MasukPramuniaga tadi membimbing Freya ke kamar fitting yang luas atas perintah dari Citra.
Setelah Freya melepas pakaiannya, si pramuniaga membantunya memakaikan gaun merah itu ke tubuh Freya. Kain sutra menyentuh kulit Freya dengan sensasi yang lembut dan sejuk. Saat pramuniaga menutup resleting di punggung, Freya merasakan gaun itu menyesuaikan bentuk tubuhnya dengan sempurna—tidak terlalu ketat, namun cukup untuk membuat dia merasa percaya diri. Freya menatap ke arah cermin dan mulutnya terbuka terkejut. Di cermin dia seperti tidak mengenali dirinya sendiri. Karena gaun itu, bahunya terlihat tegak dengan rambut hitam tergelincir ke satu sisi. Warna gaun itu nampak kontras dengan kulitnya yang putih, tapi justru membuat wajahnya nampak menyala. Ketika dia bergerak sedikit, helai kain di belakang melayang-layang seperti ombak merah dan kilau sutra membuatnya tampak seolah bersinar dari dalam. “Gaun ini luar biasa,” bisik Freya, menyentuh pipinya sendiri seolah tidak percaya. Pramuniaga membantunya untuk keluar dari ruang fitting menuju ke ruang tunggu-tempat dimana Arya dan Citra sudah menunggunya di sana. Freya berdiri canggung dihadapan Arya dan Citra yang menatapnya bak juri sedang menilai penampilannya. "Kamu sangat berjodoh dengan gaun merah itu," kata Citra, matanya berbinar senang. "Gaun itu membuatmu jadi terlihat lebih dewasa dan juga mahal." "Terima kasih." Freya berkilat senang. Tapi kilat itu meredup saat dia menggeser pandangannya ke arah Arya. Arya hanya diam, memandang Freya dari atas ke bawah, balik lagi ke atas, berhenti cukup lama di bagian tengah gaun. Lalu sepasang matanya terangkat bertemu dengan mata Freya. Sorot mata Arya menggelap. Sekilas Freya melihat kilatan aneh yang belum pernah Freya ketahui itu apa. Kemudian Arya memejamkan kedua matanya sekejap dan saat membuka mata, kilatan aneh itu sudah menghilang. Berganti dengan sorot mata yang datar tanpa ekspresi. Arya berdeham pelan kemudian langsung keluar ruangan tanpa mengatakan apa-apa. Citra juga kebingungan. Dia juga mengikuti Arya keluar yang membuat Freya merasa aneh. Tadi itu maksudnya apa? pikir Freya gelisah. Setelah menunggu selama beberapa saat, Arya masuk lagi bersama Citra. Pramuniaga tadi dibisiki oleh Citra lalu mereka mengambil sebuah gaun selutut dengan lengan balon berwarna hitam dari deretan rak. Citra menampilkan gaun itu ke arah Arya. Arya manggut-manggut sambil mengusap dagunya. "Baik, Tante. Yang ini aja, lebih bagus," ucapnya. "Tapi... bukannya gaun ini terlihat lebih bagus?" Freya memberi pendapat. Dia merasa Arya salah ambil pilihan. Harusnya Arya membeli gaun merah itu dibanding gaun hitam yang lebih sederhana. "Gak. Gaun yang tadi lebih aman," kata Arya. "Maksudnya?" "Kita mau menghadiri acara pesta outdoor dan di luar cuaca sedang berangin. Kamu mau masuk angin selama pakai gaun terbuka itu?" "Oh." Mulut Freya mem-beo. "Jadi kamu beli gaun untukku ya?" Arya memijat pangkal hidungnya. "Kalau gak beliin buat kamu, terus buat siapa lagi? Aku gitu?" "Hehe..." Freya menggaruk tengkuk belakangnya yang tidak gatal. "Maaf, habisnya kamu gak ngasih tahu tadi." Freya pun berbalik ke ruang fitting, mengganti gaun merah tadi dengan gaun pilihan Arya. "Hmm... sayang sekali ya, Nona. Padahal gaun merah tadi terlihat memukau di tubuh anda," ujar pramuniaga merasa sayang dengan keputusan Arya. "Yah, mau gimana lagi," ujar Freya mengendikkan bahunya. "Aku hanya nurut dengan si penyumbang dana." Setelah mengganti gaun, Freya mengobrol sebentar dengan Citra sementara Arya membayar gaunnya. Perjalanan mereka lanjutkan setelah pergi dari butik. Melihat jalanan yang terlihat asing, Freya pun bertanya pada Arya, "Sebenarnya kita mau kemana sih?" "Ke salon dulu sebelum ke villa Setyowati." Freya menoleh. "Ngapain ke salon?" "Kamu kan belum dandan." "Tapi kan aku bisa dandan sendiri." Arya melirik tajam dari sudut matanya. "Gak. Takut jadi badut malahan." Freya mengerucutkan bibirnya. Arya