Share

2. Pilihan Yang Sulit

Penulis: Kristalbee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-15 17:41:50

“Pulanglah She, sudah malam,” perintah Bryan. 

“Tapi….”

"Jangan pikirkan aku, istirahatlah. Aku tau kau lelah selain mengurus persiapan pernikahan, kau juga sibuk mengurus toko kuemu. Aku tidak mau kau sakit saat hari pernikahan kita.”

"Baiklah kalau begitu aku pamit. Jika ada apa-apa segera hubungi aku. Semoga ibumu cepat pulih," kata Sheila.

"Amin. Hati-hati, She. Aku minta maaf tidak bisa antar kamu pulang," balas Bryan. Sheila tersenyum sembari mengusap pundak Bryan.

"Aku tau kondisi kamu Bryan.”

"Iya."

Sheila berada di pintu keluar rumah sakit. Hujan turun dengan lebat. Sheila mengangkat kedua tangan untuk melindungi wajah agar pandangannya bisa melihat jelas ke depan. Terpaksa, Sheila berlari menerobos guyuran hujan deras dari pelataran demi menuju halte. 

Napas Sheila memburu, dia mengusap wajahnya. 

"Hey, kita bertemu lagi," sapa Bara ketika Sheila ikut berteduh di halte yang sama. 

Bara memang sudah menduga Sheila pasti akan kemari karena ia membuntuti Sheila dan bergerak cepat mendahului gadis itu.

Sheila tersenyum canggung. "Senang bertemu kamu lagi," balas Sheila memandang Bara sebentar lalu mengusap lengannya.

"Sepertinya hujan yang mempertemukan kita," timpal Bara membuat Sheila menoleh.

Bara kini berhadapan dengan Sheila dengan senyum maut yang mampu meluluhkan hati perempuan yang menatapnya. 

Jatuhlah dalam pesonaku Shei, pikir Bara.

Sheila ingat, kamu sudah punya Bryan! peringat hati kecil Sheila.

"Astaga!" gumam Sheila tanpa sadar, sudah seharusnya dia menjaga pandangan.

"Kau kenapa, Shei?" Kening Bara mengerut karena Sheila berucap dengan nada terkejut.

"Hm, a-aku melamun tadi," jawab Sheila menunduk.

"Oh."

"Shei, saya ingin kita berkenalan secara resmi," pinta Bara seraya mengulurkan tangan.

Sheila tersenyum salah tingkah. Gaya bicara Bara terdengar unik.

Sheila menjabat tangan Bara, kulit tangan Sheila terasa lembut dan begitu pas di genggaman Bara. Perasaan Bara bergejolak, darahnya berdesir. Bara jadi berfikir, apa Sheila merasakan hal sama?

"Sheila Annatasya," ucap Sheila dengan degup jantung menggila. Sheila pastikan, ini hanyalah debaran biasa karena Sheila gugup di dekat Bara. Ya, Sheila tak menyangkal pesona Bara sekuat itu.

"Bara," balas Bara kemudian tautan tangan mereka perlahan lepas.

Angin berhembus dingin menerpa halus kulit Sheila membuat gadis itu memeluk lengannya. 

Bara melepas jas hitamnya lalu menyampirkannya di belakang punggung Sheila.

Sheila menatap Bara tidak enak. "Nanti basah kalau kamu kasih ini ke aku." Sheila hendak melepas, tapi tangan Bara menahannya.

"Jangan pedulikan itu, saya lebih khawatir jika kau jatuh sakit karena kedinginan," ucap Bara berhasil membuat hati Sheila menghangat.

"Tapi ... bagaimana kalau pacarmu melihat kita?" tanya Sheila panik. Dia tidak ingin di cap sebagai perebut kekasih orang.

Bara tergelak mendengarnya. Apa Sheila bilang? Pacar? Yang benar saja, asal Sheila tahu dia lah perempuan yang Bara inginkan.

Dahi Sheila mengernyit, apa ada yang lucu dari pertanyaannya?

"Sheila kamu ini ada-ada saja, saya belum memiliki pacar," aku Bara membuat Sheila melongo serta mulut yang sedikit menganga.

Sheila bertanya ragu dalam benaknya. Apa iya, Pria sebaik dan setampan Bara belum memiliki pendamping?

"Saya sibuk mengurus bisnis, sampai saya masih belum memikirkan untuk memiliki pendamping hidup," jelas Bara seakan mampu membaca pertanyaan yang muncul di benak Sheila.

