"Bara! Kamu benar-benar menikah?" Bara memejam mendengar lengkingan suara ibunya.
"Astaga! Iya, Ma," jawab Bara menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Ya, ampun! Dasar anak nakal! Siang ini, kamu datang ke rumah bawa istri kamu!" perintah Elisa.
"Tapi, Ma. Aku masih di kantor, nanti malam saja ya," terang Bara.
"Kamu bantah Mama?"
Bara menghembuskan napas kasar. "Iya, Ma. Aku ke sana sekarang," pungkas Bara seketika panggilannya terputus sepihak.
"Surat pengunduran diri, Bryan," gumam Bara melihat amplop di sudut mejanya. Dia meremat kertas itu lalu melemparnya ke tempat sampah.
"Bagus, tahu diri juga dia!"
**
Sheila tengah menyirami bunga-bunga di taman belakang. Kedua sudut bibirnya melengkung melihat bunga mawar merah yang tumbuh cantik di sini. Sheila tidak menyangka Bara menyiapkan semua ini untuknya. Ternyata, Bara mencoba mencari tahu kesukaannya. Tipikal pria yang romantis, pikirnya.
"Dasar bucin," gumam Sheila senyumnya kian merekah.
Sheila terkesiap, selang yang dia pegang terlempar akibat pelukan tiba-tiba dari belakang.
"Shei ...." Suara serak Bara membuat Sheila merinding.
Sheila menoleh kikuk, "Kenapa kamu sudah pulang?"
"Aku merindukanmu, sayang," ungkap Bara menekan hidungnya ke leher Sheila. Bara suka sekali menghirup aroma tubuh Sheila. Harum dan menenangkan.
"Gombal!"
Bara mengaitkan jari Sheila diantara jemarinya, mengajak Sheila duduk di kursi. Sheila kaget Bara merebahkan kepala di pangkuannya.
Bara memandang wajah Sheila dari bawah, begitu cantik. Sheila juga tak lepas mengamati paras Bara. Tatapan lekat Bara membuat jantung Sheila berdetak cepat.
"Mama, ingin kita makan siang bersama," ucap Bara.
"Sekarang?"
"Tahun depan, Shei!" seru Bara jengah merotasikan matanya.
"Oh. Kalau begitu, ayo siap-siap," ajak Sheila.
Bara memiringkan tubuhnya memeluk pinggang Sheila erat.
"Eh! Lepaskan aku," kata Sheila mencoba menguraikan tangan Bara.
"Tidak mau! Terlanjur nyaman," balas Bara.
Bara membenamkan wajah di perut Sheila. Dia dengan sengaja menggesekkan hidungnya membuat Sheila tertawa karenanya.
"Bara, geli," kekeh Sheila.
"Lagi?" Bara makin usil, dia semakin gencar menggelitiki tubuh Sheila.
"Berhenti!" Tawa Sheila menguar dan menular pada Bara.
Senyuman Sheila selalu membuat Bara berdebar. Semua yang ada dalam diri Sheila membuat Bara begitu mencintainya. Bukan hanya sekedar obsesi tapi juga sebagai cinta sejati.
"Apa aku terlalu egois demi mendapatkan wanita secantik dirimu?"
Sheila berhenti tertawa, tatapan dalam Bara sanggup menenggelamkannya tapi rasa ragu terselip di hatinya. Apa Bara tulus mencintainya?
**
Sheila menatap takjub bangunan mewah nan kokoh di depannya. Dia juga melihat nama RODRIGUEZ yang terletak di tengah-tengah pagar rumah keluarga Bara. Sheila tidak menyangka, ini bahkan seperti istana negeri dongeng──bergaya ala Eropa.
"Butuh berapa pelayan untuk membersihkan rumah ini?"
Bara tersenyum melihat kepolosan Sheila. "Apa tidak ada pertanyaan lain?"
Sheila terkekeh geli, dia juga tidak tahu mengapa melontarkan pertanyaan itu. Sheila menatap tangan Bara yang perlahan mengisi sela-sela jarinya. Menyalurkan rasa hangat di telapak tangannya.
"Kau bisa menghitungnya saat kita masuk," pungkas Bara tersenyum.
Mata Sheila berbinar, desain rumah ini begitu khas. Warna emas nyaris mendominasi barang-barang di sini.
"Shei, apa benda-benda di rumah ini lebih menarik dariku?" tanya Bara dengan nada cemburunya.