terlalu meremehkan dirinya yang pernah menang lomba merias se-kabupaten. Sesampainya di salon, Freya hanya diam dan menurut. Atas dasar perintah dari Arya, di sana Freya didandani dengan tampilan riasan yang segar dan natural. Alisnya digambar tipis dan dibentuk sesuai dengan aslinya. Pipinya diberi sedikit taburan pewarna merah yang memberikan kesan sedang tersipu malu. Bulu mata diberi maskara agar terlihat lebih lentik. Bibirnya diberi polesan lipstik berwarna nude yang glossy dan tampak alami. Setelah semua dirasa sudah siap dan selesai, Arya meluncurkan mobilnya lagi menuju ke sebuah villa yang jalannya berkelok-kelok dan sedikit curam. Setengah jam kemudian. Pintu gerbang villa kayu besar terbuka lebar mengantar mobil milik Arya memasuki ke dalam halaman yang luas dan indah. Tanah berumput hijau yang rapi membentang sampai ke tebing yang menghadap laut, sementara pepohonan yang rindang menyebar di tepi jalan. Lampu hias berbentuk bintang terpasang di antara cabang pohon, menciptakan cahaya gemerlap yang menyinari area halaman pesta. Di dalam halaman itu sudah terparkir banyak mobil mewah yang berjejer rapi. Freya yakin, pemilik dari mobil-mobil itu bukanlah orang yang sembarangan. "Kita kesini untuk menghadiri acara perayaan anniversary kakek-nenekku," kata Arya setelah mereka keluar dari mobil. "Ingat, untuk saat ini kamu adalah kekasihku. Jadi bersikaplah selayaknya sepasang kekasih." "Kenapa gak bilang dari tadi? Tahu gitu aku beli sesuatu dulu untuk kakek nenekmu sebelum ke sini," gerutu Freya. "Gak usah repot-repot. Aku udah siapin yang spesial untuk kakek dan nenekku." Mereka berdua berjalan, menginjakkan kaki di atas karpet merah yang dipasang dari ujung halaman ke teras villa. Gaun hitam lengan panjangnya terasa nyaman di udara malam yang berangin. Beruntung Arya tidak menyetujui keinginan Freya untuk pakai gaun merah yang terbuka tadi. Kalau tidak, pasti sekarang Freya menggigil karena kedinginan. "Sini tanganmu," bisik Arya.Pernikahan berlangsung sangat singkat. Di depan seorang penghulu, Arya mengucapkan ijab qobul dengan lancar tanpa hambatan.Hati Freya terasa gamang. Detik itu dia sudah menjadi istri sahnya Arya secara agama di depan segelintir orang, tapi sang ibu tak termasuk di dalamnya.Ada perasaan bersalah juga dalam hatinya karena harus menyembunyikan pernikahan ini dari ibunya. Tapi dia tak punya pilihan lain. Menurutnya, hanya ini satu-satunya cara tercepat agar hutang ibunya segera lunas.Sesi foto-foto dimulai. Mereka menyewa seorang fotografer profesional dadakan untuk mengambil momen yang bahagia itu. Meski pernikahan secara agama yang dilakukan terlihat sederhana, Widya tetap ingin melakukannya dengan baik.Widya sudah berpakaian rapi dengan gaun tosca sedang Bambang mengenakan jas hitam. Widya bahkan bersikeras untuk duduk di kursi roda, demi terciptanya foto keluarga yang dia inginkan."Freya," panggil Widya dengan wajah sumringahnya."Iya, Nek?" "Selamat ya," ucap Widya sambil merai
"Maksud kakek?" tanya Arya, mengerutkan kening."Dari awal aku udah curiga sama hubungan kalian. Dan kecurigaan itu terbukti setelah aku mendengar semuanya dari mulut kalian sendiri." Bambang menatap Arya dengan tatapan tajam. "Kenapa kamu tega berbohong pada nenekmu sendiri?"Arya terdiam sejenak."Aku melakukannya demi nenek, Kek." Brak! Bambang menggebrak meja, membuat Freya terlonjak kaget. "Demi nenek katamu? Terus kalau sudah seperti ini kamu mau apa? Mengatakan terus terang pada nenekmu kalau semua ini hanya akal-akalan yang kamu buat?" bentaknya."Aku gak pernah sekecewa ini padamu, Arya," lanjutnya dengan suara dingin."Kalau bukan karena nenek yang meminta, aku juga gak bakal bohong kayak gini, Kek.""Tapi gak gini juga caranya, Arya. Gimana kalau nenekmu tahu nanti kalau kamu membohonginya? Bayangkan betapa terluka dia nantinya." Ucapan Bambang membuat Arya mengalihkan pandangan matanya ke bawah. "Nenekmu memang usianya gak akan lama lagi, tapi bukan seperti ini yang dia
