로그인Freya sudah tak punya pilihan lain selain menyetujui tawaran Arya. Di kertas itu sudah tertulis bahwa Freya sebagai pihak kedua akan menjadi kekasih palsu pihak pertama. Lalu di baris selanjutnya, pihak kedua harus menuruti semua perintah pihak pertama dan tidak boleh menolak. Semua poin itu akan berjalan selama sebulan lamanya.
Dengan berat hati Freya menandatangani. Ini semua demi nama baik dan bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri. Setelah itu, Freya diajak oleh Arya keluar dari gedung menuju ke suatu tempat yang Freya belum ketahui dimana. Dia hanya harus menuruti perintah Arya dan diam. Begitu mobil berhenti, Freya melirik ke arah luar dari jendela mobil. Sebuah butik mewah dua lantai bernuansa putih membuatnya terpukau takjub. "I-itukan La Maison de Lumiere?" gumam Freya sedikit gugup saat melihat tulisan emas yang melengkung di papan nama kayu hitam pada sebuah butik termewah dan termahal di kota. Arya keluar dari mobil lalu membukakan pintu untuk Freya. Mendapat perlakuan begitu, Freya turun dari mobil dengan canggung. "Kita mau ngapain ke sini, Pak?" tanyanya. "Jangan panggil aku, Pak," desis Arya di telinga Freya. "Di sini kita sepasang kekasih. Jadi panggil aku dengan sebutan yang romantis." Yang romantis? Freya menatap Arya tak percaya. Bagaimana bisa dia memanggil Arya dengan panggilan yang romantis sedang sikap Arya ke dirinya saja begitu kaku dan dingin. "Ayo cepat masuk." "Baik, Pak." Arya melotot ke arah Freya yang membuatnya segera membenahi ucapannya. "B-baik, Sayang." Pintu kaca tebal membuka sendiri ketika dia dan Arya tiba, mengeluarkan angin dingin yang bercampur aroma bunga mawar dan kulit lembut. Nuansa elegan dan kemewahan bercampur menjadi satu, membuat hatinya meronta-ronta. Itu karena Freya merasa seperti orang kampungan. Penampilannya sekarang begitu kontras dengan gaun-gaun indah yang berjejer di sepanjang dinding butik. "Ya ampun, apa benar ini Arya?" Seorang wanita paruh baya dengan dandanan menor terlihat datang dari anak tangga dan mendekati Arya dengan heboh. "Halo, Tante Citra. Sudah lama kita gak ketemu ya." Arya hendak menjabat tangan wanita itu, tapi wanita itu malah langsung memeluk Arya begitu erat. "Bukan lama lagi, tapi luama sekali," ujar Tante Citra sedikit berlebihan. "Kamu kemana aja? Baru mengunjungi butik Tante setelah sepuluh tahun." Arya berusaha mengendurkan pelukan. "Maaf, Tante. Aku sibuk kerja." Citra memperhatikan Arya dengan mata berkaca-kaca. "Ya ampun, aku gak ngira kalau sekarang kamu udah jadi gagah dan setampan ini. Kamu mirip sekali dengan papamu waktu muda dulu." "Makasih, Tante." "Oh ya, gimana kabar kakek dan nenek? Apa mereka masih kerja?" "Udah pensiun, Tante. Sekarang perusahaan diambil alih sama Om Wijaya." "Sayang sekali..." Duh! Kayaknya bakalan lama nih, keluh Freya dalam hatinya. Dia masih berdiri tak jauh dari posisi Arya dan Citra yang masih asyik saling bertukar kabar seputar keluarga masing-masing. Tapi karena sedang diabaikan, dia pun merasa bosan. Akhirnya karena pembicaraan tak kunjung selesai, Freya berinisiatif untuk melihat-lihat sekeliling butik. Tak henti-hentinya Freya menatap takjub pada desain butik yang mewah tapi juga elegan. Lantai butik terbuat dari marmer putih yang memantulkan bayangan. Rak-rak kayu hitam yang terawat dengan baik menampilkan gaun-gaun busana dari desainer terkenal. Gaun itu beraneka ragam, mulai dari yang berwarna merah anggur yang mendalam, emas keemasan, dan putih mutiara yang menyala. Seorang pramuniaga dengan pakaian jas hitam yang rapi mendekatinya dengan senyum ramah. “Selamat sore, Nona,” ucapnya dengan nada yang lembut. “Ada yang bisa saya bantu?" Freya sedikit terkejut lalu melirik ke arah Arya yang masih sibuk mengobrol dengan Citra. Freya menghela napas, memandang sekeliling ruangan yang penuh dengan keanggunan. Dia berpikir, mungkin tidak ada salahnya melihat-lihat gaun sebentar. "Boleh saya lihat koleksi gaun terbaru dari butik ini?" tanya Freya dengan