Bimo hanya mampu mengulas senyuman tipis seraya menikmati ekspresi kesal pengantin perempuannya yang saat ini tengah membersihkan sisa make up di wajahnya. Bimo sengaja berdiam diri di atas ranjang sambil memainkan ponsel miliknya. Sesekali ia membenarkan posisi bantal yang saat ini menahan beban tubuhnya. Sudah setengah jam yang lalu Bimo berada di kamar pengantinnya. Tapi tak sepatah kata pun yang terlontar dari bibirnya. Memperhatikan gadis yang baru beberapa jam lalu sah menjadi istrinya jauh lebih menarik daripada melakukan hal lain.
Tanpa disadari gadis itu Bimo beberapa kali mengambil gambar dari berbagai ekspresi yang menyemai di wajah ayu itu dengan kamera ponselnya. Sungguh kegiatan yang paling menyenangkan baginya saat ini. Tak masalah jika gadis itu terus saja mendiamkan dirinya. Yang pasti mulai malam ini dirinya bisa memandang wajah gadis itu sepanjang malam sudah lebih dari cukup. Biarlah cinta datang dengan sendirinya, dirinya cukup bersabar dan berusaha memenangkan hati gadis yang telah terlanjur terluka karena cinta masa lalunya tersebut."Udah deh Mas Bimo nggak usah senyum-senyum terus. Puas kan sekarang ngerjain Kia!" Kesal gadis bernama lengkap Azkia Khairani Alfarizi tersebut kepada laki-laki yang beberapa jam lalu telah resmi menyandang status sebagai suaminya."Siapa sih yang ngerjain kamu Sayang?" Bimo balik melayangkan pertanyaan yang sukses membuat Kia menatapnya dengan tajam. Dan Bimo sangat menyukai netra berwarna madu yang berkilat emas diterpa oleh sinar lampu tersebut."Nggak usah panggil-panggil sayang. Kia risih dengerinnya," protes Kia yang justru semakin melebarkan senyuman di bibir Bimo."Ya udah, klo gitu Kia mau dipanggil apa selain sayang?" Bimo menyeringai lalu kembali berkata-kata, "Neng gelis, honey, baby, sweetie, sweetheart, atau my love?."Kia menatap tajam ke arah Bimo dengan mendengus kesal. Kia tak pernah menyangka jika akhirnya ia bisa terjebak dalam pernikahan bersama laki-laki penebar pesona dan perayu ulung seperti Bimo, sahabat Abangnya. Kia tak bisa menolak permintaan ayahnya untuk segera menikah. Dan bodohnya Kia mengapa pasrah saja saat menerima perjodohan itu tanpa menanyakan terlebih dahulu siapa laki-laki itu. Andai ia tahu jika laki-laki itu adalah Bimo sudah pasti Kia menolaknya secara mentah-mentah. Kia tidak menyukai laki-laki penebar pesona seperti laki-laki yang saat ini menatapnya dengan seringai aneh."Panggil Kia aja klo gitu." Tegas Kia. "Nggak usah embel-embel yang lain!" Kia kembali memperjelas keinginannya."Terserah Kia aja. Asalkan Kia bahagia," jawab Bimo dengan santai.Kia kembali melanjutkan kegiatannya, menatap pantulan dirinya di hadapan cermin. Kia mulai melepaskan sanggul di kepala lalu mengurai rambut panjang kecokelatan miliknya. Kia mulai menyisir lalu mengikatnya dengan asal. Kini Kia berdiri hendak melepaskan gaun pengantin yang melekat begitu pas di tubuhnya. Namun tak semudah bayangan Kia. Resleting panjang di bagian punggungnya ternyata sulit dijangkau oleh kedua tangannya. Seperti tadi, Bimo masih terus memperhatikan Kia, menunggu hingga gadis itu meminta bantuannya.Helaan napas kasar lolos dari bibir Kia saat usahanya tak membuahkan hasil. Gaun indah itu tetap melekat sempurna di tubuhnya. Dengan terpaksa Kia melayangkan