"Semua barang-barang di sini begitu unik. Aku belum pernah melihatnya," puji Sheila mengedarkan pandangannya.
"Ya, karena rata-rata barang ini langka," sahut Bara sedikit kesal.
Bara dan Sheila sudah berada di ruang makan. Kedua orang tua Bara langsung berdiri melihat kedatangan Bara dan Sheila. Jantung Sheila berdebar kencang tatkala semua pasang mata tersorot padanya. Sheila merasa seperti seorang musuh yang harus dilenyapkan. Menyadari kegugupan istrinya Bara berbisik pelan.
"Ada aku di sini," ucapnya membuat Sheila mendongak, teduhnya tatapan Bara berhasil mencairkan ketegangan dalam dirinya.
Mata Bara memicing menyadari seseorang yang sangat dia hindari.
"Monica," gumamnya melihat Monica duduk di sebelah Elisa.
"Hai, Bara," sapa Monica ramah berjalan menghampiri Bara.
"Aku sudah memiliki istri!" tegas Bara saat Monica hendak memeluknya.
Monica berhenti kikuk sedangkan Sheila menahan senyum melihat ekspresi wanita itu.
Dasar Wanita genit! batin Sheila.
"Ah, iya. Aku lupa, maafkan aku." Monica berusaha tersenyum menutupi rasa malunya. Monica kembali ke tempat duduknya dengan perasaan marah ditolak Bara mentah-mentah.
"Pa, Ma. Perkenalkan ini Sheila, istriku," kata Bara.
Sheila mengulurkan tangan pada Ayah Bara. Robert tersenyum menyambut Sheila.
"Selamat, kamu telah menjadi bagian dari keluarga Rodriguez," kata Robert tulus seraya memeluk Sheila.
Benak Sheila menghangat, dugaanya salah. Walau wajah Robert terlihat garang tapi ternyata mertuanya ini begitu baik dan mau menerimanya.
Sheila beralih pada Elisa──Ibu Bara.
"Saya Sheila, Ma," ucap Sheila dengan uluran tangan yang tidak dibalas oleh Elisa. Wanita paruh baya itu justru menyilangkan tangan dan menatap Sheila remeh.
"Biasa saja. Monica jauh lebih berkelas daripada kamu!” hina Elisa memperhatikan Sheila yang memakai dress selutut simpel berwarna putih.
Sheila menelan ludahnya berat menyadari kehadirannya belum diterima baik oleh Elisa. Sheila bisa memaklumi itu, mengingat ini baru pertama kali pertemuan mereka. Mungkin keluarga Bara juga syok seperti dia karena pernikahan yang mendadak ini.
"Mama bingung, apa istimewanya Wanita ini?" tanya Elisa membuat Sheila menunduk.
Sheila makin merasa tidak pantas sekarang. Jadi, Sheila diundang di sini hanya untuk dibandingkan?
Rahang Bara mengetat. "Sheila jauh lebih baik daripada Monica yang bahkan tidak bisa memasak," sindir Bara telak.
"Itu dulu," sahut Monica.
"Lalu sekarang?!" tanya Bara menantang.
"Bukankah kau sangat khawatir jika kulit mulusmu itu terciprat minyak panas?" Suara Bara meninggi dengan nada sindiran yang begitu jelas.
Monica merengut sebal. Apa yang dikatakan Bara memang benar namun menurutnya itu tidak perlu dipermasalahkan mengingat dia dan Bara berasal dari keluarga kaya. Dia bisa dengan mudah menyuruh koki pribadi untuk menyiapkan makanan tanpa repot-repot memasak sendiri.
"Ma, Bara sudah dewasa. Pasti ada sesuatu dalam diri Sheila yang membuat Bara menyukainya." Robert berusaha menjadi penengah.
Bara mengacungkan jempol. Ayahnya ini memang tahu betul wataknya.
"Papa, benar," puji Bara. Keduanya lalu melakukan tos layaknya seseorang yang telah berhasil bekerja sama.
"Dasar! Ayah dan anak sama saja!" dengus Elisa.
**
"Sepertinya Mama kamu tidak setuju dengan pernikahan kita," cetus Sheila ketika dirinya melihat Elisa mengobrol asik dengan Monica di kursi pinggir kolam renang.
Bara menepuk bahu Sheila lalu mengusapnya. "Semua ucapan Mama yang tidak baik. Jangan dimasukkan hati. Ini hanya masalah waktu," jelas Bara berusaha menghibur Sheila.
