Dengan wajah pucat pasi, Vania tertegun menatap pria tersebut. Dadanya langsung bergemuruh tatkala ia melihat kemarahan yang begitu kentara di wajah tampan lelaki itu. Vania langsung tahu jawabannya.
"Apakah… dia ayah dari bayi ini?" batinnya mulai menebak. "Tapi tunggu! Kenapa aku merasa tak asing dengan wajah pria itu? Apakah aku pernah melihatnya? Tapi di mana?" Otaknya langsung bekerja keras, coba mengingat siapa pria tersebut. Lalu di detik berikutnya, dengan wajah menegang ia mulai teringat akan peristiwa yang pernah menimpanya dulu. Peristiwa yang terjadi sekitar sembilan bulan lalu. Peristiwa yang sangat-sangat membuatnya telah hancur. Di mana pada malam itu, dirinya harus kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, yaitu kesuciannya. Ya, tidak salah lagi, ia baru menyadari bahwasanya lelaki itu adalah orang yang sangat ia benci, orang yang pernah melewati malam panas bersamanya dulu. Namun, apakah orang itu masih mengingatnya? Semoga saja tidak. "Siapa kau? Berani-beraninya kau menyentuh bayiku!" Vania terjingkat dan tersadar dari lamunan. "Apa jangan-jangan ...." Mata lelaki itu langsung menyipit, menatap curiga ke arah Vania. "Kau ingin menculik anakku?" Dengan nada suara dingin, ia langsung menuduhnya. "Huh, tidak-tidak! Saya tidak ingin menculiknya." Sontak saja kepala Vania langsung menggeleng panik. "Sa-saya hanya ingin -- E-eh ...." Vania tersentak, karena dengan tanpa aba-aba lelaki itu langsung menarik tangannya. Sehingga hampir saja membuat bayi yang berada di gendongnya itu terjatuh. Namun beruntung, Vania masih bisa menahan bayi itu. Hingga bayi itu tetap aman dalam dekapannya yang hangat. Wajah imutnya tampak tertidur pulas dan nyaman di pelukannya kini. Dengan penuh emosi, lelaki yang bernama Rafka itu menarik paksa Vania untuk berjalan keluar ruangan. "Tu-tuan, tolong lepaskan saya, Tuan! Anda telah salah paham. Saya sama sekali tak berniat untuk menculik anak Tuan." Sebisa mungkin Vania berusaha untuk memberontak, agar bisa terlepas dari cengkeraman lelaki itu. Namun, tampaknya sia-sia. Lelaki yang memakai setelan jas biru dongker tersebut, terus saja menariknya hingga akhirnya ia berada di luar kamar. "Security- security!" teriaknya kencang, hingga menggema ke seluruh ruang. Tentu saja Vania semakin dibuat kalang kabut tidak karuan. Sebenarnya ia tidak mau membuat kerusuhan. Akan tetapi, lelaki tak berperasaan ini malah ingin menyerahkannya pada security. "Duh ... bisa gawat ini!" batin Vania menjadi sangat panik, juga ketakutan. Dirinya tidak mau jika harus berurusan dengan security. Yang ada nanti masalahnya akan bertambah semakin rumit dan panjang. Jadi, sebisa mungkin ia ingin melarikan diri saja dari lelaki ini. Namun, tidak bisa. Karena tangan kekar lelaki itu semakin mencengkram kuat lengannya. Hingga membuatnya meringis kesakitan. Terlihat, sekumpulan orang langsung saja berlari mendekati pria itu. "Ada apa, Tuan?" Salah satu suster berlari menujunya. Betapa terkejutnya dia saat melihat Vania yang tengah menggendong bayi kecil laki-laki yang tadi sempat menangis dengan sangat kencang. "Bawa dia ke polisi. Karena mau mencuri bayi saya," ucap Rafka dingin. "Dan cepat ambil bayi itu darinya!" "Apa! Tidak-tidak, saya mohon. Tolong jangan bawa saya ke polisi, Tuan!" Dengan wajah memelas, Vania tampak sangat memohon. Si suster langsung mengangguk dan segera mengambil bayi tersebut dari gendongan Vania. "M-maafkan keteledoran kami, Tuan. Saya tidak mengira kalau si Mbaknya ini akan mengambil