Bram merasakan tubuhnya jauh lebih baik setelah meminum obat penurun demam. Kepalanya yang semula sangat pusing pun perlahan mulai berkurang. Tubuhnya jauh lebih rileks sekarang.
Bram tak menampik, jika olesan campuran bawang merah dan minyak telon cukup berdampak pada tubuhnya. Sepertinya, Kanaya cukup terampil untuk merawat orang yang sakit. Bram putuskan untuk turun setelah hidungnya mencium aroma masakan yang sangat enak. Aroma ini jelas berasal dari dapur. “Dia lagi.” Gumam Bram. Langkah Bram tertahan di undakan tangga terakhir. Ia layangkan tatapannya kepada Kanaya yang tengah berkutat di dapur. Meksi hanya berbalut dengan kaos oversize dan juga rok panjang, namun Bram harus akui jika Kanaya memiliki kecantikan yang alami. Tak ada bedak maupun lipstik menghiasi wajah wanita itu. Tapi, kecantikan khas wanita desa terpancar dengan sempurna dalam diri Kanaya. “Ehem...” Bram sengaja berdeham untuk menarik atensi Kanaya. Langkahnya terayun untuk mendekat ke arah dapur. “Tuan Bram.” Kanaya menyapa Bram dengan sopan. Kedatangan Bram tentunya sedikit mengejutkan Kanaya. Ia pikir, Bram masih tidur di atas. “Tuan butuh sesuatu?” “Kemana mbok Lastri?” Tanya Bram basa-basi. “Bude masih belum pulang. Bude bilang, diajak mampir ke butik nya Nyonya Linda.” Bram anggukkan kepalanya. Padahal, tujuannya kesini bukan untuk menanyakan Lastri. Tapi, bukankah akan terkesan aneh jika dia datang hanya untuk melihat Kanaya memasak. “Masak apa?” “Sup daging.” “Hanya itu?” Bram membuka tutup panci dan melihat sup daging yang tengah dimasak oleh Kanaya.Ternyata, aroma yang ia cium tadi berasal dari sup ini. Seketika perut Bram meraung meminta diisi. Padahal, baru tiga jam lalu ia makan bubur. Tapi, sup buatan Kanaya kembali menggugah selera makannya. “Tuan mau makan?” “Apa yang mau kamu berikan padaku? Masakanmu bahkan belum jadi apa-apa.” Jawab Bram sedikit ketus. “Sebentar lagi siap, mungkin lima menit lagi.” Bram tidak menjawab dan memilih berdiri di belakang Kanaya. Jujur saja, Kanaya sedikit canggung sekali sekarang. Berada sedekat ini dengan Bram, tentu saja membuat jantung Kanaya tidak aman. Apalagi, aroma maskulin yang menguar dari tubuh Bram. Sepertinya, Bram sudah mandi mengingat tak ada aroma bawang yang tercium dan berganti dengan aroma parfum mahal. “Kenapa tegang begitu? Apa aku terlihat seperti hantu?” Seloroh Bram sembari mengambil gelas kopi. Kanaya mencabik kesal dalam hati. Apakah ketakutannya sekentara itu? Siapa yang tidak gerogi ketika ada pria tampan di dekatnya? Aura Bram memang sangat mematikan namun berwibawa. “Tuan mau buat apa?” “Kopi.” “Jangan minum kopi dulu, Tuan.” “Kenapa?” “Tuan kan lagi sakit." Bram letakkan cangkir kopinya sedikit kasar tepat disamping Kanaya. Bram menumpukan satu tangannya di meja lalu mengamati Kanaya dengan lekat. Menjadi pusat perhatian Bram, tentu saja Kanaya menjadi canggung. Entah kesalahan apa lagi ya ia perbuat hingga membuat Bram menatapnya setajam itu. “A-ada apa, Tuan? Apa saya membuat kesalahan lagi?” “Kesalahanmu hanya satu. Kamu ingin tahu?” Dengan ragu, Kanaya anggukkan kepalanya. Namun, tanpa diduga Bram malah menjepit bibirnya dengan tangan, “Kamu terlalu cerewet, Kanaya. Bibirmu ini harus mendapatkan hukuman.” Mata Kanaya membola. Wajah Bram semakin