Sheila mengangguk paham. Di zaman sekarang memiliki uang banyak dan jabatan tinggi adalah keinginan semua orang.

Atensi keduanya teralih pada sebuah mobil hitam mewah yang berhenti tepat di depan halte.

"Sheila, jika kau tidak keberatan, ikutlah dengan saya. Saya akan mengantarmu pulang," ajak Bara.

"Tidak usah repot-repot. Aku naik taksi saja," tolak Sheila pelan. 

"Shei," panggil Bara dengan tatapan yang penuh harap.

"Baiklah, aku ikut," jawab Sheila.

Bara menggulung lengan kemejanya sampai siku menampakkan otot-otot yang tercetak jelas di sana. Bara memegang payung putih pemberian sopirnya. Dia memayungi Sheila bahkan tangannya memeluk lengan Sheila dari belakang. Bara membawa tubuh Sheila merapat padanya. Sheila sempat terkejut, dia mendongak melihat payung itu lebih banyak ke arahnya. Dadanya berdebar kencang lagi. Bara melindunginya.

"Perhatikan jalanmu, Shei! Jika tidak, kau bisa tersandung," peringat Bara padahal keduanya hanya berjalan pelan dan lurus.

**

Sheila telah sampai di rumahnya bahkan Bara sudah kembali masuk ke mobilnya. Namun, detik itu Sheila berbalik.

"Bara, tunggu sebentar," sergah Sheila membuat Bara tidak jadi menaikkan kaca jendelanya.

Sheila berlari masuk ke rumah membuat Bara menunggu. 

"Aku mau kasih ini."

Bara tersenyum kecut seraya meraihnya. "Undangan, ya," gumam Bara biasa, padahal hatinya terbakar cemburu.

"Aku tunggu kedatangan kamu," ucap Sheila dengan wajah berseri.

Aku akan datang, tapi bukan sebagai tamu, melainkan calon suamimu! 

"Pasti, saya akan datang," pungkas Bara.

"Hati-hati." Sheila melambaikan tangan ketika mobil Bara mulai melaju.

Bara meremat kuat undangan berwarna pink berpadu warna putih itu.

Sayup-sayup Bara mendengar suara dari heandsetnya.

"Sheila, kamu sudah memiliki Bryan, jangan sampai hatimu berpaling."

"Iya, Ma. Itu tidak akan terjadi, Bryan adalah Lelaki yang baik. Dia satu-satunya lelaki yang aku cintai."

Bara mendengarnya karena dia memasukan penyadap suara ke dalam kantong kecil tas Sheila tanpa sepengetahuan gadis itu.

Sontak emosi Bara langsung melesak naik. "Tidak ada Pria yang boleh kau puji selain aku, Sheila! Secepatnya, aku akan mengambilmu dari Bryan!" tekad Bara berapi-api.

**

Waktu terus bergulir, hari yang begitu dinanti Sheila dan Bryan telah tiba. Momen mendebarkan sekaligus bermakna bagi keduanya. Sheila duduk menghadap cermin memandang pantulan dirinya yang memakai kebaya putih dengan model kutu baru serta rambut yang disanggul, memancarkan aura kecantikannya. 

Laras memegang pundak Sheila dengan wajah berseri-seri. "Shei, Mama sampai pangling lihat kamu," puji Laras, ibu Sheila. 

"Ah, Mama," ucap Sheila tersipu malu. "Padahal Mama awet muda, masih cantikkan Mama daripada Sheila," goda Sheila diiringi kekehan geli.

"Kamu ini bisa saja," balas Laras mencubit pipi Sheila gemas.

Pintu kamar Sheila kembali terbuka, Sheila dan Laras kompak menoleh. Perempuan dengan tinggi semampai dan senyum merekah berjalan ke arah mereka.

"Ya, ampun Shei, kamu cantik banget!" puji Kayla histeris.

"Kayla bisa aja," ucap Sheila dengan paras yang merona.

"Kamu nih, kalau dipuji selalu aja merendah," ujar Kayla dibalas senyum simpul oleh Sheila.

Rasanya masih seperti mimpi bagi Laras, putri kecilnya telah tumbuh dewasa. Dia akan memulai lembaran baru bersama Bryan. Laras menitikan air mata haru. Dia segera menyekanya, tidak ingin Sheila mengetahuinya.

Semoga kamu bahagia sayang, putri tercinta Mama dan Papa, batin Laras.

"Kita ke depan, semuanya sudah menunggu kamu," kata Laras pelan.

Sheila menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan.