bayi, Tuan." Si suster itu terlihat sangat ketakutan dan tak pernah mengira kalau wanita itu akan berniat jahat pada bayi ini. Dua orang pria berseragam keamanan segera mendekati Vania. Lalu mereka meraih lengan Vania satu-satu. "Tidak, semua ini hanya salah paham. Saya tidak pernah berniat untuk mencuri bayi itu. Jadi saya mohon, jangan bawa saya ke polisi!" Vania kembali memohon, agar lelaki berwajah garang itu tidak membawanya ke kantor polisi. "Tunggu-tunggu, sepertinya ada kesalahan pahaman di sini!" Salah seorang wanita berjas putih langsung menyela. "Rafka, sebaiknya kau jangan asal tuduh! Bisa saja ini hanyalah salah paham." Wanita itu tampak sedikit berbisik pada lelaki tampan tersebut. Ia merasa kalau Vania tidak sedang berbohong. "Hey, siapa yang salah paham? Aku melihatnya sendiri bahwa tuh cewek tadi sedang menggendong Alviano. Dan bahkan kalau tidak salah dia malah sempat menyusuinya juga." "Apa! Jadi, tuh cewek malah memberikan ASI-nya?" Wanita cantik berjas putih itu tampak terkejut mendengarnya. "Kok, bisa?" "Ma-maafkan saya. Bukan maksud saya untuk lancang menyusui bayi ini. Ta-tapi saya tak tega melihatnya yang terus menangis seperti tadi. Sehingga membuat naluri keibuan saya yang mendorong saya untuk segera memberikan ASI padanya," potong Vania. "Dan, ternyata bayi itu tidak menolak, bahkan langsung terdiam dan bisa tertidur lelap di pangkuan saya." Dengan sangat ketakutan, Vania sangat berhati-hati dalam berkata. "I-ya, Tuan. Tadi anak Tuan tidak mau meminum ASI yang berada di dalam botol. Dan bayi itu malah terus menangis kencang. Sehingga membuat kami panik dan langsung memanggil Tuan ke mari," sahut si suster mulai ikut menjelaskan. "Namun, tanpa sepengetahuan kami, kami pun tidak mengira kalau si Mbaknya ini malah datang menyusui anak Tuan," terang si Suster yang satunya lagi juga ikut merasa ketakutan Sekilas lelaki tampan yang ternyata memang benar adalah si ayah dari bayi tersebut. Melirik sekilas ke arah Vania. "Sudah-sudah! Sebaiknya kita bicarakan di dalam ruanganku saja. Jangan di sini, Rafka! Malu tuh dilihatin banyak orang." Dokter cantik itu menawarkan tempat. "Ayo, Mbak. Sebaiknya Anda ikut kami ke ruangan saya!" Seraya mengangguk patuh, Vania hanya bisa pasrah digiring untuk memasuki ke sebuah ruangan si dokter wanita itu bekerja. Terlihat dua orang perawat tadi, dan juga Vania kini duduk di sebuah sofa yang menghadap ke arah Raisa nama si dokter cantik itu dan juga Rafka yg duduk di sebelahnya. Bagai seorang polisi, dokter wanita yang ternyata adalah sepupu dari Rafka itu mulai akan mengintrogasi Vania dan meminta keterangan awal mula dari sebab masalah ini dari dua suster yang sedang menjaga bayi itu tadi. Lalu, secara perlahan dua suster itu mulai menjelaskan awal mula, di mana keduanya tengah kuwalahan dalam menghadapi bayi berusia sekitar baru dua mingguan itu, yang secara terus-menerus menangis. Hingga akhirnya Vania pun datang. Lalu, setelah itu kedua suster pergi untuk meminta bantuan kepada dokter wanita tersebut, dan juga berniat untuk memanggil keluarga si bayi. Hingga akhirnya terjadi kesalahan pahaman ini. "Halah, aku tetap tidak percaya. Bisa saja dia memang wanita jahat yang ingin menculik bayi di rumah sakit ini." Dengan tersenyum sinis, lelaki keras kepala itu masih tampak tak percaya kalau Vania hanya sekedar ingin menolong bayinya saja. Dirinya masih tetep kekeh menuduh wanita itu akan menculik anaknya. "Hais, kau ini, masih saja curigaan sama orang lain," sahut Raisa