Panji-panji bergambar ranting pohon berwarna putih dengan bintang di ujungnya dan dikelilingi lingkaran tembaga berkibar menghiasi langit yang mendung. Salju turun secara ringan dan jarang. Udara berembus dingin, tetapi orang-orang tidak peduli. Mereka berhamburan keluar dari rumah yang menjadi pelindung dalam segala cuaca. Mereka berbondong-bondong pergi ke alun-alun.
Setelah sampai ke sana pun, mereka harus rela berdiri berdesak-desakkan demi bisa menyaksikan lahirnya ratu mereka kelak. Prajurit-prajurit bersiaga dengan baju zirah kebesarannya. Dengan terompet dan genderang, acara pemilihan selir istana yang kini berganti menjadi pemilihan istri pangeran pun dimulai. Sorakan dan tepukan membahana. Mereka menyambut pemilihan kali ini dengan euforia. Senyum menghiasi wajah-wajah dari para hadirin yang datang. Bahkan, untuk acara ini, mereka menggunakan baju terbagus yang ada di lemari mereka.Raja Valdimar menggunakan jubah kebesarannya. Ia mengeKaki Fjola tak bisa tenang di dalam kereta. Ia terlalu gugup. Ia menggerak-gerakkannya naik turun sehingga mengguncang kereta. Ishak yang ada di luar, dekat pintunya pun penasaran. Ia mengetuk pintu kereta itu dan bertanya, “Ada apa?Apa yang kau lakukan di dalam?”“Tidak apa-apa. Aku hanya tegang saja,” sahut Fjola cepat-cepat. “Apakah sudah selesai? Barrant sudah memilih?”“Belum. Dia sedang bercakap dengan ayahnya.”Fjola menggigit kuku jarinya. Dalam hati ia berdoa, apa pun yang terjadi semoga menjadi jalan yang terbaik yang harus dilaluinya. Suara genderang yang kembali ditabuh terdengar. Fjola penasaran, “Sudah dipilih, kah?”“Belum.” Ishak memutar bola matanya.“Sabarlah sedikit. Pangeranmu sedang menuruni tangga. Dia akan ke sini.”“Tidak. tidak. Jangan biarkan dia ke sini!” seru Fjola panik.
Pandangan Lilija terasa kosong. Ia tak tahu perasaan apa yang berkecemuk dalam hatinya. Sedih, marah, tidak percaya, dan kecewa menjadi satu. Tetapi, yang jelas dia merasa terkhianati.Selama ini, ia memang sering dihina. Ia sering diremehkan. Ia juga sering tak diacuhkan. Terutama oleh ayahnya. Ia tidak diterima siapa pun di negerinya. Ia berharap dengan pergi ke negeri lain, ia dapat diterima. Ia dapat dihormati sebagai layaknya seorang putri. Dan, harapannya terkabul.Di sini dia merasa ada orang yang menghargainya. Dia merasa ada orang yang pada akhirnya menerimanya sebagai mana adanya. Dia merasa memiliki seorang sahabat yang mau bersusah payah melindunginya, membantunya. Namun, itu hanyalah sebentar.Kini, sahabat itu telah pergi dengan meninggalkan luka menganga di hatinya. Awalnya dia percaya bahwa Fjola merupakan orang yang Tuhan kirimkan untuk menjadi pelindung, teman, dan kakaknya. Namun, sekarang ia telah mengkhianatinya. Fjol
Badan Fjola rasanya seolah tengah menjerit. Sendi-sendinya ngilu. Tangannya pegal. Pipinya berkedut karena kebanyakan senyum. Setelah dipilih sebagai pasangan oleh pangeran, dia diarak dengan kereta terbuka mengelilingi negeri. Dia harus tersenyum saat melihat orang-orang yang berdiri menunggu calon ratu mereka lewat. Dia juga harus melambai sopan.Punggungnya harus ditegakkan. Dia tidak boleh tertawa berlebihan. Begitulah aturan pertama saat menjadi sang terpilih.Fjola kembali ke kamarnya dan segera mengempaskan tubuh ke ranjang. Di sana, Ishak sudah menunggunya. “Selamat, Fjola! Aku bangga sekali padamu.”Fjola diam saja. Ia baru teringat tatapan Lilija yang dilihatnya tadi. Seketika, Fjola merasa bersalah. Ia duduk di tepi ranjang. “Di mana Lilija?” tanyanya.Ishak menggeleng. “Para gadis yang tidak terpilih kembali ke istana calon selir. Para pelayan sudah memindahkan peti-peti para gadis itu ke sana.&r
Ketukan kembali terdengar dari pintu kamar Fjola.“Apa Anda sudah siap, Yang Mulia?” prajurit wanita yang katanya ingin mengawalnya berseru.“Sebentar lagi,” balas Fjola menyelipkan belati di pinggang dalam gaunnya. Ia melangkah ke pintu, lalu membukanya. Tampak di depan kamarnya berdiri sang prajurit. Dia tak memakai helm. Meski begitu, cahaya yang minim dan rambut pendek sang prajurit membuat Fjola tak menyadari bahwa sebenarnya dia adalah perempuan. Langkahnya yang anehlah yang membuatnya merasa perlu waspada.Fjola menduga bahwa prajurit itu bukan prajurit asli yang dipekerjakan Raja untuk mengawalnya. Dia yakin bahwa prajurit itu merupakan prajurit gadungan yang akan mencelakakannya. Fjola harus berhati-hati.“Sebaiknya kita harus cepat, Yang Mulia. Raja sudah menunggu kita,” cetus sang prajurit memimpin jalan.“Aku harus menunggu Ishak dulu,” tolak Fjola.
