LOGINAcara pesta berlangsung dengan meriah. Puncak acaranya terjadi saat Bambang dan Widya memotong sebuah kue besar dengan banyak buah stroberi di atasnya. Setelahnya kue diambil alih tukang dekor untuk dipotong dan dibagikan pada para tamu undangan.
Bagian yang paling Freya sukai ya memakan kue stroberi itu. Meski dia sendirian, dia tak masalah. Freya cukup menikmati acara dan memuaskan perut dengan banyak makan makanan dan minuman enak.Bahkan dia juga tak menggubris Arya yang terus dipepet oleh wanita bergaun kuning bernama Zea. Wanita itu selalu lengket di lengan Arya, bertingkah seolah dia adalah kekasihnya Arya.Freya tak masalah. Toh di sini dia hanya berperan sebagai kekasih palsu."Hei, tadi kamu kemana?" Lagi-lagi Dikta datang mendekat. "Kok aku cariin gak ada?""Diajak Arya ketemu sama kakek dan nenek." Freya menjawab dengan mulut yang masih penuh dengan makanan."Ditelan dulu makanannya baru jawab," ucap Dikta terkekeh pelan. "Terus respon kakek danFreya berdiri di depan pintu yang terbuka sedikit dengan hati yang berdebar kencang. Arya sudah berjalan masuk kemudian dia ikut melangkah perlahan di belakang Arya.Begitu masuk, dia mengendus bau bunga melati yang menyegarkan dari vas di meja samping ranjang. Di sana, Widya terbaring dengan mata tertutup, wajahnya pucat dan kering. Di sisi lain ranjang, duduk Bambang seorang diri dengan rambut putih seperti kapas, mengenakan pakaian kasualnya. Tangan keringnya yang penuh keriput memegang tali infus yang terhubung ke lengan Widya, sedangkan tabung cairan tergantung di tiang di samping ranjang. Widya menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara orang masuk. Mata masih nampak jernih meskipun usianya sudah lanjut. Dia melihat kedatangan Arya dengan wajah masam, tapi begitu melihat Freya berjalan di belakang, ada secercah harapan di dalam pandangannya. "Freya." Suaranya lembut, seperti angin sepoi. "Duduk di sini." Dia menunjuk kursi kecil di dekat ranjang. Freya men
Arya ikut menoleh ke belakang, dimana Rio memang sudah hampir melewati mobilnya. "Tenang, kaca mobilnya gelap. Harusnya dia gak bakal bisa lihat ke arah sini sih," kata Rio berusaha menenangkan.Meski Arya sudah berkata demikian, Freya tetap khawatir. Apalagi saat Rio menghentikan langkahnya dan menatap ke arah mobil Arya."Ngapain dia lihat-lihat ke arah sini?" gumam Freya.Mereka berdua memperhatikan gerak-gerik Rio yang menunjuk-nunjuk ke arah mobil. Kemudian Rio mengajak kawannya berjalan mendekat."Mampus. Ngapain pakai acara deketin mobil ini segala?" gumam Freya dengan wajah memucat.Sedang Arya masih berusaha menghidupkan mesin yang belum mau menyala."Hush, hush, sana!" Freya bergumam sendiri, merapal mantra agar Rio berubah pikiran mau pergi menjauh dari mobilnya Arya.Bukannya berhasil, Rio malah mengetuk pintu jendela mobil. Dia berkata, "Permisi, apa mobilnya mogok?""Mas, kita harus apa?" Freya menutupi wajahnya agar tak terlihat ol
"Di perjanjian gak ada tuh tertulis menuruti perintah di kantor," elak Freya."Tapi aku atasanmu dan kamu bawahanku. Seorang bawahan harus nurut ke atasan. Kalau enggak, aku bakal laporan kamu ke Pak Budi."Mendengar ancaman itu, mau tak mau Freya menuruti perintah Arya untuk mengerjakan tugasnya di ruangan itu dengan wajah sepenuhnya cemberut. Arya dan Freya bekerja sama sepanjang hari sampai sore menjelang. Mereka saling bertukar ide dan memberikan masukan. Mereka berdebat dan berdiskusi, tetapi mereka selalu berusaha untuk mencapai kompromi. Matahari semakin tenggelam dan semua karyawan sudah pulang. Hanya tertinggal mereka yang baru bersiap-siap untuk pulang. "Fre, nanti malam aku jemput kamu," kata Arya sambil membereskan berkas-berkas."Ha? Kemana?""Ke rumah nenek. Beliau pengen ketemu sama kamu."Freya teringat akan ucapan sang ibu agar tidak dekat-dekat dengan keluarga Bintara."Emm... tapi malam ini kayaknya aku gak bisa. Ada acara keluarga." Freya mencoba memberi alasan.
