Seharian Anna mengurung diri di dalam kamar, ia mengabaikan semua orang yang menawarinya makan, termasuk para pelayan di rumah itu yang sangat cerewet.
Sampai hari menjelang malam pun Anna masih duduk diam di atas ranjang diam memikirkan Arthur dan ucapan suaminya pagi tadi."Tidak mungkin kalau pria malam itu adalah Arthur." Anna mendongakkan kepalanya pusing.Gadis itu mengerang marah memeluk bantal dan menekan sedikit perutnya dengan kedua mata terpejam.Puas Anna menangis memikirkan segalanya. Tentang kehamilannya, pernikahan sementara, dan tentang siapa Arthur sebenarnya."Aku tidak punya bukti apapun," gumam Anna sedih. "Dia pasti bercanda. Mana mungkin Tuan Muda sepertinya tidur dengan sembarang wanita. Aaarrgghhh, aku benci ini semua!"Di tengah kemarahan yang Anna rasakan, tiba-tiba pintu kamar kembali terketuk, Anna menoleh dengan wajah kesal.Pelayan wanita itu membuka pintu kamar Anna membawa nampan berisi makanan dan minuman. Namun dia terdiam menatap makan siang Anna yang belum tersentuh sama sekali."Nyonya Anna kenapa makanannya masih utuh? Nyonya bisa sakit kalau tidak makan," ujar pelayan itu mendekati Anna."Aku tidak lapar dan bawa pergi semua makanan itu, kepalaku pusing dan aku ingin mual karena aromanya," jawab Anna, dia enggan menatap pelayan itu."Tapi kalau Nyonya sakit bagaimana? Tuan nanti bisa marah, dan-" "Kau jangan memaksaku terus, lebih baik kau keluar!" pekik Anna melemparkan bantalnya ke tepi ranjang.Bukannya pergi, pelayan itu malah mendekatinya. Sebisa mungkin dia membujuk Anna untuk makan, kalau tidak Arthur lah yang akan memarahi pelayannya.Karena amanat sang Tuan untuk menjaga istrinya dan memastikan kalau Anna selalu baik-baik saja saat Arthur tidak di rumah, pelayan itu pun akan tetap membujuk Anna."Nyonya, setidaknya makan sedikit saja. Tuan Arthur bisa marah pada saya dan Nyonya," bujuk wanita itu terus.Anna mengerang kesal, ia turun dari atas ranjang dan menatap marah pada pelayan itu."Sudah aku bilang, aku tidak mau makan dan aku tidak lapar. Keluar dari kamarku, tinggalkan aku sendiri!" teriak Anna menunjuk ke arah pintu."Nyonya Anna-""Keluar!" berang Anna marah hebat. "Bawa semua makanan itu, perutku semakin tidak nyaman karena aroma makananmu!"Kemarahan Anna membuat pelayan itu tak berkutik, buru-buru sang pelayan membawa nampan dan makanannya keluar dari kamar sang Nyonya dengan gegas.Saat pintu tertutup, pelayan itu menghentikan langkahnya begitu itu melihat Arthur yang melangkah ke arahnya."Ada apa? Kenapa istriku berteriak?" tanya pria itu sebelum dia melirik dua porsi makanan yang pelayan bawa."Ma-maaf Tuan, Nyonya tidak mau makan. Nyonya... Nyonya malah marah-marah pada saya," jawab wanita itu jujur.Pria itu berdecak kesal, ia melewati pelayan yang berdiri menundukkan kepalanya.Arthur melangkahkan membuka pintu kamarnya, dapat ia lihat Anna duduk di tepi ranjang memunggunginya.Saat Arthur mendekat dan menyentuh pundaknya, Anna langsung menyentak tangan suaminya tanpa tahu siapa yang menyentuhnya."Aku bilang aku tidak mau!" pekik Anna seraya berdiri dan menunjukkan wajahnya yang marah dan sembab.Napasnya naik turun, kedua matanya melebar mendapati siapa yang mendatanginya, bukanlah pelayan tadi, melainkan suaminya."Apa yang kau lakukan? Jangan bodoh, Anna!" desis Arthur menunjukkan wajahnya yang dingin. "Apa susahnya tinggal makan, hah?!"Pria itu terlihat marah pada Anna. Memang Arthur kesal, saat apa yang dirasa ia kendalikan malah tidak patuh sama sekali padanya.Anna menggeleng kuat. "Aku tidak lapar, aku mual! Dan bilang pada pelayanmu itu untuk tidak memaksaku!" berang gadis itu.Anna menarik dan mencengkeram lengan Arthur seraya menunjuk ke arah pintu di mana pelayan tadi berdiri di sana masih dengan nampannya.Arthur mencekal kedua pergelangan tangan Anna dengan sakit tangannya. Hingga istrinya yang marah itu pun mendongak menatapnya."Kau bisa sakit," ujar Arthur, kali ini nadanya begitu lembut."Aku tidak peduli.""Tapi aku peduli, Anna!" sela Arthur membujuk rayu. "Jangan sampai anak itu sakit, Anna. Jangan sampai terjadi hal buruk padanya karena kebodohanmu!"Air mata Anna berdesakan di pelupuk mata, gadis itu mengangguk dan menatap iris hitam Arthur yang berkilat."Baiklah, aku mau makan, tapi aku mau pulang dan makan masakan Mamaku!" pinta Anna, dia tidak berbohong kalau Anna tidak menyukai masakan para pelayan di rumah itu.Arthur pun mengangguk setuju."Ya, bersiaplah. Aku akan mengantarmu pulang."