LOGINFreya tak menjawab ucapan Arya, dia masih berusaha mengambil ponselnya meski Arya terus menghalanginya.
"Gimana kalau aku aja yang angkat?" goda Arya dengan tersenyum jahil. "Jangan!" jerit Freya panik. Kalau sampai Arya menjawab panggilan itu, Arya pasti akan membeberkan kejadian semalam pada Rio. "Akui dulu kalau yang datang ke apartemenku semalam itu kamu." Freya menggigit bibir bawahnya. Dia panik, merasa berat untuk mengakui perbuatannya semalam. Padahal niatnya tadi, dia ingin membalas perbuatan Arya yang tak mengenakkan tadi pagi. Tapi kenapa malah balasan itu berbalik padanya sekarang? "Gimana? Masih gak mau ngaku? Ya udah aku angkat." Freya kembali menjerit, tapi Arya seolah tuli. Dia sudah menekan tombol hijau dan panggilan sedang berlangsung. "Halo? Sayang? Kamu gak apa-apa, Kan? Kok tiba-tiba teleponnya mati tadi?" Suara Rio yang berat menggema di telinga Freya. Membuat pelipis Freya keringat dingin. Masih dengan senyuman jahilnya, Arya mendekatkan ponsel ke bibirnya lalu membuka mulut, hendak bersuara. Tapi dengan cepat Freya menutup mulut Arya dan menggelengkan kepala sebagai isyarat untuk Arya. "Saya bakal ngaku, tapi serahkan dulu ponselnya," bisik Freya di telinga Arya. Akhirnya ponsel dikembalikan pada Freya. Setelah mengatur napas, Freya menjawab panggilan dari Rio dengan suara lembut dan juga manja seperti biasanya. Dia memunggungi Arya yang masih berdiri di belakangnya dengan melipat kedua tangannya. Saat panggilan sudah selesai, Freya sudah bersiap-siap hendak melarikan diri. Tapi rupanya Arya menarik kerah blus Freya dari belakang--yang membuatnya hanya bisa lari di tempat. . . . Angin kencang yang berhembus melalui jendela menerpa wajah Freya yang sedang menatap ke arah luar. Dia terlihat menatap gedung-gedung pencakar langit yang berada jauh dari pandangannya, padahal otaknya dipenuhi kekhawatiran. Di depannya, Arya masih berdiri tegak dengan melipat kedua tangannya. Rambut ikalnya menari-nari seiring dengan pergerakan angin. Tapi tatapannya lurus ke arah Freya dengan mata menyipit. Saat ini mereka berada di dalam gudang kantor yang letaknya berada di rooftop. Suasana sepi karena hanya ada barang-barang terbengkalai. Sengaja Freya mengajaknya ke sana, agar tak ada orang yang mendengar pengakuannya. "Jadi semalam kamu mabuk. Terus niatnya mau ke apartemennya Rio, tapi malah salah masuk ke apartemenku?" Arya meringkas cerita Freya yang kemudian dijawab Freya dengan anggukan. "Terus habis itu pergi tanpa pamitan karena ingin lari dari tanggung jawab?" Freya mengangguk lagi. "Eh? Kapan saya bilang begitu?" tanyanya saat menyadari kalau ucapan Arya salah. "Kalau gak gitu, apa namanya? Kamu pergi tanpa pamitan. Itu lari dari tanggung jawab namanya." "Tanggung jawab? Emang saya ngapain aja semalam? Bukannya..." Freya berusaha mengingat keadaannya tadi pagi--saat dia bangun dengan keadaan polos. Wajahnya memerah karena malu. "...harusnya kan bapak yang tanggung jawab." "Kenapa jadi aku yang harus tanggung jawab? Kamu gak ingat gimana liarnya kamu semalam?" cecar Arya dipenuhi amarah. Freya menggeleng seperti orang bodoh. Arya memijat pangkal hidungnya yang berdenyut-denyut. "Aku gak mau tahu. Pokoknya kamu harus tanggung jawab." "Gimana saya mau tanggung jawab kalau saya sendiri gak ingat kejadian semalam?" protes Freya. Tanpa diduga, Arya malah mendekati Freya yang membuatnya menjadi gugup. "B-bapak mau ngapain?" Freya ingin mundur, tapi Arya menarik lengannya hingga tubuhnya hampir menabrak dada bidang milik Arya jika dia tak menahannya dengan tangan. Freya ingin memprotes. Tapi niatnya terhenti saat Arya mendekatkan bibirnya ke bibir Freya hingga Freya dapat merasakan hembusan napas milik Arya yang menyapu pipinya. "Bukannya kamu bilang kamu lupa sama kejadian semalam? Biar aku ulangi reka adegan semalam supaya kamu ingat." Sontak Freya mendorong dada Arya sekuat tenaga hingga terpukul mundur. "S-saya udah ingat," katanya panik. "Saya bakal tanggung jawab." Arya tersenyum samar lalu membenahi rambut ikalnya yang berantakan. "Kalau kamu benar-benar niat untuk tanggung jawab, besok datang ke apartemenku jam enam sore." "Apartemen bapak? Mau apa?" tanya Freya dengan alis naik