Share

7. Salah Paham

Author: Kristalbee
last update Last Updated: 2024-11-08 14:20:05

Kalimat itu membuat aliran darah Sheila berdesir. Dadanya berdebar, sebuah rasa yang menghadirkan kebimbangan di benaknya. Sheila menahan napas ketika Bara semakin merunduk bahkan hampir menyentuh bibirnya. 

"Tuan, hari ini ada rapat pen──"

Anton berhenti berbicara ketika dia hampir masuk ke kamar Bara. Matanya melebar, Anton menelan ludahnya kasar. Pria itu segera berbalik badan. 

Refleks, Sheila berapaling muka sedangkan

Bara segera menegakkan punggungnya. 

"Siapa yang menyuruhmu masuk? Kenapa tidak mengetuk pintu?" gertak Bara dengan intonasi suara beratnya. Dari kerutan yang kentara di dahinya──jelas menunjukan jika Bara marah karena momen romantisnya terganggu.

"Ma-maaf, saya lancang Tuan, tapi pintu ini tidak ditutup tadi." Anton tergagap, aura Bara mengintimidasinya.

Bara mendengus, dia beralih menatap Sheila hangat sembari mengusap puncak kepala Sheila.

"Aku tinggal dulu, hanya sebentar, Shei," ucap Bara lembut.

Sheila mengangguk kecil. Dalam hati Sheila sangat berterima kasih pada Anton yang datang tepat waktu. Jika tidak, Sheila tidak tahu bagaimana selanjutnya.

Bara berjalan menghampiri Anton. Tangannya menarik kenop pintu dan menutupnya.

"Lain kali jangan lakukan itu!" peringat Bara menatap tajam Anton.

"Maaf Tuan, saya lupa jika anda telah memiliki pasangan," sesal Anton.

Bara menyilangkan kedua tangan. "Saya ingin kamu mengatur ulang jadwal saya. Kosongkan jadwal hari ini. Saya ingin merawat Sheila, dia sedang sakit," perintah Bara tegas.

"Tapi rapat ini penting, Tuan," kata Anton mengingatkan.

"Maksud kamu Sheila tidak penting?" tanya Bara emosi.

Anton terdiam, dia jadi serba salah di depan Bara.

"Dia lebih penting dari segalanya!" tegas Bara membuat Anton menyesal mengatakan kalimatnya tadi.

"Baiklah Tuan, saya akan handle semuanya," pungkas Anton.

"Seharusnya memang begitu kan?" sinis Bara.

Anton mengangguk. "Permisi," pamitnya lalu melenggang pergi.

Bara mengamati Anton yang turun dari tangga, dia teringat sesuatu.

"Oh, iya, waktunya Sheila sarapan," gumam Bara.

Bara menjentikkan jari, dia melangkah turun menuju dapur berinisiatif membuat makanan untuk Sheila.

Bara mulai mengambil beras, lalu mencucinya. 

"Ada yang bisa saya bantu Tuan?" salah satu Pelayan menghampiri Bara. 

Bara mengambil panci──memasukan beras lalu menuangkan air.

"Tidak, aku ingin memasaknya sendiri, untuk istriku tercinta," jawab Bara tersenyum.

Bara mengernyit, sejak kapan dia menjadi lebay seperti ini? Itu pasti karena Sheila. Wanita itu benar-benar membuat sisi lain Bara muncul sendirinya. Ternyata orang kasmaran itu semenyenangkan ini.

Pelayan itu ikut tersenyum. "Baiklah Tuan, jika nanti Tuan butuh bantuan, panggil saya," pungkas Pelayan berseragam hitam putih itu. 

"Hm," gumam Bara.

Bara terus mengaduknya, dia menambahkan sedikit garam. Aromanya menguar, sekian menit berlalu. 

Ketika dirasa matangnya sudah pas, Bara mematikan kompor. Dengan hati-hati dia memindahkan bubur itu ke dalam mangkuk.

