LOGINTentu saja yang dimaksud client oleh Freya adalah Arya.
Keesokannya. Tepat di jam setengah enam sore. Freya menaati perintah Arya untuk datang ke apartemennya. Dia sudah siap dengan setelan hitam-hitam. Semua yang dipakainya berwarna hitam. Mulai dari baju panjang, rok lipit panjang, bucket hat dan juga sneakers berwarna senada. Bahkan tas pundaknya pun berwarna hitam. Sengaja dia memilih warna hitam sebagai penyamarannya. Kamar apartemen Rio berada di satu gedung dengan kamar apartemen milik Arya. Kalau Freya tak berhati-hati, bisa-bisa dia terciduk oleh Rio. Begitu taksi sudah mengantarnya di depan gedung, Freya mengenakan masker hitam dan juga kacamata hitam. Dia benar-benar seperti seonggok warna hitam yang bisa berjalan. Dengan mengendap-endap, dia berjalan masuk ke area lobi yang sempit lalu ke lorong lantai dasar yang sedikit gelap. Freya mengetuk pintu kamar Arya dengan hati-hati. Pandangannya tetap awas ke seluruh penjuru. Sesekali dia membenarkan letak masker dan kacamatanya yang sedikit melorot. Tapi Arya tak segera membukakan pintu, membuat Freya tak sabar hingga dia bukan lagi mengetuk tapi menggedor-gedor pintu. Tak lama, Arya membuka pintu, tapi hanya sedikit. Kepalanya menyembul sedikit dan kedua matanya menyipit. "Siapa-" "Ini saya," bisik Freya. "Cepat bukakan pintu." Begitu Arya membuka pintu lebih lebar, Freya langsung masuk dan menutupnya dengan cepat. Dia baru bisa bernapas lega setelahnya. "Kok lama banget sih bukain pintunya?" protes Freya sambil membuka masker, kaca mata dan juga bucket hat miliknya. Udara dingin dari ac segera memberi kesegaran di wajahnya yang berkeringat. "Aku kira kamu penguntit. Gak ekspek kalau kamu pakai baju serba hitam kayak gitu." Arya menatap penampilan Freya dari atas sampai ke bawah. "Outfitmu kayak mau pergi takziah." "Apaan sih. Ini kan buat penyamaran," kata Freya sedikit kesal. "Bapak tahu sendiri kan kalau Rio itu kamarnya di lantai atas? Saya gak mau ketahuan." "Segitu cintanya ya sama Rio? Sampai rela berbuat kayak gini?" "Iya dong. Dia itu cowok teromantis yang pernah saya kenal. Beruntung saya punya pacar kayak dia." Ucapan Freya membuat Arya mual. "Udahlah, kita mau ngapain sekarang?" Freya merasa tak sabar. Tujuannya ke sini hanya ingin menuntaskan permasalahannya dengan Arya supaya selama mereka bekerja, tak ada lagi kecanggungan yang terasa. "Duduk dulu. Aku ambilin minum." Ditawari begitu, dengan senang hati Freya duduk di atas sofa berwarna abu tua yang letaknya di sudut ruangan. Saat duduk dia baru menyadari kalau apartemen milik Arya begitu sempit. Tipenya studio, yang mana semua barang berada di dalam satu ruangan. Begitu masuk tadi, dia bisa melihat kamar mandi dan juga dapur yang letaknya berseberangan. Lalu ada kasur di atas dipan beserta sofa yang dia duduki sekarang, tanpa adanya sekat. "Nih." Arya memberikan minuman kaleng yang dingin pada Freya sebelum duduk di sofa seberangnya Freya. Setelah berterima kasih, Freya hanya menatap minuman kaleng tersebut tanpa ada niatan untuk meminumnya. Setelah kejadian dia dicekoki minuman oleh Erlin, dia menjadi trauma. "Tenang, gak ada racun kok," ujar Arya seolah mengetahui isi pikiran Freya. "Siapa juga yang ngira di dalamnya ada racun. Saya cuma baca komposisinya aja kok." Dengan sedikit kesal, Freya membuka minuman kaleng tersebut lalu menenggaknya hingga habis tak tersisa. Rasanya segar, sedikit manis dan ada rasa buahnya. Freya lumayan suka dengan rasanya. "Tujuanku bawa kamu ke sini karena ingin memberimu tawaran," kata Arya tiba-tiba. "Tawaran? Apa itu?" Arya mengeluarkan selembar kertas dari dalam laci nakas dan menaruhnya di atas meja yang menjadi pembatas di antara mereka. "Tawaran untuk menjadi kekasih palsuku selama sebulan." Kedua mata Freya membulat sempurna. "Apa? J-jangan konyol deh, Pak. Bukannya kata bapak saya disuruh kesini untuk bertanggung jawab?" "ini juga merupakan bagian dari