mendengkus kesal padanya. "Sini-sini, sepertinya kita perlu bicara dulu, deh!" Raisa segera menarik tangan Rafka untuk memasuki sebuah kamar yang ada di dalam ruangan tersebut. Sementara Vania beserta dua perawat tadi, masih duduk terdiam di tempatnya. Mereka tampak terbengong saat melihat kepergian kedua orang tersebut. Hingga berapa menit kemudian, setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan sengit, dua orang itu telah keluar dari kamar. Lalu mereka kembali terduduk di tempat semula. "Em ... baiklah. Setelah saya dan Tuan Rafka melakukan banyak pertimbangan. Kami akan meminta pertanggungjawaban dari Anda, karena dengan lancang telah berani memberikan ASI kepada bayi itu," ucap Raisa dengan wajah tenang. "Apaa?! Per-pertanggungjawaban! Pertanggungjawaban yang bagaimana? Saya tidak bersalah, saya hanya ingin membantu. Masa saya harus bertanggungjawab?" sahut Vania kebingungan. "Ya, Anda harus bertanggungjawab dengan cara harus mau menjadi ibu susu dari bayi itu!" "Apaa! I-ibu susu?" Jelas Vania kembali terpekik kaget.Vania telah berada di dapur. Wanita itu tampak celingukan, kebingungan mencari di mana tempat penyimpanan kopi dan gula berada. "Duh, di mana ya tempat kopinya?" Sembari mulai bergerak mendekati lemari dapur, wanita itu mulai sibuk mencari. Hingga di saat yang tepat salah satu pelayan ada yang datang ke dapur. Satu pelayan wanita yang tadi sempat berkenalan dengan Vania di kamar pelayan pun menyapanya. "Loh, Laras. Kok, kamu ada di sini? Bukannya tadi kamu dipanggil sama Bu Farida, ya?" Pelayan wanita yang kira-kira sebaya dengan Vania itu tampak keheranan. "Eh, Nanik." Vania yang sempat terjingkat, reflek menoleh ke arahnya. "Ini tadi Tuan Rafka minta dibuatin kopi. Tapi, aku gak tau di mana tempat penyimpanan kopinya." "Oh, gitu. Kalau kopi, gula beserta lainnya, tempatnya di sini." Nanti membuka pintu lemari yang berada di samping kanan Vania. "Dan, ingat. Kamu harus meracik kopi dengan baik-baik ya! Karena kalau rasanya tak sesuai dengan selera yang diinginkan Tuan Rafka
Dengan pandangan yang sulit untuk diartikan, tanpa sadar bibir lelaki tampan itu tampak tersungging kecil. Walaupun samar, tetapi Dinda yang melihat bagaimana perubahan raut wajahnya pun, tampak keheranan. Bak terbakar oleh api cemburu, hati gadis jutek itu menjadi panas seketika. Sungguh ia tak habis pikir, ada apa dengan suaminya ini? Entah kenapa ia merasa, kalau Rafka sepertinya bahagia jika sedang melihat si pengasuh bayinya tersebut. Lalu, dengan sedikit kasar, wanita ber-piama biru muda itu langsung saja mengambil paksa Baby Al dari tangan Vania. Sontak saja baik itu Vania dan juga Rafka langsung terkejut dibuatnya. "E-eh, Nona, hati-hati!" Vania yang kaget jadi terbengong. "Dinda, kau ini apa-apaan? Kasar banget!" Seketika raut wajah lelaki tampan itu berubah garang, dengan kesal ia langsung saja memarahi istrinya. Kerena merasa terganggu, bayi kecil yang semula nyaman berada di pelukan sang ibu asuh, jadi menangis. "Lihat! Baby Al jadi menangis," ucap Rafka sediki
