Home / Romansa / Jerat Cinta Ibu Susu Anakku / Bertemu Malaikat Kecil

Share

Bertemu Malaikat Kecil

Author: YOSSYTA S
last update Last Updated: 2025-02-15 16:59:18

Dua Minggu telah berlalu. Namun, Vania masih belum bisa melupakan kejadian malang itu. Dirinya sering kali tidak bisa tidur. Bayangan wajah mungil seorang bayi terus saja menghantuinya. Sehingga membuat dadanya terasa sesak.

Wanita itu masih saja belum bisa ikhlas atas kematian anaknya. Dia masih terbayang wajah imut bayi yang baru dia lahirkan. Perasaan bersalah memenuhi relung hatinya, hingga membuatnya tersiksa secara lahir dan batin.

"Anakku Sayang, anakku malang. Maafkan Ibu, Nak!" batinnya kembali pilu, jika mengingat kejadian itu. Di mana anak yang baru saja ia lahirkan, dinyatakan telah meninggal.

Wanita itu mulai kembali terisak. Perihnya kehilangan terus saja menggerogoti jiwanya, dan ia menangis secara diam-diam.

"Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu yang membuat kamu harus pergi selama-lamanya dari sisi Ibu," ucapnya lirih, sambil memeluk selimut terakhir yang dikenakan anaknya. Dadanya kembali sesak, batinnya perih kala bayangan demi bayangan terus memenuhi rasa bersalahnya kini.

Tangis suara bayi bagai terus menggema di telinga. Malaikat kecil yang seharusnya masih berada di pelukan, masih hangat di dadanya. Akan tetapi, bayi itu kini telah pergi. Pergi untuk selamanya.

Lalu dengan pandangan kosong, wanita yang kini tengah duduk meringkuk di atas ranjang, menengadahkan wajah, kedua matanya yang sembab menatap langit-langit kamar kostnya yang dingin.

"Ya Allah, kenapa Engkau mengambil semua orang-orang yang aku sayangi, ya Allah? Tidak pantaskan aku hidup bahagia walau hanya untuk sekejap?"

Sungguh hatinya kini terasa hampa, sepi dan seolah ia tak ada semangat lagi untuk menjalani kehidupan ini.

Kepala wanita itu kembali tertunduk, badannya bergetar hebat, dengan tergugu ia melanjutkan tangisnya dengan sejadi-jadinya.

Hingga berapa saat kemudian, tiba-tiba saja terdengar suara dering telepon yang mengagetkannya. Seketika tangisnya langsung berhenti. Seraya mengusap sisa air mata di pipi, ia bergegas meraih benda pipih yang tergeletak di dekat bantal.

"Ya, ya hallo, assalamualaikum. Siapa ini?"

"Apa?! Pa-paman dirawat di rumah sakit? Ba-baik aku akan segera ke sana sekarang."

Dengan tanpa pikir panjang lagi, wanita tersebut gegas pergi menuju kota Jakarta tempat pamannya berada kini.

***

Selang berapa jam kemudian.

Setelah menemui dokter yang merawat pamannya, dengan wajah tertunduk lesu, Vania keluar dari ruangan sang dokter.

Bertambah lengkap sudah kesedihan yang dirasakannya kini. Baru dua Minggu lalu ia kehilangan bayinya, lalu sekarang ia mendapati kenyataan bahwa orang yang sudah ia anggap bagai orang tuanya sendiri, malah tengah sakit keras dan harus membutuhkan perawatan khusus, juga biaya pengobatan yang tak sedikit.

Pamannya dinyatakan telah mengalami serangan jantung. Sehingga dia yang sebagai kerabat terdekat satu-satunya, sedang menunggunya di rumah sakit ini.

Dengan pandangan kosong, wanita cantik bergaun putih tulang itu tampak terbengong. Ia berjalan lemas menyusuri lorong panjang yang berada di dalam rumah sakit.

Kini dirinya merasa sangat kebingungan, harus mencari uang di mana, untuk membiayai pengobatan pamannya nanti?

Seraya menghela napas, raut wajah wanita itu tampak lesu. Jelas wanita itu kini sedang banyak masalah.

Lalu, di saat melewati koridor sunyi suatu ruang, wanita yang mempunyai nama lengkap Vania Friska Larasati itu tak sengaja, seperti mendengar suara tangisan bayi.

Deg!

Seketika langkanya langsung terhenti tepat di depan suatu ruangan.

Di balik kaca ruang bayi, ia melihat ada deretan tempat tidur kecil berjajar rapi. Bayi-bayi mungil dengan wajah yang damai tampak terlelap. Sesekali ada yang menggerakkan jari-jari tangan mereka yang sangat mungil sekecil biji jagung.

