Mag-log inKalimat itu membuat aliran darah Sheila berdesir. Dadanya berdebar, sebuah rasa yang menghadirkan kebimbangan di benaknya. Sheila menahan napas ketika Bara semakin merunduk bahkan hampir menyentuh bibirnya.
"Tuan, hari ini ada rapat pen──"
Anton berhenti berbicara ketika dia hampir masuk ke kamar Bara. Matanya melebar, Anton menelan ludahnya kasar. Pria itu segera berbalik badan.
Refleks, Sheila berapaling muka sedangkan
Bara segera menegakkan punggungnya.
"Siapa yang menyuruhmu masuk? Kenapa tidak mengetuk pintu?" gertak Bara dengan intonasi suara beratnya. Dari kerutan yang kentara di dahinya──jelas menunjukan jika Bara marah karena momen romantisnya terganggu.
"Ma-maaf, saya lancang Tuan, tapi pintu ini tidak ditutup tadi." Anton tergagap, aura Bara mengintimidasinya.
Bara mendengus, dia beralih menatap Sheila hangat sembari mengusap puncak kepala Sheila.
"Aku tinggal dulu, hanya sebentar, Shei," ucap Bara lembut.
Sheila mengangguk kecil. Dalam hati Sheila sangat berterima kasih pada Anton yang datang tepat waktu. Jika tidak, Sheila tidak tahu bagaimana selanjutnya.
Bara berjalan menghampiri Anton. Tangannya menarik kenop pintu dan menutupnya.
"Lain kali jangan lakukan itu!" peringat Bara menatap tajam Anton.
"Maaf Tuan, saya lupa jika anda telah memiliki pasangan," sesal Anton.
Bara menyilangkan kedua tangan. "Saya ingin kamu mengatur ulang jadwal saya. Kosongkan jadwal hari ini. Saya ingin merawat Sheila, dia sedang sakit," perintah Bara tegas.
"Tapi rapat ini penting, Tuan," kata Anton mengingatkan.
"Maksud kamu Sheila tidak penting?" tanya Bara emosi.
Anton terdiam, dia jadi serba salah di depan Bara.
"Dia lebih penting dari segalanya!" tegas Bara membuat Anton menyesal mengatakan kalimatnya tadi.
"Baiklah Tuan, saya akan handle semuanya," pungkas Anton.
"Seharusnya memang begitu kan?" sinis Bara.
Anton mengangguk. "Permisi," pamitnya lalu melenggang pergi.
Bara mengamati Anton yang turun dari tangga, dia teringat sesuatu.
"Oh, iya, waktunya Sheila sarapan," gumam Bara.
Bara menjentikkan jari, dia melangkah turun menuju dapur berinisiatif membuat makanan untuk Sheila.
Bara mulai mengambil beras, lalu mencucinya.
"Ada yang bisa saya bantu Tuan?" salah satu Pelayan menghampiri Bara.
Bara mengambil panci──memasukan beras lalu menuangkan air.
"Tidak, aku ingin memasaknya sendiri, untuk istriku tercinta," jawab Bara tersenyum.
Bara mengernyit, sejak kapan dia menjadi lebay seperti ini? Itu pasti karena Sheila. Wanita itu benar-benar membuat sisi lain Bara muncul sendirinya. Ternyata orang kasmaran itu semenyenangkan ini.
Pelayan itu ikut tersenyum. "Baiklah Tuan, jika nanti Tuan butuh bantuan, panggil saya," pungkas Pelayan berseragam hitam putih itu.
"Hm," gumam Bara.
Bara terus mengaduknya, dia menambahkan sedikit garam. Aromanya menguar, sekian menit berlalu.
Ketika dirasa matangnya sudah pas, Bara mematikan kompor. Dengan hati-hati dia memindahkan bubur itu ke dalam mangkuk.
