Bara berada di ruang olahraga miliknya yang terletak di lantai dua. Dia terus meninju samsak di depannya secara brutal. Bara tidak habis pikir, Sheila begitu keras kepala. Alih-alih meminta maaf, Sheila terus menyanggah ucapannya.
"Argh!" teriaknya.
"Sheila ... Apa sesulit itu kau membalas perasaanku?" erang Bara frustasi. Jujur saja dia belum pernah jatuh hati sedalam ini.
Bara berhenti dengan napas yang terengah-engah. Pelampiasannya cukup berpengaruh, emosinya perlahan mereda. Matanya terpejam lama merasakan butiran keringat menetes ke lehernya.
Perasaannya mulai tenang. Bara akui dirinya egois karena terlalu menuntut Sheila. Harusnya dia sadar perasaan tidak bisa dipaksa secepat yang dia inginkan.
"Aku harus sabar, ini hanya masalah waktu," gumamnya.
Bara berdiri dan berjalan cepat menemui Sheila yang berada di kamar utama lantai tiga.
Bara memegang kenop pintu sembari mengayunkannya pelan.
"Shei," panggil Bara lembut.
Pandangan Bara menyapu ke seluruh penjuru, tapi Sheila tidak ada. Bara menapakkan kakinya masuk, samar-samar terdengar suara gemericik air.
"Buka pintunya." Bara mengetuk pintu kamar mandi yang terkunci.
Tidak ada sahutan.
"Sheila!" bentak Bara terus menggedor pintu kuat.
"Buka, Shei!" gertak Bara panik kepalanya dipenuhi pikiran buruk jika Sheila pingsan.
Bara mengambil ancang-ancang lalu menendang pintu itu hingga engselnya terlepas. Sheila berdiri di bawah guyuran air shower. Kaos putih yang dipakai Sheila tembus pandang.
Sial! Bara menelan ludahnya susah payah, ada yang menonjol di balik kaos itu ditambah Sheila tidak memakai bra. Miliknya yang di bawah menegang melihat tubuh Sheila yang masih terbalut kain.
Dengan langkah tegas Bara mematikan shower yang mengguyur Sheila, dilihatnya wajah pucat Sheila serta mata sayu dan sembab perempuan itu. Miris.
Bara mengelus pipi Sheila, sorot matanya melembut dan teduh.
"Kau sedang sakit, apa kau lupa? Jangan menghukum dirimu seperti ini," ucapnya.
"Kumohon ... pergilah. Tinggalkan aku sendiri," pinta Sheila parau.
"Tidak!"
Bara melepas paksa baju basah Sheila membuat sepasang gundukan kenyal itu menggantung indah saat ini. Sheila melotot kaget.
Bara tak berkedip mengagumi lekuk tubuh Sheila yang menjadi candu baginya, dia benar-benar dikuasai nafsu. Belum sempat Sheila menutupi dadanya dengan tangan. Bara telah merendahkan tubuhnya.
"Akh!" jerit Sheila ketika Bara melahap bagian atas dari dadanya, lidah Bara menjilatnya lalu memutarinya membuat Sheila menjambak rambut Bara. Sengatan kenikmatan menggerogoti tubuhnya membangkitkan gelora panas dalam dirinya. Bara terus menghisapnya rakus. Sheila lemah dalam permainan lidah dan tangan Bara. Dia jatuh dalam kenikmatan surga dunia.
"Bara ...." Satu desahan keluar dari bibir Sheila. Bara semakin bersemangat, dia mengangkat tubuh Sheila membuat Sheila mengaitkan kakinya di pinggang Bara. Sisi lain dalam tubuh Sheila menginginkan lebih.
Bibir seksi Bara terus mencium dadanya, lidah Bara dengan lihai bergerak naik menyarangkan kecupan di leher Sheila. Mencium sudut bibir Sheila kemudian menuju ke rahang dan menggigit kecil telinga Sheila.
Sheila berusaha berfikir jernih, kenikmatan ini tidak boleh menelan kesadarannya. Dia mendorong kepala Bara agar tidak menciumi dirinya.
"Bara! Cukup!" Teriakan Sheila membuat Bara mengakhiri sentuhan dan kecupannya. Bara mendongak masih dengan mata yang berkabut gairah. Dia melayangkan tatapan bingung ke arah Sheila.
"Apa tujuanmu menikahiku? Apa karena tubuhku? Demi memuaskan nafsumu?!" Rasa marah dan sesak bersatu di hati Sheila. Air matanya luruh tetapi, tersamarkan oleh air yang masih membasahi wajahnya.
"Memiliki nafsu itu manusiawi, Shei. Tidak usah naif, jika kau juga merasakan kenikmatan luar biasa," kata Bara mengusap bibir Sheila yang bergetar menahan isakannya.
