"Di-dinda!" pekik Vania syok. Kedua matanya langsung melebar ketika melihat sosok wanita yang sangat ia benci ada di sana. Dinda Kumala Sari, putri paman satu-satunya, yang tak lain adalah adik sepupu dia sendiri. "Kenapa dia bisa berada di ruang bayi? Da-dan sedang apa dia di sini?" berbagai pertanyaan mulai memenuhi otaknya. Dua alis Vania mengerut tajam, wajahnya juga menegang menyiratkan keheranan dan rasa dendam membara di hatinya kini. Dia tak pernah menduga, kalau dia akan melihat wanita itu di sana. Sungguh ia masih sangat mengingat bagaimana akan sikap kasar dan perbuatan jahat wanita itu padanya dulu, tak akan pernah bisa termaafkan untuk selama-lamanya. Karena apa? Karena gara-gara sepupunya itulah, dia harus kehilangan kehormatannya. *** Flashback. Malam itu, sekitar sembilan bulan yang lalu. Langit tampak teduh. Di luar pun terlihat sepi. Namun, tidak di sebuah ruangan mewah hotel bintang lima. Hiruk pikuk perkumpulan anak muda yang sedang bersenang-sena
Dengan menelan ludah, sungguh Rafka sudah tidak bisa lagi menahan hasratnya yang berasa sudah naik di ubun-ubun. Rafka yang sudah kehilangan kewarasannya dan haus akan sentuhan dengan kebutuhan yang menggebu-gebu itu, sudah tidak memikirkan apapun lagi selain ingin meraih puncak kenikmatan. Lalu dengan tanpa pikir panjang lagi, lelaki itu langsung saja menyerang gadis tersebut. *** Keesokan harinya. Dengan rasa kantuk dan lelah yang luar biasa, perlahan Vania mulai terbangun. Di antara setengah sadar dia merasa seperti habis mimpi bercinta dengan seorang pria yang sangat tampan, menawan dan gagah perkasa di atas ranjang. Sehingga membuat tubuhnya merasa sangat kelelahan. "Akan tetapi, kenapa seperti nyata? Dan kenapa pula badanku ini terasa sakit semua?" ujarnya membatin. Pelan-pelan kedua mata lentik gadis itu terbuka dan mulai mengedarkan pandangan ke sekitar. Betapa terkejutnya ia, ketika menyadari bahwa dirinya tidak berada di kamar yang biasa ia tempati. "Huh, di-
Dengan dada yang berdetak kencang, perlahan Vania memberanikan diri untuk menoleh ke arah sumber suara. Lalu, di detik berikutnya ia baru bisa bernapas lega. Karena ternyata lelaki itu masih betah memejamkan mata. Yang berarti lelaki tersebut hanya sedang mengigau saja. "Huff, syukur alhamdulillah. Ternyata dia hanya mengigau," ucapnya pelan. Seraya mengusap dada yang kempang kempis tidak karuan, Vania bisa merasa sedikit tenang, karena tidak sampai kepergok oleh lelaki itu. "Eh, tapi kalau dilihat-lihat dia tampan juga." Dengan tanpa sadar, Vania malah memujinya. Namun, tak lama kemudian ia pun menggeleng. "Hais, kamu ini apa-apaan sih, Vania? Di saat genting seperti ini, kamu malah memuji ketampanan wajah pria yang baru saja merenggut kesucian mu." "Tapi, ngomong-ngomong siapa dia? Apakah dia memang telah bekerja sama dengan Dinda untuk melakukan ini semua?" Dengan kebingungan, ada banyak pertanyaan yang tengah memenuhi pikirannya. "Ah, entahlah. Siapapun dia, aku tak p
