Dua minggu berlalu setelah aksi kabur Alisha ke Paris seorang diri. Namun, aksi nekat perempuan itu tak berhenti sampai di sana.
Atas rekomendasi salah seorang seniornya ketika masih di kampus, ia berpindah tempat kerja ke ibukota. Meninggalkan posisinya sebagai Art Director di perusahaan sebelumnya dan memilih memulai kariernya dari awal.Alisha hanya sudah muak harus tetap tinggal di kota keliharannya. Karena hal itu membuatnya bertemu dengan Alfian dan Amanda yang sudah mengkhiantinya.Tak masalah jika mereka menganggapnya pecundang. Alisha hanya tak mau membebani perasaannya hanya dengan memikirkan sakit hati itu secara terus menerus.Lebih baik, ia memilih pergi dan membiarkan mereka berbahagia. Alisha sama sekali tak peduli. Meski pada faktanya, rasa sakit itu tak juga mau pergi.Tangan Alisha kembali mengepal. Nyeri kembali menekan ulu hatinya hingga membuatnya tak sanggup bernapas dengan benar."Sial!" umpatnya menahan geram.Alisha berusaha menekan perasaan yang mengganggu pikirannya itu. Ia tak ingin rasa sakit itu menganggunya dan merusak hari pertamanya masuk kerja."Huft!"Perempuan itu mengembuskan napas panjang. Perjuangannya untuk diterima kerja di perusahaan iklan bergengsi di ibukota ini tidak mudah. Untuk itu, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan tersebut dengan membuat kesalahan di hari pertama bekerja.Dulu ia boleh menduduki posisi sebagai Art Director selama bekerja di sebuah perusahaan iklan kecil yang berada di Bandung. Tapi, di sini ia hanyalah anak baru yang menduduki posisi sebagai Graphic Designer.Itu artinya, Alisha benar-benar mengawali kariernya mulai dari nol. Dengan begitu, ia harus membangun kesan baik bukan?Huft!!Alisha mengembuskan napas panjang sekali lagi sambil menunggu lift yang akan membawanya ke ruangan tempat ia bekerja. Gedung periklanan Pixa, terdiri dari lima lantai dan Creative Departement yang akan menjadi ruangannya berada di lantai tiga.Sebelumnya Alisha sudah pernah datang ke kantor sebelum mulai bekerja hari ini. Jadi, cukup mudah baginya untuk menemukan ruangan yang hendak ia tempati.Untuk itu, mudah juga baginya berdiri di sini sambil menunggu lift yang tak juga kunjung datang."Alisha!" Panggilan seseorang membuat perempuan itu menoleh.Ia mendapati seorang lelaki tengah berjalan ke arahnya yang masih menunggu lift untuk membawanya ke lantai tempat kerjanya.Senyum Alisha menggembang. Arlan, kakak senior selama di kampus sekaligus teman baiknya semasa kuliah, berlari kecil sambil melambaikan tangan."Sudah datang? Bukannya anak baru harusnya datang jam sembilan?" tanya lelaki itu sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ini baru pukul 07.45."Ya, lebih baik datang lebih awal ketimbang telat.""Memang paling rajin."Keduanya tertawa. Bertepatan saat pintu lift terbuka dan mereka memasuki benda kotak besar itu diikuti pekerja lain yang berada di belakang Arlan.Ada salah satu dari mereka yang berasal dari divisi yang sama dengan Arlan karena perempuan itu menyapanya. Sementara dua yang lain berasal dari divisi berbeda. Meski begitu obrolan mereka masih nyambung, sebab berita terpanaslah yang sedang mereka bicarakan saat ini."Aku dengar dia blesteran Prancis Indo gitu. Udah lama tinggal di Prancis, tapi Pak CEO minta dia buat jadi Creative Director di sini."Indra pendengaran Alisha melebar mendengar perbincagan ketiga perempuan yang berada di dalam lift tersebut. Ia turut penasaran dengan apa yang mereka bicarakan."Aku udah pernah ketemu waktu dia mampir beberapa hari lalu. Sumpah ganteng banget sih. Tipikal om-om yang nggak pernah tua. Ngerti kan, kayak Gong Yoo gitu!" Salah seorang di antara mereka histeris.Alisha yang berdiri di belakang hampir menyentuh dinding lift, menarik ujung kemeja Arlan yang sepertinya tak tertarik dengan percakapan ketiga perempuan di depannya."Mereka lagi ngomongin apa sih?" tanya Alisha tak sanggup menahan rasa penasarannya."Oh, ada pergantian Creative Director baru mulai hari ini. Pas banget ya, barengan sama pertama kali kamu masuk kerja.""Terus, kenapa mereka kayak heboh banget gitu?" bisik Alisha cukup pelan. Khawatir jika perempuan di depanya mendengarkan percakapan mereka."Biasalah. Si Bos baru termasuk orang yang good looking dan dapat dipastikan masih single. Udah pasti bakal jadi pembicaraan kan?" Arlan balas berbisik.Alisha hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf 