Bumi masih tertidur di pangkuan Langit dengan tenang, entah untuk berapa lama. Lelaki tampan itu tadi memindah Bumi yang bersandar di bahunya untuk berpindah ke pangkuan setelah gadis madu itu terlelap pulas. Dengan punggung bersandar di sofa, Langit ikut terlelap beberapa saat.
Saat terbangun, ditatapnya wajah ayu di pangkuan. Diusapnya pipi lembut gadis itu. Sentuhan dahsyat yang meremangkan gai*** Langit. Anakan rambut yang berantakan di wajah Bumi disingkapnya ke pinggir. Makin jelaslah wajah ayu itu terpampang di sana.
Semakin ke bawah, ditelusurinya setiap inci tubuh Bumi. Leher jenjang eksotis, belahan dada tanpa sengaja terlihat begitu menggoda netranya. Cardigan yang berantakan dengan daster bagian atas hanya terbuat dari karet. Bagian dalamnya tercetak sempurna dilihat dari luar. Pemandangan indah itu mampu menimbulkan gelenyar aneh memabukkan.
Pucuk gunung kembar muncul begitu saja di otak Langit. Belum lagi warna kecoklatannya mampu menimbulkan hasra
“Lagi hmmm?” tanya Langit dengan suaranya yang masih parau di telinga Bumi. “Mau?” tanya Bumi menggoda dan melirik Langit yang memeluk tubuh polosnya erat. Tanpa banyak kata, Langit mengecup bibir eksotis itu dalam-dalam lalu melepasnya sekejap. “Nggak capek?” Bumi terdiam, meraba lembut bibir Langit dan memandangnya penuh kasih. “Hmmm, aku lapar,” sahut Bumi tak menjawab pertanyaan Langit. Mendengarnya, Langit terkekeh, lalu mengecup kening Bumi dan keluar dari selimut yang menyelubungi mereka berdua.
“Mas,” pekik Bumi kaget mendadak diangkat Langit. Langit terkekeh, lalu menempelkan hidung bangirnya ke hidung Bumi dengan sedikit menunduk. Digerakkannya perlahan dan cewek eksotis tersebut kegelian, ia mengelakkan wajahnya agak ke belakang. “Nggak berat?” tanya Bumi mengeratkan rangkulannya ke leher lelaki di hadapannya. “Berat? Segini aja?” “Segini kata Mas Langit?” sahut Bumi melotot. “Haha,” Langit terbahak. Cepat, dibawanya gadis itu masuk ke dalam, melewati dapur, dan menuju ruang tengah. Masih menggendong Bumi, Langit duduk di sofa. Sekarang, Bumi berad
“Apa yang kau lakukan?” tanya lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depannya, terlihat Dara masih dengan baju tak karuan di atas pangkuan Langit. Roknya tersingkap ke atas, asetnya masih terlihat jelas dengan warna merah hati di bagian dalam. Mulut Dara melongo, ia sama sekali tak menduga lelaki itu akan ke sini, ke tempatnya Langit. Secepat kilat, Langit melepaskan diri dari lengan Dara, ia berdiri sehingga mau tidak mau Dara turun dari pangkuan. Dara membetulkan letak roknya, kemudian kemeja yang sudah hampir memperlihatkan gunung kembar itu secara keseluruhan. Mata Langit menatap Dara tak habis pikir, lalu ke lelaki yang masih berdiri mematung. Ia menahan kemarahannya, tapi lebih dari itu, melihat ke Langit tak percaya. Begitu juga dengan Langit, menatap lelaki di hadapannya masih tak percaya.
Bab 60Sang Penggoda “Mas...,” desahan demi desahan keluar dari bibir mungil gadis manis itu. Tanpa disadari, ia menekan kepala Langit yang tengah mencium lembut aset yang dicandui Langit itu. Tangan Langit mulai bergerilya, wajahnya mendongak menatap mata Bumi yang penuh kabut. Dilepaskannya kancing kemeja teratas, lalu kancing kedua. Dari situ saja, sudah terlihat aset memikat yang masih tertutup b** warna merah. Tangan Langit menekan ujungnya, menatap lembut mata Bumi yang terpejam. “Aku ingin memilikimu, Bumi, seutuhnya,” desis Langit lirih, sangat lirih. Namun, Bumi mampu mendengarnya, membuka mata, dan menggigit bibir bawahnya pelan. Pemandangan yang mampu meluluhkan kewarasan Lang
Pagi masih berkabut, Langit dan Bumi berjalan di jalan setapak dengan kanan dan kiri tumbuhan pinus menjulang. Terkadang, mereka melewati kebun mawar yang makin ke atas makin menipis dan tersisa hanya pinus dengan aroma khasnya. “Nah, itu tempatnya, Mas,” seru Bumi kegirangan melihat ke sebelah kiri. Ada tempat landai dengan bagian atas tanaman pinus. Tapi di depannya terlihat seperti jurang menganga. Langit hanya tersenyum, ia ikuti arah jalan Bumi yang tak sabar sampai di tempat tersebut. Ada batu besar di sana, Bumi segera duduk dan merenggangkan kedua tangan ke atas. “Huh, capeknya,” serunya dengan memutar pandangan ke seluruh area berhawa sejuk itu. Belakangnya pinus rimbun menghijau dan depannya jurang, sejauh mata memandang terlihat r
“Mati lampu,” bisik Bumi. Byar! Langit menyalakan senter ponsel bersamaa hujan deras mengguyur bumi. “Ada lampu emergency?” tanya Langit menyapu seluruh ruangan. Hanya gelengan kepala dari Bumi. “Aku jarang ke sini.” “Lha ini ke sini.” “Hmmm....” Meskipun senter Langit membantu penerangan, tetap saja kurang maksimal. Beranjak dari sofa, Bumi menuju ke dalam.&nb