Freya berdiri di depan pintu yang terbuka sedikit dengan hati yang berdebar kencang. Arya sudah berjalan masuk kemudian dia ikut melangkah perlahan di belakang Arya.Begitu masuk, dia mengendus bau bunga melati yang menyegarkan dari vas di meja samping ranjang. Di sana, Widya terbaring dengan mata tertutup, wajahnya pucat dan kering. Di sisi lain ranjang, duduk Bambang seorang diri dengan rambut putih seperti kapas, mengenakan pakaian kasualnya. Tangan keringnya yang penuh keriput memegang tali infus yang terhubung ke lengan Widya, sedangkan tabung cairan tergantung di tiang di samping ranjang. Widya menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara orang masuk. Mata masih nampak jernih meskipun usianya sudah lanjut. Dia melihat kedatangan Arya dengan wajah masam, tapi begitu melihat Freya berjalan di belakang, ada secercah harapan di dalam pandangannya. "Freya." Suaranya lembut, seperti angin sepoi. "Duduk di sini." Dia menunjuk kursi kecil di dekat ranjang. Freya men
Arya ikut menoleh ke belakang, dimana Rio memang sudah hampir melewati mobilnya. "Tenang, kaca mobilnya gelap. Harusnya dia gak bakal bisa lihat ke arah sini sih," kata Rio berusaha menenangkan.Meski Arya sudah berkata demikian, Freya tetap khawatir. Apalagi saat Rio menghentikan langkahnya dan menatap ke arah mobil Arya."Ngapain dia lihat-lihat ke arah sini?" gumam Freya.Mereka berdua memperhatikan gerak-gerik Rio yang menunjuk-nunjuk ke arah mobil. Kemudian Rio mengajak kawannya berjalan mendekat."Mampus. Ngapain pakai acara deketin mobil ini segala?" gumam Freya dengan wajah memucat.Sedang Arya masih berusaha menghidupkan mesin yang belum mau menyala."Hush, hush, sana!" Freya bergumam sendiri, merapal mantra agar Rio berubah pikiran mau pergi menjauh dari mobilnya Arya.Bukannya berhasil, Rio malah mengetuk pintu jendela mobil. Dia berkata, "Permisi, apa mobilnya mogok?""Mas, kita harus apa?" Freya menutupi wajahnya agar tak terlihat ol
"Di perjanjian gak ada tuh tertulis menuruti perintah di kantor," elak Freya."Tapi aku atasanmu dan kamu bawahanku. Seorang bawahan harus nurut ke atasan. Kalau enggak, aku bakal laporan kamu ke Pak Budi."Mendengar ancaman itu, mau tak mau Freya menuruti perintah Arya untuk mengerjakan tugasnya di ruangan itu dengan wajah sepenuhnya cemberut. Arya dan Freya bekerja sama sepanjang hari sampai sore menjelang. Mereka saling bertukar ide dan memberikan masukan. Mereka berdebat dan berdiskusi, tetapi mereka selalu berusaha untuk mencapai kompromi. Matahari semakin tenggelam dan semua karyawan sudah pulang. Hanya tertinggal mereka yang baru bersiap-siap untuk pulang. "Fre, nanti malam aku jemput kamu," kata Arya sambil membereskan berkas-berkas."Ha? Kemana?""Ke rumah nenek. Beliau pengen ketemu sama kamu."Freya teringat akan ucapan sang ibu agar tidak dekat-dekat dengan keluarga Bintara."Emm... tapi malam ini kayaknya aku gak bisa. Ada acara keluarga." Freya mencoba memberi alasan.
Keesokannya, suasana hati Freya terasa membaik. Di kantor, saat dia berjalan melewati ruangan kerja sang manajer, dia melirik ke arah dalam. Dimana ada Arya yang sedang sibuk mengamati dokumen dengan satu tangan lain sibuk memegang ponsel.Ciumannya dengan Arya kemarin masih terasa hangat dalam ingatannya. Membuat wajahnya seketika memerah. Dia masih mengingat bibir Arya yang terasa basah, lembut dan juga dingin di bibirnya.Tanpa disangka, Arya melirik ke arahnya juga. Membuat Freya salah tingkah hingga tak sengaja kepalanya menabrak tembok."Aduh!" Freya meringis kesakitan sambil memegangi dahinya yang berdenyut-denyut.Terdengar suara tawa yang cukup keras dari dalam ruangan. "Ada yang terpesona nih kayaknya..."Freya malu. Jadi dia langsung lari menjauh. Setelah dirasa sudah jauh, dia berhenti untuk mengambil napas."Freya," panggil seseorang dari arah belakang. Itu adalah Bintang, setengah berlari ke arah Freya.Freya menoleh. "Bintang? Ada apa?""Kamu gak buka pesan wa?" Suara B







