Sesuai kesepakatan pagi tadi, Anggita bersedia ikut makan siang bersama Mahesa. Awalnya dia pikir laki-laki beralis tebal itu akan membawanya ke restoran atau kafe, tetapi tebakannya salah. Mahesa menepikan mobilnya di halaman sebuah bangunan rumah yang cukup luas.
Mahesa turun dari mobilnya kemudian membantu Anggita memebukakan pintu mobil. Wanita itu ke luar dengan ekspresi bingung. Dia tidak tahu mereka sedang berada di mana sekarang."Kenapa kita ke sini? Bukannya kamu bilang mau makan siang?" Setelah cukup lama hanyut dalam kebingungannya, Anggita pun mengutarakan isi dalam pikirannnya."Ya, kita akan makan siang di rumahku," ucap Mahesa dengan tenang.Anggita mengejapkan matanya dua kali setelah mendengar perkataan laki-laki yang ada di hadapannya. "Ke–kenapa makan siangnya di rumahmu?" tanyanya gugup.Belum sempat Mahesa menjelaskan, seorang gadis kecil ke luar dari rumahnya dan berlari menghampiri mereka.Sejak pertemuan dengan Sabiya saat makan siang pekan lalu. Hubungan Anggita dengan gadis kecil itu semakin dekat. Dia bahkan sering mampir main ke toko kue agar bisa bertemu dengan Anggita dan meminta wanita itu untuk sering berkunjung ke rumah.Seperti hari ini, Sabiya secara khusus meminta Anggita untuk menghadiri undangan dari sekolahnya. Ia tahu Mahesa sedang sangat sibuk dengan pekerjaan, sementara nenek dan kakeknya sudah cukup sering menghadiri acara sekolah. Sabiya ingin sekali-kali dia hadir dengan seorang wanita seusia papanya agar semua orang tahu bahwa dirinya juga memiliki seorang ibu.Memang, biasanya Aluna juga sering menghadiri acara di sekolahnya menggantikan Mahesa. Tetapi kali ini dia tidak ingin undangannya dihadiri oleh Aluna. Itu sebabnya Sabiya meminta Anggita untuk datang."Sabiya memintaku menghadiri undangan dari sekolahnya," ucap Anggita memberi tahu Mahesa tentang permintaan putrinya.
Seorang gadis kecil terlihat cemas menunggu kedatangan seseorang. Semua orang tua murid sudah berkumpul di kelas bersama anak-anak mereka. Hanya tinggal dirinya saja yang masih menunggu di luar kelas sendirian."Bia, apa papamu belum datang?" tanya wali kelas Sabiya. Wanita paruh baya itu ikut mengedarkan pandangannya ke luar menunggu wali murid gadis kecil di sampingnya. "Apa mungkin dia tidak akan datang?" gumamnya pelan.Sabiya menggelengkan pelan kepalanya. "Orang tuaku masih di jalan. Mungkin sebentar lagi akan datang," ujar Sabiya lirih.Wanita paruh baya itu tersenyum dan menganggukkan pelan kepalanya. "Ya sudah kalau gitu kamu tunggu di dalam. Ibu akan coba menghubungi papamu lagi," ujarnya yang langsung dibalas anggukkan kepala oleh Sabiya.Wali kelas Sabiya langsung menghubungi Mahesa untuk bertanya apakah dia akan menghadiri acara disekolah putrinya atau tidak. Karena acara akan segera dimulai dalam beberapa menit lagi.
"Papa ...."Sabiya berlari menyambut kedatangan Mahesa yang hendak menjemputnya. Lelaki beralis tebal itu menyambut putrinya dengan pelukan hangat dan ciuman di pipi gembulnya."Apa acaranya sudah selesai? Maaf, Papa tidak bisa datang tepat waktu," ucap Mahesa dengan raut wajah menyesal di hadapan putrinya."Acaranya sudah selesai dari tadi, Pa. Tapi Bia senang karena Bibi Gita mau menemaniku. Kami mengikuti lomba bernyanyi dan menggambar tadi," jelas Sabiya dengan semangat. Nampak sekali raut bahagia di wajah gadis kecil iyu."Kamu sudah datang?" sapa Anggita kepada Mahesa."Ah, ya. Tapi acaranya sudah selesai. Maaf sudah merepotkanmu," ucap Mahesa yang disambut senyum hangat oleh Anggita.Seorang wanita paruh baya bersama putranya datang menghampiri mereka. Wanita itu menyapa Mahesa dan mengajaknya berbincang sebentar."Saya dengar papanya Sabiya sebentar lagi mau menikah? Kalau sudah ada ni
“Bia Sayang, Bibi pamit pulang dulu, ya.” Anggita berpamitan kepada Sabiya.Waktu menunjukkan sudah pukul 9 malam. Sudah waktunya Anggita pulang setelah seharian ia habiskan menemani Sabiya jalan-jalan.“Bibi kenapa gak nginep di sini aja? Temani Bia tidur malam ini. Lagian kan sebentar lagi Bibi Gita mau jadi mamanya Bia,” ucap Sabiya. Gadis itu merengek sambil mengayun-ayunkan tangan Anggita, manja.Anggita meringis menelan saliva yang terasa mengering di tenggorokannya. Dia melirik ke arah Mahesa meminta bantuan lelaki itu untuk membujuk Sabiya.Mahesa tersenyum tipis. Dia berjongkok untuk menyetarakan tinggi tubuhnya dengan putrinya. Satu tangan terangkat mencubit pipi gembul sang anak tercinta.“Bia serius mau Bibi Gita jadi mamanya Gia?” tanya Mahesa. Gadis kecil itu melihat wajah Anggita sesaat kemudian menganggukkan kepalanya dengan semangat.Anggita mengejapkan