Sheila merunduk lemah membuat Bara menyesali ucapannya.
"Bukan itu maksudku. Maaf, aku kehilangan kontrol diri."
Bara memeluk Sheila lalu melilitkan handuk ke tubuh Sheila. Tangannya naik menghapus jejak air mata istrinya. Bara mencium kelopak mata Sheila bergantian.
"Sekali lagi maaf, aku banyak membuatmu tertekan."
"Harusnya aku mengerti, kau juga butuh waktu untuk menerima ini," jelas Bara pengertian. Hati Sheila tenang. Sikap Bara yang seperti ini benar-benar membuatnya merasa dihargai. Sheila tidak ingin dianggap sebagai perempuan pemuas nafsu.
**
Sheila mengusap rambut hitam legam Bara. Lengan kekar Bara masih setia memeluknya, seolah Sheila akan hilang jika Bara melepasnya. Sheila mengulum senyum, sambil menyentuh otot-otot di tangan Bara. Diam-diam dia mengagumi Bara yang pandai merawat tubuhnya.
Pria ini begitu gagah dan menawan. Paras Bara terlihat damai ketika tidur, mata yang biasa menatapnya dengan sorot tajam itu tertutup rapat.
"Shei," panggil Bara serak merasakan sentuhan di rambutnya.
"Kau terbangun?" Perlahan mata Bara terbuka sempurna.
"Butuh sesuatu? Kau ingin apa?" tanya Bara lembut membuat Sheila hanyut dalam sikap hangat Bara.
"Aku ingin melihat bintang," kata Sheila menatap langit-langit kamar.
Sheila beranjak dari kasur menuju balkon membuat
Bara segera mengikuti Sheila dari belakang. Kedua tangannya melingkar memeluk pinggang Sheila. Dia membenamkan wajahnya di ceruk leher Sheila. Jujur, Bara sangat mengantuk, matanya terasa berat.
"Kamu harus menatap langit, cuacanya cerah dan bintangnya terlihat jelas," ucap Sheila dengan binar cerah di matanya.
Bara melihat ke angkasa sebentar, ia lebih memilih mengamati wajah Sheila yang tengah tersenyum dari samping. Bagi Bara, Sheila adalah pemandangan yang tiada tandingannya.
"Bara lihat! Ada bintang jatuh," tunjuk Sheila ke langit. Kilatan cahaya meluncur panjang dalam kegelapan.
"Buat permintaan, Bara!" pinta Sheila antusias.
"Itu hanya mitos," sahut Bara berat dan rendah.
"Ayolah!" Sheila menggoyangkan lengan Bara membuat Bara mendengus tetapi, menurutinya.
"Aku ingin menjadi lelaki yang paling dicintai Sheila selain ayahnya," ucap Bara yakin sembari memejam.
Sheila menoleh. "Aku harap begitu."
Bara terkejut, Sheila mengiyakan? Bara dengan cepat membalikan tubuh Sheila.
"Kau mulai menyukaiku?"
Sheila panik dan gugup, dia merutuk ucapannya. Padahal Sheila hanya akan membatin tapi ternyata pikiran dan mulutnya tidak sejalan.
"Shei, boleh?" telunjuk Bara menyentuh bibir merah muda Sheila. Kantuk yang menderanya mendadak lenyap.
"Tidak. Nanti bibirku bengkak," tolak Sheila.
Bara tersenyum tipis, "Janji pelan-pelan," kata Bara menatap lembut Sheila.
Sheila sudah menutup mata menunggu Bara menempelkan bibirnya. Namun, Bara justru mendekapnya erat. Bara juga menumpukan dagu di atas kepala Sheila.
"Tetap di pelukanku, Shei," ucap Bara tulus mencium puncak kepala Sheila.
**
Sheila menggeliat meregangkan tangannya. Dia menoleh pada jam dinding. Tatapannya beralih pada Bara, pinggangnya berat karena semalaman Bara terus merengkuhnya erat. Tidak memberi jarak di antara tubuh mereka.
"Bara, bangun," bisik Sheila.
Bara tidak menyahut, sebenarnya Bara sudah bangun dari tadi. Hanya saja, dia ingin Sheila membangunkannya.
Sheila menoel hidung Bara berkali-kali. "Kamu harus bangun dan bersiap."
"Lima menit lagi, Shei," tawar Bara menaikan selimutnya beralih posisi memunggungi Sheila.
Sheila menghembuskan napas kasar. "Nanti kamu telat ke kantor," protes Sheila menarik selimut Bara.
"Cium dulu." Bara memajukan bibirnya.
Sheila menggeleng lucu membuat Bara merengut dan alisnya hampir menyatu.
