itu pasti hanya sebuah kamuflase belaka. Namun setidaknya itu cukup untuk membuat Clara tidak lagi overthingking mengenai masa lalunya bersama dokter bajingan itu."Lega banget! Papa orangnya lucu, ya?" senyum Clara mengembang, matanya berbinar. Membuat Morgan begitu bahagia luar biasa malam ini."Ya ... papa sih emang kayak gitu, Sayang. Nggak ada masalah, kan?" tanya Morgan dengan hati berbunga-bunga, agaknya setelah ini dia harus menelepon sang papa untuk mengucapkan beribu-ribu ucapan terima kasih."Nggak! Tentu nggak ada masalah, dong! Malah asyik di ajak ngobrol." gumam Clara dengan senyum manis."Well, asal besok jangan keasyik