'O', tepat saat pintu lift terbuka di lantai tiga.Perkenalan bagi pekerja baru sudah selesai lima menit lalu. Erika sebagai penanggung jawab tim kreatif dua yang menjadi tempat bernaung Alisha sudah mengenalkan perempuan itu pada seluruh anggota tim.Creative Departement Pixa terdiri dari lima tim yang masing-masing dikepalai oleh Creative Group Head. Di dalam tim tersebut terdiri dari beberapa copywriter dan graphhic designer yang juga memiliki masing-masing ketua tim. Dan, Erika bertanggung jawab sebagai Creative Group Head tim dua.Tak hanya itu, masih ada penanggung jawab tim yang lain dan Arlan yang bertanggung jawab atas tim kreatif lima, juga membantu perempuan itu untuk membaur dengan yang lain."Oh, jadi kalian satu kampus? Yakin hubungan kalian cuma senior sama junior?" celetuk salah seorang perempuan yang kemudian Alisha tahu bernama Rini - penanggung jawab tim kreatif satu."Apaan sih, Mbak. Cuma teman aja kita. Ya kan, Sha?" Arlan membutuhkan dukungan dan hanya dibalas senyuman oleh Alisha."Nah lo, dia cuma senyum aja tuh, Lan. Curiga sih, kalian nggak cuma senior sama junior."Ruangan Creative Departement yang semula sunyi, menjadi gaduh akibat ledekan yang ditujukan pada Arlan."Ck, yakin sih, kamu sih udah nembak Alisha, tapi ditolak sama dia. Ya kan, Lan?" Aceng - penanggung jawab tim empat - ikut memberikan komentar."Heran deh, perasaan Alisha yang anak baru, kenapa justru aku yang kena roasting?"Tawa di ruangan itu kembali pecah, sebelum Mariska Creative Group Head tim tiga memberikan ultimatum kepada mereka."Udah cukup nggak sih perkenalan kalian. Udah waktunya kerja juga. Inget, bentar lagi Creative Director kita yang baru bakal datang!"Meski mendapat tatapan tidak suka dan nyinyiran dari yang lain, tetap saja mereka menuruti ucapan Mariska.Sementara Erika kembali bertanya pada Alisha yang masih berdiri di sampingnya."Gimana, udah ngerti kan? Kalau udah, kamu bisa ke tempat kamu. Seperti kata Mbak Mariska, sebentar lagi Creative Director kita yang baru bakal datang.""Iya, Mbak. Aku udah ngerti." Alisha tersenyum ramah menyambut perhatian Erika."Pasti ngertilah, pengalaman kerja kamu lebih dari ini. Semoga betah ya di sini," ucap Erika terdengar sangat tulus. Lantas menunjukkan di mana tempat duduk Alisha berada.Setelah mengucapkan terima kasih, Alisha duduk di kursi kerjanya yang baru dan menghirup napas panjang.'Yosh, semangat menyongsong masa depan yang cerah Alisha!' bisiknya dalam hati.Tepat saat ruangan Creative Departement terbuka. Seorang pria berumur tiga puluh lima tahunan memasuki ruangan didampingi seorang pria lainnya yang terlihat lebih tua.Tubuh Alisha membeku seketika. Dari semua kemungkinan yang bisa saja terjadi di dunia ini, kenapa justru bertemu pria itu yang terjadi dalam hidup Alisha?!Dua bulan kemudian ... Hall tempat pernikahan antara Alisha dan Damian berhias mewah warna putih dan kuning gading. Tamu undangan tampak memenuhi aula. Meskipun di antara mereka ada saja yang melirik nyinyir ke arah mempelai perempuan. Itu akibat perut Alisha sudah terlihat mulai buncit di balik gaun pengantin yang ia kenakan. Sebenarnya, Alisha ingin melakukan pemberkatan saja. Tanpa pesta meriah seperti yang berlangsung saat ini. Namun, mana mungkin Harvey mengizinkan? Sekalipun pria itu keras pada awalnya, seiring berjalannya waktu dia mulai melunak dan bersikap hangat kepada Alisha. Tentu saja setelah mengetahui bahwa Alisha mengandung cucunya. Dan, sebagai orang yang dikenal memiliki bisnis yang cukup besar, pria itu tak bisa abai begitu saja atas pernikahan anaknya. Sekalipun mendapat cibiran akibat pengantin perempuannya sudah lebih dulu mengandung. Namun, Harvey seolah justru merasa bangga, sebab kualitas bibit anaknya tak bisa diragukan lagi. Di samping semua it
Damian tampak bingung dengan ucapan Alisha. Tidak banyak yang tahu jika sebelumnya ia memang tidak berencana menikah jika itu tidak dengan Amber. Kalaupun menikah, ia tak ingin memiliki anak, sebab tak ingin bocah tak berdosa itu akan berakhir seperti dirinya. Biar bagaimanapun, Harvey tak akan membiarkan garis keturunannya begitu saja. Pria itu tetap membutuhkan pewaris sampai kapan pun. Oleh sebab itu, Damian tak berpikir untuk memiliki anak jika dirinya menikah kelak. Namun, semua angan itu berubah saat tahu fakta bahwa Alisha mengandung benih miliknya. Damian tidak hanya ingin bertanggung jawab. Tapi juga memiliki keinginan yang baru dalam hidupnya. Bahwa ia ingin memiliki keluarga kecilnya sendiri. Tanpa campur tangan sang ayah. Baik di masa kini ataupun masa depan. "Dari mana kamu tahu kalau aku tidak tertarik untuk menikah?" Damian mengajukan pertanyaan. Selain angannya di masa lalu, ada banyak hal yang harus ia ungkapkan pada Alisha sekarang. Itu penting, jika i