Dada Vania bergemuruh hebat, langkahnya kian terasa berat, ketika ia tahu siapa pemilik mobil putih tersebut. Dirinya sudah bisa menebak siapa orang yang sedang menunggunya di dalam rumah. Dengan memantapkan hati, helaan napas panjang mengiringi derap langkah Vania, yang mau tidak mau harus siap menghadapi apapun yang akan terjadi padanya nanti. Toh, cepat atau lambat dirinya juga akan tetap menghadapi situasi yang seperti ini, bukan? Sekali lagi, gadis berkucir kuda itu menghela napas panjang. Lalu ia memberanikan diri untuk tetap melangkah masuk ke dalam rumah. "A-assalamualaikum," ucapnya pelan. "Waalaikumsalam." Seraya menoleh ke arah pintu. Serempak berapa orang yang terdiri dari dua orang lelaki dan dua perempuan, yang terduduk di ruang tamu pun menjawab. Benar saja, gadis itu melihat ada seorang pria yang sangat ia cinta, tengah berada di antara mereka. "Rendy," cicitnya sangat pelan dan hampir tak terdengar. "Nah, ini dia orangnya. Dari mana saja kamu, Vania? K
"Berani-beraninya kamu menuduh Dinda!" Dengan mata berapi-api, wanita bernama Kartika itu terlihat sangat marah pada Vania. "Apa seperti inikah caramu berterimakasih kepada kami, huh?" bentaknya geram. Sembari memegangi pipinya yang memerah dan terasa panas karena tamparan bibinya, wajah gadis itu menunduk dan menggeleng pelan. "Sudah untung keluarga kami mau menampung mu di sini. Tapi apa balasannya? Kamu malah menuduh anakku yang tidak-tidak?" Wanita yang dipanggil sebagai Bibi oleh Vania itu merasa tak terima jika anak gadisnya itu dijelek-jelekkan. Dengan sekuat tenaga, Vania berusaha untuk terlihat tegar. Namun, air mata yang sedari tadi ia tahan, perlahan mulai tampak mengalir membasahi pipi. Sungguh dirinya tidak pernah mengira kalau ternyata, baik itu bibi dan sepupunya begitu sangat membencinya. Sehingga mereka tega melakukan ini semua padanya. "Ayah, lihatlah keponakan kesayanganmu ini!" Dengan penuh emosi, wanita berbaju coklat muda itu menunjuk ke arah Vania. "
Setelah menunggu Dinda keluar dari ruang bayi, baru kemudian Vania masuk untuk memberi ASI baby Al terlebih dahulu. Setelahnya ia pun kembali ke dekat ruang operasi pamannya. Berapa jam kemudian operasi pun telah usai. Ia melihat kalau pamannya kini sedang dibawa ke ruang pemulihan (PACU) untuk dipantau sampai sadar kembali. Setelah sadar, baru pasien di pindahkan ke ruang ICU untuk pemantauan dan perawatan pasca operasi. Dengan wajah yang diliputi penuh kekhawatiran, Vania mengikuti ke manapun pamannya berada kini. Menurut informasi yang ia dapatkan dari dokter yang menangani oprasi pamannya tadi. Setelah operasi, biasanya pasien akan dirawat di ruang ICU selama 1-2 hari untuk pemantauan lebih lanjut, dan rawat inap di rumah sakit dapat berlangsung selama 7-12 hari. Untuk pemulihan penuh, dapat memakan waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan, tergantung dari kondisi kesehatannya si pasien nanti. Kini gadis yang sedari tadi belum sempat mandi ataupun berganti pakaian
"Em ... Paman ingin meminta maaf padamu. Karena mungkin selama ini Paman tidak bisa menjadi orang tua yang baik untukmu." Sebagai paman, yang seharusnya berperan menjadi pengganti orang tuanya Vania, ia merasa tak becus dan hanya jadi beban bagi Vania. "Tidak, Paman. Paman sudah menjadi orang tua yang terbaik bagi Vania." Dengan mata yang berkaca-kaca, tentu saja gadis itu menggelengkan kepalanya, merasa iba melihat pamannya yang tampak sedang sedih dan malah menyalahkan dirinya sendiri. "Tidak, Nia. Paman adalah orang tua terburuk di dunia ini. Nyatanya Paman tidak bisa membimbing istri dan anak Paman agar bisa berperilaku baik sepertimu." Sungguh, di dalam lubuk hati yang paling dalam, lelaki itu merasa sangat kecewa. Mengingat bagaimana sikap buruk istri dan anaknya yang suka semena-mena terhadap Vania. "Bahkan, Paman tidak bisa membela mu di saat kamu sedang terpojok ataupun membutuhkan pertolongan. Dan sekarang Paman hanya menjadi beban. Pastinya kamu sangat kesusahan untuk