"Cium dulu, baru aku bangun," kata Bara memejam lagi.
Sheila mengalah, dia mendekat lalu mendaratkan kecupan singkat. Namun, yang Sheila dapat justru tatapan sinis dari Bara.
"Apa?" tanya Sheila menahan tawa.
"Bukan di situ! Di sini!" Bara menunjuk bibirnya. "Jika tidak mau, aku akan mengajakmu bermain kuda-kuda'an," kekeh Bara.
Sheila bersemu, dia refleks mengangkat guling──memukul kepala Bara.
“Argh! Ampun Shei!”
Sheila menghentikan aksinya dia menatap Bara ragu. "Bara, aku ingin ke rumah Kayla. Apa aku boleh ke sana?" tanya Sheila. Raut wajah Bara berubah dingin membuat Sheila berdebar.
"Setelah kejadian dua hari lalu kau pikir aku akan me──"
Bara terkejut ketika Sheila menangkup rahang tegasnya seraya mengecup bibirnya kilat.
"Sudah berani sekarang, hm?" tanya Bara menaikan sebelah alisnya menggoda Sheila. Dia tidak jadi marah karena perlakuan Sheila. Meskipun hanya singka tapi Bara menyukainya. Itu berarti Sheila mau membuka hati untuknya.
"Aku bosan," adu Sheila merasa jenuh terus menerus berada di rumah.
"Kau baru saja sembuh."
"Kalau begitu, aku akan ikut ke kantormu," pinta Sheila.
"Mau bertemu Bryan? Iya?" tuding Bara galak.
Sheila menegang, raut wajahnya panik seketika. "Tidak! Aku ingin merasakan suasana yang berbeda," jelas Sheila.
"Bohong," Bara menoel hidung Sheila.
"Aku tidak mengizinkanmu keluar, Shei dengan alasan apapun itu. Aku tidak mau kehilanganmu lagi!" tegas Bara.
"Barbar posesif!" teriak Sheila.
"Iya! Kamu benar 100 persen!" balas Bara menyingkap selimut lalu turun dari ranjang
Sheila memandangi kotak makan siang yang dia siapkan sepenuh hati. Hari ini dia ingin memberi kejutan kecil untuk Bara. Sheila merasa harus menghangatkan suasana. Dia tahu Bara suka dengan masakannya—terutama udang keju buatan Sheila sendiri.Saat sampai di gedung kantor, beberapa pegawai menunduk sopan. Sheila hanya tersenyum tipis, masih gugup setiap kali masuk ke ruang lingkup dunia suaminya. Dia melangkah pasti ke lantai tujuh, tempat Bara biasa menghabiskan waktu di balik meja kerja dan layar laptopnya.Pintu ruang kerja Bara terbuka sedikit. Sheila hendak mengetuk, namun langkahnya terhenti saat melihat sesuatu dari celah pintu. Seorang wanita—sekretaris Bara sedang membungkuk, membantu Bara mengambil map yang jatuh dari meja. Posisi mereka terlalu dekat. Terlalu lama. Dan ekspresi wanita itu… bukan profesional. Lebih ke… lembut. Menggoda.Sheila mengetuk pintu dua kali—pelan tapi cukup terdengar. Bara menoleh cepat. Sekretaris itu buru-buru berdiri tegak. Sheila membeku di temp
“Shei?” panggil Bara pelan sambil membuka pintu kamar mereka.Sheila membalikkan badan. Gaun warna silver yang membalut tubuhnya berkilau lembut di bawah cahaya lampu. Bara terdiam sejenak—terpukau oleh pesona wanita yang telah mengisi ruang hatinya dengan begitu dalam. Dia merasa seperti pria paling beruntung di dunia karena memiliki Sheila seutuhnya.Tanpa banyak kata, Bara melangkah mendekat. Tangannya menyentuh lembut pinggang Sheila dan menariknya pelan hingga tubuh mereka hanya berjarak sejengkal.“Kau selalu berhasil membuatku terkesan dengan penampilanmu, Shei,” bisiknya seraya menatap mata Sheila dalam-dalam, seolah ingin merekam setiap detiknya.Sheila hanya tersenyum tipis, lalu membenarkan kerah kemeja Bara yang terlipat tidak rapi. Sentuhannya begitu lembut selembut angin malam.“Itu karena cintamu yang besar padaku,” balas Sheila dengan suara rendah namun sarat makna.Bara menunduk dan mencium kening Sheila dengan penuh kasih. Lama, hangat, dan tulus.“Aku sudah berjanj