Damian mengusap wajahnya. Ia tak terkejut. Namun, setelah mendengar sendiri pengakuan Alisha membuatnya merasa bersalah. Juga gelisah. Pria itu menautkan jari-jarinya dan menunduk untuk mengambil jeda. Dengan gerakan dramatis, ia menyugar rambutnya yang semakin berantakan. Damian tak tahu harus dari mana memulai percakapan setelah mendengar pengakuan Alisha. Sementara perempuan itu, diam-diam menikmati momen yang terjadi saat ini. Kalau saja boleh jujur, ia ingin pria itu mengakui janin dalam kandungannya sebagai anak. Bertanggung jawab penuh sebagai seorang ayah. Sebab, biar bagaimanapun Alisha mulai tertarik pada sang mantan atasan. Entah sejak kapan. Namun, mengingat pembicaraan Damian dan Devano di ruangannya beberapa waktu lalu, membuatnya sangsi. Alisha tak ingin memaksakan kehendaknya yang egois. Lebih dari itu, ia tak ingin dianggap wanita murahan. Cukup lama jeda di antara mereka berlangsung. Keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga suara b
Raut muka Damian tampak tegang. Pria itu mondar-mandir di depan ruang gawat darurat rumah sakit. Sudah sekitar satu jam Alisha mendapat penanganan, tapi belum ada satu pun perawat ataupun dokter yang memberinya kepastian. Hanya setengah jam lalu, seorang perawat mengabarkan jika kondisi Alisha cukup buruk. Dokter sedang berusaha menyelamatkan perempuan itu. Kemungkinan terburuk, mungkin Damian harus mendengar kabar jika dia bakal kehilangan calon bayinya. Atau justru keduanya. Setelah mendengar ucapan sang perawat, langkah pria itu tak bisa diam. Ia terus mondar-mandir di depan ruang gawat darurat dengan raut muka cemas. Padahal rencananya, ia akan kembali ke area gudang tua untuk memastikan keselamatan Amber. Pria itu memang tidak mengenai bagian vital yang membuat si wanita dalam bahaya. Meski begitu tetap saja ada rasa khawatir yang menyusup dalam hatinya. Juga rasa bersalah sekaligus menyesal. "Tuan," panggilan Jonathan membuat Damian menoleh ke arah sumber suara.
Sepasang mata Alisha tak berhenti berkedip. Tatapannya terpaku pada sosok pria yang kini merunduk di atasnya. Melindungi dirinya dari suasana mencekam yang masih terus saja terjadi. 'Mimpi?!' bisiknya dalam hati. Dari semua kemungkinan yang ia pikirkan, tak sekalipun terlintas jika Damian yang akan muncul. Menyelamatkannya dari situasi mengerikan. Meski tak bisa ia mungkiri, kecil harapan itu sempat muncul dalam benaknya. Namun, Alisha menyadari jika hal itu mustahil terjadi. Ia tak bisa lupa sorot benci Damian yang menuduhnya. Juga rasa sakit yang begitu memeram jiwanya. 'Tidak. Ini pasti cuma halusinasi.' "Kamu aman sekarang. Jangan takut!" bisikan itu terasa begitu nyata. Tubuh gemetar Alisha berada dalam dekapan erat Damian. Ia bahkan tak bisa lagi membedakan mana mimpi atau kenyataan. Suara itu begitu dekat dan membuat dirinya terjebak dalam sensasi yang memabukkan. Itu kan yang membuatnya menyerahkan diri seutuhnya pada Damian saat pertemuan pertama mereka?! "K
Alisha tersadar jika hari mulai malam saat penjaga kafe menegurnya. Ia buru-buru melihat jam dan tampak kaget saat hari sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Astaga, maaf, Kak. Saya benar-benar lupa waktu," ucap perempuan itu kepada seorang pelayan lelaki yang terlihat lebih tua darinya. "Ya, Kak. Nggak papa. Kami bisa maklum. Banyak pelanggan yang memang merasa nyaman ketika di sini." Alisha tampak salah tingkah. Ia merasa tersindir. Meski sebenarnya ia memang benar-benar tidak bermaksud menyusahkan orang lain seperti sekarang. "Ah, saya benar-benar minta maaf," imbuh Alisha sambil membungkuk sopan. Ia merasa tak enak pada penjaga kafe karena telah menetap terlalu lama hingga menjelang tutup. Sementara hanya sedikit makanan yang ia pesan. Sejak menjelang sore, perempuan itu memang sengaja menghabiskan waktu di kafe tak jauh dari tempat tinggalnya yang baru. Sekalian beraktivitas setelah ia memilih tidur seharian begitu sampai tempat kosnya yang baru siang tadi. Saat p