Vania melangkah lebih dekat, menempelkan tangannya ke kaca. Bayi itu menggerak-gerakkan tangannya, seolah mencari sesuatu yang tidak ada.

Perasaan perih kembali menusuk dada. Berandai-andai jika saja salah satu dari bayi-bayi itu adalah anaknya yang sedang menunggu pelukannya. Sebuah pelukan yang tak lagi bisa dia berikan kepada sang buah hatinya.

Perlahan air matanya jatuh di pipi. Perasaan keibuannya bergejolak, seolah-olah tubuhnya bereaksi bagaimana harusnya menjadi seorang ibu.

Tiba-tiba, ada satu bayi yang menangis lebih kencang dari yang lain. Sontak membuat Vania menatap bayi itu lama.

Tangis bayi itu semakin nyaring, menusuk telinga dan hati siapa pun yang mendengarnya. Dua orang suster sibuk berusaha menenangkan bayi mungil yang terus menangis dalam gendongan mereka.

"Kenapa bayi ini tidak mau minum?" tanya salah satu suster cemas.

"Aku tidak tahu! Kalau dia terus menangis begini, nanti bisa kejang!" sahut rekannya dengan nada panik. Dia pun berlari keluar untuk menghubungi keluarga si bayi.

Bayi itu menolak puting botol susu formula yang berulang kali dimasukkan ke mulutnya. Bibir mungilnya hanya bergetar, tangisnya semakin menjadi-jadi.

Vania, yang masih berdiri di balik kaca, merasa jantungnya mencelos melihat pemandangan itu. Hingga tanpa sadar, kakinya melangkah mendekati perawat.

"Ada apa dengan bayi itu, Sus?" tanyanya dengan suara pelan.

Perawat menoleh, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Sejak bayi ini lahir, ibunya tak bisa mengeluarkan ASI. Sehingga dengan terpaksa dia harus diberikan susu formula. Namun, bayi ini sepertinya tidak begitu bisa menerimanya, sehingga membuat keadaan bayi itu menjadi lemah dan dengan terpaksa harus dirawat di sini."

Vania membelalakkan mata, merasa cukup kaget mendengar penjelasan dari si suster. Seketika perasaan iba mulai menjalar di hatinya kini.

"Kami semua sudah berusaha untuk memberinya ASI eksklusif yang kami dapatkan dari bank ASI. Namun, masalahnya sejak tadi dia tidak mau meminum susu itu."

Vania menatap bayi itu dengan perasaan yang sulit diungkapkan.

Hampir dua Minggu yang lalu, dia kehilangan bayinya, putri kecil yang bahkan belum sempat ia peluk dengan erat. Lalu sekarang, di hadapannya ada bayi lain, sendirian, menolak makanan, dan sedang menangis sejadi-jadinya.

Darahnya berdesir. Payudaranya mulai terasa penuh dan nyeri. ASI-nya melimpah sejak lama, tetapi tidak ada bayi yang bisa ia susui. Tidak ada anak yang bisa ia peluk dan ia beri ASI.

Vania menelan ludah. Hatinya bergejolak, seakan ingin memberikan ASI yang ia miliki padanya. Namun, tentu saja ia tak berani menawarkan diri.

Seperempat jam berlalu. Bayi itu tetap menangis. Suster itu akhirnya menyerah dan berlari ke ruang jaga untuk meminta bantuan dokter.

Kini, hanya ada Vania dan bayi itu di ruangan sunyi.

Vania menggigit bibir. Dadanya sesak. Ia tahu ini gila. Ini bukan anaknya. Ia tidak seharusnya …

Namun, suara tangisan itu menusuk hatinya terlalu dalam. Sehingga mendorongnya untuk berani berbuat nekad.

Tangan Vania bergerak, sebelum otaknya bisa menghentikan. Dengan langkah ragu, ia mulai mendekati ranjang kecil tempat bayi itu berada. Lalu ia mengulurkan tangan untuk menggendong bayi tersebut.

Bayi itu terasa begitu kecil dan rapuh dalam dekapannya, dan anehnya, tangisnya mulai mereda. Vania terdiam. Air mata panas kembali mengalir di pipinya.

Perlahan, ia duduk di sebuah kursi sambil mendekap bayi itu lebih erat ke dadanya. Lalu dengan penuh keraguan dan keberanian yang tidak pernah ia duga, ia menyusui bayi itu.

Dalam hitungan detik, bayi itu mulai menyedot pelan. Vania mulai terisak, tak bisa menahan emosinya.