**Pulang ke rumah saat Papanya tidak ada adalah hal yang sangat menguntungkan bagi Anna. Suaminya tidak berbohong, Arthur benar-benar mengantarkan Anna pulang ke rumah orang tuanya.Dan Alea, wanita itu menyambut kedatangan putrinya dengan hangat. Seperti biasa biasa, kalau Anna adalah putri yang sangat dimanjakannya."Ada apa, Sayang? Kenapa kau menangis begini?" Alea menangkup kedua pipi Anna, dan gadis itu menggeleng saja."Anna tidak mau makan makanan di rumahku Ma, dia ingin makanan buatan Mama," jawab Arthur yang berdiri di belakang mereka berdua."Ya ampun, Sayang... Kalau begitu istirahat dulu di dalam. Mama buatkan masakan kesukaanmu dulu ya," bujuknya dengan lembut dan sabar."Iya Ma," jawab Anna mengangguk patuh.Alea pun melangkah ke dapur, Anna duduk di ruang keluarga memeluk bantalan sofa. Di sampingnya ada Arthur yang duduk menatapnya.Wajah Anna benar-benar kacau, gadis itu berhadapan dekat dengan Arthur sampai akhirnya jemari tangan pria itu menyentuh wajah Anna dan mengusapnya pelan."Tidak usah menangis lagi, kau harus makan," ucap Arthur dengan ekspresi datarnya."Aku ingin menginap," lirih Anna mencekal telapak tangan Arthur. "Kau mengizinkan aku kan, kali ini saja...""Tidak, pulang!" jawab pria itu."Kau ini jahat sekali, padahal aku ingin menginap dan-"Ucapan Anna terhenti saat pintu rumah terbuka dan dapat ia lihat siapa yang kini datang. Papanya masuk ke dalam rumah menenteng jas hitamnya.Pria itu menatap Anna bersama Arthur di ruang keluarga dan senyuman Caisan menghiasi bibirnya."Kalian sudah dari tadi?" tanya Caisan."Iya Pa, Anna ingin pulang dan makan masakan Mama," jawab Anna tersenyum tipis pada sang Papa. "Anna juga ingin menginap, tapi..."Anna melirik Arthur yang diam saja memperhatikannya. Tanpa dijelaskan pun Caisan sudah paham.Dan pria itu menyergah napasnya panjang, dia duduk di hadapan Anna dan Arthur."Kau ini sudah menikah, Anna! Patuhi suamimu dan lakukan apapun yang dia perintah padamu!" tutur Caisan dengan nada tinggi seperti biasa."Tapi Pa, Anna mual kalau makan makanan di san-""Alasan saja! Jangan jadikan kehamilan anak sialamu itu sebagai alasan!" amuk Caisan.Alis tebal Arthur menukik tajam, telapak tangannya terasa digenggam oleh Anna. Istrinya tertunduk dan sedih."Jangan pernah menyebut anak kami anak sialan, Tuan Caisan!" desis Arthur menatap tajam dan nyalang pada Papa mertuanya."Ti-tidak Arthur, ma-maksudku...""Anak ini adalah anakku dan Anna! Anak kami, bukan anak sialan!" geram Arthur, sorot matanya menunjukkan betapa marahnya ia.Anna yang duduk di sampingnya, gadis itu mengerjapkan kedua matanya tak sangka-sangka. Apalagi kini Arthur benar-benar menggenggam tangan Anna dengan hangat dan erat. Detak jantung Anna berdebar hebat, untuk kali pertama ada yang melindungi ia dari sang Papa.Anna perlahan membalas genggaman itu.'Dia benar-benar melindungiku, dia benar-benar mau mengakui anak ini di depan Papa. Bagaimana bisa, apa yang membuat dia benar-benar mau menerima anak ini?'"Makan yang banyak, Anna. Pelan-pelan ya nak," ujar Alea mengusap pucuk kepala Anna dengan sabar. Anna tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Di rumah Arthur memang ia ingin mual saat menghirup aroma masakan para pelayannya, entah mengapa. Merasakan sup daging yang Mamanya masak, senyuman Anna