Di sebuah kafe kecil pinggir jalan, tampak seorang wanita muda yang duduk di salah satu kursi, tengah menunggu kedatangan seorang teman. Tak berselang lama kemudian, datang seorang wanita cantik berkemeja krem dan bercelana jeans memasuki kafe. Vania, wanita yang tengah menunggunya pun langsung saja melambaikan tangan ke arahnya. "Hay, Ara! Aku di sini," serunya. Wanita bernama Tiara itu segera bergerak menujunya. "Ya Allah, Vania! Apa kabar?" Dengan wajah sumringah, wanita itu langsung saja memeluk sahabatnya yang sudah lama ia rindukan. Karena semenjak Vania pergi dari rumah pamannya, mereka sudah jarang sekali untuk bertemu. "Alhamdulillah aku baik. Kamu sendiri gimana?" Setelah cipika-cipiki, keduanya pun terduduk di kursinya masing-masing. "Alhamdulillah aku juga baik. Em ... maafkan aku, Nia! Karena aku kemarin tidak bisa datang ke pemakaman bayi kamu. Aku turut berdukacita dan aku harap kamu bisa bersabar ya, Nia!" Wajah yang semula terlihat ceria kini berubah se
Sesuai apa yang telah disarankan oleh Tiara, kini Vania benar-benar telah merubah penampilan. Mulai dari rambut yang semula ikal sebahu, kini dibuat lurus dan dipotong sedikit menjadi sebatas leher. Lalu tak lupa pula diwarnai menjadi sedikit kecokelatan. Kemudian agar semakin membuatnya berbeda dari sebelumnya, dirinya kini juga memakai kacamata besar dan memakai masker. Hingga membuat Rafka yang melihatnya pun jadi mengernyit dahi merasa aneh dan keheranan saja padanya. Seraya memicingkan sebelah mata, dalam hatinya berkata, "Ada apa dengan gadis ini? Kenapa sekarang penampilan menjadi aneh begini?" Sementara Vania bisa mengerti akan sikap keheranan lelaki itu. Bagaimana tidak heran, dirinya memang sengaja berpenampilan seperti gadis culun. Dengan kacamata besar, pakaiannya juga sangat-sangat sederhana atau mungkin bisa dibilang norak dan kampung untuk jaman sekarang. "Selamat pagi, Tuan," sapanya tersenyum ramah. Walaupun pria itu tidak bisa melihat senyuman di bibirn
"Maksudnya adalah, aku ingin membalas perbuatan Dinda padaku dulu," ucap Vania dingin. Dengan wajah tanpa senyum, sorot matanya menggambar ada kobaran api amarah yang membara di dalam hati. "Tunggu-tunggu! Jadi kamu ingin membalas dendam pada sepupumu itu?" tanya Tiara. Vania pun mengangguk. "Iya. Aku akan merusak rumah tangga wanita licik itu. Bukankah dia dulu juga melakukan hal seperti itu padaku?" Tanpa sadar Tiara juga ikut mengangguk. "Karena dia sudah membuat hubunganku dengan Rendy hancur. Maka sekarang aku akan membalasnya." Dengan wajah penuh amarah, tampak jelas, wanita yang memakai kemeja biru muda itu menyimpan dendam pada sepupunya. Tiara bisa mengerti dan memaklumi bagaimana perasaan Vania saat ini. Pasti, sahabatnya itu merasa sakit hati atas perbuatan Dinda padanya dulu. Namun, ia tak pernah mengira kalau Vania berniat akan membalas perbuatan sepupunya tersebut. Tapi, wajar saja sih, jika dia ingin melakukan itu. "Em ... apakah kamu masih mencintai Rendy