Senyum manis terus menghiasi wajah Bara yang berjalan membawa nampan berisi bubur buatannya. Perasaan bangga melingkupi dirinya. Setelah ini Sheila pasti akan memujinya lantaran menjadi suami siaga sekaligus perhatian.

Dia memang suami idaman!

"Sheila, aku buatkan bubur untukmu," ucap Bara sampai di kamar.

Bara langsung menaruh nampannya di nakas dan bergegas mendekati Sheila yang menurunkan kakinya dari ranjang.

"Mau kemana, Shei?" tanya Bara cemas memegang Sheila yang tampak lemas.

"Aku mau ke kamar mandi," jawab Sheila yang berusaha berdiri namun kepalanya terasa pusing.

"Mau apa?" Sheila menghalau Bara dengan tangannya terselip nada waspada 

"Menggendongmu sayang," jawab Bara.

Tanpa persetujuan Sheila, Bara langsung mengangkat tubuhnya. 

"Apa gini-gini?" tanya Bara lalu menirukan bibir Sheila yang manyun.

"Apa sih! Bukan apa-apa!" kilah Sheila, pipinya merona. 

Bara menurunkan Sheila pelan, Sheila hendak menutup pintu tapi Bara tak kunjung keluar.

"Kenapa masih di sini?" protes Sheila, ia sedikit menghentakan kaki.

"Keluar," usir Sheila mendorong Bara.

"Nanti kau butuh bantuan," ucap Bara.

"Tidak!" seru Sheila menutup pintu.

Bara terkekeh geli, dia berdiri di depan pintu menunggu Sheila keluar. Sheila berjalan tertatih membuat Bara berniat menjahili Sheila.

"Shei, kau seperti orang pincang," sindir Bara.

Sheila memperhatikan cara jalannya. Wajahnya memerah karena malu. "Terus daja ketawa, ejek aja aku terus!" kesal Sheila.

"Awas Shei, nanti tandukmu keluar," ejek Bara tertawa.

Di sisi lain Sheila merasakan mual, seperti ada yang menekan perutnya kuat ia tidak tahan lagi.

"Huwek!"

Sheila muntah mengenai baju Bara. Dia dengan cepat menutup mulutnya dengan dua tangan. 

"Maaf," cicit Sheila takut Bara akan memarahinya. 

Bara sempat terkejut namun dia bersikap biasa saja.

"Tidak apa Shei," Bara melepas bajunya. 

Pria itu bertelanjang dada saat ini. Jantung Sheila berdebar melihat tubuh kekar Bara. Perut sixpack, serta lengan kekar Bara. Astaga! Kenapa Bara sangat menawan?

"Jangan-jangan kau hamil," cetus Bara membuat Sheila melotot.

Pandangan Bara turun pada perut rata Sheila lalu mengusapnya.

Sheila mencubit hidung Bara, ingin rasanya menyentil otak Bara. Hey, tidak masuk akal secepat itu.

"Kamu ini ngawur! Tidak mungkin! Ini pasti efek sakit," kilah Sheila.

"Kalau begitu ... aku akan melakukannya lagi agar kau cepat hamil," kata Bara semangat.

"Dasar mesum!" rutuk Sheila memukul lengan Bara.

"Mesum sama istrinya sendiri tidak boleh?" goda Bara menatap Sheila dari ujung rambut hingga kaki.

Sheila mencebik. "Beri aku waktu Bara," pinta Sheila lemah.

"Aku hanya bercanda," kekeh Bara.

Bara mengambil mangkuk buburnya, ia kembali duduk di sisi Sheila.

"Aku tidak mau, perutku mual," tolak Sheila menutup mulutnya.

"Tapi kau harus tetap makan," bujuk Bara.

Sheila menggeleng.

"Kau harus minum obat sebelum makan dulu," perintah Bara membuka bungkus obat untuk Sheila. 

Sheila lantas menelan pil obat itu sembari meminum air putih.

"Makan ya, sedikit saja," pinta Bara mengarahkan sendok ke mulut Sheila.