langsung merekah seketika. "Masakan Mama memang paling enak," sanjung gadis itu dengan wajah merona berseri-seri.Alea pun tersenyum dengan sanjungan putri kesayangannya, namun karena tanpa sengaja pandangannya teralih pada Arthur yang tengah menatapi Anna yang sedang makan. Tatapan mata yang tenang dan teduh, laki-laki itu begitu terlihat tulus. Namun siapa yang tidak mengenal Arthur Anderson di dalam dunia bisnis antar negara di Eropa, dia terkenal akan kepopulerannya dan juga mempunyai julukan Pria Tampan Licik yang Lembut. "Mama ke belakang sebentar," pamit Alea saat menyadari Arthur ingin memperhatikan Anna lebih lama lagi. Anna sibuk memakan sup daging kesukaannya, namun tiba-tiba kuny
'Ukhh, tubuhku rasanya sangat kaku.'Anna meremas selimutnya dengan kedua mata yang masih terpejam. Hawa mengantuk masih menyelimutinya setelah tubuhnya terasa sangat lelah. Tok.. tok.."Nyonya Anna, selamat pagi. Sarapannya sudah saya siapkan di bawah!" Kedua mata Anna terbuka lebar mendengar ketukan pintu tersebut. Ia langsung bangun dan terduduk di atas ranjang. Kesadaran belum terlalu memenuhi pikiran gadis itu hingga tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyentuh punggung polosnya. "Tubuh yang cantik," sanjung seseorang yang tengah menyenangkan jemarinya di kulit punggung Anna. "Kau sudah tidak malu lagi saat selimutmu terjatuh, Istri Sepuluh Bulan-ku?"Hah!!Bagai genderang dipukul di kepala Anna, sontak ia menunduk dan mendelik saat tahu selimutnya melorot dan menunjukkan bagian tubuh atasnya. "Kyaaa... Arthur!" teriak Anna menarik selimutnya tinggi-tinggi dan menatap ngeri pada sosok suaminya yang entah sejak kapan dia di samping Anna, mungkin pria menyebalkan itu belum bangun
Sejak pagi, Anna sibuk berjalan-jalan dan bersenang-senang bersama Arthur. Sang suami mengenalkan ruangan-ruangan megah dan tempat indah di kediamannya. Tapi sore ini Anna merasa tidak nyaman dengan tubuhnya, terutama pada perutnya yang terasa nyeri dan sakit. Anna berdecak berulang kali dan tetap kelimpungan di atas ranjang. "A-apa yang terjadi? Kenapa perutku terasa tidak nyaman? Apa aku salah makan?" Perlahan-lahan Anna turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke lantai satu terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. "Arthur, di mana dia?" Anna menatap semua penjuru rumah. Sampai akhirnya Anna melihat pintu ruangan kerja Arthur yang terbuka, Anna pun melangkah mendekati pintu ruangan itu hingga ia mampu mendengar suara seseorang marah-marah dalam telepon yang tengah berbicara dengan suaminya. "Apa-apaan kau Arthur! Bisa-bisanya kau menikah tanpa sepengetahuan Mama dan Papa?! Wanita mana yang kau nikahi, Arthur!" Suara teriakan dari sambungan telepon itu membuat Arthur menjau
Saat keadaan sudah membaik, Anna pun terbangun dari tidurnya. Gadis itu terdiam menatap Arthur yang tertidur dengan posisi duduk dan bersedekap. Menatap wajah suaminya, Anna tidak mengerti kenapa laki-laki ini seolah dia kadang terlihat tega pada Anna, tapi sosoknya yang asli begitu cemas dan berteriak kepanikan kalau hal buruk terjadi pada Anna, siapa sebenarnya sosok Arthur ini?"Arthur," lirih Anna, ia mengulurkan tangannya dan hendak menyentuh wajah laki-laki itu. Ya, saat ini Anna bisa menyebut kalau Arthur, adalah lelakinya. Pergerakan tangan Anna terhenti saat ujung jemarinya menyentuh rahang laki-laki itu dengan sangat lembut. "Ada apa, Istriku?" Arthur meraih tangan Anna dan menggenggamnya. Anna sedikit terkejut begitu Arthur langsung meresponnya dengan cepat. "Emm, kau tidak tidur?" tanya gadis itu. Arthur terkekeh pelan dan menggelengkan kepalanya masih dengan kedua mata terpejam. "Aku takut kau pergi," jawabnya begitu tak masuk akal. Barulah Arthur mengembuskan na