sebelah. "Gak usah banyak tanya. Pokoknya datang aja," ujar Arya. Kemudian dia membalikkan badan hendak keluar dari gudang. Tapi saat di depan pintu di berhenti. "Kalau besok kamu gak datang, video cctv saat kamu maksa masuk ke apartemenku akan kusebar ke seluruh orang-orang di kantor." Pintu ditutup dengan kencang saat Arya keluar dari gudang. Saat itu Freya baru bisa bernapas dengan lega. Dia pun menyenderkan punggung ke dinding gudang yang berdebu sambil memegangi dadanya yang berdebar-debar. Entah kenapa, setiap berhadapan dengan Arya, debaran jantungnya tidak bisa dia kendalikan. Bukan karena jatuh cinta, melainkan rasa takut dan tertekan akibat perbuatan yang dia lakukan terhadap Arya. Sebenarnya Freya belum mengingat pasti kejadian semalam, tapi melihat tingkah laku Arya yang diluar nalar, membuatnya takut dan berakhir mengakui ingatannya. Freya menggelengkan kepalanya, merasa menyesal karena mau-mau saja saat dicekoki minuman alkohol oleh temannya. Harusnya saat itu dia langsung mundur dari party saja, bukannya menuruti keinginan Erlin untuk minum-minum sampai mabuk tak terkendali. Kalau dia pulang tanpa minum-minum, pasti semalam dia sudah menghabiskan malam yang romantis bersama Rio. Bukan bersama lelaki kanebo kering seperti Arya. Freya berjalan keluar gudang lalu menuruni anak tangga dengan perasaan menyesal. Saat dia sampai di depan ruang kerja, Erlin sudah menunggunya di sana. "Gimana meetingnya?" tanya Erlin. "Oke-oke aja sih," jawab Freya sambil masuk ke dalam ruangannya. Di belakangnya, Erlin membuntuti. "Kudengar ada manajer baru yang menjabat di timmu. Orang-orang bilang, dia ganteng banget. Aku jadi penasaran," kata Erlin penasaran. "Ganteng darimana? Kalau nyebelin sih iya," gerutu Freya. Mengabaikan ucapan Freya, Erlin menanyakan perihal kejadian semalam. "Kata Rio kamu gak jadi ke apartemennya?" "Enggak. Aku pusing karena mabuk berat habis kamu cekokin minuman. Terus akhirnya pulang." Freya memasang wajah bad mood yang membuat Erlin merasa bersalah. "Sebagai permintaan maaf, gimana kalau besok sore aku traktir kamu ke Restoran fine dining yang baru buka di Angola city? Kamu ajak Rio, aku ajak Fredy. Biar kita double date di sana." Freya sudah sangat excited dan berniat untuk meng-iyakan ajakan Erlin. Tapi dia teringat dengan ancamannya Arya. "Sori, Er. Aku udah ada janji sama client."Freya sudah tak punya pilihan lain selain menyetujui tawaran Arya. Di kertas itu sudah tertulis bahwa Freya sebagai pihak kedua akan menjadi kekasih palsu pihak pertama. Lalu di baris selanjutnya, pihak kedua harus menuruti semua perintah pihak pertama dan tidak boleh menolak. Semua poin itu akan berjalan selama sebulan lamanya.Dengan berat hati Freya menandatangani. Ini semua demi nama baik dan bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri.Setelah itu, Freya diajak oleh Arya keluar dari gedung menuju ke suatu tempat yang Freya belum ketahui dimana. Dia hanya harus menuruti perintah Arya dan diam.Begitu mobil berhenti, Freya melirik ke arah luar dari jendela mobil. Sebuah butik mewah dua lantai bernuansa putih membuatnya terpukau takjub. "I-itukan La Maison de Lumiere?" gumam Freya sedikit gugup saat melihat tulisan emas yang melengkung di papan nama kayu hitam pada sebuah butik termewah dan termahal di kota.Arya keluar dari mobil lalu membukakan pintu untuk Freya. Mendapat perlaku
Tentu saja yang dimaksud client oleh Freya adalah Arya.Keesokannya. Tepat di jam setengah enam sore. Freya menaati perintah Arya untuk datang ke apartemennya. Dia sudah siap dengan setelan hitam-hitam. Semua yang dipakainya berwarna hitam. Mulai dari baju panjang, rok lipit panjang, bucket hat dan juga sneakers berwarna senada. Bahkan tas pundaknya pun berwarna hitam. Sengaja dia memilih warna hitam sebagai penyamarannya.Kamar apartemen Rio berada di satu gedung dengan kamar apartemen milik Arya. Kalau Freya tak berhati-hati, bisa-bisa dia terciduk oleh Rio.Begitu taksi sudah mengantarnya di depan gedung, Freya mengenakan masker hitam dan juga kacamata hitam. Dia benar-benar seperti seonggok warna hitam yang bisa berjalan.Dengan mengendap-endap, dia berjalan masuk ke area lobi yang sempit lalu ke lorong lantai dasar yang sedikit gelap. Freya mengetuk pintu kamar Arya dengan hati-hati. Pandangannya tetap awas ke seluruh penjuru. Sesekali dia membenarkan letak masker dan kacamatanya