Sheila masih enggan membuka mulut membuat Bara menurunkan sendoknya.

"Shei, apa kau tidak kasihan padaku? Aku yang membuat ini? Apa kau tidak mau mencicipinya?" tanya Bara dengan wajah memelas yang membuat Sheila iba.

Sheila lalu menerima suapan bubur itu, namun hanya sampai tiga sendok saja. 

"Sudah cukup," kata Sheila.

Bara lalu meletakan mangkuk bubur itu, ia tidak ingin memaksa. Setidaknya perut Sheila terisi walau sedikit.

Ponsel Sheila berdenting, Sheila lantas meraihnya.

"Mama," gumam Sheila namun

Bara langsung merebut ponsel Sheila.

"Bara, jangan diambil!" seru Sheila.

"Aku hanya memastikan, pesan masuk itu dari siapa," kata Bara dingin.

Yang masuk memang pesan dari Laras tapi Sheila lupa belum menghapus riwayat chat-nya bersama Bryan. Habislah dia jika Bara membacanya.

"Bara, kembalikan!" pinta Sheila berdiri berusaha menjangkau ponselnya yang diangkat tinggi oleh Bara.

"Harusnya jika tidak ada apa-apa, kau tidak perlu takut, Shei," balas Bara.

Sikapmu yang berlebihan membuatku curiga.

Bara diam ketika dia melihat kontak Bryan. Seketika emosinya membuncah.

"Ternyata kau masih menyimpan kontak Pria payah itu! Kenapa kau tidak menghapusnya?" geram Bara.

Bara semakin terkejut saat membaca pesan dari Sheila untuk Bryan.

"Kamu berencana untuk kabur dariku dengan dia?! Kau keterlaluan Shei!" kelakar Bara membanting ponsel Sheila. Layar ponsel itu retak, terhempas ke lantai.

"Bara dengarkan aku!" pinta Sheila memegang lengan Bara.

Bara menatap nyalang Sheila.

"Apa yang perlu aku dengar? Semua sudah jelas di depan mata!" bentak Bara membuat Sheila menangis.

"Kau masih mengharapkan dia? Maka dari itu kau belum mencintaiku? Apa kurangnya aku Shei?" tanya Bara mengguncang bahu Sheila.

"Kamu datang di waktu yang salah Bara!" Bibir Sheila bergetar mengucapkannya.

"Tapi aku orang yang tepat untukmu, Sheila!" tekan Bara.

"Itu pendapatmu," lirih Sheila.

Bara menarik dagu Sheila, mata tajam Bara beradu dengan mata sendu Sheila.

"Kau pun tidak bisa mengelak jika takdir membawamu padaku!" tegas Bara. Entah kenapa Bara yakin jika Sheila adalah jodohnya, Sheila hanya untuknya.

"Melupakan seseorang tidak secepat jatuh cinta!" ungkap Sheila.

Bara mencengkeram rahang Sheila. "Itu hanya alasanmu!"

"Bayangkan saja kamu di posisiku!" seru Sheila.

"Aku tidak akan menjadi lemah sepertimu!" bentak Bara menghempas wajah Sheila. Air mata Sheila mengalir deras, sesak menghimpit dadanya.

"Kamu bisa mengatakannya karena kamu punya segalanya!" 

"Aku dan Bryan itu bertolak belakang! Dia bahkan tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri!" kelakar Bara mengepalkan tangan.

"Kalau pun aku menjadi Bryan, aku akan terus menpertahankan Wanita yang aku sayangi walaupun nyawa taruhannya!" pungkas Bara.

Bara keluar kamar dengan perasaan marah yang membuncah. Dia membanting pintu kasar. 

Sheila luruh, seluruh tubuhnya lemas. Terduduk di lantai seraya memeluk lututnya. Bara mudah sekali tersulut emosi dan salahnya kian memperburuk situasi.

Tapi, bukankah begini yang Sheila mau? Membuat Bara membencinya, tapi kenapa hati kecilnya tidak rela? Mengapa seperti ada yang hilang? 