"Santai, Shei," ucap Kayla terkekeh. Sheila milirik kesal pada Kayla karena terus menertawakannya.

Laras dan Kayla berjalan bersisian menggiring Sheila menuju tempat akad nikah dilangsungkan. Tepatnya di ruang tamu rumah Sheila yang telah didekorasi sederhana namun mempesona. 

Ketika Sheila menginjakkan kakinya kemari, semua perhatian berpusat padanya. Sheila gugup, namun ia berusaha mengumbar senyum. Sheila melihat Bryan yang tampak berwibawa dengan jas putih yang membalut tubuhnya. 

Laras menarik kursi mempersilahkan Sheila duduk di samping Bryan. Senyum yang terpatri di wajah Bryan membuat Sheila bersemu. Pria itu memuji Sheila dari pancaran matanya. Tak terkecuali para tamu yang menatap Sheila terkesima. 

Degup jantung Sheila berdebar kuat. Ada yang aneh, di balik rasa bahagia yang menggebu terselip keresahan di hatinya.

"Baik, mari kita mulai," kata Pak Penghulu.

Ayah Sheila mulai mengulurkan tangan dan Bryan dengan mantap menjabat uluran tangan itu.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Bryan Darmawan bin Hasan Darmawan Almarhum dengan anak saya bernama Sheila Annatasya binti Herman Kurniawan dengan mas kawin senilai delapan juta rupiah dibayar tunai."

"Saya ter──"

"Hentikan!"

Rasanya, jantung Bryan berhenti berdetak, wajahnya memucat. Semua orang di sana berdiri ketika melihat Bara datang mengagetkan semua orang. 

Bara berjalan gagah menampakan raut wajah sangar yang tengah menahan emosi. Pandangannya tak lepas dari Sheila. 

"Bryan, apa kau lupa perjanjian kita?!" sindir Bara. 

Hampir semua orang yang mendengarnya mengerutkan kening diiringi tanda tanya besar.

Bryan menelan ludah berat. Tenggorokannya tercekat. Darimana Bara tahu jika pernikahannya diadakan sekarang?

"Kau lupa Bryan? Sainganmu ini bukan orang sembarangan!" tegas Bara melipat tangan.

Sheila menatap Bryan kemudian beralih pada Bara. Sesungguhnya apa yang terjadi? 

Bara mendekat lalu mencengkeram kerah Bryan membuat tubuh keduanya hanya berjarak satu jengkal. 

Seringaian jahat terbit di wajah Bara. "Kau cerdik, tapi saya licik Bryan. Bisa-bisanya kau ingin menikah dengan Sheila, sementara Sheila menjadi jaminan atas hutangmu!" kelakar Bara kesal menghempas tubuh Bryan ke samping hingga membentur meja. 

Sheila tercengang, "Hutang?" tanyanya bingung.

Bryan menunduk lemah. Lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan.

Herman menatap nyalang Bryan yang diam seperti pengecut.

"Kau ini! Beraninya menjadikan putriku sebagai jaminan! Kurang ajar sekali kau Bryan!" seru Herman kecewa, dadanya naik turun beriringan dengan emosi yang menderu. 

"Ayah, Bryan pasti memiliki alasan mengapa dia melakukan ini," bela Sheila mengusap lengan ayahnya memberi ketenangan. Meski dirinya juga syok atas tindakan Bryan.

"Bryan, jelaskan sejujurnya," pinta Laras menengahi di atas ketegangan yang menguasai.

Bryan menghembuskan napas berat. "Saya terpaksa melakukan ini. Memang benar, saya meminjam uang pada Bara. Saya menggunakannya untuk biaya operasi Ibu saya. Saya berjanji akan membayarnya, tapi Bara bersikeras menginginkan Sheila menjadi jaminannya."

Hening sesaat. Semua pasang mata tertuju pada Bryan. 

"Saya sudah menolak namun, di sisi lain saya butuh uang itu segera. Demi keselamatan ibu saya," jelas Bryan pilu membuat Sheila trenyuh mendengarnya.

Sedangkan Bara justru berdecak malas, ini terlalu mengulur waktu. Apa susahnya tinggal berkata iya dan memberikan Sheila padanya.

Ibu Bryan yang duduk di kursi roda, merasa bersalah sekaligus benci pada dirinya. Menurutnya, akar dari masalah ini adalah dia. 

"Harusnya ibu mati saja Bryan agar tidak menyusahkan kamu!" sesal Santi, dia bisa berbicara namun kaki dan tangannya masih belum bisa berfungsi normal.

