Enjoy reading đ akan ada Giveaway untuk para pendukung karya Chida ya .... 10 orang yang memberikan gems/vote terbanyak Dan .... 5 pembaca pilihan yang benar-benar mengikuti karya ini dari awal cerita hingga sekarang. Caranya gimana? Aku pilih dari komentar pembaca yang selalu kontinyu memberikan komentar di setiap part nya. Sehat" semua đ
Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja
Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n
Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S
Lelaki berwajah tampan dengan setelan kemeja body fit dan celana Chinos yang menggantung semata kaki lengkap dengan loafer shoes itu berjalan tegap mengarah ke lobby kantornya sore itu.Setelah seharian bekerja, cuma ada dua tujuan yang biasanya dia sambangi. Pertama, club yang biasanya menawarkan musik hingar bingar atau pulang ke apartemennya bermain-main dengan wanita yang setiap saat siap menemaninya setiap malam.Hidup dengan bergelimang harta, mempunyai wajah tampan, dan wawasan yang luas membuatnya di sukai banyak orang.Sakti Bima Anggara namanya, lelaki berumur 29 tahun berpendidikan tinggi dan salah satu anak konglomerat di negara ini. Ayahnya adalah seorang pengusaha besar, sudah tidak terhitung usaha apa saja yang mereka geluti.Sakti memegang tiga perusahaan besar dan lima anak cabang. Sepak terjang lelaki ini hampir mirip dengan sang Ayah, meluaskan bisnis keluarga. Namun sayang, dalam
Gaya jalan yang elegan memasuki ruangan itu, membuat banyak pasang mata terpesona pada diri lelaki itu. Sakti tersenyum pada kedua temannya yang bersandar di sofa memandangi lekuk tubuh wanita-wanita yang entah sudah berapa lama berada di atas meja itu berusaha menarik hasrat para lelaki di depan mereka."Wuih, tumben lo ini hari Senin, bukan jadwal lo, Sak," ujar Reno yang mengulurkan tangannya pada salah satu wanita untuk duduk di pangkuannya."Lagi suntuk aja," ujar Sakti meneguk minuman beralkohol yang sudah tersaji di atas meja.Dentuman musik keras seakan sudah menjadi santapan orang-orang di dalam sana. Mata Sakti menatap wanita dengan belahan dress di dada berwarna hitam yang duduk berhadapan dengannya. Wanita itu menyeringai, mengangkat gelasnya lalu meneguknya seakan menggoda Sakti."Kenalin Sak, temen gue," sahut Yoan dengan suara agak di tinggikan, lalu menjentikkan jarinya pada wanita yang dia sebut teman tadi.Wanita itu melangkah men
"Dis ... udah jam enam, kamu bilang ada kuliah pagi ini." Suara perempuan paruh baya terdengar dari balik pintu kamar Gendis.Gadis berumur 23 tahun itu masih meringkuk di atas tempat tidur. Malam tadi dia pulang lebih lama tidak seperti biasanya. Ada audit dari kantor pusat yang mengharuskan dia ikut serta mengecek barang di minimarket tempat dia bekerja."Dis ....""Iya, Bu ... udah bangun," sahutnya dari dalam.Meraih ikat rambut yang tergeletak tidak jauh dari sisinya, perlahan dia bangkit membuka pintu kamarnya. Bayu, sang adik yang duduk di kelas dua SMA sudah rapi mengenakan pakaian sekolah. Melintas melewati Bayu, Gendis mengacak rambut sang adik."Mbak—""Ambil di kantung celana Mbak, 10 ribu aja jangan banyak-banyak," ujar Gendis seakan tahu apa yang akan di minta Bayu."Makasih, Mbak," ucap Bayu tersenyum lalu berlari ke kamar Gendis. "Ibu, Bayu berangkat ya," serunya. "Mbak ....""Ya, hati-hati," jawab Gendis
"Yakin, Dis?" tanya Rika untuk kesekian kalinya saat Gendis membereskan buku-bukunya."Yakin ... udah santai aja, lain kali kalo aku sedang off kerja, kamu bisa traktir aku," ucap Gendis beranjak dari tempat duduknya."Hhmm ... ya sudah kalo gitu, sayang banget padahal aku pengin ajak kamu jalan-jalan," ujar Rika dengan mimik wajah kecewa. "Emm, sebentar Dis."Rika merogoh kantung celananya, di ambilnya dua lembar uang berwarna merah lalu diberikannya pada Gendis."Ini uang buat ibu, bilang sama ibu besok aku mau main ke rumah, masakin aku masakan yang enak," ujar Rika.Ya, begitulah cara Rika jika ingin memberikan uang pada Gendis agar tidak Gendis tolak. Alih-alih meminta ibu Gendis untuk memasakkannya masakan yang lezat untuk dirinya."Ibu masih ada uang, Ka," tolak Gendis. "Kamu kebiasaan kalo kayak gini." Gendis mengembalikan uang itu pada Rika."Aku yang minta ibu buat masakin, jadi nggak ada alasan kamu tolak," gerutu Rik
Ciuman itu begitu liar, Sakti terlihat terburu-buru membuka pakaian lawan mainnya malam ini. Wanita berbeda lagi yang di temuinya malam ini sewaktu dia berada di club tadi."Slowly," ucap wanita itu lembut.Sakti seakan tidak perduli, dia dengan rakusnya melumat bibir yang sejak tadi tidak pernah diam selama perjalanan mereka.Sakti menghempaskan tubuh indah itu ke atas ranjang, seraya tersenyum miring. Gaun berwarna hitam membalut tubuh itu pun sudah terlepas dari tubuhnya. Sakti melempar kemejanya ke atas sofa, merangkak naik ke atas tubuh teman kencannya malam ini."Siapa nama kamu tadi?" bisik Sakti lalu menyusuri leher jenjang putih mulus itu.Wanita itu mendesah saat Sakti menekan tubuh bagian bawahnya dan menyesap leher wanita itu sedikit kuat."Reina ...," ucapnya lirih seraya mengangkat dagunya memberikan ruang pada Sakti menikmati lehernya."Reina ...." Suara itu begitu lembut, tangan Sakti meremas payudara yang bah