"Em, maaf, Bu. Kalau boleh saya tahu. Ada apa Anda mencari saya?" Vania memberanikan diri untuk bertanya. "Non Dinda membutuhkan bantuan mu untuk mengurus Baby Al sekarang." "Oh, begitu." Vania yang sempat merasa keheranan juga sedikit ketakutan pun tampak manggut-manggut merasa lega. "Huff! Kirain aku ada apaan?" ucapnya membatin. Setelah menaiki lift menuju ke lantai tiga. Kini mereka telah sampai di dekat kamar Dinda. Dari luar kamar bisa terdengar jelas kalau baby Al kini sedang menangis. Sehingga membuat Vania otomatis merasa sedikit khawatir padanya. Tanpa disuruh, Vania langsung saja menerobos masuk kamar Dinda yang memang dalam keadaan pintu terbuka. "Maaf, Nona. Ada apa dengan Baby Al?" tanyanya sedikit panik. Sementara sang kepala pelayan, langsung undur diri kembali ke kamarnya. "Ikh, kamu ini lama banget sih, datangnya! Itu buruan kamu gantiin popoknya Baby Al sana! Kayaknya dia habis pup, jadi dia menangis tau!" bentak Dinda merasa kesal dan juga jijik, s
"Dinda?!" Reflek, dengan perasaan kagok, keduanya pun langsung segera menjauh. "Oh, aku hanya ingin melihat Baby Al sebentar. Ya sudah, Laras. Kau gendong Baby Al lagi." Dengan sangat hati-hati, lelaki itu menyerahkan kembali bayi kecil itu pada Vania. Senyuman manis di bibirnya tadi seakan langsung menghilang, dan ia kembali ke mode awal. Dingin, datar juga kaku tanpa senyum sedikitpun. "Ini sudah malam, sebaiknya kau bawa Baby Al untuk tidur sekarang!" ucap Rafka menoleh ke arah Dinda. Dengan wajah cemberut, Dinda hanya mengangguk. Lalu, dengan sewot ia merebut bayinya dari tangan Vania. "E-eh!" Membuat Vania pun jadi kaget melihatnya. Setelah itu Rafka langsung keluar dan ingin segera masuk menuju kamarnya sendiri. Namun, dengan cepat Dinda yang menggendong bayi kecil itu langsung mencegahnya. "Tunggu, Rafka? Apa kau tidak ingin tidur bareng dengan kami?" ucap Dinda keceplosan. Rafka yang mendengarnya pun, menaikan sebelah alis, menoleh sinis ke arahnya. Dinda yang
Di kamar sang bayi. Vania sedang duduk memangku baby Al yang tengah asyik menyusu padanya. Wanita itu tampak begitu ceria memandangi wajah imut dan menggemaskan bayi kecil yang ada di dalam pangkuannya kini. "Mimi yang banyak ya, Sayang! Agar nanti pas ditinggal sama Ibu, kamu udah kenyang dan bisa tidur dengan nyenyak." Seraya mengusap-usap lembut kepala Baby Al, Vania tampak sibuk berceloteh ria, seolah sedang mengajak ngobrol bayi kecil tersebut. Namun, sedetik kemudian ia jadi teringat akan mendiang bayinya yang telah meninggal. Seketika wajahnya berubah menjadi muram dan perlahan air matanya pun mengalir mulai membasahi pipi. Walau ia sudah berusaha untuk tetap terlihat tegar juga ikhlas. Tapi, rasa penyesalan yang mendalam, masih saja sering kali menyiksa batinnya. Seakan ia menyalahkan dirinya sendiri yang tak bisa menyelamatkan atau melindungi sang buat hatinya tersebut. "Hiks ... hiks. Maafkan, Mama, Sayang," ucapnya pelan. Kleek! Tiba-tiba saja pintu terbuka. Va
Di sore hari. Sesaat, setelah kepulangan Rafka dari kantor, lelaki itu tampak dengan lesu memasuki kamar. Hari ini ia benar-benar merasa lelah, karena kepadatan pekerjaannya di kantor, cukup menguras tenaga dan juga pikirannya. Pria itu mengendorkan dasi, dan mulai melangkah mendekati ranjang. Setelah melepaskan dasi, ia meletakkannya di pinggir kasur tempatnya terduduk kini. "Huff, benar-benar sangat melelahkan," gumamnya seraya menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Sungguh ia ingin merebahkan diri untuk sekedar beristirahat sejenak. Namun, baru saja ia akan memejamkan mata, tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu. Tok-tok-tok! "Rafka, bolehkah aku masuk?" ucap seorang wanita yang tengah berdiri di depan pintu kamar. "Hais, ngapain lagi sih nih, cewek? Ganggu aja!" Tanpa mau menjawab, dengan sangat malas, pria itu hanya dengkusnya kesal. Karena tak segera mendapat jawaban, dengan lancang Dinda langsung saja membuka pintu. Kleek! Tanpa disuruh, wanita yang