Share

Chapter 04

Radeya termenung sendirian di dalam ruang belajarnya. Kepalanya berdenyut seperti mau pecah akibat terlalu banyak beban pikiran yang sedang ia alami. Dia menghela napas panjang berkali-kali dan memijit pangkal hidungnya.

Sekelebat bayangan tentang Devan berdatangan memenuhi otaknya. Kedua tangan laki-laki paruh baya itu mengepal erat kala mengingat semuanya.

Hari itu, Devan datang menemuinya untuk meminta restu akan menikahi Anggi, tetapi dia sama sekali tidak pernah mengizinkan putranya itu menikahi seorang wanita yatim piatu dan tidak jelas asal usul keluarganya.

Devan tetap bersikeras menikahi Anggita dengan ataupun tanpa restu darinya. Dan pernikahan terlarang itu pun benar-benar dilakukan. Dia merasa sangat marah kepada putra kesayangannya itu.

"Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau tetap menikah dengannya meski aku tidak memberikan restu?!" teriak Radeya di acara pernikahan Devan.

Saat itu Devan sudah resmi menjadikan Anggita sebagai istrinya. Radeya menatap geram kepada Devan tak peduli walau harus dilihat oleh penghulu yang sudah menikahkan mereka.

"Aku sudah katakan aku mencintainya dan hanya akan menikah dengannya. Aku sudah meminta izin dari Papa sebelumnya, aku akan tetap menikahi Anggi dengan ataupun tanpa restu dari Papa. Sudah cukup selama ini aku selalu menuruti permintaan Papa, tapi tidak dengan pilihan pendamping hidupku. Aku sudah dewasa dan aku tahu apa saja yang terbaik untukku," sahut Devan kepada papanya.

Radeya mengepalkan kedua tangannya, dia benar-benar geram atas tindakan yang dilakukan oleh putra kesayangannya. Mereka terlibat adu mulut dan sama-sama emosi kala itu hingga Radeya pergi meninggalkan Devan dan Anggi begitu saja dalam keadaan marah.

Radeya menghela napas panjang saat mengingat kejadian itu. Laki-laki paruh baya itu masih merasakan sesak sekaligus menyesal. Lalu ingatan yang lainnya kembali melintas dalam benaknya.

Devan datang menemuinya hanya untuk mengatakan dia akan pergi dari rumah meninggalkan semua termasuk jabatannya. Lagi-lagi Radeya geram dengan keputusan putranya itu.

"Apa kamu datang untuk menceritakan kebahagiaan pernikahanmu, sekarang? Aku sangat tidak tertarik mendengarnya," ujar Radeya dingin dan datar.

"Aku datang untuk memberikan  ini. Aku akan ke luar dari rumah dan juga perusahaan. Aku sudah memiliki rumah sendiri dan juga akan membuka usaha sendiri mulai sekarang," kata Devan dengan penuh keyakinan. Dia memberikan selembar kertas berisi surat perjanjian yang dikirimkan papanya kepada Anggita.

"Aku tahu Papa sudah mengirim pengacara menemui istriku dan memintanya untuk menandatangani surat perjanjian menikah. Aku tidak akan membiarkan semua ini terjadi. Dia istriku secara agama dan negara. Suka tidak suka, mau mengakui atau tidak, dia tetap akan menjadi istriku di mata dunia!" tegas Devan lagi.

Radeya mengusap dadanya yang terasa sesak. Kecewa, marah, sekaligus menyesal bercampur menjadi satu. Dia sudah memutuskan untuk menyingkirkan Anggita dari rumahnya, setelah Devan meninggal. Tetapi lagi-lagi, putranya itu membuat kejutan yang berhasil mengejutkannya.

Diam-diam Devan menemui pengacara dan menyerahkan semua miliknya kepada Anggita bila suatu saat terjadi sesuatu kepadanya. Dan sekarang ia terpaksa harus menyerahkan jabatan CEO kepada Anggita sesuai surat wasiat yang ditulis oleh putranya itu.

"Aaaaarghhh!"

Radeya membanting barang-barang yang ada di dekatnya sehingga berserakan di atas lantai. Dia mengepalkan kedua tangannya dengan erat di atas meja. Deru napas laki-laki paruh baya itu naik turun tidak beraturan.

***

"Bagaimana perasaanmu sekarang? Kau pasti bahagia karena sudah berhasil mendapatkan yang kau inginkan," ujar Aluna memgejek.

Wanita itu sengaja mendatangi ruangan kerja Anggita hanya untuk mengatakan semua itu. Dia masih sangat tidak terima dengan keputusan yang diambil oleh papanya. Seharusnya dia yang mendapatkan posisi CEO bukannya Anggi yang bukan siapa-siapa. 