"Bisakah kau tidak menemui dan muncul lagi di hadapan Anna?!" Arthur mengatakan hal mengejutkan itu pada Caisan, Papa kandung Anna yang kini berdiri di hadapannya, di luar ruangan Anna di rawat di rumah sakit.Wajah Caisan sedikit terkejut dengan apa yang Arthur katakan barusan, laki-laki itu terlalu membutuhkan Arthur hingga dia mengangguk dan tertawa renyah. "Ya, tentu saja kalau itu yang kau mau. Aku tidak akan datang lagi menemui Anna. Tapi Arthur, kalau bisa kau harus memaksa anak itu untuk makan dan melakukan hal yang baik untuk bayinya, agar anak kalian sehat-sehat nantinya," seru Caisan dengan tampang yang tak berdosa. Arthur tersenyum tipis. "Bukannya kau menyebut anak itu, anak haram?" tanya Arthur lagi.Arthur tidak punya pertimbangan apapun pada laki-laki tua menyedihkan di depannya ini. Ia juga tidak menimbang-nimbang rasa sungkan untuk memanggilnya dengan sebutan Papa mertua. Laki-laki itu terlalu jahat untuk Anna hingga tidak akan pantas disebut Papa. "Arthur, aku
Setelah beberapa hari sudah membaik kondisinya, Anna terbiasa tinggal bersama dengan Arthur sebagai seorang suami. Bahkan di sela kesibukan seorang Arthur, Anna tahu setiap malamnya suaminya selalu menyempatkan menatap wajahnya dan mengecup kening Anna seolah-olah dia benar-benar mencintai Anna. Seperti saat ini contohnya. Arthur mengusap pipi gembil Anna saat istrinya itu belum bangun, tapi Anna hanya pura-pura. "Tertidur pun kau tetap sangat cantik, Istriku," bisik Arthur mengecup lagi pipi hingga dagu Anna. Sudut bibir gadis itu berkedut, dia ingin tersenyum. Melihatnya, Arthur menarik gemas hidung gadis itu. "Aku tahu kau hanya pura-pura," ujar laki-laki itu. "Aku masih mengantuk, kau jangan menggangguku," seru Anna cemberut menatap suaminya. "Ya, tidurlah lagi." "Sudah tidak bisa! Kau mengangguku terus sampai mengantukku hilang, aku tidak akan bisa tidur pulas lagi!" seru Anna dengan wajah muram, masam, dan kesal. Arthur mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala istrin
Menyelidiki suami sendiri adalah kegiatan yang melelahkan, apalagi Arthur seperti sedang mempermainkannya. Anna kelelahan seharian berpikir keras memikirkan Arthur, hingga kini wanita itu tertidur pulas di sofa yang ada di balkon kamar dengan posisi terduduk. "Anna!" Suara Arthur terdengar, laki-laki itu membuka pintu kamarnya dan kosong, dia tidak menemukan istrinya. Arthur berdecak. "Ke mana dia? Apa dia mengeliling mansion lagi?" gumam Arthur. Sampai tiba akhirnya perhatian Arthur teralihkan saat melihat pintu balkon terbuka, ia berjalan keluar dan melihat Anna tertidur memeluk bantal dengan posisi terduduk. "Astaga, apa yang dia lakukan?" lirih Arthur mendekati Anna. Menatap wajahnya dari dekat, degup jantung Arthur berpacu. Bibir tipis, dagu mungil dan kulit putih bening, Arthur merasakan kesempurnaan yang Anna miliki adalah hadiah dari Tuhan untuknya. Perlahan-lahan Arthur mengangkat tubuh mungil Anna, dibawanya masuk ke dalam kamar dan ia rebahkan di atas ranjang kamarny
Anna terkejut melihat kekasih sekaligus calon istri Arthur yang datang ke rumahnya. Wanita itu sangat-sangat marah dan memaki Anna yang berdiri dalam perlindungan Arthur. "Aku berjuang banyak untuk laki-laki brengsek sepertimu, Arthur!" teriak Sonya melemparkan vas bunga ke depan Arthur dan Anna. "Semua keperluan pernikahan kita sudah aku siapkan!" Sonya menangis menggeru-geru, dengan wajah kacau. Anna yang melihat wanita itu, ia tahu bagaimana posisi menjadi Sonya, pasti juga sangat menyakitkan. Tapi pernikahan ini bukan sepenuhnya kemauan Anna, justru Arthur yang memang menginginkannya. "Berhenti bersikap seolah-olah kau adalah orang yang paling tersakiti di sini, Sonya," ucap Arthur dengan nada dingin. Tangisan Sonya langsung terhenti. "Apa maksudmu?" Wanita itu berdiri, dia melangkah mendekat hingga kini berdiri di hadapan Anna dengan air matanya yang menetes membasahi pipi mulusnya. "Dibayar berapa kau dengan calon suamiku sampai kau mau dinikahi laki-laki yang satu bulan