Senyum manis terus menghiasi wajah Bara yang berjalan membawa nampan berisi bubur buatannya. Perasaan bangga melingkupi dirinya. Setelah ini Sheila pasti akan memujinya lantaran menjadi suami siaga sekaligus perhatian.
Dia memang suami idaman!
"Sheila, aku buatkan bubur untukmu," ucap Bara sampai di kamar.
Bara langsung menaruh nampannya di nakas dan bergegas mendekati Sheila yang menurunkan kakinya dari ranjang.
"Mau kemana, Shei?" tanya Bara cemas memegang Sheila yang tampak lemas.
"Aku mau ke kamar mandi," jawab Sheila yang berusaha berdiri namun kepalanya terasa pusing.
"Mau apa?" Sheila menghalau Bara dengan tangannya terselip nada waspada
"Menggendongmu sayang," jawab Bara.
Tanpa persetujuan Sheila, Bara langsung mengangkat tubuhnya.
"Apa gini-gini?" tanya Bara lalu menirukan bibir Sheila yang manyun.
"Apa sih! Bukan apa-apa!" kilah Sheila, pipinya merona.
Bara menurunkan Sheila pelan, Sheila hendak menutup pintu tapi Bara tak kunjung keluar.
"Kenapa masih di sini?" protes Sheila, ia sedikit menghentakan kaki.
"Keluar," usir Sheila mendorong Bara.
"Nanti kau butuh bantuan," ucap Bara.
"Tidak!" seru Sheila menutup pintu.
Bara terkekeh geli, dia berdiri di depan pintu menunggu Sheila keluar. Sheila berjalan tertatih membuat Bara berniat menjahili Sheila.
"Shei, kau seperti orang pincang," sindir Bara.
Sheila memperhatikan cara jalannya. Wajahnya memerah karena malu. "Terus daja ketawa, ejek aja aku terus!" kesal Sheila.
"Awas Shei, nanti tandukmu keluar," ejek Bara tertawa.
Di sisi lain Sheila merasakan mual, seperti ada yang menekan perutnya kuat ia tidak tahan lagi.
"Huwek!"
Sheila muntah mengenai baju Bara. Dia dengan cepat menutup mulutnya dengan dua tangan.
"Maaf," cicit Sheila takut Bara akan memarahinya.
Bara sempat terkejut namun dia bersikap biasa saja.
"Tidak apa Shei," Bara melepas bajunya.
Pria itu bertelanjang dada saat ini. Jantung Sheila berdebar melihat tubuh kekar Bara. Perut sixpack, serta lengan kekar Bara. Astaga! Kenapa Bara sangat menawan?
"Jangan-jangan kau hamil," cetus Bara membuat Sheila melotot.
Pandangan Bara turun pada perut rata Sheila lalu mengusapnya.
Sheila mencubit hidung Bara, ingin rasanya menyentil otak Bara. Hey, tidak masuk akal secepat itu.
"Kamu ini ngawur! Tidak mungkin! Ini pasti efek sakit," kilah Sheila.
"Kalau begitu ... aku akan melakukannya lagi agar kau cepat hamil," kata Bara semangat.
"Dasar mesum!" rutuk Sheila memukul lengan Bara.
"Mesum sama istrinya sendiri tidak boleh?" goda Bara menatap Sheila dari ujung rambut hingga kaki.
Sheila mencebik. "Beri aku waktu Bara," pinta Sheila lemah.
"Aku hanya bercanda," kekeh Bara.
Bara mengambil mangkuk buburnya, ia kembali duduk di sisi Sheila.
"Aku tidak mau, perutku mual," tolak Sheila menutup mulutnya.
"Tapi kau harus tetap makan," bujuk Bara.
Sheila menggeleng.
"Kau harus minum obat sebelum makan dulu," perintah Bara membuka bungkus obat untuk Sheila.
Sheila lantas menelan pil obat itu sembari meminum air putih.
"Makan ya, sedikit saja," pinta Bara mengarahkan sendok ke mulut Sheila.