sopan. "Tentu, mari ikuti saya." Freya mengikuti pramuniaga menuju rak yang dihiasi lampu sorot lembut, melihat berbagai jenis gaun dengan potongan sederhana tapi terlihat mewah berbahan kain sutra. "Semua ini adalah gaun koleksi terbaru dari kami," tukas pramuniaga tadi. Freya melihat-lihat semua berbagai jenis gaun yang dapat menyilaukan mata itu dengan tatapan takjub tak henti-hentinya. "Ini pasti mahal sekali," gumamnya. Pramuniaga yang mendengarpun berkata, "Gak mahal kok. Di butik kami sedang ada diskon untuk pelanggan baru." "Oh ya?" Mata Freya berbinar-binar. "Kalau yang ini berapa?" "Kalau gaun yang sedang anda pegang itu harganya enam belas juta setelah diskon." Rahang Freya serasa ingin copot begitu mendengar harga gaun yang menurutnya desainnya begitu sederhana. Kalau yang sederhana saja begitu mahal, lalu bagaimana dengan yang mewah? pikir Freya gugup. Saat berpikir begitu, tatapan Freya bertemu dengan sebuah gaun yang berdiri megah di atas piringan kaca. Tanpa sadar, kakinya melangkah pergi ke sana. Gaun itu nampak indah. Berwarna merah seperti anggur merah tua, menggunakan kain sutra yang lembut dan berkilauan. Gaun itu tanpa lengan sama sekali, potongan baju menyoroti bahu dan lengan atas yang ramping, memberikan kesan elegan dan sedikit mendebarkan. Panjang gaun mencapai tanah, dengan helai kain yang melayang-layang lembut di belakang, tidak terlalu ketat namun cukup untuk menunjukkan lekukan tubuh tanpa terasa terlalu terbuka. "Freya?" Lamunan Freya buyar, dia terlonjak kaget lalu melihat ke arah belakang. Ada Arya yang berjalan menghampirinya dengan tatapan tajam. Citra terlihat berada di belakang Arya. "Aku cariin kamu dari tadi. Rupanya ada di sini?" "Maaf, pa- eh... maaf, sayang." Hampir saja Freya salah memanggil Arya di depan Citra. "Sepertinya kekasihmu terpukau dengan gaun yang ada di kaca itu, Arya," kata Citra. "Dia punya selera yang bagus. Gimana kalau biarkan dulu dia mencoba gaun itu?"Freya sudah tak punya pilihan lain selain menyetujui tawaran Arya. Di kertas itu sudah tertulis bahwa Freya sebagai pihak kedua akan menjadi kekasih palsu pihak pertama. Lalu di baris selanjutnya, pihak kedua harus menuruti semua perintah pihak pertama dan tidak boleh menolak. Semua poin itu akan berjalan selama sebulan lamanya.Dengan berat hati Freya menandatangani. Ini semua demi nama baik dan bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri.Setelah itu, Freya diajak oleh Arya keluar dari gedung menuju ke suatu tempat yang Freya belum ketahui dimana. Dia hanya harus menuruti perintah Arya dan diam.Begitu mobil berhenti, Freya melirik ke arah luar dari jendela mobil. Sebuah butik mewah dua lantai bernuansa putih membuatnya terpukau takjub. "I-itukan La Maison de Lumiere?" gumam Freya sedikit gugup saat melihat tulisan emas yang melengkung di papan nama kayu hitam pada sebuah butik termewah dan termahal di kota.Arya keluar dari mobil lalu membukakan pintu untuk Freya. Mendapat perlaku
Tentu saja yang dimaksud client oleh Freya adalah Arya.Keesokannya. Tepat di jam setengah enam sore. Freya menaati perintah Arya untuk datang ke apartemennya. Dia sudah siap dengan setelan hitam-hitam. Semua yang dipakainya berwarna hitam. Mulai dari baju panjang, rok lipit panjang, bucket hat dan juga sneakers berwarna senada. Bahkan tas pundaknya pun berwarna hitam. Sengaja dia memilih warna hitam sebagai penyamarannya.Kamar apartemen Rio berada di satu gedung dengan kamar apartemen milik Arya. Kalau Freya tak berhati-hati, bisa-bisa dia terciduk oleh Rio.Begitu taksi sudah mengantarnya di depan gedung, Freya mengenakan masker hitam dan juga kacamata hitam. Dia benar-benar seperti seonggok warna hitam yang bisa berjalan.Dengan mengendap-endap, dia berjalan masuk ke area lobi yang sempit lalu ke lorong lantai dasar yang sedikit gelap. Freya mengetuk pintu kamar Arya dengan hati-hati. Pandangannya tetap awas ke seluruh penjuru. Sesekali dia membenarkan letak masker dan kacamatanya