"Tolong ...." rintih Sheila lemah, satu tangannya menekan luka di perutnya dengan perasaan putus asa. Darah terus mengalir dari sana membuat wajah Sheila begitu pucat. Dia berusaha menyeret tubuhnya untuk mencari pintu keluar."Saat kau menemukan jalan keluar, semuanya sudah terlambat Sheila. Kau akan mati kehabisan darah!" seru sosok itu tanpa belas kasihan."Mas Bara tolong aku ... sakit Mas, ini sakit ..." ucap Sheila perih.Bara terbangun mendengar rintihan Sheila. Dia melihat wajah Sheila sudah dipenuhi dengan peluh keringat. "Astaga." Istrinya pasti sedang bermimpi buruk. "Shei, bangun... sayang buka matamu, aku di sini," ucap Bara tenang tepat di samping telinga Sheila.Sheila tersadar, tangisnya pecah saat melihat Bara ada di dekatnya. Dia langsung memeluk leher Bara erat. Hanya mimpi namun terasa begitu nyata. Sheila terisak di pelukan Bara."Tenang, Sayang. Aku tidak akan membiarkan satu orang pun melukaimu dan calon anak kita. Memangnya mimpi apa tadi?'' Sheila semakin m
Monica membuka pintu apartemen setelah mendapat telfon dari Kevin. Saat pria itu akan melangkah masuk, dia menahan tubuh Kevin. Matanya memicing melihat Kevin menyunggingkan senyum penuh arti."Mau apa?" ketus Monica."Aku kemari karena merindukanmu Mona. Apa aku tidak boleh masuk?" rayu Kevin menyentuh pipi Monica membuat wanita itu menyingkir.Kevin langsung menyandarkan tubuhnya di sofa dengan kaki di angkat ke atas meja. Seolah-olah tempat ini adalah miliknya. "Ambilkan aku minum," pintanya.Monica menatap sinis Kevin yang semena-mena padanya."Gunakan tangan dan kakimu yang masih berfungsi itu. Kau pikir aku pelayan?!" sahut Monica kesal, ia paling benci disuruh-suruh.Kevin menghela napas berat. "Kau tau apa kabar paling indah hari ini?""Apa?""Aku bertemu Sheila tadi, dia sangat cantik tidak heran bila Bara mencintainya," puji Kevin sambil tersenyum membayangkan paras Sheila. Pesona istri orang memang luar biasa, batinnya. "Cantik? Apa matamu rusak?!" maki Monica. Mendengar
Sheila mendesah pelan di sela ciuman mereka. "Uh, Barbar," lenguhnya saat bibir Bara menjelajah ke lehernya dengan gerakan tangan yang terus meraba punggungnya. Bara yang sudah diselubungi gairahnya langsung menggendong Sheila seperti koala. Dia membawa Sheila ke ranjang tanpa melepas ciuman panasnya. Bara membaringkan Sheila lalu menindihnya. Menciumi Sheila liar hingga suara kecapannya terdengar menggema di kamar ini."Huh." Bara menyudahi aksinya pria itu tersenyum melihat wajah Sheila yang memerah. Ekspresi Sheila saat ini begitu seksi dengan bibir terbuka dan mata sayu yang membuat Bara tidak tahan untuk menyerang bibir ranumnya lagi.Sheila mengusap rahang tegas Bara. Dia menyentuh dada bidang Bara lalu membalikkan posisi, Sheila menumpukan wajahnya di sana.Bara menjengitkan sebelah alisnya saat Sheila tidak melakukan apa-apa dan hanya memandangnya kagum.Tangan Bara sudah menyusup ke punggung Sheila melepaskan kaitan branya. Sedangkan Sheila tersenyum malu dengan reaksi tidak
Elisa menghembuskan napas berat setelah mendengar pertanyaan Bara. Sejujurnya, dia masih kesal dengan Sheila yang secara tidak langsung mengubah sikap Bara. Namun, demi putra kesayangannya, ia berusaha untuk lapang dada."Panggil Sheila ke sini," pintanya dengan suara parau.Bara mengangguk lalu berjalan keluar. Sheila bangkit dari duduknya saat Bara membuka pintu."Gimana kondisi Mama?" tanyanya dengan sorot mata cemas."Mama cari kamu, Shei." Ucap Bara membuat Sheila terdiam.Bara menggenggam tangan Sheila yang meragu, dia tahu terselip ketakutan di benak istrinya."Aku boleh masuk?""Iya. Gak apa-apa, Sayang," ucap Bara menatap Sheila teduh.Sheila dan Elisa saling bersitatap membuat Sheila merunduk takut dan tanpa sadar mengeratkan genggamannya. Elisa tersenyum melihat keduanya. Jika diperhatikan, mereka memang sangat serasi. Kenapa dia baru menyadarinya?"She, kemari lebih dekat. Jangan takut," pinta Elisa lembut. Sheila menoleh sebentar pada Bara dan lelaki itu membawa Sheila m