tatapan ke arah Bimo yang saat ini tengah menatapnya dengan seringai jahil. Logika dan hati Kia kini tengah berperang hebat, antara ke luar dari kamar dan meminta bantuan untuk melepaskan gaun pengantinnya kepada Bundanya atau pasrah dengan bantuan Bimo. Lalu Kia bangkit, memilih duduk di tepian ranjang. Dalam posisi memunggungi Bimo Kia berujar, "Mas tolong bukain!" Bimo bisa mendengar kalimat itu ke luar dari bibir Kia dengan nada frustasi."Tentu saja Kia sayang," jawab Bimo singkat lalu menggeser tubuhnya demi mendekati tubuh Kia. Seketika senyuman kemenangan terlukis di bibirnya.Dengan lembut dan penuh hati-hati Bimo mulai menarik ke bawah resleting itu dengan tatapan memuja ke arah punggung mulus yang saat ini terekspos nyata di depannya. Pemandangan yang seharusnya biasa bagi laki-laki playboy seperti Bimo, mengingat dirinya yang sering bersama perempuan yang dikencaninya. Bahkan Bimo beberapa kali melihat tubuh para kekasihnya tanpa sehelai benang pun yang menempel di tubuh mereka. Tapi bersama Kia Bimo merasa berbeda. Ada rasa tak biasa setiap kali berdekatan dengan gadis itu. Bahkan hanya dengan memandang wajah Kia saja jantung Bimo berdetak tak karuan. Bimo hendak menyentuh punggung putih mulus itu tapi dalam waktu yang bersamaan Kia bangkit dengan memegang gaun bagian depannya. Kia menoleh menatap Bimo lalu berkata-kata, "terima kasih Mas."Bimo mengedikkan kedua bahu lalu turun dari ranjang melalui arah berlawanan. Hati Bimo berdesir. Desiran yang mengantarkan dirinya pada rasa hangat yang menjalar dari ujung kaki hingga ujung kepala. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin adalah alternatif terbaik saat ini. Bimo tahu ia tidak akan mendapatkan malam pengantinnya untuk waktu yang tak terprediksi.Seperti mendapatkan angin segar Kia membebaskan napasnya yang tadi sempat tercekat di kerongkongan. Tentu saja Kia belum siap jika harus berganti pakaian di depan Bimo meskipun status mereka sekarang adalah suami istri. Kia memperhatikan Bimo yang mulai turun dari ranjang, membuka lemari untuk mengambil handuk yang telah disediakan hotel hingga laki-laki itu menghilang di balik pintu kamar mandi. Gegas Kia menurunkan gaun pengantinnya lalu mengambil koper miliknya. Membuka dan memilih piyama untuk ia kenakan malam ini dengan cepat. Tak akan ada lingerie seksi ataupun malam pertama seperti malam pengantin pada umumnya. Mereka hanya akan tidur tanpa aktivitas apapun.Bimo ke luar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan kain putih yang melilit di pinggangnya. Kia terpaku dengan bibir terbuka saat melihat bagaimana dada sixpack dengan bulu-bulu tipis itu terpampang dengan jelas di depan matanya. Untuk pertama kalinya Kia melihat laki-laki bertelanjang dada selain keluarganya."Mas Bimo kok nggak pakai baju sih. Porno tau!" protes Kia seraya mengalihkan pandangan ke arah lain dengan pipi merona. Gegas Kia meraih ponselnya lalu berpura-pura sibuk untuk menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas."Emang kenapa? Wajar kan klo aku nggak pakai baju di depan istri sendiri. Mau coba lihat yang lain?" goda Bimo dengan tergelak. Laki-laki itu melangkah sembari menyugar rambutnya yang masih basah dengan seringai aneh. Bimo juga mengubah sebutan mereka menjadi aku dan kamu agar