tanggung jawab." Arya memajukan kursi, supaya jaraknya dengan Freya tidak terlalu jauh. "Kalau kamu mau nerima tawaran ini untuk menjadi kekasih palsuku selama sebulan, kesalahanmu yang 'memperkosa'ku itu bakal aku anggap gak ada." Freya menatap lurus ke arah Arya, berusaha mencerna setiap ucapan Arya yang menurutnya seperti bercanda. "Kalau saya gak mau, gimana?" tanya Freya penasaran. "Aku bakal bocorin kelakuanmu ke semua orang, termasuk si Rio." Rahang Arya mengeras dan pandangannya tajam. Dia terlihat serius dengan ancamannya. "Biar semua orang tahu, betapa liarnya kamu memperkosa- hmmpt!" Freya menutup mulut Arya dengan cepat. Dia sendiri tak sanggup saat mendengar kalau dirinyalah yang memperkosa Arya, bukan sebaliknya. Apa dia begitu binal saat mabuk? Entahlah. Freya sendiri tak mengingatnya. "Oke, oke. Kalau saya nerima tawaran itu, untungnya buat saya apa?" "Bukannya udah aku bilang, kalau kamu nerima tawaran itu, kelakuanmu kemarin malam bakal aku anggap gak ada alias aku bakal memaafkanmu." "Hanya itu?" Freya menaikkan sebelah alisnya. "Emang yang kamu mau apa?" Nada suara Arya mulai meninggi. "Tindakanmu kemarin itu termasuk kriminal tahu gak? Harusnya kamu bersyukur gak aku laporin tindakanmu semalam ke polisi." Freya menurunkan kedua sudut bibirnya ke bawah lalu memainkan jari-jemarinya di atas meja. "Iyadeh, Pak." "Ya udah, sekarang kamu tanda tangan di selembar kertas ini supaya kamu gak lari nanti." Arya menyerahkan selembar kertas yang tadi diambilnya dari laci nakas. Freya membaca perjanjian yang tertera di kertas itu dengan mata seksama. "Dimana saya harus tanda tangan?" Arya menunjuk sudut bawah di sebelah kanan lembar tersebut. "Di sini, kasih namamu." Lalu menyerahkan pulpen. Setelah tanda tangan hati Freya bergetar, Apa keputusanku sudah benar?Freya sudah tak punya pilihan lain selain menyetujui tawaran Arya. Di kertas itu sudah tertulis bahwa Freya sebagai pihak kedua akan menjadi kekasih palsu pihak pertama. Lalu di baris selanjutnya, pihak kedua harus menuruti semua perintah pihak pertama dan tidak boleh menolak. Semua poin itu akan berjalan selama sebulan lamanya.Dengan berat hati Freya menandatangani. Ini semua demi nama baik dan bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri.Setelah itu, Freya diajak oleh Arya keluar dari gedung menuju ke suatu tempat yang Freya belum ketahui dimana. Dia hanya harus menuruti perintah Arya dan diam.Begitu mobil berhenti, Freya melirik ke arah luar dari jendela mobil. Sebuah butik mewah dua lantai bernuansa putih membuatnya terpukau takjub. "I-itukan La Maison de Lumiere?" gumam Freya sedikit gugup saat melihat tulisan emas yang melengkung di papan nama kayu hitam pada sebuah butik termewah dan termahal di kota.Arya keluar dari mobil lalu membukakan pintu untuk Freya. Mendapat perlaku
Tentu saja yang dimaksud client oleh Freya adalah Arya.Keesokannya. Tepat di jam setengah enam sore. Freya menaati perintah Arya untuk datang ke apartemennya. Dia sudah siap dengan setelan hitam-hitam. Semua yang dipakainya berwarna hitam. Mulai dari baju panjang, rok lipit panjang, bucket hat dan juga sneakers berwarna senada. Bahkan tas pundaknya pun berwarna hitam. Sengaja dia memilih warna hitam sebagai penyamarannya.Kamar apartemen Rio berada di satu gedung dengan kamar apartemen milik Arya. Kalau Freya tak berhati-hati, bisa-bisa dia terciduk oleh Rio.Begitu taksi sudah mengantarnya di depan gedung, Freya mengenakan masker hitam dan juga kacamata hitam. Dia benar-benar seperti seonggok warna hitam yang bisa berjalan.Dengan mengendap-endap, dia berjalan masuk ke area lobi yang sempit lalu ke lorong lantai dasar yang sedikit gelap. Freya mengetuk pintu kamar Arya dengan hati-hati. Pandangannya tetap awas ke seluruh penjuru. Sesekali dia membenarkan letak masker dan kacamatanya