Di sebuah kafe kecil pinggir jalan, tampak seorang wanita muda yang duduk di salah satu kursi, tengah menunggu kedatangan seorang teman. Tak berselang lama kemudian, datang seorang wanita cantik berkemeja krem dan bercelana jeans memasuki kafe. Vania, wanita yang tengah menunggunya pun langsung saja melambaikan tangan ke arahnya. "Hay, Ara! Aku di sini," serunya. Wanita bernama Tiara itu segera bergerak menujunya. "Ya Allah, Vania! Apa kabar?" Dengan wajah sumringah, wanita itu langsung saja memeluk sahabatnya yang sudah lama ia rindukan. Karena semenjak Vania pergi dari rumah pamannya, mereka sudah jarang sekali untuk bertemu. "Alhamdulillah aku baik. Kamu sendiri gimana?" Setelah cipika-cipiki, keduanya pun terduduk di kursinya masing-masing. "Alhamdulillah aku juga baik. Em ... maafkan aku, Nia! Karena aku kemarin tidak bisa datang ke pemakaman bayi kamu. Aku turut berdukacita dan aku harap kamu bisa bersabar ya, Nia!" Wajah yang semula terlihat ceria kini berubah se
"Em ... Paman ingin meminta maaf padamu. Karena mungkin selama ini Paman tidak bisa menjadi orang tua yang baik untukmu." Sebagai paman, yang seharusnya berperan menjadi pengganti orang tuanya Vania, ia merasa tak becus dan hanya jadi beban bagi Vania. "Tidak, Paman. Paman sudah menjadi orang tua yang terbaik bagi Vania." Dengan mata yang berkaca-kaca, tentu saja gadis itu menggelengkan kepalanya, merasa iba melihat pamannya yang tampak sedang sedih dan malah menyalahkan dirinya sendiri. "Tidak, Nia. Paman adalah orang tua terburuk di dunia ini. Nyatanya Paman tidak bisa membimbing istri dan anak Paman agar bisa berperilaku baik sepertimu." Sungguh, di dalam lubuk hati yang paling dalam, lelaki itu merasa sangat kecewa. Mengingat bagaimana sikap buruk istri dan anaknya yang suka semena-mena terhadap Vania. "Bahkan, Paman tidak bisa membela mu di saat kamu sedang terpojok ataupun membutuhkan pertolongan. Dan sekarang Paman hanya menjadi beban. Pastinya kamu sangat kesusahan untuk
Setelah menunggu Dinda keluar dari ruang bayi, baru kemudian Vania masuk untuk memberi ASI baby Al terlebih dahulu. Setelahnya ia pun kembali ke dekat ruang operasi pamannya. Berapa jam kemudian operasi pun telah usai. Ia melihat kalau pamannya kini sedang dibawa ke ruang pemulihan (PACU) untuk dipantau sampai sadar kembali. Setelah sadar, baru pasien di pindahkan ke ruang ICU untuk pemantauan dan perawatan pasca operasi. Dengan wajah yang diliputi penuh kekhawatiran, Vania mengikuti ke manapun pamannya berada kini. Menurut informasi yang ia dapatkan dari dokter yang menangani oprasi pamannya tadi. Setelah operasi, biasanya pasien akan dirawat di ruang ICU selama 1-2 hari untuk pemantauan lebih lanjut, dan rawat inap di rumah sakit dapat berlangsung selama 7-12 hari. Untuk pemulihan penuh, dapat memakan waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan, tergantung dari kondisi kesehatannya si pasien nanti. Kini gadis yang sedari tadi belum sempat mandi ataupun berganti pakaian
"Berani-beraninya kamu menuduh Dinda!" Dengan mata berapi-api, wanita bernama Kartika itu terlihat sangat marah pada Vania. "Apa seperti inikah caramu berterimakasih kepada kami, huh?" bentaknya geram. Sembari memegangi pipinya yang memerah dan terasa panas karena tamparan bibinya, wajah gadis itu menunduk dan menggeleng pelan. "Sudah untung keluarga kami mau menampung mu di sini. Tapi apa balasannya? Kamu malah menuduh anakku yang tidak-tidak?" Wanita yang dipanggil sebagai Bibi oleh Vania itu merasa tak terima jika anak gadisnya itu dijelek-jelekkan. Dengan sekuat tenaga, Vania berusaha untuk terlihat tegar. Namun, air mata yang sedari tadi ia tahan, perlahan mulai tampak mengalir membasahi pipi. Sungguh dirinya tidak pernah mengira kalau ternyata, baik itu bibi dan sepupunya begitu sangat membencinya. Sehingga mereka tega melakukan ini semua padanya. "Ayah, lihatlah keponakan kesayanganmu ini!" Dengan penuh emosi, wanita berbaju coklat muda itu menunjuk ke arah Vania. "