Bryan menggeleng kuat, dia bersimpuh di kaki ibunya. "Jangan katakan itu, Bu. Aku tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya," ucap Bryan membuat Santi terisak. Syifa adiknya, memeluk ibunya erat.

"Jangan ambil Sheila dari saya!" seru Bryan.

Alih-alih terpancing, Bara justru memandang remeh. "Mudah saja, kau harus melunasi hutang itu sekarang," balas Bara telak.

"Saya tidak memberi batas waktu dalam perjanjian kita. Jadi, terserah saya mau menagihnya kapan saja," lanjut Bara santai.

Bryan menggeram emosi. "Anda keterlaluan Bara, bahkan saya rasa uang itu tidak ada harganya bagi anda," balas Bryan sengit.

"Karena tujuan saya adalah memiliki dia! Saya mencintainya dan saya ingin Sheila menjadi istri saya!" tegas Bara menunjuk Sheila sementara Sheila ketakutan dan mundur beberapa langkah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Cinta CEO Posesif   58. Harap-Harap Cemas

    Lampu tidur berwarna kuning temaram menyorot wajah Sheila yang pucat.Perlahan, matanya terbuka. Napasnya berat, perutnya masih terasa mual, tapi yang membuat dadanya sesak bukan lagi rasa sakit itu.Tempat di sampingnya ternyata kosong.Selimut yang biasanya hangat masih terlipat rapi, tak ada jejak Bara di sana.Dia berbisik pada dirinya sendiri, suaranya serak. “Mas Bara?”Sheila duduk pelan, menahan diri agar tidak pusing. Tapi hatinya justru makin berdebar. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 01.11 dini hari.Bara selalu pulang sebelum tengah malam, bahkan ketika sedang sibuk sekalipun.Dengan langkah goyah, Sheila berdiri lalu membuka pintu kamar, berjalan menyusuri koridor yang panjang dan senyap. Hanya terdengar suara jam antik berdetak pelan di ruang tamu.Sheila menghampiri salah satu penjaga yang berjaga di depan pintu kaca.“Pak, Mas Bara di mana?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.Penjaga itu menatapnya bingung. “Tadi pas tengah malam saya lihat beliau keluar, B

  • Jerat Cinta CEO Posesif   57. Janji dan Luka

    Kayla duduk di kafe tempat biasa mereka bertemu. Matanya menerawang jauh, sendok di tangannya sudah dingin sejak tadi, sementara Bryan di hadapannya memperhatikannya dengan cemas.“Kamu masih kepikiran Sheila, ya?” tanya Bryan akhirnya.Kayla menghela napas panjang. “Aku cuma… merasa bersalah. Dia sampai dirawat di rumah sakit setelah makan kue yang aku bawa. Padahal aku cuma pengin nyenengin dia.”Bryan menatapnya lama. “Sheila bukan tipe orang yang gampang salah paham. Tapi Bara…” dia berhenti sejenak, rahangnya mengeras, “Bara itu terlalu protektif. Kadang buta karena rasa sayang.”Kayla menatap Bryan pelan. “Kamu… masih peduli sama dia, ya?”Pertanyaan itu membuat Bryan terdiam. Hujan rintik-rintik mulai turun, dan di antara suara rintiknya, suaranya terdengar pelan namun jujur, “Aku cuma… gak pernah benar-benar berhenti khawatir tentang dia. Dulu aku gagal jagain dia, Kay.”Kayla menunduk. Ada perih yang tak bisa dia jelaskan di dadanya. Tapi sebelum dia sempat menanggapi, ponsel

  • Jerat Cinta CEO Posesif   56. Penyusup

    Hujan turun lembut malam itu menimpa jendela kamar dengan suara yang menenangkan. Sheila terbaring di ranjang besar, wajahnya pucat tapi damai. Di sampingnya, Bara duduk tenang, menggenggam tangan istrinya seolah takut kehilangan sentuhan itu lagi.Selimut hangat menutupi tubuh Sheila hingga dadanya. Bara menatapnya lama — setiap tarikan napas Sheila terasa seperti doa yang diam-diam dia panjatkan. Sesekali, jari-jarinya membenarkan helaian rambut yang jatuh di dahi istrinya.“Shei…” bisiknya pelan, “Aku janji, gak akan ada lagi yang bisa nyakitin kamu.”Sheila membuka mata, menatapnya samar di bawah cahaya lampu.“Mas belum tidur?” suaranya lirih.Bara menggeleng, tersenyum tipis. “Gak bisa. Aku mau pastiin kamu nyaman dulu.”Dia membantu Sheila duduk pelan, menyandarkannya ke bantal besar. Lalu mengambil mangkuk kecil berisi bubur hangat yang tadi dia buat sendiri — sederhana, tapi penuh perhatian.“Ayo makan sedikit. Kamu belum makan dari sore.”Sheila menatap mangkuk itu, lalu men

  • Jerat Cinta CEO Posesif   55. Siapa Dalangnya?