"Aku memang ingin pergi darimu, tapi ... sekarang tidak lagi," lirih Sheila.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Cinta CEO Posesif   53. Hampir Terluka

    Sheila memandangi kotak makan siang yang dia siapkan sepenuh hati. Hari ini dia ingin memberi kejutan kecil untuk Bara. Sheila merasa harus menghangatkan suasana. Dia tahu Bara suka dengan masakannya—terutama udang keju buatan Sheila sendiri.Saat sampai di gedung kantor, beberapa pegawai menunduk sopan. Sheila hanya tersenyum tipis, masih gugup setiap kali masuk ke ruang lingkup dunia suaminya. Dia melangkah pasti ke lantai tujuh, tempat Bara biasa menghabiskan waktu di balik meja kerja dan layar laptopnya.Pintu ruang kerja Bara terbuka sedikit. Sheila hendak mengetuk, namun langkahnya terhenti saat melihat sesuatu dari celah pintu. Seorang wanita—sekretaris Bara sedang membungkuk, membantu Bara mengambil map yang jatuh dari meja. Posisi mereka terlalu dekat. Terlalu lama. Dan ekspresi wanita itu… bukan profesional. Lebih ke… lembut. Menggoda.Sheila mengetuk pintu dua kali—pelan tapi cukup terdengar. Bara menoleh cepat. Sekretaris itu buru-buru berdiri tegak. Sheila membeku di temp

  • Jerat Cinta CEO Posesif   52. Makan Malam

    “Shei?” panggil Bara pelan sambil membuka pintu kamar mereka.Sheila membalikkan badan. Gaun warna silver yang membalut tubuhnya berkilau lembut di bawah cahaya lampu. Bara terdiam sejenak—terpukau oleh pesona wanita yang telah mengisi ruang hatinya dengan begitu dalam. Dia merasa seperti pria paling beruntung di dunia karena memiliki Sheila seutuhnya.Tanpa banyak kata, Bara melangkah mendekat. Tangannya menyentuh lembut pinggang Sheila dan menariknya pelan hingga tubuh mereka hanya berjarak sejengkal.“Kau selalu berhasil membuatku terkesan dengan penampilanmu, Shei,” bisiknya seraya menatap mata Sheila dalam-dalam, seolah ingin merekam setiap detiknya.Sheila hanya tersenyum tipis, lalu membenarkan kerah kemeja Bara yang terlipat tidak rapi. Sentuhannya begitu lembut selembut angin malam.“Itu karena cintamu yang besar padaku,” balas Sheila dengan suara rendah namun sarat makna.Bara menunduk dan mencium kening Sheila dengan penuh kasih. Lama, hangat, dan tulus.“Aku sudah berjanj

  • Jerat Cinta CEO Posesif   51. Ketakutan

    "Tolong ...." rintih Sheila lemah, satu tangannya menekan luka di perutnya dengan perasaan putus asa. Darah terus mengalir dari sana membuat wajah Sheila begitu pucat. Dia berusaha menyeret tubuhnya untuk mencari pintu keluar."Saat kau menemukan jalan keluar, semuanya sudah terlambat Sheila. Kau akan mati kehabisan darah!" seru sosok itu tanpa belas kasihan."Mas Bara tolong aku ... sakit Mas, ini sakit ..." ucap Sheila perih.Bara terbangun mendengar rintihan Sheila. Dia melihat wajah Sheila sudah dipenuhi dengan peluh keringat. "Astaga." Istrinya pasti sedang bermimpi buruk. "Shei, bangun... sayang buka matamu, aku di sini," ucap Bara tenang tepat di samping telinga Sheila.Sheila tersadar, tangisnya pecah saat melihat Bara ada di dekatnya. Dia langsung memeluk leher Bara erat. Hanya mimpi namun terasa begitu nyata. Sheila terisak di pelukan Bara."Tenang, Sayang. Aku tidak akan membiarkan satu orang pun melukaimu dan calon anak kita. Memangnya mimpi apa tadi?'' Sheila semakin m