Freya tak menjawab ucapan Arya, dia masih berusaha mengambil ponselnya meski Arya terus menghalanginya."Gimana kalau aku aja yang angkat?" goda Arya dengan tersenyum jahil."Jangan!" jerit Freya panik. Kalau sampai Arya menjawab panggilan itu, Arya pasti akan membeberkan kejadian semalam pada Rio."Akui dulu kalau yang datang ke apartemenku semalam itu kamu."Freya menggigit bibir bawahnya. Dia panik, merasa berat untuk mengakui perbuatannya semalam. Padahal niatnya tadi, dia ingin membalas perbuatan Arya yang tak mengenakkan tadi pagi. Tapi kenapa malah balasan itu berbalik padanya sekarang?"Gimana? Masih gak mau ngaku? Ya udah aku angkat." Freya kembali menjerit, tapi Arya seolah tuli. Dia sudah menekan tombol hijau dan panggilan sedang berlangsung."Halo? Sayang? Kamu gak apa-apa, Kan? Kok tiba-tiba teleponnya mati tadi?" Suara Rio yang berat menggema di telinga Freya. Membuat pelipis Freya keringat dingin.Masih dengan senyuman jahilnya, Arya mendekatkan ponsel ke bibirnya lalu
Freya berjalan keluar dari ruangan meeting dengan lesu. Siapa yang menyangka kalau pria yang tidur dengannya semalam adalah cucu dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja? Freya takut kalau nanti dia akan mendapat masalah karena biasanya berurusan dengan orang berduit itu akan berakhir menjadi rumit."Menyebalkan!" Selain memikirkan hal tadi, Freya juga merasa kesal kalau mengingat sikap Arya padanya yang begitu menyebalkan saat di ruang meeting tadi.Entah apa yang membuat Arya terlihat begitu kesal padanya. Freya berpikir, apa karena kejadian semalam?Sebenarnya apa yang dia perbuat pada Arya semalam? Sampai Arya seperti ingin menjegalnya.Freya berusaha mengingat lagi kejadian semalam, tapi usahanya nihil. Ingatannya terputus begitu dia masuk kamar Arya."Sialan!" jerit Freya kesal. Beruntung lorong sedang sepi, jadi tidak ada orang yang mendengar jeritannya.Suara nada dering yang panjang membuyarkan kekesalannya. Saat melihat layar ponsel, wajahnya berubah gembira begitu tahu kal
Ya Tuhan... Kekonyolan macam apa ini? jerit Freya dalam hatinya.Setengah jam yang lalu pria yang baru datang di depan itu masih menjadi teman tidurnya, dan sekarang, pria itu menjadi manajer baru di timnya? Apa dunia sudah gila?"Halo semuanya, nama saya Aryana Bintara. Saya manajer baru yang akan menggantikan Bu Dira. Mohon bantuannya." Arya memperkenalkan diri dengan sopan. Dia menatap ke anggota tim satu persatu, lalu berhenti pada Freya yang mulutnya masih ternganga.Pak Budi tersenyum senang. Kerutan di wajahnya tadi seolah hilang setelah melihat kedatangan Arya. "Selamat datang di tim pemasaran, Pak Arya. Saya sangat berharap anda bisa membawa kemajuan untuk tim ini nantinya.""Baik, Pak.""Baiklah, mari kita mulai meetingnya."Tak ada pergerakan apapun dari Freya, Bintang menyenggol lengan Freya hingga tersadar. "Cepat mulai presentasinya, Fre," bisik Bintang dengan gemas."Oh... i-iya." Freya sangat terkejut dengan kehadiran Arya hingga tak sadar kalau dirinyalah yang harus
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menusuk mata Freya sehingga dia terkejut dan bangun. Kepalanya berdenyut-denyut seolah ada gendang yang dipukul dari dalam, dan tenggorokannya terasa kering seperti gurun. Freya menutupi wajah dengan lengan, mencoba menghindari cahaya, tapi ketika Freya menggeser badan, tangannya menyentuh sesuatu yang hangat dan juga lembut. Freya membuka mata perlahan. Jantungnya langsung berdebar kencang. Di sampingnya, seorang pria berambut ikal yang acak masih tertidur lelap, badannya hanya terbungkus selimut sampai pinggang. Wajahnya sama sekali tidak dikenal baginya. Ya Tuhan... siapa dia? Freya menutupi mulut dengan tangan, takut bersuara. Kemudian dia melihat ke arah bawah--tubuhnya sendiri. Dan seperti yang sudah dia duga, tubuhnya juga polos, hanya selimut yang menutupi tubuhnya. Apa sebenarnya yang terjadi kemarin? Freya merenung sambil merasakan tubuhnya lemas di atas kasur yang tidak dikenal. Ingatan semalam hancur seperti kaca peca