Sheila masih enggan membuka mulut membuat Bara menurunkan sendoknya.
"Shei, apa kau tidak kasihan padaku? Aku yang membuat ini? Apa kau tidak mau mencicipinya?" tanya Bara dengan wajah memelas yang membuat Sheila iba.
Sheila lalu menerima suapan bubur itu, namun hanya sampai tiga sendok saja.
"Sudah cukup," kata Sheila.
Bara lalu meletakan mangkuk bubur itu, ia tidak ingin memaksa. Setidaknya perut Sheila terisi walau sedikit.
Ponsel Sheila berdenting, Sheila lantas meraihnya.
"Mama," gumam Sheila namun
Bara langsung merebut ponsel Sheila.
"Bara, jangan diambil!" seru Sheila.
"Aku hanya memastikan, pesan masuk itu dari siapa," kata Bara dingin.
Yang masuk memang pesan dari Laras tapi Sheila lupa belum menghapus riwayat chat-nya bersama Bryan. Habislah dia jika Bara membacanya.
"Bara, kembalikan!" pinta Sheila berdiri berusaha menjangkau ponselnya yang diangkat tinggi oleh Bara.
"Harusnya jika tidak ada apa-apa, kau tidak perlu takut, Shei," balas Bara.
Sikapmu yang berlebihan membuatku curiga.
Bara diam ketika dia melihat kontak Bryan. Seketika emosinya membuncah.
"Ternyata kau masih menyimpan kontak Pria payah itu! Kenapa kau tidak menghapusnya?" geram Bara.
Bara semakin terkejut saat membaca pesan dari Sheila untuk Bryan.
"Kamu berencana untuk kabur dariku dengan dia?! Kau keterlaluan Shei!" kelakar Bara membanting ponsel Sheila. Layar ponsel itu retak, terhempas ke lantai.
"Bara dengarkan aku!" pinta Sheila memegang lengan Bara.
Bara menatap nyalang Sheila.
"Apa yang perlu aku dengar? Semua sudah jelas di depan mata!" bentak Bara membuat Sheila menangis.
"Kau masih mengharapkan dia? Maka dari itu kau belum mencintaiku? Apa kurangnya aku Shei?" tanya Bara mengguncang bahu Sheila.
"Kamu datang di waktu yang salah Bara!" Bibir Sheila bergetar mengucapkannya.
"Tapi aku orang yang tepat untukmu, Sheila!" tekan Bara.
"Itu pendapatmu," lirih Sheila.
Bara menarik dagu Sheila, mata tajam Bara beradu dengan mata sendu Sheila.
"Kau pun tidak bisa mengelak jika takdir membawamu padaku!" tegas Bara. Entah kenapa Bara yakin jika Sheila adalah jodohnya, Sheila hanya untuknya.
"Melupakan seseorang tidak secepat jatuh cinta!" ungkap Sheila.
Bara mencengkeram rahang Sheila. "Itu hanya alasanmu!"
"Bayangkan saja kamu di posisiku!" seru Sheila.
"Aku tidak akan menjadi lemah sepertimu!" bentak Bara menghempas wajah Sheila. Air mata Sheila mengalir deras, sesak menghimpit dadanya.
"Kamu bisa mengatakannya karena kamu punya segalanya!"
"Aku dan Bryan itu bertolak belakang! Dia bahkan tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri!" kelakar Bara mengepalkan tangan.
"Kalau pun aku menjadi Bryan, aku akan terus menpertahankan Wanita yang aku sayangi walaupun nyawa taruhannya!" pungkas Bara.
Bara keluar kamar dengan perasaan marah yang membuncah. Dia membanting pintu kasar.
Sheila luruh, seluruh tubuhnya lemas. Terduduk di lantai seraya memeluk lututnya. Bara mudah sekali tersulut emosi dan salahnya kian memperburuk situasi.