Keesokannya, suasana hati Freya terasa membaik. Di kantor, saat dia berjalan melewati ruangan kerja sang manajer, dia melirik ke arah dalam. Dimana ada Arya yang sedang sibuk mengamati dokumen dengan satu tangan lain sibuk memegang ponsel.Ciumannya dengan Arya kemarin masih terasa hangat dalam ingatannya. Membuat wajahnya seketika memerah. Dia masih mengingat bibir Arya yang terasa basah, lembut dan juga dingin di bibirnya.Tanpa disangka, Arya melirik ke arahnya juga. Membuat Freya salah tingkah hingga tak sengaja kepalanya menabrak tembok."Aduh!" Freya meringis kesakitan sambil memegangi dahinya yang berdenyut-denyut.Terdengar suara tawa yang cukup keras dari dalam ruangan. "Ada yang terpesona nih kayaknya..."Freya malu. Jadi dia langsung lari menjauh. Setelah dirasa sudah jauh, dia berhenti untuk mengambil napas."Freya," panggil seseorang dari arah belakang. Itu adalah Bintang, setengah berlari ke arah Freya.Freya menoleh. "Bintang? Ada apa?""Kamu gak buka pesan wa?" Suara B
Suasana dalam lift menjadi dingin begitu Arya masuk. Freya menyipitkan mata pada Arya yang berdiri di sudut lift-berseberangan dengan tempatnya berdiri sekarang. "Maksud bapak apa nanya begituan ke saya?" tanya Freya berani. Mode formal kembali Freya lakukan, mengingat mereka berada di kawasan kantor sekarang.Lift berjalan naik secara perlahan. Arya menatap Freya dengan melipat kedua tangannya. "Kamu beneran gak tahu atau pura-pura gak tahu? Lihat tuh pipimu, merah kayak tomat." sindir Arya, menatap tajam. Freya memegang wajahnya sendiri kebingungan. Kemudian dia melihat pantulan wajahnya sendiri ke dinding lift untuk mengecek kebenarannya. Tapi hasilnya buram.Yah, dia harus berharap apa pada dinding lift?"Kayaknya kemarin ada yang bilang ke aku, kalau dia bakal tremor kalau diajak ciuman sama pacarnya. Apa dia lupa ya?" Arya bertingkah seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri."A-aku, dia... tiba-tiba-"Ucapan Freya langsung dipotong oleh Arya. "Kalau kamu emang kebelet pe
Hari untuk kembali bekerja sudah datang. Freya berjalan lesu saat keluar dari rumah. Dia tak memiliki semangat seperti biasanya. Pasalnya, sang ibu sudah mewanti-wanti dirinya untuk segera resign sewaktu mereka sarapan bersama tadi.Padahal Freya sendiri merasa sayang jika harus mengorbankan karir hanya demi rasa kekhawatiran yang tak berdasar.Ibunya hanya mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Freya sudah berusaha membujuk, tapi nihil tiada hasil.Saat berada di ujung gang, Freya menghentikan langkah. Matanya tertuju pada sebuah mobil hitam yang terparkir di tepi jalan. Ternyata Rio datang, berniat mengantar Freya pergi bekerja. "Kamu nih kebiasaan deh. Ponsel suka gak di-charge sampai susah untuk dihubungi," omel Rio sewaktu di dalam mobil, fokus menyetir."Maaf, Sayang. Aku kecapekan soalnya.""Kecapekan habis ngapain sih? Padahal hari sabtu kamu udah bilang ketemu klien. Gak mungkin kan hari minggunya kamu ketemu klien lagi?" cecar Rio, membuat Freya kebingungan untu