terdengar lebih santai dan terkesan akrab."Nggak nggak. Kia nggak mau!" Pekik Kia sambil meraih bantal untuk menutupi wajahnya.Bimo semakin gencar menggoda Kia. Lantas Bimo duduk di tepian ranjang seraya mengambil paksa bantal dari wajah Kia. Bantal terlepas dan Kia segera menutup mata dengan kedua tangannya. Perlahan Bimo mendekatkan wajahnya. Meniup wajah Kia yang tampak memerah bahkan Bimo bisa melihat dengan jelas warna merah itu menjalar dari wajah hingga ke leher putih milik Kia."Nggak nggak Kia sayang. Nanti juga klo kamu udah tahu rasanya pasti akan minta lihat terus. Dielus atau lebih juga boleh. Aku siap kapan pun kamu mau," ucap Bimo dengan tergelak."Dasar omes!" Pekik Kia lalu berguling untuk menghindari Bimo tanpa sedikit pun melepaskan kedua tangannya dari wajah.Bimo menghentikan kejahilannya. Beranjak dari atas ranjang kemudian mengambil tas miliknya. Melepaskan handuk dan menyisakan bokser di tubuhnya. Lalu mengeluarkan sarung dan kaos untuk ia kenakan salat. Kia yang merasakan keheningan mulai membuka kedua tangannya secara perlahan. Lalu berbalik badan mencari seseorang yang tadi menggodanya. Kini yang Kia temui bukan lagi sosok laki-laki dengan kilat jenaka di kedua netranya tapi sesosok laki-laki religius seperti ayah dan abangnya.Kembali Kia menimbang penilaiannya terhadap Bimo. Laki-laki dengan kriteria jauh dari laki-laki idamannya itulah yang kini menghalalkan dirinya. Mungkinkah laki-laki pilihan ayah dan abangnya salah?."Kamu belum salat isya' kan?" ujar Bimo yang seketika berhasil menyentak lamunan Kia. Tanpa sedikit pun ingin menanggapi pertanyaan Bimo, Kia segera beranjak menuju kamar mandi dengan debaran jantung tak biasa. Mulai malam ini dirinya harus membiasakan diri menerima kehadiran Bimo dalam hidupnya. Entah suka atau pun tidak.Dalam benaknya Kia terus berpikir,"Duh gimana ya caranya kabur dari malam pertama?"Kini Kia berada di bawah pancuran shower. Menikmati guyuran air dingin yang seketika berhasil menyegarkan tubuh dan pikirannya. Hampir seharian berbalut pakaian pengantin dan menyambut para tamu undangan tentu membuat Kia berkeringat. Karena rasa letih yang mendera, Kia tidak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di dalam kamar mandi meskipun sebenarnya bathub yang telah berisi air hangat bertabur kelopak bunga mawar itu telah memangil-manggil dirinya untuk berendam di sana. Kegiatan menyenangkan yang seharusnya Kia lakukan setelah seharian beraktivitas.Dengan cepat Kia membersihkan diri mulai dari keramas, memakai sabun mandi dan wajah, dan menggosok gigi. Setelah mematikan aliran shower Kia bergegas ke luar dari partisi shower. Namun seketika kedua mata Kia terbelalak saat menyadari jika dirinya tadi lupa membawa handuk."Duh gimana ini aku lupa nggak bawa handuk dan underwear bersih," gerutu Kia seraya memijit kepala yang mendadak terasa pusing karena kecerobohannya. Kia melupakan