Dia bukan ibu dari bayi ini. Akan tetapi, untuk pertama kalinya setelah bayinya meninggal dunia, dia merasa kembali utuh.

Vania menatap lekat wajah bayi yang ada dalam gendongannya. Wajahnya sangat imut, mungil, dan begitu sempurna.

Andai saja ini anakku ….

Vania menggigit bibir, menahan emosi yang kembali menyeruak di dalam jiwa.

Seandainya putrinya masih hidup, mungkin dia juga akan terlihat seperti ini. Lembut, polos, dan damai dalam dekapan ibunya.

Namun, lamunannya buyar seketika, saat suara berat dan penuh amarah menyela keheningan.

"Siapa kau?"

Vania tersentak. Jantungnya berdegup kencang. Dengan gerakan panik, ia menoleh ke arah sumber suara.

Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang pria berdiri di ambang pintu ruangan.

Tegap, berwibawa, dan dibalut stelan jas mahal yang terlihat begitu kontras dengan atmosfer rumah sakit yang dingin. Wajahnya tampan, tetapi sorot matanya tajam dan berbahaya. Rahangnya mengeras, menunjukkan kemarahan yang jelas.

Dengan wajah menegang, Vania menelan ludah.

"Duh ... gawat! Siapa dia?" pikirnya panik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Els Arrow
lanjutkan terus update nya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jerat Cinta Ibu Susu Anakku    Membuat Kopi

    Vania telah berada di dapur. Wanita itu tampak celingukan, kebingungan mencari di mana tempat penyimpanan kopi dan gula berada. "Duh, di mana ya tempat kopinya?" Sembari mulai bergerak mendekati lemari dapur, wanita itu mulai sibuk mencari. Hingga di saat yang tepat salah satu pelayan ada yang datang ke dapur. Satu pelayan wanita yang tadi sempat berkenalan dengan Vania di kamar pelayan pun menyapanya. "Loh, Laras. Kok, kamu ada di sini? Bukannya tadi kamu dipanggil sama Bu Farida, ya?" Pelayan wanita yang kira-kira sebaya dengan Vania itu tampak keheranan. "Eh, Nanik." Vania yang sempat terjingkat, reflek menoleh ke arahnya. "Ini tadi Tuan Rafka minta dibuatin kopi. Tapi, aku gak tau di mana tempat penyimpanan kopinya." "Oh, gitu. Kalau kopi, gula beserta lainnya, tempatnya di sini." Nanti membuka pintu lemari yang berada di samping kanan Vania. "Dan, ingat. Kamu harus meracik kopi dengan baik-baik ya! Karena kalau rasanya tak sesuai dengan selera yang diinginkan Tuan Rafka

  • Jerat Cinta Ibu Susu Anakku    Kepergok

    Dengan pandangan yang sulit untuk diartikan, tanpa sadar bibir lelaki tampan itu tampak tersungging kecil. Walaupun samar, tetapi Dinda yang melihat bagaimana perubahan raut wajahnya pun, tampak keheranan. Bak terbakar oleh api cemburu, hati gadis jutek itu menjadi panas seketika. Sungguh ia tak habis pikir, ada apa dengan suaminya ini? Entah kenapa ia merasa, kalau Rafka sepertinya bahagia jika sedang melihat si pengasuh bayinya tersebut. Lalu, dengan sedikit kasar, wanita ber-piama biru muda itu langsung saja mengambil paksa Baby Al dari tangan Vania. Sontak saja baik itu Vania dan juga Rafka langsung terkejut dibuatnya. "E-eh, Nona, hati-hati!" Vania yang kaget jadi terbengong. "Dinda, kau ini apa-apaan? Kasar banget!" Seketika raut wajah lelaki tampan itu berubah garang, dengan kesal ia langsung saja memarahi istrinya. Kerena merasa terganggu, bayi kecil yang semula nyaman berada di pelukan sang ibu asuh, jadi menangis. "Lihat! Baby Al jadi menangis," ucap Rafka sediki