Tapi, bukankah begini yang Sheila mau? Membuat Bara membencinya, tapi kenapa hati kecilnya tidak rela? Mengapa seperti ada yang hilang?
"Aku memang ingin pergi darimu, tapi ... sekarang tidak lagi," lirih Sheila.
Lampu tidur berwarna kuning temaram menyorot wajah Sheila yang pucat.Perlahan, matanya terbuka. Napasnya berat, perutnya masih terasa mual, tapi yang membuat dadanya sesak bukan lagi rasa sakit itu.Tempat di sampingnya ternyata kosong.Selimut yang biasanya hangat masih terlipat rapi, tak ada jejak Bara di sana.Dia berbisik pada dirinya sendiri, suaranya serak. “Mas Bara?”Sheila duduk pelan, menahan diri agar tidak pusing. Tapi hatinya justru makin berdebar. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 01.11 dini hari.Bara selalu pulang sebelum tengah malam, bahkan ketika sedang sibuk sekalipun.Dengan langkah goyah, Sheila berdiri lalu membuka pintu kamar, berjalan menyusuri koridor yang panjang dan senyap. Hanya terdengar suara jam antik berdetak pelan di ruang tamu.Sheila menghampiri salah satu penjaga yang berjaga di depan pintu kaca.“Pak, Mas Bara di mana?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.Penjaga itu menatapnya bingung. “Tadi pas tengah malam saya lihat beliau keluar, B
Kayla duduk di kafe tempat biasa mereka bertemu. Matanya menerawang jauh, sendok di tangannya sudah dingin sejak tadi, sementara Bryan di hadapannya memperhatikannya dengan cemas.“Kamu masih kepikiran Sheila, ya?” tanya Bryan akhirnya.Kayla menghela napas panjang. “Aku cuma… merasa bersalah. Dia sampai dirawat di rumah sakit setelah makan kue yang aku bawa. Padahal aku cuma pengin nyenengin dia.”Bryan menatapnya lama. “Sheila bukan tipe orang yang gampang salah paham. Tapi Bara…” dia berhenti sejenak, rahangnya mengeras, “Bara itu terlalu protektif. Kadang buta karena rasa sayang.”Kayla menatap Bryan pelan. “Kamu… masih peduli sama dia, ya?”Pertanyaan itu membuat Bryan terdiam. Hujan rintik-rintik mulai turun, dan di antara suara rintiknya, suaranya terdengar pelan namun jujur, “Aku cuma… gak pernah benar-benar berhenti khawatir tentang dia. Dulu aku gagal jagain dia, Kay.”Kayla menunduk. Ada perih yang tak bisa dia jelaskan di dadanya. Tapi sebelum dia sempat menanggapi, ponsel
Hujan turun lembut malam itu menimpa jendela kamar dengan suara yang menenangkan. Sheila terbaring di ranjang besar, wajahnya pucat tapi damai. Di sampingnya, Bara duduk tenang, menggenggam tangan istrinya seolah takut kehilangan sentuhan itu lagi.Selimut hangat menutupi tubuh Sheila hingga dadanya. Bara menatapnya lama — setiap tarikan napas Sheila terasa seperti doa yang diam-diam dia panjatkan. Sesekali, jari-jarinya membenarkan helaian rambut yang jatuh di dahi istrinya.“Shei…” bisiknya pelan, “Aku janji, gak akan ada lagi yang bisa nyakitin kamu.”Sheila membuka mata, menatapnya samar di bawah cahaya lampu.“Mas belum tidur?” suaranya lirih.Bara menggeleng, tersenyum tipis. “Gak bisa. Aku mau pastiin kamu nyaman dulu.”Dia membantu Sheila duduk pelan, menyandarkannya ke bantal besar. Lalu mengambil mangkuk kecil berisi bubur hangat yang tadi dia buat sendiri — sederhana, tapi penuh perhatian.“Ayo makan sedikit. Kamu belum makan dari sore.”Sheila menatap mangkuk itu, lalu men