Sheila mengangguk pelan. Raut sedihnya perlahan memudar.
"Mama, suka kue apa?" tanya Sheila menghadap Bara.
"Dia suka bolu keju," jawab Bara.
"Oh, ya? Kok sama?" Sheila merasa senang mendengarnya. Ada satu persamaan di antara dirinya dengan Ibu Bara.
"Iya, Mama pecinta keju," ungkap Bara.
"Hm, bagaimana kalau aku membuatkannya?" usul Sheila, ada binar harapan di matanya.
"Kau bisa?"
"Kamu lupa, aku punya usaha kue. Tentu saja aku bisa." Sheila begitu yakin mengatakannya.
"Baiklah, aku siap menjadi asistenmu," tawar Bara tersenyum penuh arti membuat Sheila curiga dengan gelagat Bara.
"Tapi tidak gratis," kata Bara membuat Sheila mengerutkan dahi.
"Mau dibayar berapa?" tanya Sheila.
"Bukan uang," kata Bara seraya menggeleng.
"Ih! Jangan minta yang aneh-aneh!" peringat Sheila menepuk lengan kekar Bara.
"Tutup mata," pinta Bara.
Bara berdecak. "Aku menyuruhmu menutup mata, bukan menutup mulut!" sinis Bara membuat Sheila menurunkan telapak tangannya.
"Ge'er sekali! Memangnya aku mau menciummu?" sindir Bara.
Sheila memandangi kotak makan siang yang dia siapkan sepenuh hati. Hari ini dia ingin memberi kejutan kecil untuk Bara. Sheila merasa harus menghangatkan suasana. Dia tahu Bara suka dengan masakannya—terutama udang keju buatan Sheila sendiri.Saat sampai di gedung kantor, beberapa pegawai menunduk sopan. Sheila hanya tersenyum tipis, masih gugup setiap kali masuk ke ruang lingkup dunia suaminya. Dia melangkah pasti ke lantai tujuh, tempat Bara biasa menghabiskan waktu di balik meja kerja dan layar laptopnya.Pintu ruang kerja Bara terbuka sedikit. Sheila hendak mengetuk, namun langkahnya terhenti saat melihat sesuatu dari celah pintu. Seorang wanita—sekretaris Bara sedang membungkuk, membantu Bara mengambil map yang jatuh dari meja. Posisi mereka terlalu dekat. Terlalu lama. Dan ekspresi wanita itu… bukan profesional. Lebih ke… lembut. Menggoda.Sheila mengetuk pintu dua kali—pelan tapi cukup terdengar. Bara menoleh cepat. Sekretaris itu buru-buru berdiri tegak. Sheila membeku di temp
“Shei?” panggil Bara pelan sambil membuka pintu kamar mereka.Sheila membalikkan badan. Gaun warna silver yang membalut tubuhnya berkilau lembut di bawah cahaya lampu. Bara terdiam sejenak—terpukau oleh pesona wanita yang telah mengisi ruang hatinya dengan begitu dalam. Dia merasa seperti pria paling beruntung di dunia karena memiliki Sheila seutuhnya.Tanpa banyak kata, Bara melangkah mendekat. Tangannya menyentuh lembut pinggang Sheila dan menariknya pelan hingga tubuh mereka hanya berjarak sejengkal.“Kau selalu berhasil membuatku terkesan dengan penampilanmu, Shei,” bisiknya seraya menatap mata Sheila dalam-dalam, seolah ingin merekam setiap detiknya.Sheila hanya tersenyum tipis, lalu membenarkan kerah kemeja Bara yang terlipat tidak rapi. Sentuhannya begitu lembut selembut angin malam.“Itu karena cintamu yang besar padaku,” balas Sheila dengan suara rendah namun sarat makna.Bara menunduk dan mencium kening Sheila dengan penuh kasih. Lama, hangat, dan tulus.“Aku sudah berjanj