Freya tak menjawab ucapan Arya, dia masih berusaha mengambil ponselnya meski Arya terus menghalanginya."Gimana kalau aku aja yang angkat?" goda Arya dengan tersenyum jahil."Jangan!" jerit Freya panik. Kalau sampai Arya menjawab panggilan itu, Arya pasti akan membeberkan kejadian semalam pada Rio."Akui dulu kalau yang datang ke apartemenku semalam itu kamu."Freya menggigit bibir bawahnya. Dia panik, merasa berat untuk mengakui perbuatannya semalam. Padahal niatnya tadi, dia ingin membalas perbuatan Arya yang tak mengenakkan tadi pagi. Tapi kenapa malah balasan itu berbalik padanya sekarang?"Gimana? Masih gak mau ngaku? Ya udah aku angkat." Freya kembali menjerit, tapi Arya seolah tuli. Dia sudah menekan tombol hijau dan panggilan sedang berlangsung."Halo? Sayang? Kamu gak apa-apa, Kan? Kok tiba-tiba teleponnya mati tadi?" Suara Rio yang berat menggema di telinga Freya. Membuat pelipis Freya keringat dingin.Masih dengan senyuman jahilnya, Arya mendekatkan ponsel ke bibirnya lalu
Freya berjalan keluar dari ruangan meeting dengan lesu. Siapa yang menyangka kalau pria yang tidur dengannya semalam adalah cucu dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja? Freya takut kalau nanti dia akan mendapat masalah karena biasanya berurusan dengan orang berduit itu akan berakhir menjadi rumit."Menyebalkan!" Selain memikirkan hal tadi, Freya juga merasa kesal kalau mengingat sikap Arya padanya yang begitu menyebalkan saat di ruang meeting tadi.Entah apa yang membuat Arya terlihat begitu kesal padanya. Freya berpikir, apa karena kejadian semalam?Sebenarnya apa yang dia perbuat pada Arya semalam? Sampai Arya seperti ingin menjegalnya.Freya berusaha mengingat lagi kejadian semalam, tapi usahanya nihil. Ingatannya terputus begitu dia masuk kamar Arya."Sialan!" jerit Freya kesal. Beruntung lorong sedang sepi, jadi tidak ada orang yang mendengar jeritannya.Suara nada dering yang panjang membuyarkan kekesalannya. Saat melihat layar ponsel, wajahnya berubah gembira begitu tahu kal
Ya Tuhan... Kekonyolan macam apa ini? jerit Freya dalam hatinya.Setengah jam yang lalu pria yang baru datang di depan itu masih menjadi teman tidurnya, dan sekarang, pria itu menjadi manajer baru di timnya? Apa dunia sudah gila?"Halo semuanya, nama saya Aryana Bintara. Saya manajer baru yang akan menggantikan Bu Dira. Mohon bantuannya." Arya memperkenalkan diri dengan sopan. Dia menatap ke anggota tim satu persatu, lalu berhenti pada Freya yang mulutnya masih ternganga.Pak Budi tersenyum senang. Kerutan di wajahnya tadi seolah hilang setelah melihat kedatangan Arya. "Selamat datang di tim pemasaran, Pak Arya. Saya sangat berharap anda bisa membawa kemajuan untuk tim ini nantinya.""Baik, Pak.""Baiklah, mari kita mulai meetingnya."Tak ada pergerakan apapun dari Freya, Bintang menyenggol lengan Freya hingga tersadar. "Cepat mulai presentasinya, Fre," bisik Bintang dengan gemas."Oh... i-iya." Freya sangat terkejut dengan kehadiran Arya hingga tak sadar kalau dirinyalah yang harus
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menusuk mata Freya sehingga dia terkejut dan bangun. Kepalanya berdenyut-denyut seolah ada gendang yang dipukul dari dalam, dan tenggorokannya terasa kering seperti gurun. Freya menutupi wajah dengan lengan, mencoba menghindari cahaya, tapi ketika Freya menggeser badan, tangannya menyentuh sesuatu yang hangat dan juga lembut. Freya membuka mata perlahan. Jantungnya langsung berdebar kencang. Di sampingnya, seorang pria berambut ikal yang acak masih tertidur lelap, badannya hanya terbungkus selimut sampai pinggang. Wajahnya sama sekali tidak dikenal baginya. Ya Tuhan... siapa dia? Freya menutupi mulut dengan tangan, takut bersuara. Kemudian dia melihat ke arah bawah--tubuhnya sendiri. Dan seperti yang sudah dia duga, tubuhnya juga polos, hanya selimut yang menutupi tubuhnya. Apa sebenarnya yang terjadi kemarin? Freya merenung sambil merasakan tubuhnya lemas di atas kasur yang tidak dikenal. Ingatan semalam hancur seperti kaca peca