  • Jerat Cinta CEO Posesif   50. Halo Papa

    Monica membuka pintu apartemen setelah mendapat telfon dari Kevin. Saat pria itu akan melangkah masuk, dia menahan tubuh Kevin. Matanya memicing melihat Kevin menyunggingkan senyum penuh arti."Mau apa?" ketus Monica."Aku kemari karena merindukanmu Mona. Apa aku tidak boleh masuk?" rayu Kevin menyentuh pipi Monica membuat wanita itu menyingkir.Kevin langsung menyandarkan tubuhnya di sofa dengan kaki di angkat ke atas meja. Seolah-olah tempat ini adalah miliknya. "Ambilkan aku minum," pintanya.Monica menatap sinis Kevin yang semena-mena padanya."Gunakan tangan dan kakimu yang masih berfungsi itu. Kau pikir aku pelayan?!" sahut Monica kesal, ia paling benci disuruh-suruh.Kevin menghela napas berat. "Kau tau apa kabar paling indah hari ini?""Apa?""Aku bertemu Sheila tadi, dia sangat cantik tidak heran bila Bara mencintainya," puji Kevin sambil tersenyum membayangkan paras Sheila. Pesona istri orang memang luar biasa, batinnya. "Cantik? Apa matamu rusak?!" maki Monica. Mendengar

  • Jerat Cinta CEO Posesif   49. Hamil

    Sheila mendesah pelan di sela ciuman mereka. "Uh, Barbar," lenguhnya saat bibir Bara menjelajah ke lehernya dengan gerakan tangan yang terus meraba punggungnya. Bara yang sudah diselubungi gairahnya langsung menggendong Sheila seperti koala. Dia membawa Sheila ke ranjang tanpa melepas ciuman panasnya. Bara membaringkan Sheila lalu menindihnya. Menciumi Sheila liar hingga suara kecapannya terdengar menggema di kamar ini."Huh." Bara menyudahi aksinya pria itu tersenyum melihat wajah Sheila yang memerah. Ekspresi Sheila saat ini begitu seksi dengan bibir terbuka dan mata sayu yang membuat Bara tidak tahan untuk menyerang bibir ranumnya lagi.Sheila mengusap rahang tegas Bara. Dia menyentuh dada bidang Bara lalu membalikkan posisi, Sheila menumpukan wajahnya di sana.Bara menjengitkan sebelah alisnya saat Sheila tidak melakukan apa-apa dan hanya memandangnya kagum.Tangan Bara sudah menyusup ke punggung Sheila melepaskan kaitan branya. Sedangkan Sheila tersenyum malu dengan reaksi tidak

  • Jerat Cinta CEO Posesif   48. Restu

    Elisa menghembuskan napas berat setelah mendengar pertanyaan Bara. Sejujurnya, dia masih kesal dengan Sheila yang secara tidak langsung mengubah sikap Bara. Namun, demi putra kesayangannya, ia berusaha untuk lapang dada."Panggil Sheila ke sini," pintanya dengan suara parau.Bara mengangguk lalu berjalan keluar. Sheila bangkit dari duduknya saat Bara membuka pintu."Gimana kondisi Mama?" tanyanya dengan sorot mata cemas."Mama cari kamu, Shei." Ucap Bara membuat Sheila terdiam.Bara menggenggam tangan Sheila yang meragu, dia tahu terselip ketakutan di benak istrinya."Aku boleh masuk?""Iya. Gak apa-apa, Sayang," ucap Bara menatap Sheila teduh.Sheila dan Elisa saling bersitatap membuat Sheila merunduk takut dan tanpa sadar mengeratkan genggamannya. Elisa tersenyum melihat keduanya. Jika diperhatikan, mereka memang sangat serasi. Kenapa dia baru menyadarinya?"She, kemari lebih dekat. Jangan takut," pinta Elisa lembut. Sheila menoleh sebentar pada Bara dan lelaki itu membawa Sheila m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status