"Tolong ...." rintih Sheila lemah, satu tangannya menekan luka di perutnya dengan perasaan putus asa. Darah terus mengalir dari sana membuat wajah Sheila begitu pucat. Dia berusaha menyeret tubuhnya untuk mencari pintu keluar."Saat kau menemukan jalan keluar, semuanya sudah terlambat Sheila. Kau akan mati kehabisan darah!" seru sosok itu tanpa belas kasihan."Mas Bara tolong aku ... sakit Mas, ini sakit ..." ucap Sheila perih.Bara terbangun mendengar rintihan Sheila. Dia melihat wajah Sheila sudah dipenuhi dengan peluh keringat. "Astaga." Istrinya pasti sedang bermimpi buruk. "Shei, bangun... sayang buka matamu, aku di sini," ucap Bara tenang tepat di samping telinga Sheila.Sheila tersadar, tangisnya pecah saat melihat Bara ada di dekatnya. Dia langsung memeluk leher Bara erat. Hanya mimpi namun terasa begitu nyata. Sheila terisak di pelukan Bara."Tenang, Sayang. Aku tidak akan membiarkan satu orang pun melukaimu dan calon anak kita. Memangnya mimpi apa tadi?'' Sheila semakin m
Monica membuka pintu apartemen setelah mendapat telfon dari Kevin. Saat pria itu akan melangkah masuk, dia menahan tubuh Kevin. Matanya memicing melihat Kevin menyunggingkan senyum penuh arti."Mau apa?" ketus Monica."Aku kemari karena merindukanmu Mona. Apa aku tidak boleh masuk?" rayu Kevin menyentuh pipi Monica membuat wanita itu menyingkir.Kevin langsung menyandarkan tubuhnya di sofa dengan kaki di angkat ke atas meja. Seolah-olah tempat ini adalah miliknya. "Ambilkan aku minum," pintanya.Monica menatap sinis Kevin yang semena-mena padanya."Gunakan tangan dan kakimu yang masih berfungsi itu. Kau pikir aku pelayan?!" sahut Monica kesal, ia paling benci disuruh-suruh.Kevin menghela napas berat. "Kau tau apa kabar paling indah hari ini?""Apa?""Aku bertemu Sheila tadi, dia sangat cantik tidak heran bila Bara mencintainya," puji Kevin sambil tersenyum membayangkan paras Sheila. Pesona istri orang memang luar biasa, batinnya. "Cantik? Apa matamu rusak?!" maki Monica. Mendengar
Sheila mendesah pelan di sela ciuman mereka. "Uh, Barbar," lenguhnya saat bibir Bara menjelajah ke lehernya dengan gerakan tangan yang terus meraba punggungnya. Bara yang sudah diselubungi gairahnya langsung menggendong Sheila seperti koala. Dia membawa Sheila ke ranjang tanpa melepas ciuman panasnya. Bara membaringkan Sheila lalu menindihnya. Menciumi Sheila liar hingga suara kecapannya terdengar menggema di kamar ini."Huh." Bara menyudahi aksinya pria itu tersenyum melihat wajah Sheila yang memerah. Ekspresi Sheila saat ini begitu seksi dengan bibir terbuka dan mata sayu yang membuat Bara tidak tahan untuk menyerang bibir ranumnya lagi.Sheila mengusap rahang tegas Bara. Dia menyentuh dada bidang Bara lalu membalikkan posisi, Sheila menumpukan wajahnya di sana.Bara menjengitkan sebelah alisnya saat Sheila tidak melakukan apa-apa dan hanya memandangnya kagum.Tangan Bara sudah menyusup ke punggung Sheila melepaskan kaitan branya. Sedangkan Sheila tersenyum malu dengan reaksi tidak
Elisa menghembuskan napas berat setelah mendengar pertanyaan Bara. Sejujurnya, dia masih kesal dengan Sheila yang secara tidak langsung mengubah sikap Bara. Namun, demi putra kesayangannya, ia berusaha untuk lapang dada."Panggil Sheila ke sini," pintanya dengan suara parau.Bara mengangguk lalu berjalan keluar. Sheila bangkit dari duduknya saat Bara membuka pintu."Gimana kondisi Mama?" tanyanya dengan sorot mata cemas."Mama cari kamu, Shei." Ucap Bara membuat Sheila terdiam.Bara menggenggam tangan Sheila yang meragu, dia tahu terselip ketakutan di benak istrinya."Aku boleh masuk?""Iya. Gak apa-apa, Sayang," ucap Bara menatap Sheila teduh.Sheila dan Elisa saling bersitatap membuat Sheila merunduk takut dan tanpa sadar mengeratkan genggamannya. Elisa tersenyum melihat keduanya. Jika diperhatikan, mereka memang sangat serasi. Kenapa dia baru menyadarinya?"She, kemari lebih dekat. Jangan takut," pinta Elisa lembut. Sheila menoleh sebentar pada Bara dan lelaki itu membawa Sheila m