Freya tak menjawab ucapan Arya, dia masih berusaha mengambil ponselnya meski Arya terus menghalanginya."Gimana kalau aku aja yang angkat?" goda Arya dengan tersenyum jahil."Jangan!" jerit Freya panik. Kalau sampai Arya menjawab panggilan itu, Arya pasti akan membeberkan kejadian semalam pada Rio."Akui dulu kalau yang datang ke apartemenku semalam itu kamu."Freya menggigit bibir bawahnya. Dia panik, merasa berat untuk mengakui perbuatannya semalam. Padahal niatnya tadi, dia ingin membalas perbuatan Arya yang tak mengenakkan tadi pagi. Tapi kenapa malah balasan itu berbalik padanya sekarang?"Gimana? Masih gak mau ngaku? Ya udah aku angkat." Freya kembali menjerit, tapi Arya seolah tuli. Dia sudah menekan tombol hijau dan panggilan sedang berlangsung."Halo? Sayang? Kamu gak apa-apa, Kan? Kok tiba-tiba teleponnya mati tadi?" Suara Rio yang berat menggema di telinga Freya. Membuat pelipis Freya keringat dingin.Masih dengan senyuman jahilnya, Arya mendekatkan ponsel ke bibirnya lalu
Freya berjalan keluar dari ruangan meeting dengan lesu. Siapa yang menyangka kalau pria yang tidur dengannya semalam adalah cucu dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja? Freya takut kalau nanti dia akan mendapat masalah karena biasanya berurusan dengan orang berduit itu akan berakhir menjadi rumit."Menyebalkan!" Selain memikirkan hal tadi, Freya juga merasa kesal kalau mengingat sikap Arya padanya yang begitu menyebalkan saat di ruang meeting tadi.Entah apa yang membuat Arya terlihat begitu kesal padanya. Freya berpikir, apa karena kejadian semalam?Sebenarnya apa yang dia perbuat pada Arya semalam? Sampai Arya seperti ingin menjegalnya.Freya berusaha mengingat lagi kejadian semalam, tapi usahanya nihil. Ingatannya terputus begitu dia masuk kamar Arya."Sialan!" jerit Freya kesal. Beruntung lorong sedang sepi, jadi tidak ada orang yang mendengar jeritannya.Suara nada dering yang panjang membuyarkan kekesalannya. Saat melihat layar ponsel, wajahnya berubah gembira begitu tahu kal
Ya Tuhan... Kekonyolan macam apa ini? jerit Freya dalam hatinya.Setengah jam yang lalu pria yang baru datang di depan itu masih menjadi teman tidurnya, dan sekarang, pria itu menjadi manajer baru di timnya? Apa dunia sudah gila?"Halo semuanya, nama saya Aryana Bintara. Saya manajer baru yang akan menggantikan Bu Dira. Mohon bantuannya." Arya memperkenalkan diri dengan sopan. Dia menatap ke anggota tim satu persatu, lalu berhenti pada Freya yang mulutnya masih ternganga.Pak Budi tersenyum senang. Kerutan di wajahnya tadi seolah hilang setelah melihat kedatangan Arya. "Selamat datang di tim pemasaran, Pak Arya. Saya sangat berharap anda bisa membawa kemajuan untuk tim ini nantinya.""Baik, Pak.""Baiklah, mari kita mulai meetingnya."Tak ada pergerakan apapun dari Freya, Bintang menyenggol lengan Freya hingga tersadar. "Cepat mulai presentasinya, Fre," bisik Bintang dengan gemas."Oh... i-iya." Freya sangat terkejut dengan kehadiran Arya hingga tak sadar kalau dirinyalah yang harus
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menusuk mata Freya sehingga dia terkejut dan bangun. Kepalanya berdenyut-denyut seolah ada gendang yang dipukul dari dalam, dan tenggorokannya terasa kering seperti gurun. Freya menutupi wajah dengan lengan, mencoba menghindari cahaya, tapi ketika Freya menggeser badan, tangannya menyentuh sesuatu yang hangat dan juga lembut. Freya membuka mata perlahan. Jantungnya langsung berdebar kencang. Di sampingnya, seorang pria berambut ikal yang acak masih tertidur lelap, badannya hanya terbungkus selimut sampai pinggang. Wajahnya sama sekali tidak dikenal baginya. Ya Tuhan... siapa dia? Freya menutupi mulut dengan tangan, takut bersuara. Kemudian dia melihat ke arah bawah--tubuhnya sendiri. Dan seperti yang sudah dia duga, tubuhnya juga polos, hanya selimut yang menutupi tubuhnya. Apa sebenarnya yang terjadi kemarin? Freya merenung sambil merasakan tubuhnya lemas di atas kasur yang tidak dikenal. Ingatan semalam hancur seperti kaca peca