Karena rasa kantuk tak juga menyambanginya Bimo akhirnya memilih duduk. Meletakkan bantal di belakang tubuhnya kemudian menyandarkan punggungnya di sana. Sejenak Bimo menatap punggung Kia yang sudah terlelap sejak dua jam yang lalu. Diraihnya ponsel miliknya yang sejak tadi sudah offline di atas nakas di sebelahnya. Untuk mengisi kesendirian Bimo memutuskan mengaktifkan kembali jaringan internet di ponselnya untuk menghibur diri. Seperti biasa Bimo akan membaca artikel yang berkaitan dengan kesehatan. Jika sedang fokus dengan apa yang tengah dibaca biasanya Bimo akan melupakan apapun yang mengganggu dalam benaknya. Lima belas menit berlalu Bimo tak juga mampu mendapatkan konsentrasinya. Artikel yang biasa begitu menarik kini seolah tak berguna. Pikirannya tetap tertuju pada gadis cantik di sampingnya. Bimo gelisah bukan lantaran hak malam pertamanya tidak terpenuhi melainkan karena rasa syukur yang tak terkira kepada Allah SWT. Bimo sangat bahagia karena berhasil mengikat Kia dalam s
Seminggu bukan waktu yang sebentar bagi Kia. Selama itu pula ia harus berpura-pura bahagia di hadapan seluruh keluarga besarnya. Bersikap munafik pada dirinya sendiri. Bersembunyi di balik senyuman merekah yang selalu ditebar kepada semua orang yang ditemuinya. Terutama ayah dan bundanya. Semua ini ia lakukan demi kebahagiaan mereka berdua. Tidak ada yang paling berharga kecuali senyuman dari kedua orang tua yang telah merawat dan mendidiknya sejak dirinya dalam kandungan hingga sedewasa ini. "Kamu yakin mau tinggal bersamaku di rumah kontrakan?" Untuk kesekian kalinya Bimo menanyakan hal itu. Memastikan tidak ada keterpaksaan bagi Kia untuk mengikutinya. Bimo tak habis pikir jika Kia yang selama ini hidup bak seorang putri raja bersedia ikut pulang ke rumah kontrakan yang sejak setahun lalu disewanya. Kia menghentikan aktivasinya yang tengah memasukkan pakaian ke dalam koper. Lalu dengan ekspresi datar Kia menatap Bimo. "Apa Mas Bimo nggak yakin dengan pernikahan kita?" Kia melaya
Bimo hanya mampu tersenyum geli melihat sikap salah tingkah Kia. Setelah Kia menghilang di balik pintu kamar mandi Bimo kembali menyeret koper milik Kia masuk ke dalam kamar mereka. Meletakkan di sisi ranjang, barangkali nanti Kia ingin langsung memindahkan barang-barangnya ke dalam lemari berpintu 2 yang sudah Bimo siapkan. Bimo sendiri hanya menyisakan beberapa pakaiannya di sana karena khawatir tidak muat. Bimo tahulah bagaimana Kia selama ini. Isi walk in closed di kamar Azka pastilah tak sebanding dengan milik Kia. Bimo pernah beberapa kali masuk ke dalam kamar Azka. Dan jangan ditanyakan isi walk in closed milik sahabatnya yang kini menjadi kakak iparnya tersebut. Apalagi Kia perempuan yang tentunya memiliki koleksi fashion yang lebih banyak dan beragam. Sebenarnya Bimo sempat ragu saat menerima pernikahan ini. Hanya karena rasa cinta yang dimilikinya untuk Kia, Bimo nekad menerima perjodohan yang ditawarkan oleh keluarga Alfarizi. Ya, meskipun Kia tak pernah memandangnya selama
Berulang kali Kia membaca ulang kartu ucapan misterius tersebut. Mencoba mengingat siapa seseorang yang menyebut sebagai pengagum rahasianya. Seingat Kia, setelah patah hati atas pengkhianatan Zyan dulu ia tidak memiliki teman laki-laki yang akrab. Kia sengaja menjaga jarak dengan laki-laki yang bukan dari keluarganya. Bukan karena Kia sombong atau memiliki standard pribadi untuk pertemanannya. Tapi Kia hanya ingin menjaga hatinya agar tidak sampai terjerumus ke dalam kesalahan yang sama, yaitu jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri. Kia tidak ingin kisah itu terulang kembali. Maka tak heran jika Kia betah menjomlo begitu lama. Kia justru pasrah menunggu jodohnya datang sendiri. Karena Kia menyakini bahwa jodoh dan kematian adalah takdir yang tidak akan bisa berubah. Takdir yang sudah digariskan sejak manusia berusia 4 bulan dalam kandungan ibunya. Saat ruh anak manusia untuk pertama kali ditiupkan. Tak ingin terlalu memikirkan surat misterius tersebut Kia lantas membuka laptop di had