Dada Vania bergemuruh hebat, langkahnya kian terasa berat, ketika ia tahu siapa pemilik mobil putih tersebut. Dirinya sudah bisa menebak siapa orang yang sedang menunggunya di dalam rumah. Dengan memantapkan hati, helaan napas panjang mengiringi derap langkah Vania, yang mau tidak mau harus siap menghadapi apapun yang akan terjadi padanya nanti. Toh, cepat atau lambat dirinya juga akan tetap menghadapi situasi yang seperti ini, bukan? Sekali lagi, gadis berkucir kuda itu menghela napas panjang. Lalu ia memberanikan diri untuk tetap melangkah masuk ke dalam rumah. "A-assalamualaikum," ucapnya pelan. "Waalaikumsalam." Seraya menoleh ke arah pintu. Serempak berapa orang yang terdiri dari dua orang lelaki dan dua perempuan, yang terduduk di ruang tamu pun menjawab. Benar saja, gadis itu melihat ada seorang pria yang sangat ia cinta, tengah berada di antara mereka. "Rendy," cicitnya sangat pelan dan hampir tak terdengar. "Nah, ini dia orangnya. Dari mana saja kamu, Vania? K
Dengan dada yang berdetak kencang, perlahan Vania memberanikan diri untuk menoleh ke arah sumber suara. Lalu, di detik berikutnya ia baru bisa bernapas lega. Karena ternyata lelaki itu masih betah memejamkan mata. Yang berarti lelaki tersebut hanya sedang mengigau saja. "Huff, syukur alhamdulillah. Ternyata dia hanya mengigau," ucapnya pelan. Seraya mengusap dada yang kempang kempis tidak karuan, Vania bisa merasa sedikit tenang, karena tidak sampai kepergok oleh lelaki itu. "Eh, tapi kalau dilihat-lihat dia tampan juga." Dengan tanpa sadar, Vania malah memujinya. Namun, tak lama kemudian ia pun menggeleng. "Hais, kamu ini apa-apaan sih, Vania? Di saat genting seperti ini, kamu malah memuji ketampanan wajah pria yang baru saja merenggut kesucian mu." "Tapi, ngomong-ngomong siapa dia? Apakah dia memang telah bekerja sama dengan Dinda untuk melakukan ini semua?" Dengan kebingungan, ada banyak pertanyaan yang tengah memenuhi pikirannya. "Ah, entahlah. Siapapun dia, aku tak p
Dengan menelan ludah, sungguh Rafka sudah tidak bisa lagi menahan hasratnya yang berasa sudah naik di ubun-ubun. Rafka yang sudah kehilangan kewarasannya dan haus akan sentuhan dengan kebutuhan yang menggebu-gebu itu, sudah tidak memikirkan apapun lagi selain ingin meraih puncak kenikmatan. Lalu dengan tanpa pikir panjang lagi, lelaki itu langsung saja menyerang gadis tersebut. *** Keesokan harinya. Dengan rasa kantuk dan lelah yang luar biasa, perlahan Vania mulai terbangun. Di antara setengah sadar dia merasa seperti habis mimpi bercinta dengan seorang pria yang sangat tampan, menawan dan gagah perkasa di atas ranjang. Sehingga membuat tubuhnya merasa sangat kelelahan. "Akan tetapi, kenapa seperti nyata? Dan kenapa pula badanku ini terasa sakit semua?" ujarnya membatin. Pelan-pelan kedua mata lentik gadis itu terbuka dan mulai mengedarkan pandangan ke sekitar. Betapa terkejutnya ia, ketika menyadari bahwa dirinya tidak berada di kamar yang biasa ia tempati. "Huh, di-