Anggita yang saat itu sedang berbicara dengan sekretarisnya langsung menatap Aluna dengan dahi yang berkerut. Kelakuan adik iparnya itu sangat tidak sopan, masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu dan berucap yang sangat tidak pantas diucapkan oleh seorang putri pemilik perusahaan terbesar ini.

Anggita melirik sekretarisnya yang sedang melongo, terkejut atas sikap Aluna. Dia mengisyaratkan agar wanita itu ke luar dari ruangannya karena tidak bagus jika dia mendengarkan pembicaraannya dengan Aluna.

"Aluna, apa kamu tidak bisa mengetuk pintunya dulu sebelum masuk? Dan tolong jaga bicaramu itu," ujar Anggi tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada Aluna.

Wanita itu tersenyum sinis. Menatap Anggita dengan tatapan mengejek.

"Lihatlah! Kekuatan uang sudah bekerja. Sekarang kau sudah berani mengajariku," ucap Aluna sinis.

Anggita menghela napas panjang. Memang dia selalu serba salah di mata keluarga Devan.

"Dengar ini baik-baik. Jangan bangga dulu karana kau telah berada di posisi ini, karena sebentar lagi kau akan segera turun dari jabatanmu dan akan ditendang jauh-jauh!" ancam Aluna dengan sorot mata berapi-api.

Wanita berambut sebahu itu langsung pergi begitu saja setelah menyampaikan ancamannya kepada Anggita.

Selepas Aluna pergi, Anggita langsung terduduk lemas di atas kursi miliknya. Dia menghela napas panjang dan mengembuskan secara perlahan.

Dia tidak yakin apa dia akan bisa melewati semuanya sendirian tanpa adanya Devan seperti biasa yang selalu memberinya semangat.

Namun, apapun yang terjadi, dia akan berusaha bekerja sebaik mungkin demi menjaga nama baik suaminya.

"Kau pasti sangat sedih dan terkejut atas kepergian kakakmu."

Aluna mendesahkan napas kasar. Setelah dari kantor, dia langsung bertemu dengan seorang yang sangat berarti dalam hidupnya selain kakak kesayangannya, Devan.

"Hm, aku sangat sedih. Semua ini terjadi begitu mendadak, apa lagi kak Devan meninggal dengan cara seperti itu," ujar Aluna dengan nada lirih.

"Tapi rasa sedih itu sedikit terobati saat kamu ada di dekatku, Sa. Aku selalu merasa aman dan nyaman saat kamu menemaniku," sambungnya lagi.

Aluna menatap Mahesa yang bergeming mendengar pengakuan yang diucapkannya. Dia menyenderkan kepalanya pada pundak laki-laki itu.

Mahesa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Ragu, Mahesa mengangkat sebelah tangannya untuk menepuk pelan punggung wanita itu.

"Aku yakin, kakakmu sedang melihatmu dari atas langit. Jadi, jangan terlalu bersedih lagi karena dia pasti tidak akan menyukai melihat adik kesayangannya menangis," ujar Mahesa lirih. Berusaha menenangkan perasaan Aluna yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. 

Aluna menjauhkan kepalanya dari bahu Mahesa. Dia menatap lamat wajah laki-laki berkulit putih itu cukup lama. Iris matanya sayu dan berkaca-kaca.

Aluna menghela napas panjang. "Aku sedih tapi aku juga marah sama Kak Devan."

Mahesa mengernyitkan kedua alisnya. "Kenapa bisa begitu?" tanyanya heran.

"Ya, aku kesal karena dia telah menikahi seorang wanita kampung dan miskin, juga tidak tahu diri. Dia melakukan apapun untuk wanita itu, dan sekarang dia berhasil menggantikan tempat Kak Devan di kantor," gerutunya kesal.

"Yang tidak baik menurutmu belum tentu seperti itu di mata kakakmu. Jangan menilai seseorang dari satu sisi saja, cobalah untuk melihat dari sisi lainnya juga. Maka kamu akan mengerti mengapa kakakmu memilihnya," jelas Mahesa.

Dia tidak mengerti dengan situasi kejadian yang sebenarnya terjadi di keluarga Aluna. Tapi yang jelas, dia ingin selalu berpikir positif. Tak ingin membebani pikirannya dengan hal-hal yang belum tentu kebenarannya seperti apa.

Aluna kembali menatap Mahesa dengan rasa kagum. Dia mengembangkan senyuman. "Itulah mengapa aku selalu menyukaimu. Dan akan selalu begitu selamanya. Kamu selalu bijak dalam menilai hal apapun," aku Aluna.

Mahesa bergeming. Mendengar pengakuan perasaan Aluna terhadapnya membuat ia sulit menelan salivanya sendiri.

"Tidak apa-apa kau tidak menerimaku sekarang. Aku akan selalu menunggu sampai kamu siap dan mau menerimaku menjadi wanita yang kau cintai," ucap Aluna penuh harap. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status