mendekat, hingga ia reflek memejamkan matanya. Jantungnya semakin berpacu cepat saat hembusan nafas Bram menerpa kulit wajahnya. “Apa yang kamu pikirkan? Apa kamu pikir, aku akan mencium kamu?” Bisik Bram tepat di telinga Kanaya. Mata Kanaya terbuka. Tatapannya langsung bertemu dengan Bram. Mereka sama-sama diam dengan posisi wajah yang sangat dekat. Jantung keduanya berdetak semakin cepat di waktu yang sama. “Bram!!!" Bram dan Kanaya menoleh bersama. Suara seorang wanita menyeruak memecah keheningan yang terjadi antara Bram dan Kanaya. Melihat sosok Helena muncul, Kanaya dorong tubuh Bram agar menjauh darinya. Kanaya menormalkan degup jantungnya dan kembali pada aktivitasnya di dapur. Bodoh sekali! Bagaimana bisa, ia terpesona sesaat kepada majikannya itu? “Sayang...” Helena langsung menghampiri Bram yang ada di dapur dan memberikan pelukan erat kepada sang kekasih. Bram tak membalasnya. Lirikan matanya malah terfokus pada Kanaya. “Aku langsung datang kesini setelah pemotretan saat kamu mengabari jika kamu demam. Bagaimana kondisimu sekarang?” Bram mengurai pelukan mereka, “Aku sudah lebih baik.” Helena menatap Kanaya yang berdiri di dekat Bram. Wajah Kanaya nampak sangat asing baginya. “Dia pembantu baru?" “Iya. Penggantinya mbak Wati.” Helena semakin memperhatikan penampilan Kanaya dari ujung rambut sampai kaki. Jika dibandingkan dengan Wati, Kanaya jauh lebih muda.Tapi, penampilan Kanaya sangat norak sekali. Dan itu ingin membuat Helena tertawa. “Kampungan.” Cibiran dari Helena membuat Kanaya menoleh. “Sudah... Ayo kita duduk disana.” Kanaya hanya bisa mengepalkan tangannya. Ia sadar, jika penampilannya jauh beda kelas dengan Helena. Tapi, apakah pantas seseorang melemparkan hinaan kepada orang yang bahkan baru ditemuinya pertama kali? “Tolong buatkan dua minuman untuk kami.” “Iya, Tuan.” Bram langsung menarik Helena untuk pergi dari dapur. Ia tak mau Helena melontarkan hinaan yang lebih pedas lagi kepada Kanaya. “Kok tumben sih mama kamu cari pembantu yang masih muda? Kelihatan enggak berpengalaman banget.” “Dia keponakannya mbok Lastri dari kampung.” Keduanya kini duduk di ruang keluarga. Helena menempel bak ulat bulu kepada Bram yang duduk disebelahnya. “Norak banget penampilannya. Enggak pantas wanita seperti itu kerja di rumah kamu.” “Dia memang dari desa. Jadi, wajar kalau fashionnya sedikit kuno.” “Kamu membelanya?” “Aku hanya bicara kenyataan saja.” Suara langkah kaki yang semakin dekat membuat Bram melirik dari ekor matanya. Nampak Kanaya yang datang mendekat dengan membawa minuman yang ia minta tadi. “Permisi...” Dengan hati-hati, Kanaya meletakkan dua orange juice di meja. Ia tak berani mengangkat kepalanya karena tak mau dianggap kurang ajar nanti. Helena menatap sinis ke arah Kanaya. Ini pertama kali Helena melihat Kanaya, tapi entah mengapa ada rasa tidak suka yang menyeruak di hatinya. Prang... Kanaya berjengit ketika salah satu gelas minuman yang ada dimeja tumpah dan pecah. Orange juice di dalamnya mengenai baju Kanaya. “Helena-“ “Ups, sorry. Aku tidak sengaja, Bram.” Ujar Helena mecoba membela diri. Padahal, ia memang sengaja menyenggol gelas itu agar jatuh. Tapi, tentu saja ia tak akan mengakui perbuatannya. “Makanya, kamu itu kalau kerja hati-hati. Disuruh anterin minum