    Suasana koridor rumah sakit hening. Beberapa perawat berhenti berjalan, menatap dari kejauhan. Kayla mulai menangis, tapi Bara tetap berdiri tegak, suaranya rendah tapi penuh luka.Kayla menatapnya dengan mata berair. “Bara, dengar aku dulu… aku nggak—aku nggak tahu ada apa dengan kue itu. Tapi aku bikin sendiri dan bisa aku pastiin gak ada bahan berbahaya karena sebelum aku kasih ke Sheila aku udah nyicipin dan aku baik-baik aja," jelas Kayla jujur. Bara diam, dadanya naik turun cepat. Dalam hatinya, setengah bagian ingin percaya — tapi sisi lain sudah tertelan ketakutan dan marah."Lagi pula mana ada penjahat yang mau ngaku Kayla?! Jelas-jelas kue itu beracun. Kayla hanya terisak, mencoba bicara di sela tangisnya.“Aku akan bantu cari tau siapa pelakunya.”Bara menatapnya sekali lagi — kali ini dengan tatapan yang bukan hanya marah, tapi juga hancur.“Jangan pura-pura peduli, Kayla. Orang yang benar-benar peduli… tidak akan mebawa bahaya ke pintu rumah kami.”"Sumpah demi apa pun

  • Jerat Cinta CEO Posesif   54. Racun

    Sheila sedang menata sarapan di meja makan. Gerakannya pelan, tapi senyum kecil sempat muncul di sudut bibirnya—hari ini dia ingin Bara berangkat kerja dengan hati tenang.Namun baru saja dia hendak mengambil piring di rak atas, sebuah tangan besar langsung menahan pergelangan tangannya.“Shei, duduk aja. Aku yang ambil,” suara Bara lembut, tapi tegas.Sheila terkesiap kecil. “Mas, aku cuma mau—”“Nggak usah. Kamu kan lagi hamil.”Bara mengambil piring itu dengan cepat lalu menaruhnya di meja. Seolah benda seberat itu bisa menjatuhkan dunia kalau Sheila yang menyentuh.“Mas… aku nggak selemah itu,” ucap Sheila setengah tertawa, mencoba mencairkan suasana.Bara menatapnya lama. Tatapan yang dulu selalu menenangkan, kini terasa penuh kekhawatiran. “Aku cuma nggak mau ambil risiko. Sekecil apa pun, Sayang." Dia mengecup lembut kening Sheila. Sheila menunduk, jari-jarinya mengusap meja tanpa arah. “Aku tahu kamu khawatir. Tapi aku juga ingin tetap merasa berguna, Mas. Aku pengen bantu h

  • Jerat Cinta CEO Posesif   53. Hampir Terluka

    Sheila memandangi kotak makan siang yang dia siapkan sepenuh hati. Hari ini dia ingin memberi kejutan kecil untuk Bara. Sheila merasa harus menghangatkan suasana. Dia tahu Bara suka dengan masakannya—terutama udang keju buatan Sheila sendiri.Saat sampai di gedung kantor, beberapa pegawai menunduk sopan. Sheila hanya tersenyum tipis, masih gugup setiap kali masuk ke ruang lingkup dunia suaminya. Dia melangkah pasti ke lantai tujuh, tempat Bara biasa menghabiskan waktu di balik meja kerja dan layar laptopnya.Pintu ruang kerja Bara terbuka sedikit. Sheila hendak mengetuk, namun langkahnya terhenti saat melihat sesuatu dari celah pintu. Seorang wanita—sekretaris Bara sedang membungkuk, membantu Bara mengambil map yang jatuh dari meja. Posisi mereka terlalu dekat. Terlalu lama. Dan ekspresi wanita itu… bukan profesional. Lebih ke… lembut. Menggoda.Sheila mengetuk pintu dua kali—pelan tapi cukup terdengar. Bara menoleh cepat. Sekretaris itu buru-buru berdiri tegak. Sheila membeku di temp

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status