Anggita keluar dari kamarnya untuk melihat keadaan di luar. Suara kegaduhan itu semakin jelas terdengar. Meski takut dia memberanikan diri untuk turun ke bawah melihat apa yang sedang terjadi.Alangkah terkejutnya Anggita ketika melihat kursi-kursi beserta benda-benda lainnya berantakan. Lebih tercengang lagi saat ia melihat dia orang pria berbadan besar mengenakan penutup wajah kini sedang melihat ke arahnya."Siapa kalian?" terur Anggita dengan suara bergetar.Dua pria itu tak menjawab. Mereka malah tertawa puas setelah melakukan pekerjaannya. Dan sekarang, mereka berjalan mendekat ke arah Anggita."Ja-jangan mendekat! Ka-kalian mau apa, hah?" ujar Anggita dengan suara bergetar ketakutan.Dia memundurkan langkahnya menghindari dua pria yang tidak terlihat wajahnya."Jangan takut, cantik. Kami tidak akan menyakitimu," ucap salah satu pria itu mencoba menenangkan Anggita.Wanita itu semakin ke
"Lepaskan! Tolong jangan sakiti aku!"Anggita memohon sambil menangis gemetar ketakutan. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan tali."Diam! Sudah kami katakan, kami tidak akan menyakitimu. Tugas kami hanya membawamu pergi sejauh mungkin dari kota ini," Pria bertopeng itu menyobek lakban kemudian menempelkannya di mulut Anggita.Kedua penjahat itu menutup kepala Anggita dengan kain berwarna hitam. Kemudian membawanya untuk segera pergi dari tempat itu sebelum ada orang yang memergoki mereka.Mereka berjalan dengan tergesa-gesa. Memasukkan tubuh Anggita yang tak berdaya ke dalam bagasi mobil. Baru saja penjahat itu akan menutup bagasi, seseorang dari belakang memukul pundaknya dengan benda tumpul."Aaaarrgh ...."Pria itu meraung kesakitan dan berbalik untuk melihat pelaku yang telah berani memukulnya dari belakang. Belum sempat dia membalas pukulan tersebut Mahesa kembali memukul pria itu hingga terhuyung
Anggita mengejapkan mata menyesuaikan penglihatannya dengan silau sinar matahari yang masuk lewat kaca jendela. Dia mendesah mengumpulkan puing-puing memori kemarin malam."Kamu sudah bangun? Bagaimana perasaanmu sekarang?"Anggita menoleh ke arah sumber suara. Mahesa baru saja masuk ke kamar membawakan nampan berisi makanan dan minum untuk Anggita."Aku ada di mana?" tanya Anggita lirih.Mahesa tersenyum lembut. "Kamu aman di rumahku," sahut Mahesa sambil mengusap rambut Anggita."Aku takut sekali. Entah apa yang akan mereka lakukan andai kamu tidak datang menolongku," ucap Anggita lirih. Air matanya terjatuh membasahi pipi putih dan mulus.Mahesa menarik pelan tubuh Anggita ke dalam dekapannya. Mengusap kepala wanita itu dengan lembut menyalurkan rasa aman untuknya."Jangan takut. Aku berjanji kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi. Mereka sudah dibawa ke kantor polisi untuk penyelidi
Mahesa menemani Anggita mendatangi kantor polisi untuk memberikan kesaksiannya atas dua penjahat yang berniat mencelakai Anggita. Dari penyelidikan dinyatakan dua penjahat adalah orang bayaran yang mendapat perintah untuk mencelakai Anggita. Namun kedua penjahat itu tidak memberitahu siapa bos mereka karena saat transaksi terjadi mereka tidak bisa melihat wajah bosnya.Mereka juga tidak memiliki nomor ponsel bosnya karena setiap menghubungi mereka bosnya itu menggunakan private number. Namun yang pasti dari suara yang mereka dengar, bos mereka adalah seorang wanita.Mahesa meminta agar polisi menindaklanjuti mencari dalang dibalik kejahatan yang dilakukan kepada Anggita. Setelah dari kantor polisi, Mahesa mengantarkan Anggita pulang. Lelaki itu tidak mengizinkan lagi Anggita tinggal di toko roti sendirian. Dia meminta wanita itu tinggal di rumahnya bersama Sabiya."Kamu istirahat di rumah. Jangan pergi ke mana-mana tanpa ditemani siapa pun. Aku