aja enggak becus. Pembantu kayak gini enggak pantas kerja disini.” Hardik Helena. Kanaya coba redam emosinya kuat-kuat. Kanaya jelas melihat jika Helena memang sengaja menumpahkan ini. “Maafkan saya, Tuan.” “Sudah... Kamu bersihkan saja tumpahannya dan jangan lupa pecahan gelasnya.” “Baik Tuan.” Kanaya beranjak pergi untuk mengambil cikrak dan kain lap. “Kamu harus hati-hati dengannya, Bram. Sepertinya, dia punya niat jahat di rumah ini.” Kalimat itu terdengar jelas di telinga Kanaya. Namun, Kanaya tak bisa lakukan apapun selain diam.Bram merasakan tubuhnya jauh lebih baik setelah meminum obat penurun demam. Kepalanya yang semula sangat pusing pun perlahan mulai berkurang. Tubuhnya jauh lebih rileks sekarang. Bram tak menampik, jika olesan campuran bawang merah dan minyak telon cukup berdampak pada tubuhnya. Sepertinya, Kanaya cukup terampil untuk merawat orang yang sakit. Bram putuskan untuk turun setelah hidungnya mencium aroma masakan yang sangat enak. Aroma ini jelas berasal dari dapur. “Dia lagi.” Gumam Bram.Langkah Bram tertahan di undakan tangga terakhir. Ia layangkan tatapannya kepada Kanaya yang tengah berkutat di dapur. Meksi hanya berbalut dengan kaos oversize dan juga rok panjang, namun Bram harus akui jika Kanaya memiliki kecantikan yang alami. Tak ada bedak maupun lipstik menghiasi wajah wanita itu. Tapi, kecantikan khas wanita desa terpancar dengan sempurna dalam diri Kanaya. “Ehem...”Bram sengaja berdeham untuk menarik atensi Kanaya. Langkahnya terayun untuk mendekat ke arah dapur.“Tuan B
Dengan bantuan Sarno, Kanaya membawa Bram masuk ke dalam kamar pria itu yang ada di lantai dua. Tubuh Bram yang sangat besar dan tinggi, tentu saja sempat membuat Kanaya dan Sarno kualahan. Namun, setelah bersusah payah, akhirnya Bram berhasil di bawa ke kamar. Sarno yang sudah berumur nampak ngos-ngosan setelah membopong Bram menaiki tangga.“Pak, disini ada persediaan obat tidak?” Tanya Kanaya.“Kalau itu, Bapak kurang tahu. “Kanaya lepaskan sepatu Bram dan juga kaos kakinya. Tubuh Bram panas dan tentunya butuh obat penurun demam.“Boleh minta tolong tidak, Pak?”“Minta tolong apa?”“Boleh minta tolong belikan obat penurun demam tidak? Saya tidak tahu dimana apoteknya.”Sarno mengangguk, “Saya belikan sebentar. Di dekat sini ada apotek.”“Terimakasih, Pak.” Sepeninggal Sarno, Kanaya menyiapkan kompres. Ia membawa baskom berisi air dan juga kain bersih. Dengan duduk di tepi kasur, Kanaya menempelkan kain itu di kening Bram.“Dingin sekali...” Kanaya tersentak ketika Bram mulai
Asap menegepul di dapur mengawali hari Kanaya sebagai pembantu di rumah ini. Kanaya sangat bersemangat setelah ia berhasil memperpanjang nafas untuk bekerja disini. Bram, akhirnya bisa mengerti kondisinya meski ia harus menurunkan harga diri demi bersimpuh memohon kepada sang majikan.Dengan sangat hati-hati, Kanaya gunakan peralatan dapur yang fancy itu. Jika sampai lecet sedikit saja, tentunya Kanaya akan merasa sangat bersalah. Bahkan, gajinya saja mungkin tidak akan cukup untuk mengganti peralatan dapur disini.Apalagi, setelah kejadian kemarin. Kanaya menjadi ekstra hati-hati dalam bekerja. Sudah kepalang tanggung, Kanaya tak mungkin mundur karena ia tak mau pulang dengan tangan kosong. “Nduk.”Kanaya tolehkan kepalanya. Nampak Lastri yang mendekat dengan sapu dan cikrak di tangannya. “Iya Bude?” “Nanti, sebelum jam tujuh makanannya harus sudah siap di meja makan.”“Iya Bude. Ini juga sudah mau selesai.”Lastri mengangguk dan tersenyum. Keahlian Kanaya dalam memasak memang t