  • Jerat Cinta Ibu Susu Anakku    Mulai Merasa Kagum

    "Em, maaf, Bu. Kalau boleh saya tahu. Ada apa Anda mencari saya?" Vania memberanikan diri untuk bertanya. "Non Dinda membutuhkan bantuan mu untuk mengurus Baby Al sekarang." "Oh, begitu." Vania yang sempat merasa keheranan juga sedikit ketakutan pun tampak manggut-manggut merasa lega. "Huff! Kirain aku ada apaan?" ucapnya membatin. Setelah menaiki lift menuju ke lantai tiga. Kini mereka telah sampai di dekat kamar Dinda. Dari luar kamar bisa terdengar jelas kalau baby Al kini sedang menangis. Sehingga membuat Vania otomatis merasa sedikit khawatir padanya. Tanpa disuruh, Vania langsung saja menerobos masuk kamar Dinda yang memang dalam keadaan pintu terbuka. "Maaf, Nona. Ada apa dengan Baby Al?" tanyanya sedikit panik. Sementara sang kepala pelayan, langsung undur diri kembali ke kamarnya. "Ikh, kamu ini lama banget sih, datangnya! Itu buruan kamu gantiin popoknya Baby Al sana! Kayaknya dia habis pup, jadi dia menangis tau!" bentak Dinda merasa kesal dan juga jijik, s

  • Jerat Cinta Ibu Susu Anakku    Kepergok Dinda

    "Dinda?!" Reflek, dengan perasaan kagok, keduanya pun langsung segera menjauh. "Oh, aku hanya ingin melihat Baby Al sebentar. Ya sudah, Laras. Kau gendong Baby Al lagi." Dengan sangat hati-hati, lelaki itu menyerahkan kembali bayi kecil itu pada Vania. Senyuman manis di bibirnya tadi seakan langsung menghilang, dan ia kembali ke mode awal. Dingin, datar juga kaku tanpa senyum sedikitpun. "Ini sudah malam, sebaiknya kau bawa Baby Al untuk tidur sekarang!" ucap Rafka menoleh ke arah Dinda. Dengan wajah cemberut, Dinda hanya mengangguk. Lalu, dengan sewot ia merebut bayinya dari tangan Vania. "E-eh!" Membuat Vania pun jadi kaget melihatnya. Setelah itu Rafka langsung keluar dan ingin segera masuk menuju kamarnya sendiri. Namun, dengan cepat Dinda yang menggendong bayi kecil itu langsung mencegahnya. "Tunggu, Rafka? Apa kau tidak ingin tidur bareng dengan kami?" ucap Dinda keceplosan. Rafka yang mendengarnya pun, menaikan sebelah alis, menoleh sinis ke arahnya. Dinda yang

  • Jerat Cinta Ibu Susu Anakku    Mulai Nyaman

    Di kamar sang bayi. Vania sedang duduk memangku baby Al yang tengah asyik menyusu padanya. Wanita itu tampak begitu ceria memandangi wajah imut dan menggemaskan bayi kecil yang ada di dalam pangkuannya kini. "Mimi yang banyak ya, Sayang! Agar nanti pas ditinggal sama Ibu, kamu udah kenyang dan bisa tidur dengan nyenyak." Seraya mengusap-usap lembut kepala Baby Al, Vania tampak sibuk berceloteh ria, seolah sedang mengajak ngobrol bayi kecil tersebut. Namun, sedetik kemudian ia jadi teringat akan mendiang bayinya yang telah meninggal. Seketika wajahnya berubah menjadi muram dan perlahan air matanya pun mengalir mulai membasahi pipi. Walau ia sudah berusaha untuk tetap terlihat tegar juga ikhlas. Tapi, rasa penyesalan yang mendalam, masih saja sering kali menyiksa batinnya. Seakan ia menyalahkan dirinya sendiri yang tak bisa menyelamatkan atau melindungi sang buat hatinya tersebut. "Hiks ... hiks. Maafkan, Mama, Sayang," ucapnya pelan. Kleek! Tiba-tiba saja pintu terbuka. Va

  • Jerat Cinta Ibu Susu Anakku    Mulai Penasaran

    Di sore hari. Sesaat, setelah kepulangan Rafka dari kantor, lelaki itu tampak dengan lesu memasuki kamar. Hari ini ia benar-benar merasa lelah, karena kepadatan pekerjaannya di kantor, cukup menguras tenaga dan juga pikirannya. Pria itu mengendorkan dasi, dan mulai melangkah mendekati ranjang. Setelah melepaskan dasi, ia meletakkannya di pinggir kasur tempatnya terduduk kini. "Huff, benar-benar sangat melelahkan," gumamnya seraya menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Sungguh ia ingin merebahkan diri untuk sekedar beristirahat sejenak. Namun, baru saja ia akan memejamkan mata, tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu. Tok-tok-tok! "Rafka, bolehkah aku masuk?" ucap seorang wanita yang tengah berdiri di depan pintu kamar. "Hais, ngapain lagi sih nih, cewek? Ganggu aja!" Tanpa mau menjawab, dengan sangat malas, pria itu hanya dengkusnya kesal. Karena tak segera mendapat jawaban, dengan lancang Dinda langsung saja membuka pintu. Kleek! Tanpa disuruh, wanita yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status