“Apa nggak enak makanannya Sayang?” ujar Bimo saat melihat Kia yang tampak tak bersemangat menyantap makanannya.Kia mendengus kesal. Kia merasa tidak nyaman dan tidak terbiasa dengan panggilan sayang dari laki-laki lain kecuali ayahnya. Memang Bimo suaminya, tapi tetap saja Kia tidak menyukai panggilan tersebut.“Atau kita cari tempat makan lain aja? Kamu pasti tidak terbiasa datang ke rumah makan seperti ini,” imbuh Bimo merasa bersalah karena mengajak Kia ke rumah makan sederhana bukannya ke pergi restoran.“Bukan, bukan itu masalahnya Mas,” jawab Kia sembari memegang tangan Bimo yang kini sudah berdiri dari tempat duduknya.Bimo menatap Kia penuh arti lalu kembali menempati tempat duduknya. Mendapatkan tatapan tak biasa dari Bimo barulah Kia berterus terang dengan ketidaknyamanan yang dirasakannya. “Jangan panggil aku sayang lagi ya? Aku malu apalagi di hadapan orang lain,” jujur Kia seraya mencoba tersenyum semanis mungkin. Seketika
“Pantesan kamu betah berada di kantor,” sambung Bimo tanpa menyadari perubahan wajah Kia. Sebenarnya Kia bekerja keras selama ini hanya untuk menyibukkan diri agar tidak lagi memikirkan Zyan. Selain itu agar kedua orang tuanya tidak mendesaknya untuk segera menikah.“Apalah gunanya sebuah kemewahan jika hati merasa sendiri,” lirih Kia sukses mengalihkan perhatian Bimo. “Ayo pulang Mas, udah jam 1, kita juga belum sholat,” imbuh Kia kemudian melangkah menuju pintu ke luar sebelum laki-laki itu kembali melayangkan pertanyaan.Bimo menyusul langkah Kia dengan berbagai pertanyaan di benaknya. Di matanya, Kia adalah perempuan sempurna baik fisik maupun kehidupannya. Keluarga Kia sempurna. Lalu maksud dari perkataan Kia tadi apa? Benarkah Kia merasa sendiri di tengah-tengah limpahan kasih sayang dari keluarga dan harta benda?. Bukan waktu dan suasana yang tepat untuk Bimo berbicara. Nanti saat mereka telah sampai di rumah Bimo akan berbicara dari hati ke hati.
“Gimana boleh nggak?” sambung Bimo karena Kia masih saja membeku dalam pelukannya. Bimo bertahan dengan ekspresi serius. Belum saatnya tawanya meledak meskipun Bimo harus menahan mati-matian agar tidak sampai terlepas. Bimo belum puas memandangi wajah cantik Kia dengan jarak sedekat ini.“A apa Mas. Mas barusan ngomong apa?” hanya itu yang dapat Kia ucapkan. Kia yakin indera pendengarannya sedang tidak sehat. Mana mungkin Bimo meminta haknya sebagai suami dalam kondisi seperti ini.Lalu tanpa Kia duga jemari Bimo membelai lembut pipinya. Tatapan laki-laki itu juga terus memaku tanpa jeda. “Apa aku salah jika meminta hakku sebagai suami?” Bimo kembali mengulang permintaannya tadi sembari tangannya bergerak menuju rambut basah Kia. Dengan terus memaku, jemari Bimo mulai memainkan rambut Kia. “Kamu cantik, seksi, smart,” imbuh Bimo lirih. “Perfect!”Kali ini tubuh Kia tidak lagi membeku melainkan lemas seketika. Sendi-sendi di tubuhnya seolah lunglai mendengar kalimat Bimo