Mata Fjola mengerjap dalam gelap. Mulutnya tersumpal. Tangan dan kakinya terikat. Meski begitu, ia merasakan goncangan. Suara derap kaki kuda terdengar mengentak-entak seiring goncangan. Ia yakin bahwa sekarang dia sedang berada di kereta. Tetapi, ia tak tahu kereta itu akan membawanya ke mana.Fjola merogoh ikat pinggangnya yang tersembunyi di dalam gaun. Dengan susah payah, ia meraba sarung belati yang terikat di sana. Gadis itu mencoba mengeluarkan belatinya. Mendadak, kereta behenti. Fjola terpaksa menghentikan apa pun yang dilakukannya. Ia melemaskan badan, berpura-pura pingsan.Tak lama kemudian, pintu kereta terbuka. “Cepat keluarkan dia!” terdengar suara pelayan Elisabet.Dua tangan menarik kaki Fjola sedangkan dua tangan lagi mengangkat badannya. Samar, Fjola dapat mencium aroma tembakau yang kuat. Dia menduga bahwa yang mengangkatnya adalah pria. Dinilai dari cengkeramannya, dia yakin bahwa mereka pria.
Barrant memacu kudanya mengikuti Aguste yang berada di depan, menuntunnya menuju ke tempat di mana kekasihnya dibawa paksa. Gelap membuat matanya menyipit. Selain mereka berdua, ada Ishak yang ikut berkuda dengan Barrant. Ia tak bisa berkuda sendiri. Dulu, waktu kecil ia trauma menghadapi kuda.Waktu itu ia yang merupakan anak lelaki paling bungsu dari keluarganya mendapat harapan paling tinggi dari ayahnya. Ayah Ishak sangat keras, apalagi terhadap putra-putranya.Akan tetapi, Ishak juga yang paling disayag ibunya. Ibunya tidak bisa melepas, walau sedikit, perhatiannya terhadap anak bungsunya itu. Sebab, dibanding anak lain, Ishaklah yang paling mengerti ibunya. Dari kecil, ia ringan tangan membantu ibunya. Ia sering menemani ibunya menyulam di kamar, karena ibunya sering bersenandung sembari menyulam. Ia senang mendengar suara ibunya yang merdu. Kadang, jika ibunya selesai menyulam, Ishak menata kain-kain yang telah disulan ibunya ke peti. Kain itu terasa halus
“Katakan! Kalian bawa ke mana Fjola?” Barrant memasuki pondok itu dengan wajah merah. Napasnya tersengal. Dadanya kembang kempis karena marah. “Aku tidak menyangka kalian bisa sekeji ini.”Margaret datang dari kamar belakang. “Well ... well ... well, Yang Mulia.” Wanita itu membungkuk. Senyum tersungging dari bibirnya. Matanya mendelik licik.Barrant mendengkus. “Jika ada kekacauan, pasti kau dalangnya.”“Kekacauan?” Margaret pura-pura terkejut. “Kekacauan apa?”“Tidak usah basa-basi, di mana Fjola?” gertak Barrant.“Fjola? Tentu saja dia ada di istana,” jawab Margaret pura-pura tidak tahu. "Kenapa?"“Jangan bohong, Margaret! Kau bawa Fjola ke mana?”Wanita tua itu mengangkat bahu. “Aku tidak membawanya ke mana-mana. Sejauh pengetahuan saya, Yang Mulia, Tuan Putri Fjola masih ada d
Barrant pulang dengan hati mendongkol. Margaret telah mepermainkan mereka. Ia benci kepada wanita tua itu. Dari kecil, Margaret bertindak seolah dia ibunya. Padahal, Margaret hanya pengasuhnya.Saat Ratu Elnora dibunuh, Bartang yakin Margaret ada di sana tetapi, orang lain tidak percaya bahwa dia ada di sana. Padahal, waktu itu Barrant jelas melihat wanita itu ada istana.Margaret adalah kakak Ratu. Maka dari itu, dia selalu dihormati sang Raja. Tak hanya itu, segala pendapatnya selalu diamini Raja Valdimar. Hal itulah yang membuat Barrant enggan pulang ke istana setelah ibunya meninggal. Ia lebih suka berkelana.Ketika ditinggal oleh Margaret di pondok tengah hutan, Barrant meminta Aguste memeriksa pondok. Namun, kebakaran membuatnya tak bisa menemukan apa-apa. Dia hanya bisa memastikan bahwa memang ada seseorang yang pernah diikat di sana.Barrant memerintahkannya menyusuri hutan, mencari tanda apakah Fjola berhasil melarik