Suasana koridor rumah sakit hening. Beberapa perawat berhenti berjalan, menatap dari kejauhan. Kayla mulai menangis, tapi Bara tetap berdiri tegak, suaranya rendah tapi penuh luka.Kayla menatapnya dengan mata berair. “Bara, dengar aku dulu… aku nggak—aku nggak tahu ada apa dengan kue itu. Tapi aku bikin sendiri dan bisa aku pastiin gak ada bahan berbahaya karena sebelum aku kasih ke Sheila aku udah nyicipin dan aku baik-baik aja," jelas Kayla jujur. Bara diam, dadanya naik turun cepat. Dalam hatinya, setengah bagian ingin percaya — tapi sisi lain sudah tertelan ketakutan dan marah."Lagi pula mana ada penjahat yang mau ngaku Kayla?! Jelas-jelas kue itu beracun. Kayla hanya terisak, mencoba bicara di sela tangisnya.“Aku akan bantu cari tau siapa pelakunya.”Bara menatapnya sekali lagi — kali ini dengan tatapan yang bukan hanya marah, tapi juga hancur.“Jangan pura-pura peduli, Kayla. Orang yang benar-benar peduli… tidak akan mebawa bahaya ke pintu rumah kami.”"Sumpah demi apa pun
Sheila sedang menata sarapan di meja makan. Gerakannya pelan, tapi senyum kecil sempat muncul di sudut bibirnya—hari ini dia ingin Bara berangkat kerja dengan hati tenang.Namun baru saja dia hendak mengambil piring di rak atas, sebuah tangan besar langsung menahan pergelangan tangannya.“Shei, duduk aja. Aku yang ambil,” suara Bara lembut, tapi tegas.Sheila terkesiap kecil. “Mas, aku cuma mau—”“Nggak usah. Kamu kan lagi hamil.”Bara mengambil piring itu dengan cepat lalu menaruhnya di meja. Seolah benda seberat itu bisa menjatuhkan dunia kalau Sheila yang menyentuh.“Mas… aku nggak selemah itu,” ucap Sheila setengah tertawa, mencoba mencairkan suasana.Bara menatapnya lama. Tatapan yang dulu selalu menenangkan, kini terasa penuh kekhawatiran. “Aku cuma nggak mau ambil risiko. Sekecil apa pun, Sayang." Dia mengecup lembut kening Sheila. Sheila menunduk, jari-jarinya mengusap meja tanpa arah. “Aku tahu kamu khawatir. Tapi aku juga ingin tetap merasa berguna, Mas. Aku pengen bantu h
Sheila memandangi kotak makan siang yang dia siapkan sepenuh hati. Hari ini dia ingin memberi kejutan kecil untuk Bara. Sheila merasa harus menghangatkan suasana. Dia tahu Bara suka dengan masakannya—terutama udang keju buatan Sheila sendiri.Saat sampai di gedung kantor, beberapa pegawai menunduk sopan. Sheila hanya tersenyum tipis, masih gugup setiap kali masuk ke ruang lingkup dunia suaminya. Dia melangkah pasti ke lantai tujuh, tempat Bara biasa menghabiskan waktu di balik meja kerja dan layar laptopnya.Pintu ruang kerja Bara terbuka sedikit. Sheila hendak mengetuk, namun langkahnya terhenti saat melihat sesuatu dari celah pintu. Seorang wanita—sekretaris Bara sedang membungkuk, membantu Bara mengambil map yang jatuh dari meja. Posisi mereka terlalu dekat. Terlalu lama. Dan ekspresi wanita itu… bukan profesional. Lebih ke… lembut. Menggoda.Sheila mengetuk pintu dua kali—pelan tapi cukup terdengar. Bara menoleh cepat. Sekretaris itu buru-buru berdiri tegak. Sheila membeku di temp