Kanaya tak dapat membendung air matanya. Hari ini, ia akan berpisah dengan Zahra. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Kanaya mengambil keputusan untuk ikut Lastri kerja ke Jakarta. Meski berat, tapi Kanaya lakukan semua ini demi sang putri. “Ayo, Nduk. Jangan sampai kita ketinggalan kereta.”Kanaya meraup oksigen sangat kuat lalu menciumi wajah Zahra yang tertidur pulas di gendongan Rini.“Titip Zahra ya, Mbak.”“Iya, Nay. Kamu kerja yang tenang disana, biar Zahra kami urus.”Kanaya menyeka air matanya dengan cepat lalu mengusap rambut Zahra. Dengan langkah berat, akhirnya Kanaya pergi meninggalkan putrinya.Sepanjang perjalanan, air mata Kanaya tak berhenti mengalir. Ia menatap kosong ke arah jendela kereta sembari memegang foto kecil putrinya.“Ibu berjanji akan membuatmu bahagia, Nak. Ibu tidak akan membuatmu merasakan penderitaan seperti yang ibu rasakan dulu.” Kanaya menguatkan hati. Tekadnya sudah bulat untuk mengubah ekonomi keluarganya.Hendra sudah tak lagi bertanggungjawab
“Sus, tolong nenek saya.” “Kami akan melakukan pertolongan dengan cepat. Silahkan kalian urus pendaftarannya lebih dulu.”Setelah, urusan pendaftaran selesai, Kanaya menunggu bersama Rini dengan penuh kekhawatiran di ruang tunggu IGD. Zahra yang berada di gendongan Kanaya sudah tak berdaya dan terlelap. Penyakit jantung Asih kemungkinan besar kambuh karena mendengar kabar mengejutkan mengenai penyitaan rumah milik Kanaya. “Untung saja kalian cepat membawa nenek kalian kesini. Kalau terlambat sedikit saja, pasti nyawanya tidak akan tertolong. Nenek kalian memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya dan sudah sering keluar masuk rumah sakit.” Ucap Dokter sembari membaca rekam medis milik Asih.Dari kertas rekam medis, tertera jelas jika Asih sudah pernah berobat kesini dan beberapa kali harus rawat inap karena penyakit jantung yang sering kali kambuh. “Apa perlu rawat inap?” Tanya Kanaya. “Kami akan melakukan observasi lebih lanjut. Masalah jantungnya sepertinya bertambah parah d
Plak “Berani sekali kamu bicara seperti itu, Mas!” Ucap Kanaya seraya melayangkan tamparan keras ke pipi Hendra. Hendra memegangi pipinya. Tatapan Hendra sangat tajam bak sebuah pedang yang siap menusuk musuhnya.“Semua ini salah kamu, Naya. Jika kamu tidak memperkenalkanku kepada Susi, maka semua ini tidak akan terjadi.” Jawab Hendra mencoba membela diri.Kanaya tersenyum tak percaya, “Kamu bilang ini salahku? Apa kamu tidak punya malu? Kamu yang sudah bermain api dengan Susi dan bisa-bisanya kamu bilang semua ini salahku.”“Sudah cukup! Jangan bertengkar lagi.” Sambar Asih.Asih sudah tidak kuat lagi menyaksikan pertengkaran Kanaya dengan Hendra. “Apa kesalahan yang Naya perbuat padamu?" Dengan tangan keriputnya, Asih menunjuk wajah Hendra. "Selama ini, dia mengabdikan hidupnya padamu, Hendra. Dia bahkan rela bekerja demi membantu mencukupi kebutuhan rumah ini. Tapi, kamu seolah menutup mata dengan apa yang Naya lakukan selama ini. Kamu tidak memberikan nafkah yang pantas untuk